(12) Rejeki Jangan Ditolak

"Mbak denger gosip." Nila memusatkan pandangan ke arah televisi, tapi tujuannya pada sang adik di sebelahnya.

"Apa?"

"Kamu dianter Pak Yuda ke bank. Kalian ada hubungan apa?" selidik Nila pada Lilis. Anak ketiga itu sungguh tak terima saat mendengar gosip tempo hari dari anak-anak praktek di bank tempatnya bekerja. Yuda, lelaki potensial incarannya mengantar sang adik ke tempatnya kerja. Demi apa?

Ia saja pedekate sejak dahulu kala tak pernah tuh, diantar. Padahal Nila kurang ramah dan cekatan apa sih. Saat Yuda datang dan butuh ke atasannya, Nila sigap ada di hadapan laki-laki tersebut.

"Bukan gosip, tapi kenyataan. Mbak denger aja, aku jadi malu." Lilis terkekeh dan wajahnya bersemu. Ia teringat lelaki baik hati yang ternyata punya pengaruh penting di bank tempatnya praktek kuliah. Perawakannya tinggi, rapi, tidak dingin namun juga tidak mengumbar senyum. Ramah, sopan dan ... tampan juga. Lilis jadi membandingkan dengan pacarnya yang posesif. Lebih baik Yuda ke mana-mana. Sudah mapan pula.

"Hubungan kalian?"

"Maunya sih ... halalan. Tapi, proses. Kenapa sih emang, Mbak?" Lilis tak mengerti juga dengan kakaknya. Tumben sekalu kakak ketiganya itu mengurusi soal cowok yang dekat dengannya.

"Jangan macem-macem sama dia, Lis. Mbak udah ngincer dia dari lama. Awas aja kamu nikung!" Nila menoleh pada Lilis yang bergidik ngeri dengan tatapan setajam kapak 212 milik Wiro Sableng tersebut mengarah padanya.

"Waduh, atut. Yakali, masih pedekate kan. Janur kuning belum melengkung, jadi masih milik bersama. Saingan sama sodara sendiri kayaknya asyik," tantang Lilis tak terpengaruh ancaman Nila.

****

Rekta senyum-senyum sendiri melihat kartu nama milik Yuda. Sudah bingkisan kedua ia kirim ke laki-laki tersebut. Meski ada nomor telepon yang tertera, ia ragu untuk menghubungi lebih dulu.

Ada Sita yang datang ke toko, lantas Rekta memasukkan kartu tersebut ke laci. "Ada apa, Sit?"
Sita, adiknya yang bekerja di perumahan tiba-tiba datang saat toko baru buka dan karyawan masih menyapu.

"Mbak, ada titipan nih dari orang kantor. Bungkusin tahu kuning sama krupuk tahu," bohongnya. Sita memang kadang menerima titipan temannya jika ada yang beli. Kali ini ia berbohong demi mengirim bingkisan lagi pada bosnya.

Setelah menyerahkan belanjaan dan menerima kembalian, Sita buru-buru pamit. Tak mengapa ia modal sedikit untuk menggaet GM di kantornya melalui rasa.

Begitu Sita pergi, Rekta kembali membuka laci dan mengeluarkan kartu nama Yuda. Namun, ia berkedip dua kali dan membaca saksama. Alamat di kartu nama Yuda, sepertinya tampak tak asing bagi Rekta.

"Bukit asri residence?" bacanya sambil mengingat. Matanya sontak melebar saat mendapatkan ingatannya. "Kantornya Sita?"

Di tempat lain, Yuda tersenyum miris pada Sita yang memberinya bingkisan lagi. "Makasih, Sita."

Dengan senyum bergincu yang menawan Sita membalas, "Sama-sama, Pak. Kalau mau lagi, Bapak bisa langsung hubungi saya."

"Terima kasih banyak, Sita. Sebaiknya, saya beli sendiri saja. Saya tidak enak merepotkan kamu.

"Tidak masalah, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu."

