(19) Saya Kira ....
Rencana Jenar untuk datang saat anaknya Mak Sari yang beristri tapi kadang masih suka lirak-lirik berangkat, jadi gagal. Ia malah ketemu Yuda di depan. Syukurnya, pagi ini pemuda itu terlihat masam padanya. Jadi Jenar tak pelu was-was. Masuk rumah, ada Mak Sari di dapur bersama tetangga samping rumah yang sedang memotong ayam.
"Sini, Nduk, masuk."
Mak Sari senang dengan kedatangan Jenar. Segera gadis itu membaur dan mulai mengerjakan tahu dan kentang yang digoreng untuk sambel goreng. Sesekali dua wanita tak lagi remaja di dapur itu mengajak Jenar bercanda. Terutama soal jodoh.
"Lah tak olehne putuku po piye to, Nduk? Aku nduwe putu lanang. Dek'e lagi kerjo neng kelapa sawit kono. Kalimantan. Wes penak uripe. Ngko dijak lungo rono awakmu, Nduk." Mak Sanem coba menawarkan cucunya yang juga masih belum menikah. Sedang bekerja di Kalimantan. Pastinya jika menikah, Jenar akan diboyong ke pulau Borneo tersebut. Hidup di tengah kebun kelapa sawit.
Jenar mengulas senyum. "La nggeh lek putune njenengan purun kaleh kulo to, Mak." (Iya kalau cucunya mau sama saya, Mak)
"Mestine gelem lah." (Pastinya mau lah)
"Halah, ra ngiro putumu gelem. Ben karo Yuda ae loh. Bocah iki wes tak dip disek." (Halah, kayak cucumu mau saja. Sudah, sama Yuda saja ini loh. Anak ini sudah tak pengini duluan."
Jenar makin tertawa dirinya diperebutkan oleh dua emak-emak di sekelilingnya ini. Apalagi saat Mak Sari malah menjodohkan dengan anaknya. Jenar juga tidak mau jadi istri kedua. Meski dalil poligami ia benarkan, tapi tak berarti sanggup menjalaninya. Masih banyak jalan menuju surga Allah selain poligami.
***
Tepat azan Dhuhur, Jenar pamit pulang pada Mak Sari. Tetangga sekitar yang datang membantu sudah banyak. Acara juga pukul dua sudah siap semua persiapannya. Meski Mak Sari agak kecewa, tapi ia tak bisa mengekang Jenar lama-lama di rumahnya.
Tak berapa lama setelah Jenar mengabari Baihaqi, laki-laki itu datang dengan mobilnya. Keduanya bergerak ke pondok untuk menjemput Umah sekalian salat Dhuhur di sana.
"Aku masuk ke kamar Umah, kamu salat di ruang tamu putra ya, Be."
Baihaqi mengangguk. Ia beralih mencari kamar mandi untuk wudhu dan ruang tamu putra, karena pondol putri melarang tamu laki-laki masuk.
Jenar berjalan sambil mengirim pesan ke Umau kalau ia sudah sampai. Melewati gerbang simpang antara dapur ndalem, teras rumah Pak Kyai dan deret kamar-kamar santri, Jenar dipanggil sama Mbak Uki.
"Jenar, mau ke mana?"
Uki, salah seorang pengurus baru keluar dari ndalem menyapa Jenar. Bersalaman, keduanya sedikit minggir agar tak menghalangi jalan.
"Mau cari Umah. Tadi sudah janjian, Mbak. Ini mau ke kamarnya."
"Oh. Aku minta tolong bentar boleh nggak?" Uki agak tak enak, tapi ia butuh bantuan Jenar yang kebetulan lewat di dekatnya.
"Bantuan apa, Mbak?"
Uki menggandeng tangan Jenar dan mengajak masuk ke ndalem. Sambil berbisik, "Tolong bawakan tas Neng Aini ke mobil. Aku bawa kardusnya."
Jenar melihat ada tas perempuan di ruang tamu dan kardus tanggung. Karena kedua tangab Uki sudah penuh dengan kardus, makanya ia minta bantuan Jenar. Mbak-mbak ndalem lain sedang repot di dapur, masak makanan ratusan santri putri.
Uki berjalan dulu dengan langkah cepat menuju mobil di parkiran. Sementara Jenar membawa tas anak Bu Nyai dengan hati-hati. Baru balik badan, ada suara yang memanggilnya.
"Mbak Uki?"
Jenar balik badan lantas menunduk sambil tak lupa mengulas senyum sopan. "Dalem, Neng, kulo Jenar. Mbak Uki nembe mbeto kerdus ipun dateng mobil." (Iya, Neng, saya Jenar. Mbak Uki baru saja bawa kardur ke mobil)
Aini yang masih belum memakai cadar, hanya mengangguk. Diperhatikan gadis di hadapannya yang tak ia hafal sebagai jajaran pengurus yang wara-wiri di pondok.
"Oh. Tas e nyuwun tulung sampean lebokne ndek tengah ae ya, Mbak Jenar." (Tasnya minta tolong kamu masukkan ke tengah)
"Nggeh."
Jenar undur diri dan segera membawa tas Neng Aini ke mobil. Dalam benak ia terkagum pada kecantikan yang sekilas ia lihat tadi. Pantas saja cantik, Bu Nyai pun juga masih terlihat cantik di usianya yang tak lagi muda.
