7. Diambil Kembali
I am Much More Me when I am with You
–Unknown-
"Assalamualaikum, Pak Sen. Tadi ada tamu mencari Bapak, untung Ibu Ninet datang. Mereka nunggu di rumah."
Senna buru-buru merevisi kernyitan di dahi dengan seulas senyuman. "Wa alaikum salam, terima kasih Pak!"
Siapa yang mengunjunginya?
Senna tidak pernah membuat janji dengan siapa pun pada hari Minggu. Pastinya bukan mahasiswa atau salah satu saudara lelakinya. Mereka selalu membuat janji kalau mau datang, kecuali Hanafi. Namun penjaga pintu sudah mengenal Hanafi dengan baik, berarti bukan.
Saat mobil memasuki gang menuju rumah, raut wajah Rio berubah. Senna melihat kecemasan di wajah pemuda itu.
"Itu mobil kakakmu, ya?" tebak Senna.
"Saya nggak mau pulang," cicit Rio. "Saya takut. Saya belum ingin pulang."
Aku juga belum ingin kamu pergi, desah Senna dalam hati. Rio belum sepenuhnya mengubah suram dalam hidupnya. Diam-diam Senna berharap kepolosan Rio yang memberi warna di hari-harinya bisa tiggal lebih lama lagi.
Rio membuatnya selalu ingin cepat-cepat mengakhiri pekerjaan di kantor, perasaan dinantikan di rumah membuat hati Senna hangat seperti sup ayam buatannya, melihat senyum Rio merekah menyambutnya pulang membuat Senna bahagia. Dia masih ingin melihat itu.
Senna ingin memperpanjang waktunya bersama Rio.
"Mas? Itu Selma!" Rio menunjuk kea rah jendela.
Senna menurunkan kaca jendela dan matanya bertemu dengan dua bola mata bulat yang tengah membelalak bahagia saat menemukannya.
"Papaaaa!!!"
Senna menyambut seruan bahagia Selma, menarik tubuh mungil sang putri melewati jendela terbuka dari gendongan Tini, menciumi pipinya yang bulat. Selma menjerit-jerit minta ampun. Rambut di wajah Senna membuat Selma kegelian.
"Papa kangen banget deh sama Adek. Adek kangen nggak?"
"Aneeenn," jawab Selma polos.
"Emang adek tahu apa artinya kangen?" goda Senna.
Selma menggelembungkan pipinya.
Senna tertawa menanggapi kepolosan putrinya. "Ah. Selma salim dulu. Ini Kak Rio temen Papa."
Rio mengulurkan tangan untuk Selma sambil membuat senyuman lucu di bibirnya. Selma menatap Rio beberapa saat sebelum menyembunyikan wajahnya ke tengkuk sang ayah, menolak membalas uluran tangan Rio.
Senna mengerling kepada Rio untuk memohon maklum, tangannya membelai kepala Selma yang berkerudung hijau. "Maaf ya, Kak," katanya menggantikan Selma. "Kata Papa anak cewe nggak boleh gampang kenalan sama cowok."
Mata Selma yang bulat sempurna membeliak tidak memahami perkataan Ayahnya.
Ekspresi polos itu makin bikin Senna gemas. "Kak Rio ini temen Papa, temen Selma juga, ya?"
Selma mengangguk, entah mengerti entah hanya ikut-ikut Papanya.
"Sekarang salim dong," bujuk Senna lagi. Namun Selma tetap menolak.
Sementara itu masih di samping Senna, Rio menikmati pemandangan mesra ayah dan anak itu tanpa bisa menahan senyum. Dengan Selma di pangkuan, Senna menjalankan kembali mobilnya. Tangan kirinya sempat memberi usapan lembut di punggung tangan Rio, seakan menjanjikan keamanan bagi pemuda itu.
Ninet muncul di teras begitu mobil Senna melintasi pagar. Senna keluar lebih dulu dari mobil sebelum Rio. Selma yang berada di gendongan Senna diambil alih oleh Ninet, meski bocah itu masih tampak kangen ayahnya. "Assalamualaikum, " sapa Senna dingin.
"Alaikum salam. Ini Rio?" tebak Ninet.
