(22) Berdua Saja
Makasih udah ngikutin sampek sejauh ini. Terus dukung dengan vote dan komen. Kalau senggang, pasti kusempetin update. Dan, kalau kalian butuh jasa edit typo, tanda baca dan profreading naskah yang mau cetak bisa hubungin aku ya. Harga bersahabat. Makasih.
_________________
"Ya Allah, Mak, makanya besok-besok hape dinyalain. Biar Mak nggak bisa kirim SMS, tapi bisa angkat telepon kalau ada apa-apa."
Mak Sari hanya terkekeh lemah dengan ocehan Yuda. Salahnya juga yang mematikan ponsel dan ditinggal tidur karena efek obat yang Mak Sari minum. Jadinya ia seperti disihir menjadi Aurora dan tak mendengar gedoran pintu dari Jenar.
"Maaf ya, semua. Mak nggak apa-apa. Cuma badan rasanya capek."
Jenar memijit kaki Mak yang masih dengan wajah khawatir. Yuda yang berdiri tak jauh dari keduanya kemudian lekas ke dapur. Ia haus juga setelah mencongkel pintu hasil meminjam obeng dan tang dari tetangga.
"Aku khawatir Mak nggak buka pintu, hape juga nggak aktif."
"Iya, maaf yo, Nduk."
"Mak mau makan apa, tak masakin?" tawar Jenar. Ia tahu Mak Sari tak masak karena melihat meja dapur yang kosong. Di meja kamar hanya ada bubur sum-sum. Dibelikan Yuda, kata Mak Sari saat Jenar bertanya apakah wanita itu sudah sarapan saat memutuskan minum obat.
"Mak nggak laper. Mulut pait. Kepala nggliyeng ae. Mak minta teh anget aja."
Jenar mengangguk. Ia pun pamit ke dapur guna membuatkan Mak Sari teh. Di sana, ia bertemu Yuda yang sedang minum air membelakanginya. Sedikit ragu dan canggung.
"Mas?"
Yuda menoleh dan hampir tersedak saat matanya bertatapan dengan Jenar yang berdiri di pintu.
Menurunkan gelas dengan wajah meringis, Yuda sempurna berbalik badan. "Ya. Ada apa?"
Jenar ikut meringis juga. Ia menunduk sejenak sambil mengembuskan napas. Mengangkat pandang, ia tunjuk dengan tangan mengarah ke kompor. "Boleh pakek kompornya buat rebus air? Mak minta teh anget."
Yuda menoleh ke kompor yang ada di sebelahnya. Kemudian ia menggeser tubuh dengan jalan ke samping. "Oh. Silakan."
Jenar melangkah ke kompor. Mengambil panci, mengisi air dan menyalakannya. Sementara itu, Yuda hanya bisa memperhatikan kegiatan Jenar yang sepertinya sudah akrab dan hafal di mana saja letak benda-benda di dapur Mak Sari.
Merasa diperhatikan, Jenar menoleh lagi pada Yuda yang masih berdiri mematung.
"Mas mau juga?"
"Mau!"
Jenar sedikit kaget dengan jawaban Yuda. Menyadari jawabannya yang tak santai sama sekali, Yuda hanya garuk-garuk pipi.
Mau sama kamu.
Iya kalau semudah itu bilangnya. Tawaran barusan padahal untuk minuman, bukan untuk lamaran. Ya ampun, Yuda malu sendiri.
"Oh, iya. Saya buatin juga kalau gitu. Mas suka yang manis apa tawar?"
"Cukup saja."
Baiklah, Jenar paham. Ia mengambil sendok di dalam kaleng gula. Bersiap menuang.
"Mbak sudah manis soalnya," lirih Yuda kemudian.
"Ha?" tanggap Jenar bingung.
Jenar yang tengah mengisi gelas dengan gula langsung menoleh. Melihat Jenar meminta penjelasan, karena suara Yuda yang lirih.
Buru-buru Yuda meralat kalimatnya. "Eh, nggak begitu suka manis maksudnya. Dan, jangan formal amat ngomongnya. Santai aja. Saya, eh aku, kita udah beberapa kali ketemu juga."
"Iya, maaf. Mas juga nggak usah panggil saya mbak. Nama saya Jenar."
Iya, Dek.
Menghela napas diiringi jantung yang berdebar karena ulah sendiri, Yuda pun memutuskan duduk saja.
***
Jenar berangkat ke TPQ, sementara Mak Sari diantar Yuda periksa. Ia dapat antrian nomor dua. Jadi harus berangkat awal. Setelah berpamitan, Jenar berjanji akan menjenguk esok pagi. Niat hati ingin menginap, tapi sudah ada Yuda yang menemani. Lagipula ada beberapa pesanan jilbab yang harus ia bungkus malam ini.
Setelah periksa, Mak Sari pulang dan segera istirahat. Darah tingginya naik karena kelelahan. Kolestrol dan gula darah pun ikut melonjak meski tak banyak. Hanya lebih dari standar yang disarankan. Memastikan Mak Sari istirahat setelah mengajak salat Magrin jamaah, Yuda menuju kamar.
