(20) Pesan Berbalas

"Piye, Mbak?"

Yuda memegangi dadanya yang berdebar sambil bertanya pada Aini yang duduk di sebelahnya. Pengajian sudah selesai, beres-beres pun sudah selesai karena banyak tetangga yang membantu. Yuda dan Aini duduk berdua di teras setelah salat Isya.

"Kamu ketemu di mana? Di pondok?"

Yuda menggeleng. "Di stand jualan, masjid, sama di," Yuda berbisik malu-malu di telinga Aini, "kamar."

Aini melotot kaget. "Kamar? Kamu ngapain dia, Yud, Ya Allah ... istigfar, Dek. Kamu jangan kebab-"

Yuda menempelkan telunjuk di mulut kakaknya yang terlapisi cadar. "Tenang, Mbak. Masio pas cilik aku pernah ngambung ular betina, tapi pas gede ngene aku yo nggak sembarangan to. Eman lek ku ngaji karo sembahyang lek trimo gae penake dunyo seng sak kejap." (Meskipun pas kecil aku pernah cium,) (Percuma aku ngaji dan ibadah kalau hanya untuk kesenangan dunia yang hanya sekejap)

"Lah terus, kenapa kok ketemunya di kamar?"

"Nanti ae tak ceritakne. Saiki, pokoke aku lagi seneng, Mbak. Aku tadi kelihatan ganteng nggak pas mesemin dia?" (Senyumin)

Aini hanya menggeleng melihat tingkah adiknya. Baru kali ini ia lihat adiknya di usia yang tak lagi remaja memamerkan perasaan. Dulu, ia pernah dicurhati Yuda saat disukai bahkan ditembak sama teman sekolahnya. Padahal yang menembak itu teman tercantik di sekolah. Tapi Yuda kesal dan malah takut sendiri lama-lama karena ceweknya kelewat agresif. Lambat laun, cewek populer di SMADA Kediri itu mundur saat mengikuti Yuda pulang ke pondok dan mengetahui bahwa pujaannya adalah anak pengasuh pondok. Karena gadis itu kira, Yuda adalah anak Mak Sari, menurut teman-teman Yuda yang sering belajar kelompok dan main di rumah Mak Sari. Antara malu, dan bingung, si gadis urung melanjutkan perasaannya.

Saat kuliah di Malang, di salah satu kampus ternama pun Yuda pernah ditaksir dan hampir naksir seorang akhwat yang ia kenal saat kajian hari Ahad pagi. Awalnya, Yuda mulai respons dengan gadis manis dari Ngawi yang menjerat hatinya. Hingga tak ia duga, bahwa latar belakang Yuda sebagai anak pesantren sekaligus orang tua yang memimpin pondok sebagai alasan si gadis tertarik padanya, membuat Yuda mundur.

Ia tak masalah sebenarnya, dicintai siapa saja. Ia hanya ingin seorang gadis yang mencintainya, hanya sebagai Yuda. Seorang laki-laki yang ingin, selalu dan mau diajak berusaha menjadi lebih baik. Bukan Yuda karena pekerjaannya, paras, bahkan latar  belakang orang tua.

Teman-teman sekolah Yuda, tak ada yang tahu siapa dirinya. Saat SD, meski sekolahnya dekat dengan pondok, sepertinya teman-temannya tak begitu menganggap dirinya berbeda atau mungkin belum terlalu paham. Teman-temannya hanya tahu Yuda tinggal di pondok. Guru-gurunya pun memperlakukannya sama.

Saat SMP, sekolah yang Yuda ambil berada di kota. Teman-temannya pun berganti. Sejak itu ia selalu memperkenalkan Mak Sari dan rumahnya sebagai tempat tinggalnya. Bahkan saat SMA pun seperti itu. Kuliah, ia lebih bebas lagi. Tak ada yang mengusik tentang orang tuanya. Ia tetap asyik mengikuti pengajian, namun juga asyik menjalani kisah mahasiswa sewajarnya. Teman-teman kampusnya banyak yang non dengannya, tapi ia santai saja. Toh mereka tak mengusik keyakinannya. Tak mudah baperan, dan tak jarang mengingatkan Yuda untuk segera ke masjid saat azan terdengar. Karena teman yang baik, adalah membawamu dalam kebaikan. Tak peduli siapa, dari mana, apa agamanya, dan dari golongan mana.

