(2) Anjelo

Jeruk di tangan Jenar segera dikupas. Jilbab biru bermotif bunga di ujung segi enpatnya berkibar tertiup angin. Sore yang cerah. Angin pun menyapa dengan lembut. Seperti suasana hati Jenar yang damai. Setidaknya, untuk beberapa menit ke depan. Atau, sampai satu buah jeruknya habis dimakan.

"Coba kalau hargamu murah. Sekilo dua ribu aja, pasti tak beli. Sayang, kamu sekilo kok dua belas ribu." Jenar segera menyuapi mulutnya sendiri setelah basmallah terucap.

Jeruk yang ia punya cuma satu, masa iya ... harus berbagi dengan syaiton, kalau tak segera diusir dengan basmallah?

"Wedhus ... oy! Anjelo ... kamu di mana?"

Jenar memusatkan perhatian pada wanita tua yang tengah berdiri ngos-ngosan sambil garuk-garuk rambut putih. Tak lupa menarik ujung jarik untuk mengelap keringat yang bercucuran.

Jenar menghampiri. "Cari apa, Mak?" tanyanya ramah.

"Anjelo kabur."

Kening Jenar mengerut. "Anjelo? Anaknya?"

Mak Sari menggeleng, kemudian mengangguk. "Bukan. Tapi, kadang tak anggep anak sendiri."

Jenar berpikir mungkin yang dimaksud wanita di hadapannya ini adalah anak angkat yang sudah diasuhnya. Seperti dirinya, yang diasuh janda beranak empat. "Kabur ke mana memangnya, Mak?"

"Ke sini tadi. Tapi nggak kuat nggudag. Wes tuwek, ambekanku ra gotro!" (ngejar. Sudah tua, napasku tidak becus!)

"Ciri-cirinya gimana, Mak, biar tak bantu cari."

"Warnanya putih agak kusam. Telinga panjang, ada tali di kaki kanannya. Dia lari ke sini. Mungkin ke lapangan sebelah. Di sana rumputnya subur."

Kini giliran Jenar yang garuk-garuk kepala berhijabnya. Anak macam apa yang sukanya rumput? Warna kulitnya putih kusam? Oh, ia kira penggambaran putih hanya ada pucat dan bak porselen saja. Telinga juga panjang. Itu makhluk alien apa manusia multi dimensi sih?

"Wedhus!"

Mengerti dengan kebingungan perempuan di hadapannya, Mak Sari menjelaskan. "Anjelo itu kambing kesayanganku dan Yuda."

Barulah Jenar paham. Ia mengangguk mengerti. Jeruk yang tadi baru ia makan dua suapan, ia serahkan pada Mak Sari. "Serahkan sama aku, Mak. Mak habiskan jeruk punyaku saja, sambil tunggu di sini."

Jenar membenarkan rok celana miliknya. Meluruskan ujung jilbab bagian kening dengan cara meniupnya dari bawah. Meletakkan telapak tangan di kening, matanya menyusuri sekitar. Kebun samping perumahan ini memang sedang sepi. Namun ia yakin, bisa menemukan Anjelo jika perkiraan Mak Sari bahwa anaknya akan menyatroni lapangan.

"Doakan aku, Mak."

Jenar lantas berlari meninggalkan Mak Sari yang memegangi jeruk kupasan. Dalam hati ia berharap pemilik jeruk bisa menemukan Anjelo.

***

Gara-gara membantu menemukan Anjelo, Jenar pulang ke rumah menjelang magrib. Tinah, ibu yang selama belasan tahun mengasuhnya itu pun marah tak karuan. Serentetan ceramah dari bab Thoharoh sampai bab Pernikahan hanya didengarkan Jenar sambil memasang wajah bersalah. Tak sepatah kata pun ia ucapkan, demi kesehatan telinga yang akan ditambah bab Pembunuhan, mungkin.

"Kasih alasan itu yang semat dikit. Dah sana, ke dapur. Aku hangri." Seperti kebanyakan sosialita KW zaman saiki, Tinah pun demikian. Ia ikutan anak Jaksel, padahal dari bentuk sperma sudah bermukim di wilayah Kediri. Hanya karena menikah dengan saudagar tahu Sakwa yang kaya nan tua, ia bisa hidup mewah sampai empat turunan bersama empat putri kandung dan satu putri tiri.