Sita pamit dengan senyum semringah, sementara Yuda menepuk perutnya karena entah kenapa beberapa hari ini makan olahan serba tahu tersebut jadi mual. Apakah ia hamil seperti istru Anjelo? Oh ... tidak. Yuda yakin masih belum lepas segel.

***

Setiba di rumah, Mak Sari menyambut Yuda di teras. Janda tak lagi muda itu tengah memsukkan krecek puli yang sudah dua hari dijemur. Hamparan krecek puli* yang ditata di atas tampah anyaman bambu, ia pindahkan ke dalam.

"Udah pulang, Yud? Bawa apa?"

"Sama kayak kemarin, Mak. Nih, mau dimasak apa dimakan langsung. Ada tahu kuninh sak besek."

"Kowe tuku maneh?" (Kamu beli lagi?)

"Nggak. Dikasih sama anak kantor."

"Rejeki mbendino, Le. Tomponen ae, ojo ditolak." (Rejeki tiap hari. Terima saja jangan ditolak)

Yuda menggaruk tengkuknya yang tak gatal. "Tapi nggak gini juga, Mak. Waleh aku suwe-suwe." (Bosan aku lama-lama)

"Yowes, Mak ae yang makan."

"Hem. Oh iyo, Mak, aku besok ke Surabaya. Ada acara, nginep juga. Mak nggak papa tak tinggal sendiri?"

"Nggak papa. Udah biasa. Hati-hati di sana. Nggak usah mikir Mak, di sini aman."

"Oke."

Yuda segera masuk rumah dan meletakkan tahu dari Sita ke lemari es. Dilihatnya lagi camilan dari Rekta saja masih ada sisa, ini malah ditambahi lagi.

Sebelum ke kamar mandi, Yuda duduk-duduk dulu di depan televisi sambil menyalakan kipaa angin. Dikeluarkan ponsel dan membuka aplikasi WA. Masih di ruang obrolan yang sama, Yuda mengetik salam tanpa balasan hampir sebulan ini.

Assalamualaikum, Mbak.

***

"Waalaikumsalam. Cari siapa?"

Nila yang baru mandi dan membuka pintu depan langsung mengernyit heran. Ada nenek-nenek dengan kebaya semi baju kurung, dipadu dengan rok bunga-bunga semata kaki dan kerudung tak sewarna. Mak Sari lebih mirip jemuran berjalan.

Nila berjalan mendekati gerbang. Melihat dari atas ke bawah wanita di hadapannya. Dilihatnya lagi tak ada buku atau proposal, kotak sumbangan atau tas. Biasanya orang minta-minta zaman sekarang banyak modusnya. Sok miskin, padahal uangnya bukan untuk bangun masjid atau panti.

"Maaf, Mbah. Ke rumah lain aja," tolak Nila yang bermaksud mengusir.

Mak Sari garuk-garuk kepala. Menurut tukang ojek, benar ini rumah Bu Tinah, alias ibu tirinya Jenar. Masa salah rumah? "Tapi, benar kan ini rumah Bu Tinah?"

Nila yang hendak balik badan langsung terhenti. "Iya. Kenapa, Mbah?"

"Berarti ini rumah Jenar. Nak Jenar ada, Nduk?"

Nila agak ragu. Ia biarkan Mak Sari di luar tanpa membukakan pintu, kemudian berlari masuk rumah. Bahkan perempuan yang bekerja di bank ternama dengan senyum dan kata-kata sopan tiap hari menyambut tamy itu tak peduli udara terik di pukul sebelas siang. Nila masuk. Diteriakinya Jenar yang masih mencuci piring sehabis kakak dan ibunya makan siang.

"Apa, Mbak?" jawab Jenar.

"Ada nenek tua di depan nyari kamu. Buruan sana, jangan kasih masuk. Bau." Nila mengapit hidungnya jijik lantas kembali menonton televisi. Hari Sabtu ia libur, tentu waktunya bersantai.

"Siapa sih?" Tinah yang baru selesai dari kamar mandi penasaran.

