(14) Suami Orang

"Aduh!"

Menahan rasa sakit karena kepalanya menubruk pintu, Jenar berlari terseok-seok dengan rok mukena yang belibet di kakinya. Sungguh sial tiada tara. Kepala benjol karena menabrak pintu kamar salat yang lupa ia buka saat melarikan diri, kakinya terbelit mukena, sampai di kamar Mak Sari, jantungnya berdentam karena kaget dan takut.

"Onok opo to, Nduk?" Mak Sari yang tadinya hendak keluar kamar ikut kaget. Didekati Jenar yang tengkurap masih dengan mukena di sekujur tubuh.

"Mak, hiks."

Mak Sari jadi bingung. Ditanya, Jenar malah terisak pelan. Hanya sepuluh detik terisak, kemudian ia membalik badan dan duduk. Dilihatnya Mak Sari yang duduk di tepi ranjang sambil mengerut kening.

"Mak, anaknya masih hidup, kan?"

"Astagfirullah!" Mak Sari mengelus dada. "Masih lah. Gimana ini kamu, Nduk, doain Yuda kenapa-kenapa."

"Aku lihat ada yang mirip anak Mak di tempat salat. Kalau malaikat, kayaknya bukan."

BRAAK.

Begitu pintu kamar terbuka, Jenar langsung menutup wajah dengan telapak tangannya. Sementara Mak Sari langsung bertanya, "Pulang? Katanya nginep, Le?"

Yuda melirik sosok putih yang enggan menatapnya sekilas sebelum menjawab pertanyaan Mak Sari. "Iya, Mak. Acaranya digabung sampek malem. Mending pulang aja aku."

"Emang di hotel nggak enak?"

"Ehm ... enak di rumah." Diliriknya lagi perempuan yang ia kira Mak Sari tadi.

Mak Sari melihat Yuda kemudian beralih ke arah Jenar yang masih bungkam dan menutup mata. "Owalah ... begitu to." Mak Sari paham. Ia menepuk pelan kaki Jenar yang tertutup mukena. "Nduk, tadi kamu beneran lihat Yuda, bukan rohnya. Dia pulang ternyata, nggak jadi nginep."

"Lah, masa ganteng gini dikira nggak nyata sih," kesal Yuda yang menyenderkan tubuh di pintu sambil bersedekap.

"Yud, kamu pakek baju sana. Nggak sopan. Makanya Jenar jijik lihat kamu."

Yuda melihat tubuhnya yang hanya memakai kaus dalam. Ia juga kaget tadi, makanya belum sempat pakai baju untuk salat dan buru-buru mengejar Jenar yang kabur. Malu juga, mana kaus dalem yang ia pakai sudah sobek sedikit bagian pinggang dan kusam. Kalau pakai yang baru, mungkin Yuda bisa tampak lebih ganteng. Jenar pun tak harus kabur.

"Iya."

Mau tak mau Yuda keluar dari kamar Mak Sari. Wanita yang pernah menjadi abdi ndalem dan juru masak di pondok milik orang tua Yuda itu pun menepuk kaki Jenar lagi. "Udah, Yuda udah pergi."

Jenar pun membuka tangan dan bernapas lega. Kemudian ia usap kepala yang terasa nyut-nyutan.

***

Setelah subuh, Jenar pamit pulang. Menolak tegas tawaran Yuda yang hendak mengantar. Padahal Yuda juga tahu diri. Tak membonceng mesra seperti Dilan dan Milea, tak semobil berdua juga seperti Cinta dan Rangga. Yuda menawari membuntuti dengan naik motor di belakangnya.

"Nggak usah, Mas, makasih," tolak Jenar bersikeras. Mendengar perdebatan dua orang di ruang tamu, Mak Sari membiarkan saja. Ia fokus membungkus nasi dan telur rebus bumbu kuning untuk dibawa Jenar pulang. Mak Sari ingat dengan perlakuan orang tua Jenar kemarin saat izin menginap. Begitu khawatirnya tak ada yang menyiapkan sarapan, pekerjaan rumah, tanpa mengkhawatirkan keadaan Jenar sendiri.

"Masih gelap loh. Aku ngikut naik motor sendiri kok. Sumpah, terjamin nggak deketan." Yuda masih saja bernego.

"Aku berani kok, Mas. Subuh udah mau lewat, bentar lagi udah terang. Cuma kompleks sebelah, Mas."

"Tetap saja, aku yang nggak tega. Anggap saja sebagai balasan udah nemenin Mak semalam."

Jenar yang sedang memasukkan barang di tas kain spunbund pun tak mau kalah. "Mas, beneran. Aku nggap apa-apa. Aku juga udah biasa jalan habis subuh seperti ini."

"Ya udah kalau gitu. Aku nggak jadi nganter," putus Yuda dengan raut kecewa. Ia pun pamit dari sisi Jenar menuju dapur. Ia duduk di meja makan, sambil melihat Mak Sari memasukkan bungkusan nasi dan sayur ke dalam kresek putih. Memanggil Jenar, dan gadis tersebut tertawa haha-hihi dengan Mak Sari tanpa peduli bibir manyun Yuda yang bisa diikat karet gelang.

"Makasih ya, Mak." Jenar menyalami tangan Mak Sari kemudian berpelukan. Gadis itu tak lupa menoleh dan mengangguk pada Yuda sebagai rasa sopan akan anak tuan rumah yang ia tinggali semalam. "Makasih, Mas, mari duluan."

"Iya. Sama-sama. Lain kali nginep lagi nggak apa-ap aduh!" Centong nasi dilempar Mak Sari agar Yuda tak aneh-aneh.

Jenar terkikik geli. Ia lekas keluar dan memakai sandalnya. Sementara Yuda, mengatur rencana sambil mengusap dagunya. Matanya berbinar. Segera ia berdiri dan melangkah mengikuti Jenar yang menyalakan motor.

Yuda mengeluarkan motornya juga dan diparkir berdampingan dengan motor Jenar yang sudah dinaiki.

"Loh, Mas mau nganter aku? Kan sudah dibilang aku nggak apa-apa sendirian."

"Siapa bilang? Aku mau ke pasar kok," alasan Yuda. Ia pun ikut menyalakan motor.

Jenar melambai dan mengucapkan salam pada Mak Sari. Motor melaju, diikuti Yuda yang juga mengendarai motornya. Dari spion Jenar bisa melihat, bahwa Yuda masih saja mengikutinya bahkan saat masuk kompleks tempat tinggalnya. Memangnya pasar mana yang masuk ke arah rumahnya?

Andai saja laki-laki itu bukan suami orang, mungkin Jenar bisa membiarkan dirinya diantar pulang dengan cara diikuti dari belakang. Tak ada kontak fisik di atas motor berdua, bukankah masih aman? Sayang, laki orang. Mana sopan Jenar harus membebani dengan hal remeh seperti mengantarnya pulang?

__________________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top