Rio mengangguk seraya mengulurkan tangan. "Rio. Maaf sudah merepotkan beberapa hari ini, Bu."
"Oh... nggak apa-apa," ujar Ninet, kemudian melanjutkan kalimatnya dengan gaya formal. "Masuklah ke dalam, kakakmu menunggu. Mereka bilang mau mengajakmu pulang."
Rio masuk ke dalam rumah melalui pintu depan, meninggalkan Senna yang berniat menyusul namun dicegah oleh Ninet. "Kamu sudah tanda tangan di surat gugat ceraiku?"
Senna melirik Ninet sekilas sebelum melanjutkan langkahnya. "Udah. Mengejutkan sekali kamu nggak nuntut apa-apa," sindir Senna.
"Nuntut apaan memangnya? Rumah? Kan kamu lunasin pakai uang warisan," jawab Ninet enteng. "Aku nggak butuh! Buat Selma aja nanti. Kalau kamu punya anak lagi dari perempuan lain, kamu cari lagi. Yang ini buat Selma, ya?"
Senna tersenyum tanpa menjawab. Ninet mungkin brengsek, tapi tidak mata duitan. Sebaliknya, dia pribadi yang bebas, mungkin pernikahan tidak cocok buatnya.
Ninet mengikuti langkah Senna keluar dari garasi menuju pintu depan. Sebelum kaki mereka menginjak halaman teras, Senna berbalik karena sebuah pertanyaan terlintas di kepalanya. "Apa kamu bilang ke kakak Rio kita sudah bercerai?"
Ninet menaikkan bola mata dan mengerucutkan bibir. Begitu gayanya kalau sedang berpikir. Senna mencubit pipi Ninet gemas, wanita itu memekik pura-pura kesakitan. "Aku nggak bilang, mereka nggak tanya," ujarnya kemudian.
Bagus. Pikir Senna.
Begitu Senna melangkah masuk ke ruang tamu, Bayu dan Jarot berdiri dan mengajak jabat tangan. Mereka berdua tampak jauh lebih tampan dan rapi dibanding saat pertama kali mereka bertemu. Rio yang duduk di antara mereka ikut berdiri.
"Kami sangat berterimakasih kepada Pak Senna dan Ibu Ninet karena sudah merepotkan. Kami tidak tahu harus berterima kasih dengan cara apa." Bayu membuka salam pertemuannya.
"Sama sekali tidak merepotkan," ucap Senna tulus. Hampir saja dia kelepasan menyebutkan ketrampilan Rio memasak dan mengurusnya beberapa hari ini, sampai dia teringat bahwa kedua tamunya belum tahu tentang perceraiannya dengan Ninet.
"Kami bermaksud menjemput Rio." Bayu mengutarakan maksudnya tanpa basa-basi. "Ayah kami sedang sakit dan beliau sangat ingin berjumpa dengan si bungsu."
"Yah... kalau seperti itu, saya tidak bisa mencegah." Senna mengulum senyum. "Sebenarnya saya sangat senang Rio tinggal bersama kami."
Bayu dan Jarot tertawa kering, sementara Rio meninggalkan mereka untuk mengemasi barang. Saat dia menghilang dari ruang tamu, Bayu mulai menunjukkan ekspresi serius menghadapi Senna. "Sepertinya Anda mengurusnya dengan baik," katanya bernada terima kasih, merujuk kepada penampilan Rio.
"Apa dia menunjukkan keanehan-keanehan?" bisik Jarot bergantian.
"Keanehan?" ulang Senna, keningnya berkerut. "Keanehan semacam apa?"
"Saya sudah beritahu Bapak mengenai Rio. Tentang dia..., ehm, gay." Bayu menyerobot, mengingatkan Senna pada pesan terakhirnya sebelum menggiring Rio masuk ke dalam taksi. "Apa menurut Bapak dia bisa disembuhkan atau...."
"Tidak ada yang aneh pada Rio." Senna memotong kalimat Bayu. "Rio bercerita banyak mengenai itu, juga mengenai ayahnya yang keras. Tolong kalian berdua ingatkan beliau baik-baik, jika keterlaluan, tindakannya bisa masuk dalam perkara kriminal."
