(16) Saingan Tidak Terduga
Pagi-pagi Tinah ribut karena perutnya sakit. Semua anak-anaknya kena omel. Kamar mandi dipakai Lilis lama sekali, padahal Tinah sudah kebelet, Rekta yang disuruhnya lekas berangkat buka toko malah masih anteng lihat gosip artis terbaru yang menikah di luar negeri. Terlebih Jenar. Gadis bungsu itu kerepotan luar biasa, tapi masih saja dibentak-bentak. Kerjaan rumah belum beres, sudah dipanggil-panggil untuk membuatkan teh pahit penunda mencret.
"Cepetan, Nar. Mana tehnya? Kamu lelet banget."
Tanpa kata, Jenar membawa segelas teh tubruk tanpa gula ke arah Tinah yang selonjoran di depan televisi. Gara-gara kebanyakan makan gule kambing saat aqiqah tetangga kemarin, begini jadinya.
"Ini, Buk. Diminum paa hangat. Jangan lupa bismillah, biar cepet sembuh. Paling sakit ini Ibu nggak bismillah pas mau makan," sindir Jenar telak seraya berjalan ke arah dapur lagi.
"Pakek nggak pakek, waktunya sakit ya sakit. Memang masaknya aja kurang bersih," Tinah jadi suudzon. Padahal ulah sendiri, kambing hitam orang lain.
"Kasih rinso anti noda dong, Buk, biar bersih," sambar Jenar dari dapur. "Lagian kalau nggak bismillah, makannya dibarengi setan."
Tinah melempar bantal kesal pada Jenar. Anak tak tahu diri itu benar-benar membuatnya jengkel. Sayang, ia masih butuh Jenar sebagai pesuruh. Kalau tidak, sudah ia usir saja dari rumah bapaknya.
***
Seorang tukang bangunan mengalami kecelakaan kerja pagi tadi. Masih menggenggam ponsel hendak menelpon, Yuda mendapat laporan dan segera membawa korban ke rumah sakit terdekat. Bersama mandor bangunan, ia membawa Pak Supri yang kakinya terlihat berdarah. Menggunakan mobil Yuda, laki-laki itu tancap gas menuju Gambiran.
"Bapak bisa pulang saja, keluarga saya sudah datang. Maaf merepotkan, dan terima kasih." Supri yang kakinya sudah terbalut perban menyalami Yuda. Beruntung hanya luka lecet, tidal sampai patah tulang. Namun, jaminan keselamatan tentu sudah tanggung jawab perusahaan.
"Nggak papa, Pak. Saya masih ada urusan di sini sebentar," bohong Yuda. Diamatinya ada istri dan dua anak Supri yang datang segera setelah dikabari. Mengambil inisiatif, Yuda pamit keluar dan menuju mini market depan rumah sakit. Dibelinya roti tawar, biskuit, air mineral. Kemudian beralih ke warung nasi, membeli empat bungkus nasi campur untuk ia berikan ke keluarga Supri.
Setelah menyerahkan belanjaan, Yuda pamit namun, ia tak pulang. Melainkan duduk-duduk di teras. Mengeluarkab ponsel, ia telepon bagain bendahara agar mempersiapkan uang untuk keluarga Supri. Biaya rumah sakit tentu ditanggung asuransi, namun biaya perawatan tetap dari perusahaan. Selesai, ia ganti menelepon Abi. Minggu ini ia janji pulang ke rumah. Ada acara ke rumah saudara di Sidoarjo. Berangkat sama-sama dari rumah.
"Mas ... Yuda?"
Disapa seseorang, Yuda yang tengah berbincang dengan Abi lekas mengakhiri dan membalasa sapaan seseorang di hadapannya. "Iya."
"Wah, ketemu juga. Saya Rekta, masih ingat tidak, Mas? Itu loh, Mas Yuda pernah bantu anterin adik saya pas beli stik tahu di toko saya," jelas Rekta mengingatkan Yuda yang masih mengernyit.
"Oh iya, Mbak Rekta kan. Iya saya ingat. Terima kasih buat kiriman krupuk sama tahu kuningnya waktu itu. Saya belum sempat bilang."
Keduanya mencari tempat duduk yang lebih nyaman. Karena tak enak mengajak Rekta ikut selonjoran di undakan teras.
"Mas Yuda jenguk orang apa habis periksa?" tanya Rekta setelah keduanya masuk lagi dan duduk di kursi-kursi pasien berbayar yang tampak sepi. Lebih tepatnya di depan poli gigi.
"Anter pekerja, tadi pagi jatuh di lokasi."
