8. Come Back
Come Back. Even as a shadow, even as a Dream
–Euripides-
Senna meringis meremas perutnya yang terasa perih.
Setelah seminggu penuh makan teratur dengan menu-menu kesukaannya, kini organ dalamnya berontak karena kebiasaan tuannya berubah. Semenjak Rio pergi hampir satu minggu lalu, Senna kembali makan tidak teratur, bahkan lebih sering melewatkan makan malam atau cukup mengisi perut dengan makanan instan.
Seperti pagi ini. Hampir sepanjang mata kuliah fonetik, Senna tidak beranjak dari kursi. Rasa sakit di lambungnya akan menyerang kembali jika dia berdiri. Wajahnya pucat, keringat dingin mengucur di keningnya karena menahan sakit.
Senna terpaksa mengeluarkan isi perutnya. Asam lambungnya naik.
Bodoh, pikirnya. How reckless, Arseto senna, kutuknya pada diri sendiri. Setelah membiarkan perutnya kosong semalam, bukannya memudahkan kerja lambung dengan sarapan pagi, dia justru mengonsumsi kopi.
Begitu kelas pertama selesai, Senna mencari Andrea. Namun tidak bisa menemukannya. Sejak Rio memasak di rumah, Senna memang berhenti meminta tolong kepada asisten dosennya itu untuk memesankannya sesuatu dari kantin.
Andrea, kamu dimana? Senna mengirim SMS.
Andrea seperti biasa membalas lebih cepat dari dugaan Senna. Kantin, bapak butuh sesuatu?
Senna tidak membalas. Dia memutuskan meninggalkan ruang dosen untuk bergabung dengan Andrea di kantin. Masih ada satu jam sampai jam mengajar selanjutnya.
"It's not love! It's curiosity!"
Kalimat itu meluncur dari mulut Andrea tepat saat Senna meletakkan baki makanannya di meja. Dua mahasiswa yang tengah berbincang itu—Andrea dan Yusuf—melongo menemukan Senna berdiri di antara mereka.
"Kalian ngomongin aku, ya?" tuduh Senna. Tatapan matanya menajam di balik kacamata berbingkai hitam.
"Kenapa Bapak berpikir begitu?" Keduanya bertanya bersamaan, membuat Senna semakin curiga.
Dia ingin menginterogasi lebih lanjut, tapi perutnya perih. Tanpa meminta izin, Senna duduk di samping Andrea. Dengan tenang dia mulai mengaduk sup ayamnya.
"Bapak kok makan di kantin pagi-pagi?" tanya Andrea.
Senna tidak menanggapi. Sesuap nasi basah dan sepotong perkedel masuk ke dalam mulutnya. Dia mengunyah dengan seksama. Setelah makanan dalam mulutnya tidak mengganggu bicaranya, Senna menjawab. "Terpaksa. Aku kayaknya kena maag. Asam lambungku naik."
Wajah Andrea seketika itu juga panik, menyerocos menasehati, dan baru berhenti saat Senna meletakkan jari telunjuk ke arah asistennya tersebut.
"Sudah minum obat?" tanya gadis itu lebih tenang.
Senna menggeleng. "Ini tidak perlu obat. Aku cuma perlu isi perut."
"Lho, memangnya ke mana Rio? Wadaw!!!"
Yusuf menggagapi tulang keringnya di bawah meja. Matanya melotot kepada Andrea yang sudah lebih dulu mengalihkan wajahnya ke arah lain. Keributan itu nyaris membuat mangkuk sup Senna tumpah. "Kalian memang lagi ngomongin aku, kan?"
Yusuf memamerkan gigi-gigi putihnya, tidak peduli meski Andrea mengirim sinyal keberatan melalui lirikan tajam dan alisnya yang naik mengancam. Pemuda itu sudah terlalu penasaran dan tidak bisa menahan untuk menanyakannya sendiri pada Senna. "Memangnya Rio ke mana? Sudah beberapa hari ini Bapak kayaknya kurang ceria. Bapak juga kurusan!"
Senna meneliti dirinya sendiri, apa benar dia kurusan?
"Rio pulang," jawab Senna singkat. Dia kurang suka Yusuf menaruh perhatian berlebih pada Rio, entah karena Yusuf gay atau karena Senna enggan berbagi. Semua manusia juga begitu, bukan? Meski bukan cinta, manusia selalu ingin lebih istimewa dibanding orang lain. Senna pikir itu wajar dan ia tidak perlu khawatir. Dia ingin menjadi orang yang paling memperhatikan Rio.
