(1) General Manager
Yuda mengitari pekarangan rumahnya, mencari cangkul. Ia hendak membersihkan rerumputan liar di halaman rumah. Halaman yang ditumbuhi pohon jambu, mangga, jeruk pecel, dan aneka bunga dalam pot tampal asri. Ibunya memang senang menanam, dan ia yang merawat.
Selesai dengan tanaman, ia masuk dan membersihkan diri. Didapatinya sang emak yang tengah mengupas bawang. "Masak apa, Mak?"
"Kadal goreng."
Yuda bergerak cepat mencari di mana kadal yang hendak dimasak. Setidaknya ia ingin mengucapkan salam perpisahan pada hewan yang sering berlarian manja di pohon jambu halam rumah.
"Mana? Nggak ada kadal. Jagung aja." Mata Yuda berkeliling di sekitar cucian piring, kompor, tempat sampah, gentong beras, hingga bawang dalam genggaman Mak Sari.
"Tenan ye, tak belehne kadal. Awakmu kolu mangan?" (Beneran ya, aku sembelihkan kadal. Kamu doyan makan?)
"Wegah." (Nggam mau)
"Yowes. Pancen yo ra bakal masak kadal." (Ya sudah. Memang nggak bakal masak kadal)
"Woalah, Mak. Mesti jarak ae." (Woalah, Mak. Pasti deh, godain aja) Sariyem terbahak. Ia suka sekali menggoda anak yang sudah bertahun-tahun ia asuh. Meski bukan anak kandung, Sari sudah menganggap Kusumayuda lebih dari anak sendiri.
"Tak bantu, Mak. Sini, tak sisirkan jagunge."
Sariyem meletakkan bawang dan menyodorkan dua buah jagung yang akan Yuda sisir. Nantinya akan dijadikan bakwan jagung.
Keduanya asyik dengan bahan masakan di tangan. Sesekali Mak Sari akan bergerak ke sana ke mari bak pragawati manula dengan jarik lurik yang membelit tubuh kisutnya. Memotong, menumis bumbu, ambil air di cucian, buang sampah di kresek dekat pintu dapur, hingga mencari bumbu di deretan toples dekat meja makan.
Yuda selesai menyisir jagung, menguleknya sekaligus dengan bumbu, dan memberi sedikit tepung dan sebutir telur ayam. Bukan telur miliknya yang kembar. Bisa-bisa Mak Sariyem yang makan nanti jadi kejang-kejang.
Tumis tempe dan kacang sudah matang. Nasi pun mengepul erotis, tinggal Mak Saeiyem duduk istirahat sambil kipas-kipas undangan nikah sebulan lalu yang berserakan begitu saja di meja dapur. Ia tinggal melihat punggung Yuda yang menggoreng bakwan.
"Le," panggil Mak Sari. (Panggilan anak lelaki masyarakat Jawa)
"Hem, Mak. Kenapa? Udah lapar?"
Mak Sari menghentikan gerakan kipasnya. "Kapan mau cari jodoh? Umurmu sudah dua puluh tujuh. Keburu susah berdiri nanti onderdilmu."
Yuda menoleh. "Loh. Cowok itu makin tua makin bersantan, Mak. Wes, tenang aja. Nanti juga aku cari jodoh sendiri."
"Minta WANI band po piye, buat nyanyikan lagu cari jodoh buatmu?"
Yuda terkekeh. "Nggak usah, Mak. Tenang, nanti pasti ketemu. Gini-gini kalau di kantor, aku banyak penggemar."
"Di kantor, kamu emang punya jabatan. Baju wangi, rambut klimis, hape di tangan, mobil jadi kendaraan. Tapi kalau di rumah, kamu jadi anak Emak yang sukanya cabut rumput, ngepel teras, ngulek sambel korek."
Meniriskan bakwan yang baru ia angkat ke wadah piring beling, Yuda segera mematikan kompor. Ia bawa hasil masakannya untuk disatukan bersama teman-temannya di meja makan. Kemudian ia duduk di dekat Mak Sari. "Makanya, Mak doain. Semoga jodohku nanti mau nerima keadaan kita. Nggak lihat luar, tapi dalemnya juga. Itu yang susah, Mak. Makanya aku nggak nemu."
"Amin. Yowes, ayo makan."
Obrolan soal jodoh pun seketika terhenti. Sarapan Minggu pagi, seperti hari lainnya. Meski lebih siang karena keduanya membersihkan halaman, mencuci kendaraan dan masak bersama lebih dulu.
***
Menjadi General Manager di kantor pemasaran sebuah perumahaan daerah bukit wilayah Kediri, harusnya cukup untuk menopang hidup Yuda dan Mak Sari, seorang janda tak punya anak yang ditinggal suami sejak belasan tahun silam.
Memiliki Yuda adalah anugerah terindah. Anak lelaki yang tak mau banyak menuntut, mau bekerja keras, menghormati dan menyayanginya tanpa pamrih. Hingga kesuksesan Yuda menjadi kebahagiaan tak terperi. Sekarang, Mak Sari tak ingin apa-apa. Bahkan rumah tua peninggalan suami Mak Sari enggan direnovasi oleh Yuda. Jadilah rumah Mak Sari dipertahankan seperti semula. Bangunan lama dengan empat tiang pancang utama di mbale. Bagian rumah masih menggunakan ubin kusam warna aspal, sementara dapur berlantai tanah.
Yuda yang di kantor disejuki hawa AC, sofa empuk di ruangan, tak mengeluh sama sekali dengan rumah Mak Sari. Baginya, rumah Mak Sari adalah tempat ternyaman.
"Ini laporannya, Pak." Sita menyerahkan laporan penjualan bulanan pada Yuda. Memeriksa sejenak. Ia mengerut kening.
"Bulan ini lumayan ya. Tim marketing kerja keras banget ini kayaknya." Sita hanya mengulas senyum di balik bibir bergincu merahnya. Meski dalam hati ia kesal jijka mengingat cara apa yang digunakan timnya untuk menarik masa saat pameran di mall kapan hari, tapi demi kepuasan Yuda selaku GM saat berhadapan dengannya sungguh ia rela.
"Iya, Pak."
Selesai menandatangani, Yuda mengembalikan laporan pada Sita. "Kerja bagus. Kamu juga," puji Yuda tulus.
Bagai disengat Drakula, Sita ingin mati lemas saja. Ditambah acungan jempol dari Yuda dan seulas senyum berlesung pipit yang semakin membuat Sita kelojotan.
Begitu Sita keluar, ponsel Yuda berdering. Panggilan dengan nama 'Emak Sari Roti' segera ia angkat.
"Assala-"
"Le ... wedhuse ucul. Muleho dilut!" (Nak, kambingnya kabur. Pulanglah sebentar) Belum juga salamnya selesai, Mak Sari sudah teriak panik di seberang sana.
"Ucul neng ndi?" (Kabur ke mana?)
"Menek pager, trus mlayu." (Naik pagar lalu kabur)
Yuda segera memutus panggilan dan setengah berlari menuju parkiran. Mobilnya bergerak turun agar segera sampai di rumah.
"Dus ... wedhus. Kurang apa sih, aku padamu. Rumput tak carikan. Kasih sayang tak beri. Pelukan juga. Mandi bareng aku turuti." Yuda bermonolog sendiri di dalam mobil sembari menyetir dengan frustasi.
_____________
Yang mau pesan Bang, Halalin Aku Dong masih sisa dikit ya. Barang ready minggu depan. Semoga nggak molor.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top