Uki pun berterima kasih. Jenar membalas. Ia pun segera ke kamar Umah untuk salah Dhuhur kemudian pergi bersama Baihaqi yang sudah menunggu di luar. Sengaja Umah dan Jenar berjalan agak jauh baru masuk ke mobil. Keduanya tak enak, terutama Umah yang menjadi pengurus pondok.
***
Jalanan menuju Air Terjun Irenggolo sewajarnya jalan di pegunungan yang naik dan turun. Setelah parkir, ketiganya masuk ke arena wisata air terjun bagian bawah. Karena jika naik lagi, akan menemui air terjun Dholo. Jenar tak mau, karena jauh ke atas dan lama. Be menurut saja. Ketiganya bermain air. Umah, Jenar, dan Be gantian mengambil foto dengan latar air yang turun dan merambat di belakangnya. Setelah capek, ketiganya duduk-duduk sambil menikmati kue yang dibawakan Mak Sari tadi di tas Jenar.
"Akhirnya aku bisa jalan. Makasih ya, Nar. Makasih juga, Mas." Umah melirik pada Be yang mengunyah nagasari.
"Iya, sama-sama. Jangan panggil Mas, ah. Lah kita seumuran kan? Baihaqi saja."
Umah mengangguk, merasa tak enak juga. "Iya, Ki."
Jenar melirik Be dan mengulum senyum. "Hahaha, nama panggilanmu kembali lagi, Be." Kemudian menoleh pada Umah. "Kamu panggil dia Ki?"
Umah tak paham. "Maksudnya? Lah, aku manggil nama apa ini?"
Be merengut sebal. Memang sih, nama panggilannya dari kecil itu dari akhiran kata. Hanya Jenar yang memanggil Be saja.
"Bener kok, Um. Emang Baihaqi ini pangilannya Ki. Aku saja yang pengen panggil dia Be. Kami ini dulu tetangga, temen main. Tapi Be pindah ke Malang sampai kita lama nggak ketemu. Jadi, kita ini seumuran. Biasa aja, nggak usah sungkan."
"Lama nggak ketemu, Um, jadi aku kangem sama Cacan. Tapi yang dikangenin nggak peka," keluh Be sambil memelas.
"Bentar, Nar, kamu ini punya berapa nama sih? Candra Kirana, Jenar, sekarang Cacan. Pusing aku mikir ini"
Jenar tertawa. "Jadi gini, Um, namaku Candra Kirana dari lahir. Nah, sama ibuku pas kecil dipanggil Jenar karena kulitku kuning langsat. Jadi kebiasaan deh. Kalu Be ini, kan namaku ada Candra. Dia ambil Can depan aja."
Umah mengangguk-angguk paham.
"Udah yuk, kita pulang," ajak Jenar. Be dan Umah setuju. Umah segera ngaji di pondok, Jenar mau pulang karena akan ke TPQ meski sedikit terlambat dan Be juga mau siap-siap pulang esok pagi.
***
Dari pondok ke TPQ, Jenar mengendarai motornya yang menginap di pondok. Begitu sampai, anak-anak yang tadinya sedang bermain dan membeli jajanan segera berlarian masuk ke masjid.
Melepas helem, memarkirkan motor dengan benar, Jenar berjalan melewati undakan teraa masjid.
"Assalamualaikum, Mbak."
"Astgafirullah." Jenar mengelua dada karena kaget. Tiba-tiba ada Yuda di dekatnya yang berdiri di salah satu undakan. "Eh, waalaikumsalam. Ya, Mas?"
Yuda tersenyum sambil menganggsurkan kresek di tangan ke arah Jenar. "Dari Mak. Tadi lupa ngasih ini, karena keburu pulang. Jadi, saya yang disuruh kasih. Tak tungguin sama mbak saya, kirain nggak masuk ngajar." Yuda menunjuk seorang perempuan bercadar yang tengah menelpon di dekat pagar.
Jenar masih kaget, tapi segera ia terima kresek pemberian Yuda sambil melirik wanita bercadar yang asyik tertawa di telepon. "Itu ... mbaknya?"
Yuda menoleh pada Aini yang bertelepon mesra dengan suaminya. "Iya, itu mbak saya. Kenapa ya? Mbak Jenar kenal?"
Jenar menggeleng. "Enggak. Saya kira itu--"
"Bu, nanti hafalan doa masuk kamar mandi kan?" Seorang murid memotong pembicaraan Jenar.
"Mbak pasti repot. Kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum."
Yuda tak melepas senyum di bibirnya meski Jenar sudah masuk ke masjid. Bahkan sampai Aini menepuk pundaknya hendak bertanya apa sudah selesai memberikan kotak nasi ke Jenar, tak ditanggapi. Kakaknya mencari tahu sendiri ke arah pandang sang adik.
Aini mendekat ke dalam masjid. Masuk dan memperhatikan seorang gadis muda tengah duduk dikelilingi anak-anak kecil membaca doa belajar. Gadis yang ia temui tadi saat hendak berangkat ke rumah Mak Sari. Menhernyit sejenak, kemudian ia menggeleng dengan senyuman.
Owalah, Yud, itu to? Pantesan kamu nolak dijodohkan Abi.
__________________
Noh... noh... akhirnya nggak salah paham kan. Sabar dong, ih kalian ini 😂😂😂
Komen ditunggu, biar semangat menemukan jodoh. Eyakkkk 😂😂😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top