Teman sekamar Yuda akhirnya tahu, di semester kedua saat Aini datang mengunjunginya. Saat itu Aini baru menikah dengan Umar dan belum memiliki Raza. Umar mengendarai mobil dengan stiker pesantren Yuda. Teman Yuda sekamar yang berasal dari Nganjuk mengenali. Kemudian bertanya dan mengobrol dengan Umar yang menunggu di teras karena Aini masuk ke kamar. Tahu dan sempat kaget juga awalnya. Tapi lama-lama biasa. Tak ada bedanya juga Yuda anak menteri sekalipun. Tetap saja makan indomi pakek cabe dan telor ceplok, tetap saja ngiler kalau tidur, tetap saja pernah lupa menyiram WC setelah buang air besar, dan pernah naksir cewek meski pada akhirnya tidak samawa.

***

Menatap ponsel, Jenar menghela napas. Sudah setengah jam lalu pesan dari Yuda masuk di ponselnya. Kali ini, tak seperti kemarin. Ia kira, Yuda adalah suami orang yang iseng mengiriminya pesan. Mengabaikan, masa bodoh dan segera ia hapus. Namun kali ini, ia jadi merasa bersalah sudah berburuk sangka.

Selamat menikmati. Semoga barokah. Mak titip salam, makasih sudah mau datang bantu2.


Kalau sudah begini, Jenar harus bagaimana? Apa ia balas saja pesan Yuda yang baru masuk ini? Tapi Jenar ragu dan malu juga. Ya ampun, kenapa selama ini ia bisa salah mengira bahwa perempuan tadi adalah istrinya?

Jenar melirik lagi kotak nasi yang menyisakan bungkusnya saja di atas meja. Ia membawa makanan tersebut ke kamar, karena ingin ia nikmati sendiri. Untuk Tinah dan anak-anaknya, ia sudah masakkan. Malam seperti ini pun lauk di dapur sudah habis. Kalau bukan Jenar yang disuruh menggoreng lagi, mereka biasanya beli makan dan hanya dinikmati mereka sendiri tanpa melibatkan Jenar.

Ya sudah, ia balas saja.

Terima kasih, Mas. Iya, sama2. Maaf juga kalau saya cuma bantu sebentar.

Setelahnya, Jenar taruh ponselnya dengan cepat di kasur dengan posisi terbalik. Ia tak berharap bahwa Yuda akan menanggapi. Karena sejauh ini, pesan inilah yang ia ketik amat panjang. Kebanyakan malah ia abaikan. Betapa kejamnya ia mengabaikan pesan Yuda yang sebenarnya tak ada unsur menggoda. Hanya pertanyaan sederhana dan ucapan salam saja.

Jenar segera ke dapur karena Tinah sudah berteriak memanggilnya. Ada mantan Rekta yang datang ke rumah. Jenar diminta membuat minuman. Belum lagi Sita yang menyuruhnya membersihkan tas mahalnya yang kecipratan jus saat makan tadi.

Jenar sibuk di dapur, lupa pada pesan yang sudah membuat jantung seseorang di seberang sana menggelepar dan usus yang melilit. Penggambaran yang begitu berlebihan. Tapi, lihatlah di sana. Di dalam mobil yang membawa pemuda dan saudaranya pulang ke pondok. Senyum tak lepas dari bibir Yuda. Kerudung Aini yang duduk mengantuk di sampingnya sampai ia remas dan tarik-tarik sampai kakaknya itu marah.

_____________

Next tak akan lama. Semoga makin banyak yang vote dan komen 😂 biar makin semangat. Betewe, seminggu ini lagi banyak kesibukan. Makanya baru sempet kalau weekend.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top