Tapi mengapa hanya kepada Rio jika memang itu wajar?
Mengapa dia tidak peduli jika Andrea—misalnya—tidak menganggapnya lebih istimewa daripada Yusuf? Padahal, dia juga sangat menyukai gadis itu. Dia juga tidak masalah dengan siapa pun Ninet sekarang ini lebih akrab daripada dengannya. Kenapa dia pusing jika Yusuf memperhatikan Rio?
"Boleh saya minta nomer kontak Rio, Pak?" pinta Yusuf lebih berani.
"Tidak boleh!" sahut Senna mantap, membuat kedua mahasiswanya secara seragam mengernyitkan kening.
"Kenapa tidak boleh?" Andrea penasaran.
"Ya. Kenapa tidak boleh?" dukung Yusuf, baru kali ini mereka tampak kompak.
Senna memandang mereka berdua secara bergantian.
"Rio baru tujuh belas tahun lima bulan, dia masih di bawah umur. Do I answer your question? Besides, I don't have a plan to support his homosexuality." Senna berkelit.
Yusuf memutar sedotan dalam lemon tea-nya sambil menggerutu.
"Ah!" seru Yusuf, matanya berbinar seperti menemukan sebuah gagasan cemerlang. "Come to think of it, Pak Senna, itu menjawab kecurigaan saya kenapa bapak akhir-akhir ini tampak lesu dan kurang bersemangat, wajah bapak pucat, juga kenapa bapak pagi ini sarapan di kantin."
Senna mendengus, melanjutkan makan tanpa mendengar ocehan Yusuf. Apapun yang dikatakan atau ditanyakan Yusuf, diabakainnya.
"Sekarang aku boleh ganti bertanya?" tanya dosen muda itu sambil membetulkan letak kacamatanya. Dia sudah selesai menyantap makanannya.
Yusuf dan Andrea saling berpandangan.
"Apa yang kalian bicarakan tentangku?"
"Oh it's nothing important," sambar Andrea sebelum Yusuf mendahului.
"I don't ask about the importance. I still want to know what you guys were gossiping behind my back."
Yusuf berdeham. "Kami sedang mendiskusikan kemungkinan bapak, euh, menyukai Rio atau sebaliknya."
Kembali terjadi keributan di balik meja, tapi kali ini giliran Andrea yang meringis kesakitan. Tampaknya, kakinya yang dimaksudkan untuk menendang tulang kering Yusuf berhasil dihindari dan mengenai kaki kursi. Yusuf menjulurkan lidah ke arah mahasiswi itu.
"Andrea bilang, itu bukan cinta, itu cuma penasaran!" tambah Yusuf. "Kalau saya bilang, kebanyakan biseksual juga awalnya penasaran. Nggak sedikit yang tadinya hetero—ngaku-ngaku straight like an arrow—klepek-klepek sama gay kayak Rio. Rio kan imut, bikin hati kedut-kedut. Pak Senna gimana?"
"Apa kamu juga tadinya normal?" Senna mengalihkan pembicaraan dengan tenang seperti biasa, tidak ingin wibawanya jatuh di depan kedua anak ingusan yang mencoba menggodanya.
"Nggaklah kalo saya. Saya kan gay tulen! Saya udah naksir cowok sejak SMP, tapi karena takut, saya lupain. Tentu saja awalnya saya yakin itu kesalahan. Pikir saya, saya juga pasti lurus-lurus saja kayak yang lain.
"Saya nyoba naksir dan jalan sama cewek, karena saya cowok. Saya malah pernah jajal naksir Andrea, kami kan sudah temenan sejak SMA. Tapi ya nggak pernah berhasil. It didn't feel right, never filled up, never enough. Seperti sesuatu yang tidak benar-benar saya inginkan. Saya menjalani berbagai kisah asmara seperti itu sampai akhirnya saya lelah dan mulai menerima diri sendiri. Namanya juga menerima diri sendiri, the more painful, the more you want to know more. The more you want to know, the deeper you fall down."
"Nonsense," cibir Andrea.
"Andrea masih naksir sama saya sebelum ketemu Pak Senna, lho."