Jarot menelan ludah, dia tidak mengharapkan Senna akan menohok tepat ke inti permasalahan pada pembicaraan yang seharusnya ringan dan penuh basa-basi itu.
"Saya senang jika Rio tidak merepotkan atau bersikap yang aneh-aneh. Kami masih meragukan kabar berita itu, kami hanya mendengarnya dari pihak sekolah tanpa sempat meminta klarifikasi dari Rio," urai Bayu. "Jika pun itu benar, kami akan melakukan segala cara untuk membantunya."
"Kalaupun itu benar, yang saya khawatirkan justru reaksi kalian menghadapinya," tukas Senna, dari awal mula dia sudah menganggap perkara ini serius dan dia tidak ingin berpura-pura bahwa masalah ini adalah masalah biasa. "Tidak ada yang benar dari menghadapi apapun dengan kekerasan. Saya bisa mengerti perasaan seorang ayah yang kecewa, segala beban dan perasaan bersalah itu pasti membebani hidupnya. Saya sangat berharap kalian bertiga bisa menjadi penengah yang baik."
"Mungkin tinggal kami berdua saja," kilah Jarot ragu.
"Apa Dimas belum kembali?"
Secara serempak, kedua pemuda itu menggeleng.
"Rio sangat dekat dengan Dimas." Senna diam sebentar. "Jika terjadi apa-apa, saya bersedia membantu, tapi saya juga tidak akan tinggal diam kalau Rio terluka."
Kedua pemuda di hadapannya itu saling berpandangan. Bayu kemudian berganti diam, seperti memilih-milih kata-kata yang tepat. "Percayalah. Itu adalah hal terakhir yang ingin kami lakukan, kami menyayanginya."
Kalimat Bayu membuat Senna lega. Keberatannya melepaskan Rio berkurang, tapi kemudian dalam kepalanya muncul kekhawatiran baru. "Apa dia akan kembali ke sekolah?"
Bayu menjawab cepat. "Nanti kalau Ayah sudah sembuh, kami akan bicara dengan beliau."
"Saya bisa membantu kalau soal sekolah baru. Ada beberapa kenalan yang bisa memasukkannya tanpa biaya berlebihan, jika kalian setuju. Bukan sekolah utama tentunya, tapi cukup agar dia memperoleh ijazah SMA-nya."
"Terimakasih!" ucap Bayu dan Jarot nyaris bebarengan.
Setelah itu, Tini muncul membawa sebaki minuman. Senna menggunakan kesempatan itu untuk menjemput Rio dari kamar, usai mempersilakan tamunya minum.
Tanpa mengetuk, Senna membuka pintu dan masuk. Alangkah kaget Senna melihat Rio berlinang air mata sambil mengemasi pakaiannya.
"Hei. Kok nangis?" tanyanya lembut sambil mendekat.
Pemuda itu segera mengeringkan wajah dengan punggung tangan, meski tidak terlalu banyak yang bisa dia lakukan. "Saya taruh baju-baju ini di mana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Kamu boleh bawa semuanya pulang." Senna duduk di tempat tidur, di samping Rio melipat baju-bajunya.
"Saya nggak boleh tinggalin sebagian di sini?" Rio bertanya, bibirnya masih bergetar menahan tangis. "Apa saya nggak boleh mampir lagi?"
Senna tersenyum. "Tentu saja boleh, kamu boleh main ke sini kapanpun kamu mau. Nanti kita nonton lagi, tapi nggak sama Yusuf."
Dari sela isak tangisnya, pemuda itu tertawa kecil. Ingus dan air matanya memercik di atas baju-baju yang tengah dia lipat. Senna tertawa melihat insiden itu, membuat wajah Rio makin merah, bukan hanya karena tangis, tapi juga malu.
"Jangan khawatir," bisik Senna, diusapnya lengan Rio. "Kakak-kakakmu sangat mencintaimu, mereka berjanji akan menjagamu. Kamu nggak usah khawatir lagi. Kalau kamu dipukul yang sekiranya berlebihan, telpon aku!"