"Oh. Kalau saya, anter Ibu periksa. Sekarang masih antri juga. Maklum, pakek yang gratisan." Yuda hanya senyum saja, padahal tidak tanya ada urusan apa Rekta di rumah sakit ini.
"Mas Yuda, mau tanya. Mas Yuda ini kerja di perumahaan daerah bukit 'kan?"
"Iya. Ada apa?"
"Kenal sama Sita, Mas? Dia adik saya."
"Iya, saya kenal. Dia bagian marketing."
Rekta mengangguk. Jadi benar, orang di sampingnya ini adalah bos adiknya. Jadi, kapan-kapan ia bisa titip ke adiknya saja daripada bayar kurir untuk proses pedekate. Sekalian cari info lebih detail. Terlebih soal status Yuda.
"Mbak, maaf, saya ada telepon sebentar." Yuda izin mengangkat telepon, namun tak beranjak dari tempat duduknya.
"Waalaikumsalam. Iya, Mbak, aku ikut. Tadi udah telepon."
"..."
"Mosok? Enggak ah. Aku udah nolak perjodohan kemarin kok. Aku bisa cari sendiri, tapi nanti deh. Ojo podo nyusokne to yo. Golek bojo ki ra podo karo golek tumo, Mbak." (Jangan pada memburuku. Cari istri ini tidak sama kayak cari kutu)
Rekta mengulum senyum. Niat hati mau minta tolong adiknya buat kepo, sekarang terjawab sudah. Intinya, Yuda masih belum dimiliki siapa pun. Ia masih punya kesempatan.
***
Sita heran dengan tingkah kakaknya yang sepulang berobat dari rumah sakit malah senyum-senyum tak jelas. Maklum, jomlo sejak setahun terakhir karena ditinggal pacarnya menikahi pilihan orang tuanya, jadi rada kurang waras.
"Mbak, waras?" tanya Sita.
Rekta menoleh. Dianggukan kepalanya sambil tersenyum malu-malu.
"Waras banget."
"Kok senyum-senyum sendiri?"
"Tadi ketemu gebetan pas nganter Ibu periksa, ternyata jomlo juga dia. Kesempatan pepet," ceritanya.
"Siapa, kasih tahu...." Sita ikutan kepo juga.
"Mas Yuda, itu loh bosmu di kantor."
Sita membelalakkan mata. Darahnya naik ke ubun-ubun. Siapa sangka kakaknya naksir gebetannya juga. Dan apa tadi ia bilang, habis ketemu? Omegat! Hal ini tidak baik sama sekali. "Serius?" Rekta mengangguk antusias.
"Iya dong. Besok aku titip sesuatu buat Mas Yuda ya?" Rekta semringah membayangkan barang apa yang akan ia kirim ke Yuda esok hari.
"Enak aja! Pak Yuda itu gebetanku, Mbak! Nggak ada titip-titipan. Dia punyaku!" Sita berang. Ia berkacak pinggang sambil melotot ke arah Rekta.
Lilis yang sedang makan buru-buru menghampiri keributan kedua kakaknya. "Ada apa sih kok ribut?" herannya.
"Pokoknya aku nggak mau tahu ya, Mbak. Pak Yuda itu gebetanku, titik. Nggak boleh ada saingan lagi. Udah cukup saingan di kantor juga membludak."
Lilis garuk-garuk kepala. "Ini Pak Yuda siapa sih? Bukan Yuda yang nganter aku ke bank kemarin kan?" Lilis kepo juga.
Rekta menoleh. "Iya, yang itu."
Kini giliran Lilis yang menganga. "Apa? Kalian berdua rebutan Mas Yuda juga? Oh, Tuhan ... kukira cuma sainga sama Mbak Nila. Kenapa mbak-mbakku juga ikut jadi saingan sih."
"APA!"
Sementara tiga saudara itu bertengkar, ditambah kedatangan Nila yang baru pulang kerja menampah konflik yang menjurus hampir cakar-cakaran, Jenar hanya mengintip sejenak saat hendak masuk kamar. Tak mau tahu dengan keributan saudara tirinya. Ia masuk kamar hendak salat isya. Sebuah notifikasi masuk. Dari nomor Yuda. Sebenarnya ia hendak memblokir nomor Yuda, tapi ia ingat kalau ada apa-apa dengan Mak Sari, siapa yang pertama ia hubungi selain anak laki-laki yang sudah beristri tersebut?
Mak Sari nanya, bisa dateng nggak hari Senin? Ada pengajian di rumah. Kalau butuh jemputan, saya siap juga. Gratis, tapi motor masing2. Hehehe.
__________________
Baru selesai ketik langsung update. Maaf typo yang selalu ada, dan jangan lupa vote n komen. Makasih 😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top