"Yusuf!" hardik Andrea marah, dilemparnya sebuah botol tusuk gigi yang kemudian berserakan di meja karena Yusuf berkelit.
"Bapak lihat, kan? Ini yang saya nggak suka sama perempuan. Mereka nggak bisa diajak bercanda. Wow!" Yusuf kembali menghindari lemparan sendok dari seberang.
Senna mengulas senyum geli.
"Mereka galak. Wadaow!!! Sakiiitttttt!" ringis Yusuf, mengelus lengannya yang terkena sabetan dompet Andrea. Gadis itu melangkah menjauh karena sudah kepalang dipermalukan oleh Yusuf, mendekat ke meja kasir.
"Bagaimana ayahmu bereaksi terhadapmu?" tanya Senna melanjutkan pembicaraan berdua dengan Yusuf.
"Saya nggak ngasih tahu, tentu saja," jawab Yusuf santai. "Ayah saya sudah pasti akan marah dan Ibu saya akan meratap sepanjang usianya. There are things better left unsaid and sometimes, they also prefer not knowing anything."
Senna memperhatikan sebaik mungkin apa yang didengarnya dari Yusuf. Jika benar segalanya berawal dari rasa penasaran, sebaiknya dia mulai memikirkan hal lain selain Rio. Mungkin hanya dia yang menganggap semua ini terlalu serius, mungkin Rio tidak. Sekali lagi, Senna meneliti ponselnya, pesan terakhir dari Rio adalah pesan mengenai sosis atau bakso untuk campuran rougut dalam risoles buatannya, itu sudah tujuh hari yang lalu.
Dia berniat membalas jika Rio mengawali, tapi sepertinya itu tidak pernah terjadi. Mungkin mereka memperlakukannya dengan baik, sehingga ia tidak perlu menghubunginya. Bukankah dia sendiri yang bilang supaya dihubungi jika sang ayah memperlakukannya dengan buruk?
Ternyata Andrea benar, maag yang sudah terlanjur kambuh tidak bisa disembuhkan hanya dengan mengisi perut. Asam lambungnya kembali naik di tengah mata kuliah vocabulary. Sesuatu seperti mengaduk-aduk isi perutnya yang kali ini penuh. Senna terpaksa menghentikan kelas untuk mengosongkan isi perut di toilet dosen.
Andrea datang ke kubikelnya beberapa menit kemudian membawakan bahan ajar yang dia tinggalkan begitu saja. Gadis itu panik menemukan Senna lemas di kursinya.
"Hssst!" desis Senna kencang. "Berisik. Aku sudah jauh lebih baik. Panggilin aja aku taksi, ya? Kalau udah, kamu parkirin mobilku dan titipin ke Ahmad. Nanti aja pas kamu pulang."
"Saya antar aja, gimana?"
"Jangan. Nanti kasian kamu pulangnya. Just get me a cab."
Andrea menurut dan menghilang dari pandangan Senna. Namun beberapa saat kemudian, gadis itu kembali lagi. "Ada yang nyari Bapak, jadi saya pending dulu taksinya. Namanya Arseto Kahfi kalau saya intip di buku tamu. Beliau nunggu di ruang terima tamu."
Mendadak, sakit di perut Senna benar-benar hilang. Bukan hilang karena senang kakak tertuanya berkunjung, tapi justru tertelan rasa gugup menerka-nerka apa maksud di balik kunjungan dadakan itu.
Sejenak berkelebat di kepalanya, apa Hanafi mengadu?
"Assalamualaikum warahmatullah, Mas," salam Senna. Dia mendekat dan menjabat tangan Kahfi. Di atas buku jarinya, Senna menyentuhkan kening.
Kahfi tersenyum bangga. Sesuai dengan namanya, wajahnya bercahaya. Dinamai Kahfi karena lahir pada hari Jumat, diambil dari salah satu Surah Makkiyah yang sunah dibaca setiap malam Jumat, siang hari Jumat atau waktu-waktu di antaranya. Keutamaannya adalah untuk memberikan cahaya dan pengampunan dosa sampai dengan Jumat selanjutnya. Dari sosok kakak tertuanya itu, Senna yakin setiap nama yang dipilihkan oleh orangtua adalah harapan bagi anak-anaknya.
"Wa alaikum salam warrahmatullah," jawab Kahfi senang. Dia baru merasakan ada yang salah dengan tubuh adiknya saat dingin menjalar dari jabat tangannya. "Senna, kamu sakit?"