Tangis Rio meledak mendengar penjelasan Senna yang lembut, pun penuh kasih sayang. Dia belum pernah diperlakukan sebaik itu. Bocah itu seperti susunan batu yang runtuh karena hantaman martil, tidak mampu lagi menyembunyikan kelemahannya.
Senna menggeser duduk ke hadapan Rio. Kedua tangannya merengkuh pinggang pemuda itu, matanya menatap mata Rio.
"Aku sangat ingin menyimpanmu di sini," kata Senna sambil mengelus dadanya sendiri. "Kamu sudah banyak bantu aku menghapus luka yang setengah mati sakitnya. Kalau kamu pikir hanya aku yang menolongmu, kamu salah, Rio. Seminggu ini kita sudah saling menjilat luka masing-masing. Aku membantumu dan kamu menyembuhkan lukaku."
Rio membalas menatap Senna.
Sebelumnya, dia selalu menghindari bertatapan langsung dengan Senna, tapi hari ini dia memberanikan diri. Pertama kali disadarinya, mata Senna begitu indah dan jernih. Bola mata hitam itu menjawab tulus tatapannya. Rio seakan berkaca dalam bola mata jernih itu. Di dalam sana dia menemukan dirinya sendiri, tengah menatap dengan tatapan cinta yang tidak berani berharap apa-apa.
"Boleh saya pegang kepala Mas Senna?" lirihnya meminta izin.
Senna mengembangkan senyuman yang tampak puluhan kali lebih tampan lagi di mata Rio. Tanpa menjawab, disentuhnya jemari Rio dan diletakkannya kedua tangan mungil itu di pipinya. Ketika kedua tangan Rio bertemu di bawah hidungnya, Senna menggerakkan kedua belah bibirnya untuk memberi telapak tangan itu sebuah kecupan lembut. Rio merasa lututnya lemas, tetapi sebelum tubuhnya jatuh ke tanah, Senna menangkap pinggangnya dan menenggelamkan kepalanya dalam dekapan Rio.
Senna membiarkan rambutnya diselusuri jemari Rio, sementara hidungnya menyesap aroma tubuh pemuda itu. Dia ingin menghafalkannya, tidak ingin melupakannya begitu saja. Tubuh kurus ini telah menyelamatkannya dari keterpurukan, segala yang dilakukan Rio membuat hari-harinya lebih baik. Senna merasa demikian berarti di samping tubuh ini, merasa dibutuhkan seperti seorang ayah, merasa melindungi seperti seorang kakak.
Selebihnya, Senna tidak mengerti mengapa dia begitu bahagia berada di samping Rio. Apa yang membuatnya begitu enggan melepaskan tubuh ini? Ini tidak mungkin cinta, dia masih sadar benar akan dirinya.
"Aku akan melindungimu, Rio. Kamu yakin kamu akan baik-baik saja?"
Rio tidak pernah seyakin itu terhadap siapapun sebelumnya. Wajahnya sudah jauh lebih ceria saat meninggalkan rumah Senna.
"What is that inside the room?" Ninet menyambut di ruang tamu, begitu Senna kembali dari mengantar tamunya ke luar.
"Apa memangnya?" tanya Senna ling-lung.
"I saw it, Senna!" kata Ninet tertahan, tidak mau Tini atau Selma mendengar. "Apa anak itu gay?"
Senna terkejut, tapi buru-buru menguasai diri. "Ngomong apa sih kamu?"
Ninet menahan langkah Senna yang berniat melewatinya. "Sudahlah nggak usah pura-pura. Aku denger kok kamu ngomong apa bisik-bisik sama tamu tadi. Lagi pula, aku lihat kalian peluk-pelukan di dalam. Kamu ngapain aja sama dia?"
"Ngapain aja? Maksudmu?" geram Senna. Jengkel.
"Nggak usah pura-pura nggak tahu!" hardik Ninet sama jengkelnya.
"Jangan keterlaluan kamu, Net! Dia cuma pemuda yang kutolong karena belas kasihan, nggak kurang, nggak lebih. Kalau aku ngasih perhatian, itu karena dia masih anak-anak!"