"Nenek-nenek nyari Jenar."

Tinah mengintip dari jendela rumah. Dilihatnya ada Mak Sari yang berdiri menempel di gerbang. Pakaiannya tampak lusuh. "Siapa dia?" tanyanya pada Jenar yang terlihat antusiaa ingin segera bertemu.

"Temen."

"Sama kayak kamu bentuknya." Cuitan Tinah tak Jenar tanggapi. Ia berlari membuka gerbang dan memeluk Mak Sari, mengajaknya masuk ke teras rumah.

"Mak naik apa ke sini? Kan tadi aku aja yang mampir, malah Mak yang ke sini."

Mak Sari senang melihat Jenar, tapi miris melihat pakaian Jenar yang tampak basah. Bahkan busa sabun masih ada yang menempel. Berbeda jauh dengan perempuan yang membukakam pintu tadi. "Pengen tahu rumah kamu, sekalian main. Habisnya Mak sendirian di rumah. Yuda ke Surabaya, nginep. Pastinya nggak pulang nemuin Mak."

Jenar mau bertanya ke mana menantunya, masa tidak tinggal menemani Mak Sari tapi takut tak sopan. Jadilah ia diam saja. Mungkin istri anaknya tinggal di rumah ibunya atau rumah sendiri, tapi anaknya rajin menemani Mak Sari di rumah agar tak sendirian. Seperti tetangga Jenar yang membagi hari tinggal di rumah ibunya dan rumah mertuanya.

"Mak mau minum apa? Es teh mau? Seger kalau siang gini. Tunggu ya, Mak."

Jenar segera masuk dan membuatkan minum. Tak lupa kacang atom dalam toples yang ia ambil dari kamarnya sendiri. Kalau ambil persediaan di kulkas, bisa-bisa ia diamuk masa.

"Ngapain kamu bawain minum, bukannya suruh cepet pulang?" Tinah menegur Jenar saat gadis itu berjalan di dekat ruang TV. Sebentar lagi mencapai pintu depan, tapi Jenar berhenti.

"Temenku, Buk. Jajan juga punyaku. Teh sama gula buat bikin segelas juga nggak bikin rugi. Daripada kuburan sempit karena kikir, mau?" Tinah mendengkus tapi langsung diam.

Jenar hendak melangkah lagi. "Aku mau nginep di rumah ini malam ini aja boleh?" izinnya.

Tinah mendelik. "Enak aja. Kalau mau nginep ke rumah temenmu itu, siapa yang nyuci baju, bikin sarapan, sama siapin baju senam kita besok pagi? Kamu lupa, besok kita ada senam sehat di GOR?"

Jenar mengangguk. "Oh. Ya udah, biar temenku yang nginep sini aja."

"Heh? Nggak boleh!"

"Oh, ok. Aku titip temenku di pak RT aja karena Bu Tinah enggan mengizinkan tamu menginap. Kayak apa ya ... ceramah Pak RT nanti pas tahu Bu Tinah ternyata jahat sama orang tua? Bu RT langsung gosip ke ibu-ibu arisan dong, kalau Bu Tinah nggak sudi nampung tamu anaknya. Ternyata ... Bu Tin-"

"Stop! Oke, kamu boleh nginep di rumahnya." Tinah geram, bungkam. Ia selalu kalah berdebat dengan Jenar. Gadis itu selalu tahu kelemahannya. Nama baik di mata ibu-ibu arisan.

Mak Sari yang mendengar suara Jenar terkikih menghampirinya, lekas mengusap air mata. Ia mendengar perdebatan Jenar dengan seseorang yang dipanggil Ibu. Mak Sari merasa kasihan.

"Ini Mak silakan diminum." Mak Sari berusaha tersenyum. "Aku ikut Mak ya nanti. Aku nginep nemenin Emak. Boleh?"

Mak Sari mengangguk. Senang, tapi juga tak tega. Demi dirinya, Jenar harus bertengkar.

___________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top