"Cuma maag," jawab Senna seolah sakitnya tidak terlalu mengganggu. "Mas Kahfi mau minum? Ada perlu apa?"
"Puasa," jawab Kahfi sebagai pengganti tolakan kepada tawaran Senna.
Senna baru ingat kakak tertuanya sangat rajin berpuasa Daud, selang seling setiap hari sejak menikah dan punya anak dari istrinya. Mereka kemudian duduk ditengahi sebuah meja kayu berlapis kaca bening dan selembar taplak meja bersulam benang emas.
"Aku kesini karena terlalu jauh kalau harus ke rumahmu, aku juga tidak enak kalau menyuruhmu datang ke rumah. Takut mungkin kamu sedang sibuk," jelas Kahfi khas.
Senna mengangguk paham, masih menerka-nerka apa maksud dari kejutan ini. Memang, silaturahim tidak ditentukan siapa yang lebih berkewajiban mengunjungi siapa, namun dalam adat Jawa tidak demikian. Selama ini, Senna menuruti segala perintah kakaknya. Rasanya masih janggal menerima alasan tersebut dari Kahfi. Dia bisa saja meminta Senna datang sesibuk apa pun adiknya itu dan Senna tidak pernah membantah. Tidak salah lagi, alasan utamanya adalah karena Kahfi ingin berbincang empat mata dengannya.
Masalahnya, seserius apakah itu sampai Kahfi harus membicarakannya empat mata?
"Sebenarnya, Sarah dan Naqi yang mengirimku kemari." Ada nada berat saat Kahfi mengucapkannya, nada berat itu terdengar melegakan bagi Senna. Jika kedua kakak iparnya yang memohon supaya Kahfi menemuinya, pasti ada kaitannya dengan Ninet, tidak mungkin ini mengenai Rio. "Aku sebenarnya tidak enak kalau harus... kau tahu, mengutarakan maksud seperti ini di saat kemelut rumah tanggamu belum selesai."
Ah. Senna tersenyum. Kakak-kakak iparnya memang kelewat perhatian. Mereka berdua seperti menemukan mainan baru setelah Senna bercerai, mengingat tidak seorangpun pernah berhasil mengatur pertemuan antara kawan-kawan gadis mereka dengan Hanafi yang lajang. Kahfi kemudian menelusupkan tangan ke balik saku kemeja dan mengeluarkan selembar foto yang disodorkannya kepada Senna. Senna menerimanya.
Senna menimang foto seorang gadis ayu berkerudung hijau daun yang tengah tersenyum. Bibirnya merah alami seperti buah delima, pipinya merona seperti kelopak bunga mawar, matanya memancar sebening kristal, kelihatan baik-baik dan... sayangnya, membosankan.
Senna enggan menunjukkan ketidaktertarikan di depan kakaknya tercinta, dia tersenyum dan mempertanyakan siapa gadis yang disodorkan kepadanya itu.
"Namanya Fatima Yasinta, anak Ustaz Musafa kawan Ayah yang suka ngisi kuliah subuh di Masjid Kauman waktu kita remaja. Masih saudara jauh Sarah, pendidikannya bagus, usianya sudah matang, keluarganya cukup terpandang. Sarah menjamin kualitasnya. Saat ini mengajar di sekolah yang sama dengan Naqi." Kahfi menjelaskan.
Senna mengerucutkan bibir. "Apa abi-nya tidak akan masalah kalau anaknya diambil duda cerai beranak satu?"
"Ustaz Mustafa bilang, kalau dapat anak mendiang Ibrahim Jamal Arseto, duda cerai pun akan diserahkannya dengan senang hati." Kahfi tertawa. "Tapi kamu tidak harus buru-buru, Senna. Jadikan ini bahan pertimbanganmu. Secara pribadi, aku setuju. Althaf juga sama setujunya. Tinggal bagaimana kamu saja."
Tinggal bagaimana kamu saja berarti dia harus bersiap menghadapi beberapa pasang mata yang menatapnya putus asa jika dia menolak. Ini sungguh berat. Senna masih belum bisa memandang pernikahan hanya soal ibadah, dia membutuhkan reaksi kimia seperti saat menikahi Ninet, meski itu berarti dia tidak belajar dari pengalaman.