"Selalu aja deh kamu itu, Sen. Sibuk bantu orang lain ke sana kemari. Sibuk ini, sibuk itu yang aku nggak ngerti. Akibatnya rumah tangga kita...."
"Omong kosong!" potong Senna. "Jangan cari-cari alasan untuk membenarkan perbuatanmu, Net! Aku sudah berdamai dengan perasaan marahku kepadamu. Jangan mulai lagi."
"Kamu yang sebaiknya jaga diri! Kamu punya Selma, kalau saja kamu lupa."
"Apa maksudmu?"
"Aku tahu kamu banget, Sen! Kamu itu pemuja anti kemapanan. Kamu tetap tidak melakukan apapun yang menyimpang dari hidupmu selama ini kan karena kamu punya keluargamu yang maha hebat itu. Kalau enggak, ngapain kamu jadi dosen sastra kalau kamu bisa saja balik kerja ke perusahaan lamamu sebelum kamu dapat beasiswa itu? Di sana kamu dapat gaji berkali-kali lipat! Buat apa kamu menikahiku, kalau kamu bisa milih gadis solehah manapun yang kamu mau?"
Senna memandang nanap kepada Ninet yang berapi-api. Emosinya yang semula hampir tersulut, justru beralih menjadi gelak tawa karena ulasan Ninet mengenai kepribadiannya. "Aku benar-benar merasa tersanjung, Net, sungguh. Aku nggak pernah tahu aku punya julukan seperti itu di kepalamu: Pemuja anti kemapanan yang tidak pernah tidak mapan, apa kamu sedang mencoba mengataiku hipokrit?"
"Apa aku harus mengatakan semua hal dengan terus terang supaya kamu paham?"
Senna baru akan menyahut lagi saat mereka mendengar suara salam di pintu.
"Assalamualaikum." Hanafi muncul di sana, senyuman lebar menghiasi wajahnya. "Eh, ada Mbak Ninet."
"Wa alaikum salam," jawab Senna. "Masuk, Han!"
Belum lagi Hanafi melangkah masuk, seorang berbadan tegap lebih dulu menerobos. Pria itu membawa beberapa buah kanvas berukuran besar. "Taroh mana nih Bos?"
Hanafi nyengir. "Lurus terus, lalu ke kiri. Ke gudang."
Senna menarik napas dalam-dalam, mau tidak mau bola matanya melirik kepada Ninet. Wanita itu paling sebal kalau Hanafi mulai menitipkan piranti melukisnya di rumah mereka. Dia sudah pernah menyatakan keberatan itu sekali di arisan keluarga dan Hanafi setuju untuk tidak melakukannya lagi.
Tampaknya, mantan adik iparnya itu tidak buang-buang waktu sejak dia tidak lagi tinggal serumah dengan Senna.
"Aku nggak tahu Mbak Ninet disini. Hehe, boleh nggak Mas Sen?"
Senna mengangguk samar. "Tapi jangan melukis di sini!" tambahnya untuk menjaga perasaan Ninet.
"Beres, Bos!" ujar Hanafi santai. "Masukin sisanya, Bro. Jangan lupa lepas sandal kalo masuk!"
"Mau pameran?" tanya Senna, tanpa bermaksud mengacuhkan Ninet.
"Nggak sih, habis dapet duit aja. Jadi buat persediaan," jawab Hanafi enteng. "Selma dimana Mas?"
"Di dalam."
Hanafi permisi masuk. Hanya beberapa detik setelah si bungsu menghilang, Selma terdengar tertawa riang gembira bertemu dengan paman favoritnya.
"Hanafi gimana sih. Udah tau Selma susah tidur siang," gerutu Ninet sambil mengikuti Senna menyusul Hanafi.
Senna tidak menanggapi gerutuan Ninet dan justru bergabung bersama Hanafi dan putrinya di ruang tengah. Selma memang susah tidur siang. Kalau bukan di atas matras di ruang tengah dengan sebotol susu dan siaran Cartoon Network, bocah itu tidak akan mau istirahat.
"Aku pulang dulu, ya." Ninet bergerak, mencoba menyudahi kesenangan yang membuatnya terganggu. "Tin, kemasi barang-barang Selma."
