Sendiri

"Maafkan aku."

Kirana merasa tak enak karena telah menampar Rasta meski pria itu menurutnya keterlaluan.

"Aku antar kamu pulang."

Rasta tak ingin memperpanjang masalah tadi. Jadi ia tak menanggapi ucapan Kirana.

"Apa yang terjadi?"

Cakra terlihat terengah-engah, sepertinya habis berlari.

"Apa?"

Pandangan mata Rasta berubah tajam ketika Cakra berada dihadapan mereka berdua.

"Aku mendengar, Angga ditangkap polisi."

"Ya."

Rasta bergeser ke arah Kirana. Wajahnya juga sudah sangat terlihat tak bersahabat.

Kirana bisa merasakan itu dan membuatnya kembali takut.

"Kenapa wajahmu pucat? Istrinya Angga?"

Cakra mengabaikan tatapan mematikan Rasta, ia justru mengamati perubahan wajah Kirana yang terlihat seperti ketakutan pada Rasta.

"Aku Cakra," ucap Cakra lagi sambil mengulurkan tangannya tapi Rasta segera berdiri di hadapan Kirana dan menyembunyikan di balik punggungnya.

"Ada apa denganmu?"

Cakra tersenyum tipis, seolah mengejek sikap posesif Rasta yang menurutnya aneh.

"Pergi!"

"Baiklah, baiklah."

Cakra kembali tersenyum dan kini semakin lebar lalu ia pergi tanpa banyak bicara lagi.

"Ayo aku antar pulang," ucap Rasta setelah Cakra pergi.

Rasta tak tahu, kenapa ia bisa bersikap posesif begitu padahal Kirana bukan siapa-siapanya dan mereka tidak memiliki kedekatan khusus apapun.

Kirana mengangguk dan mengikuti Rasta tapi langkahnya terhenti saat ada pesan masuk untuknya. Pesan dari nomor yang lagi-lagi tidak Kirana kenali.

Rasta yang menyadari Kirana tak mengikuti dirinya, ia berbalik untuk mengecek keadaan Kirana. Ia takut jika tiba-tiba Kirana pingsan lagi.

"Ada apa?"

Rasta mendapati wajah Kirana yang pucat seperti ketakutan, persis saat seperti melihatnya.

Kirana tak kunjung menjawab. Dia masih fokus melihat ke layar ponselnya membuat Rasta penasaran.

Tanpa aba-aba, Rasta merebut ponsel Kirana dan membaca isi pesannya.

"Kamu memiliki pria lain, selain Angga?"

Bukan tanpa alasan Rasta bertanya seperti itu. Ia pernah mendengar cerita Selly tentang pengakuan Angga dan kini ia mendapati sebuah nomor tanpa nama di ponsel Kirana dan mengirimkan pesan berisi tentang kerinduan pada wanita itu.

"Tidak. Aku tidak mengenalnya."

Rasta mengamati wajah cantik yang ada di hadapannya. Ia mencari-cari sebuah kebohongan dalam ucapan wanita itu namun ia tak dapat menemukannya.

"Aku takut," lirih Kirana.

Ketakutan Kirana dan rasa tak berdaya Kirana membuat sesuatu di hati Rasta tergelitik.

Rasta tak mau, peduli seperti biasanya namun sepertinya ia kini telah kalah atas pertahanan dirinya sendiri yang selama ini ia bangun dengan kokoh.

"Ayo pulang!"

Rasta kembali mengajak pulang Kirana dan berusaha mengenyahkan segala pikirannya tentang Kirana. Ia tak mau terjebak dalam situasi sulit yang mampu mematahkan hatinya.

"Ponselku."

Kirana meminta ponselnya kembali karena ia ingin menelpon suaminya terlebih dahulu.

Rasta memperhatikan ponsel yang berada di tangannya sejenak kemudian menyerahkannya kepada Kirana tapi ia berjanji pada dirinya sendiri, nanti ia akan membelikan ponsel baru untuknya dan memintanya untuk mengganti nomor ponselnya.

Namun tiba-tiba Rasta ingin menertawakan pemikirannya sendiri. Ia tak mengerti, untuk apa ia bertingkah sejauh itu pada wanita yang ia belum kenali sepenuhnya.