Sudah sampai rumah?
Tak berapa lama balasan pun datang.
Belm, Mas. Mash di msjd. Ada apa ya? Mak Sari bagmna tdi?
Oh. Smpek malam ya ngajarny? Mak Sari baik2 aj. Lgi istrhat hbs mnum obat.
Gk, Mas. Hbs magrib ada rapat sebntr. Ini mau pulg jg.
Tgg bntr. Lihatin ada jualan tahu tek gak? Aq mau beli. Mak mau tahu tek.
Ada, Mas. Mau dipesenkn?
Gk ush. Kmu tgg aja di situ. Sebentr aja. Aq otewe.
Jenar tak paham kenapa ia harus menunggu Yuda datang. Kalau Mak Sari minta tahu tek dan Yuda ke tempatnya untuk membelikannya, Jenar bisa saja langsung pesan dulu kemudian saat Yuda datang bisa langsung dibawa pulang. Mak Sari tak menunggu lama sendirian.
Memilih duduk saja di tangga meski sebentar lagi azan Isya', Jenar langsung bergegas saat Yuda datang dan membunyikan klaksok motor.
"Mau dipesenkan sekarang, Mas?" sambut Jenar begitu Yuda turun dari motor dan menaiki tangga ke arahnya.
"Hem, boleh. Kmu udah makan?"
"Belum sih. Ya udah aku pesenkan sekarang aja ya."
Tak enak mengobrol di tangga karena beberapa bapak-bapak dan ibu sekitar datang hendak berjamaah, Jenar turun menuju pedagang tahu tek yang mangkal tak jauh dari masjid.
Sebelum Jenar sampai di tempat sandalnya, Yuda mendekat. "Bentar lagi iqomah. Salat dulu saja. Aku mau salat di sini aja, dan pesan tahu teknya juga nanti. Biar masih anget tahunya pas dibawa pulang. Ayo bareng-bareng."
Jenar menoleh ke arah pedagang tahu tek yang tengah bergoyang, lalu pada jamaah yang lalu-lalang antri wudhu, kemudian pada Yuda yang berdiri kikuk di hadapannya.
"Tapi Mak Sari kasihan sendiri di rumah, Mas."
"Ada Mak Idah yang nemenin. Aku udah bilang juga kalau tahu tek mungkin lama karena sering antri panjang."
Berpikir sejenak, akhirnya Jenar mengangguk.
***
Dua porsi tahu tek tengah dalam pesanan. Antrian pembeli lumayan ramai. Yuda dan Jenar sudah dapat tempat duduk meski harus menunggu pembeli selesai makan. Keduanya agak canggung harus duduk berhadapan. Jenar pura-pura membuka pesan customer jilbab yang belum ia bungkus juga sampai detik ini, dan Yuda yang memainkan sedotan es teh yang baru datang lebih dulu.
Setelah berdiam tanpa kata, Yuda pun memberanikan diri memulai. Toh ia di sini yang laki-laki dan berniat unjuk diri. Harus bertindak lebih dulu daripada tak ada kemajuan juga.
Di tengah hiruk pikuk pembeli, Jenar menggerak-gerakkan kakinya karena resah. Situasi yanh aneh. Meski ia pernah berada satu meja dengan lawan jenis, Baihaqi, tapi tak sehoror ini. Ritme detak jantungnya ikut melaju cepat, seperti saat ia menonton film horor bersama Umah.
"Kamu sibuk apa selain di sini?"
Mengangkat kepala, Jenar lega. Akhirnya ada bahan obrolan juga. "Jualan online."
"Oh, jual kerudung yang dulu aku beli di stan bazar itu?"
Jenar mengangguk. Mengingat kejadian lalu, Jenar jadi semakin tak enak hati.
"Maaf ya, Mas, udah salah paham dan hampir blokir nomornya."
Yuda mengernyit. "Lah kenapa?"
"Nggak papa. Tapi, maaf sekali lagi."
"Ok."
Tahu tek akhirnya datang. Keduanya sibuk dengan makanan di piring masing-masing. Hingga tandas, Yuda berdiri lebih dulu untuk membayar tiga porsi tahu tek dan dua gelas es teh.
"Rumah kamu di mana?"
"Deket kok, Mas. Saya duluan ya, sudah jam delapan. Nanti orang rumah nyariin."
Jenar sudah melesat cepat ke motornya dan bergegas menyalakan. Yuda yang hendak menawari pulang bersama jadi urung.
Ya sudah, yang penting hari ini bisa menghabiskan waktu. Langkahnya menuju rencana mulai terayun. Namun, ia tahu bahwa jalan menuju sana tak akan mudah. Setidaknya ia sudah menyiapkan sepatu untuk tetap kuat menemaninya melangkah tanpa ragu. Bersama dia, di jalan-Nya.
___________________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top