Jenar ke dapur. Diletakkannya barang belanjaan dari warung ujung kompleks. Ada sayur, ayam, pindang, tahu, dan cabe. Tak lupa jeruk satu kilo. Ia tak mengambil jatah milik Tinah. Satu biji tadi ia dapatkan karena kebaikan penjual yang memberi bonus padanya. Sayang, sudah dihabiskan pemilik Anjelo yang ia temukan.

"Oke, saatnya masak!"

Ia harus segera masak untuk makan malam ini. Tadi pagi, Tinah dan anak-anaknya memilih sarapan beli nasi rames di sepanjang jalan Dhoho. Sedangkan siang, anak-anak Tinah tidak ada yang makan di rumah karena sibuk bekerja. Sementara siang tadi Tinah ada acara arisan di rumah gengnya. Sudah makan enak pastinya. Jadilah Jenar bebas masak.

Selesai dengan ayam goreng, tumis kol, wortel dan jagung, tahu tepung, dan nasi mengepul, Jenar mempersilakan Tinah segera makan. Ia harus segera bersiap ke masjid. Anak-anak pasti sudah menunggunya.

"Sudah siap, Bu."

Tinah yang menonton acara bertema taubat, tapi sendirinya kapan mau taubat pun menoleh. "Bener?"

"Iya. Tinggal makan."

"Halaman sudah disiram?"

"Sudah."

"Bak mandi dikuras?"

"Sampun."

"Piring kot-"

"Sudah, Buk. Bunga disiram, rumput dicabut, lantai dipel, cucian diangkat, teras disap-"

"Ok." Tinah mengangkat telunjuk, mengisyaratkan untuk berhenti.

Jenar tersenyum. Ia memang tak pernah dianggap anak dengan limpahan kasih sayang, baju baru, atau kesempatan. Kerjaan rumah semua ia yang menjamahi. Namun, Jenar punya trik jitu. Ia tak mau terintimidasi. Ia harus berlaku sopan, tapi bukan berarti jadi penjilat dan merasa jadi budak kan?

Mengibas tangan, Tinah mengusir Jenar segera pergi. Jenar pun segera ke kamar. Mandi, dan berganti baju. Jilbab serta bajunya bau Anjelo dan masakan. Ia hanya berganti baju sejenak di sela memasak saat salat magrib saja.

***

Yuda menikmati makan malam bersama Mak Sari di depan televisi, usai salat magrib berjamaah. Nasi hangat, ikan pindang dan sambel terasi terasa bertambah nikmat karena dilengkapi dengan dua gelas wedang jahe.

"Le, Anjelo minta kawin paling."

Yuda menghentikan suapan tangan yang sudah sampai di depan mulut. "Kok?"

"Dia tadi kabur ke perumahan sebelah. Di lapangan ujung banyak betina. Dia pasti minta kawin itu. Tanda-tanda," yakin Mak Sari tapi bukan roti.

"Kawinkan saja sama Bedesh, Mak. Yang kemarin juga gitu. Anaknya udah tiga."

"Lah kan, Bedesh udah dijual."

Yuda menepuk jidatnya. Alhasil matanya langsung memejam perih, karena hentakan sisa sambal yang menempel di jari-jari mengenai mata. "Iyo eg."

"Pas tadi ditangkep sama cah ayu, Anjelo nyeser-nyeser ae ra gelem pisah. Piye jal, perasaane Anjelo seng kebelet kawin itu ketemu cah ayu? Wes tenan wi, tanda-tanda!" (gadis cantik, Anjelo nempel-nempe tidak mau pisah. Gimana perasaan Anjelo yang kepengen kawin itu bertemu gadis cantik? Benar kan, itu tanda-tanda!)

"Gadis cantik?" Yuda tak mengerti maksud Mak Sari.

"Iyo. Anjelo tadi yang nangkep cah ayu. Dia baik banget, nggak malu apalagi jijik dipepet Anjelo."

Mata Yuda membelalak. "Siapa?"

"Nggak tahu, Le. Anaknya cantik, pakek kerudung."

Yuda membayangkan bagaimana si gadis yang menolong maknya tadi dipepet Anjelo yang beringas. Di antara kambing-kambing peliharaan, Anjelo memang terbilang agresif.

"Beruntung banget Anjelo bisa pepet cewek tadi ya, Mak. Aku aja belum pernah dipepet," gumaman Yuda yang bisa didengar Mak Sari.

"Kabur aja kayak Anjelo, nanti tak suruh cah ayu tadi nyariin kamu, Le."

"Lah aku opo wedhus to, Mak."

Keduanya pun tertawa.

_______________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top