Melihat gurat keraguan di wajah Senna, sedikit banyak menimbulkan rasa sungkan Kahfi. Dia sudah mencoba membujuk istrinya supaya diperbolehkan menunda mengutarakan maksud baik ini sampai Senna agak lega, tapi mereka takut Senna sudah lebih dulu menemukan gadis lain. Demi menebus rasa bersalahnya, Kahfi mengalihkan pembicaraan.
"Bagaimana kelanjutan gugatan cerai Ninet? Apa kamu sudah menandatanganinya? Apakah dia menuntut sesuatu yang tidak masuk akal?"
"Sebaliknya, Ninet justru tidak menuntut apapun."
"Oh, itu tidak mengejutkan sama sekali. Ninet sangat mandiri sebagai wanita, minim pengetahuannya akan agama membuatnya berpikir hanya berdasarkan harga diri saja. Apa mereka akan memberimu hak atas pendidikan Selma?"
"Saya akan mendiskusikanya lagi dengan Ninet mengenai ini."
"Sebaiknya segera, Sen. Omong-omong, kamu masih ada pekerjaan?"
"Ya," bohong Senna. Dia sedang tidak ingin bersopan santun lebih lama dengan kakaknya karena perutnya kembali melilit. Yang dia inginkan saat ini hanya tidur dan semangkok bubur yang mengenyangkan.
"Lho, bapak nggak bareng pulangnya?" Andrea muncul setelah Kahfi pulang.
"Kamu sudah jadi panggil taksi?" tanya Senna sambil meringis. "Aku mau pulang sekarang."
"Ah ya, saya telpon sekarang juga."
"Ini. Telpon juga dokter Cakra, minta dia ke rumahku sore ini."
"Baik."
Begitu taksi yang mengantarkannya sampai di depan rumah, Senna memilih berbaring di kamar tamu sampai Dokter Cakra datang. Betapa merepotkannya tinggal sendirian, dia takut tidak bisa mendengar bunyi bel kalau tidur di lantai dua. Senna meraba keningnya untuk memperkirakan suhu tubuhnya sendiri. Tidak panas, justru dingin seperti balok es.
Senna menaikkan selimut sampai ke dagu, bergelung nyaman mencoba tidur. Sewaktu hidungnya menghirup sarung bantal, hatinya berdesir. Tempat tidur ini menyisakan aroma tubuh seseorang. Senna memeluk guling lain untuk memastikan, membenamkan wajah di sana, dan menemukan kembali aroma itu.
Aroma cologne pria remaja, bercampur dengan bau keringat samar-samar. Itu bau Rio, Senna tahu.
Itu aroma yang menguar dari tengkuk Rio sehabis mandi, baunya jika sedang tidak berkutat di dapur, atau di malam hari sebelum tidur. Rio. Senna menghidu lebih dalam lagi sebelum buru-buru memindah posisi tubuhnya menjadi telentang.
Apa yang sudah dilakukannya? Kenapa dia mengais-ngais aroma tubuh milik seorang pemuda? Apa dia sedang mendamba Rio kembali? Atau hanya merindukan rasanya bertemankan seseorang? Tapi kenapa Rio? Kenapa bukan Ninet? Atau wanita lain?
Senna membalik tubuhnya ke samping, meremas perut untuk menekan rasa sakit yang makin menjadi. Dia mencoba memejamkan mata, mengucap beberapa doa yang dipercaya berkhasiat menyembuhkan. Saat nyeri di lambungnya mereda, Senna perlahan lelap.
"Wahai Zat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas ketaatan kepada-Mu (HR. Muslim)." Bisiknya pada akhir doanya sebelum benar-benar tak sadarkan diri.
DING, DONG!
DINGGGGG, DONGG!
DDDIINGGGGG, DDDOOOOONGGGGG!!!
Senna tersentak dari tidur, duduk sekejap di pinggir ranjang untuk memijat pelipis. Bangun tidur karena terkejut membuat kepalanya berdenyut. Setelah dirasa cukup, dia mencoba berdiri, menggagapi apa saja untuk membantunya merayap sampai ke pintu depan.
"Mas Senna?"
***
Cerita ini pernah dipublikasikan di akun kincirmainan
repost untuk back up karena akan dihapus di first account.
Sudah dibukukan dan masih bisa Print on Demand sewaktu-waktu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top