Harusnya ia kesal dengan wanita itu karena selalu menghantuinya siang dan malam.

Wanita yang buatnya dapat berpikir tentang sebuah arti masa depan yang faktanya tak ada masa depan diantara mereka karena status wanita itu telah menikah. Mengingat hal itu, hati Rasta rasanya seperti diremas-remas.

***
"Terima kasih sudah mengantarkan aku," ucap Kirana setelah mereka sampai di rumah.

"Angga sepertinya tidak akan pulang."

"Tadi aku meminta ponselku kembali karena ingin menelponnya tapi aku lebih baik menunggu dia saja yang menelpon karena___" Kirana tak mampu melanjutkan kalimatnya.

Sebenernya Kirana ingin mengatakan kasus yang menimpa suaminya begitu berat jika memang terbukti bersalah hingga kemungkinan untuk pulang sangat kecil dan itu artinya ia akan sendirian hingga jangka waktu yang belum ditentukan.

Kirana adalah korban seperti wanita itu dan ia sangat tahu betul bagaimana rasa sakitnya sehingga ia tak akan membela suaminya kali ini meskipun mungkin ia akan memohon ampunan untuk suaminya tapi ia tak akan pernah membenarkan perbuatannya.

"Apa tidak sebaiknya kamu tinggal bersama keluargamu sementara waktu?"

Perasaan Rasta tak enak, ia merasakan Kirana berada dalam bahaya jika sendirian.

"Aku tidak ingin membuat mereka sedih."

"Mereka lebih sedih jika terjadi sesuatu pada anggota keluarganya tapi mereka tidak tahu apapun dan tak bisa berbuat apapun."

"Terima kasih untuk perhatianmu. Aku pasti baik-baik saja."

Perhatian?

Rasta hampir-hampir tak sadar jika wanita itu tak mengingatkannya.

Kata-kata itu terdengar menggelikan bagi seorang Rasta karena selama ini ia tak pernah memberikan perhatian apalagi peduli kepada orang-orang di sekitarnya sejak kedua orangtuanya meninggal.

"Baiklah."

Rasta kembali membangun benteng pertahanannya dan mencoba mengabaikan Kirana.

"Terima kasih."

Rasta hanya mengangguk lalu pergi meski terasa berat kakinya untuk melangkah.

***
Kirana masuk ke rumah dengan perasaan hampa. Ia berjalan menuju sofa sambil mengamati betapa ia benar-benar merasa sendiri saat ini.

Kenangan manis berkelebat di otak Kirana. Janji-janji yang pernah Angga buat saat mereka belum menikah dulu, ikut hadir dalam benak Kirana.

Semuanya begitu terasa sangat manis dan menggoda hatinya untuk mengiyakan lamaran yang Angga tunjukkan padanya tanpa berpikir panjang.

Hari itu ... hari itu mereka berdua memang sangat bahagia hingga senyum tak henti-hentinya terbit dari bibir mereka berdua saat berada di hadapan penghulu mengucapkan janji suci sehidup semati.

Mereka terus tersenyum sambil melemparkan godaan satu sama lain dengan diselipkan kata-kata cinta sepanjang prosesi pernikahan itu.

Kirana juga mengingat betapa bahagianya wajah Angga ketika mendapat hadiah rumah sebagai kado pernikahan mereka.

Sepanjang perjalanan menuju rumah baru, Angga tak henti-hentinya bercerita tentang keinginannya.

Memiliki banyak anak untuk membuat suasana rumah hangat penuh tawa dan dia juga mengatakan ingin menua bersama di rumah ini.

Kenyataan tak sesuai dengan harapan. Saat awal cerita hendak dimulai, musibah datang menghampiri.

Impian indah, memiliki banyak anak supaya di penuhi kehangatan dan tawa lalu menua bersama. Semua itu tak pernah terjadi karena kini ia hanya sendiri berteman dengan sepi yang terus menghantuinya.

Kesepian itu kini bertambah semakin nyata karena saat ini Angga tak lagi ada di sisinya.

Dia telah berdusta dan menodai kesucian rumah tangga mereka dengan di sengaja.

***
Masih PO ya guys









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top