"Yaaah, Mbak," keluh Hanafi. "Masih kangen nih sama Selma. Selma juga masih kangen kan sama Om?" katanya sambil mempererat pelukanya ke tubuh Selma terkekeh ceria.
"Pulang duluan aja," kata Senna. "Nanti aku antar pulang bareng Hanafi."
Ninet mendecap malas. "Jam berapa?"
"Jam berapa aja emangnya kenapa?" balas Senna kesal. "Ini kan hari Minggu. Lagian kamu lagi banyak tamu di rumah, ribet kan kalo bawa-bawa Selma?"
Akhirnya, Ninet meninggalkan rumah Senna bersama Tini, membiarkan Selma melambai-lambai tanpa beban kepadanya karena saat ini ada dua orang pria yang jauh lebih menyenangkan daripada mamanya yang penggerutu. Nanti kalau sudah mulai rewel karena ngantuk dan pengen nyusu, barulah dia mencari Ninet.
"Mas kok bisa kenal Jarot?" tanya Hanafi sambil melemparkan bola ke arah Selma begitu Ninet pulang.
Senna baru saja ingat kalau selain Bayu, nama kakak lelaki Rio adalah Jarot. "Kok kamu bisa kenal Jarot?"
"Jarot itu pematung. Dia temenku kuliah dulu. Mas ada urusan apa sama dia?"
Senna kemudian menjelaskan dengan singkat dan jelas mengenai pertemuannya dengan Rio, tentu tanpa mengikutsertakan embel-embel bahwa Rio gay, atau detail-detail yang tidak perlu. Hanafi tampaknya maklum mendengar kisah yang meluncur sederhana dari mulut kakaknya.
"Jarot dari dulu tukang ribut tuh, nggak heran kalo keluarganya semrawut. Memangnya kenapa adiknya ampe dipukulin gitu, Mas?"
DEG.
Senna sempat berpikir dia tidak bisa berdalih kali ini. Untungnya, dia terselamatkan dengan jeritan Selma. Kepala gadis itu terkena lemparan bola plastik Hanafi. Hanafi menghambur ke arah Selma. Untuk sesaat, hal itu menunda rasa penasarannya. Setelah gelak tawa dan canda Selma reda, Hanafi kembali mendekati Senna.
"Aku denger kok omongan Mbak Ninet. Aku udah berdiri agak lama di luar tadi, sejak Mas ngantar Jarot keluar," bisik Hanafi nyantai. "Beneran anak itu gay?"
Senna menoleh, kemudian mengangguk semu.
"Dia dipukulin karena gay?"
"Karena macem-macem sebenarnya," kelit Senna. "Tapi ya karena itu juga."
"Pantes...."
"Kok pantes?"
"Mas Senna ini sebenernya tahu nggak sih gay itu apa?"
Senna melirik Hanafi yang terkesan meremehkannya, tanpa menjawab.
"Lho aku serius, sebab Mas Senna kayaknya lempeng aja. Orangtua mana yang nggak marah kalo anaknya gay. Di Indonesia lho ini. Jadi gay itu udah kayak sampah masyarakat aja gitu. Padahal, siapa juga yang minta jadi gay. Ya, nggak? Gay itu kan orientasi seks. Kayak orang hetero aja, tau-tau tertariknya sama perempuan, kalo ini ke sesama jenis."
Senna tahu itu. Karena dia ingin mendengar lebih banyak, tidak diselanya kalimat Hanafi.
"Buat aku sih, yang berhak kecewa ya memang orangtua. Jadi, aku nggak nyalahin kalau orangtua anak itu marah...."
"Tapi masa sampe nyiksa?"
"Yah reaksi marah orang kan beda-beda. Ada yang meledak, ada yang enggak.
"Kalau aku sebagai orang luar sih, aku nggak masalah sama gay. Aku kenal beberapa gay dan mereka bersikap biasa aja. Tapi kalau anakku yang gay... aku nggak tahu juga bagaimana reaksiku nanti. Cuma ya, gimana, ya? Kalau dia memang lahir udah gitu, masa mau aku sia-siain? Jahat dong aku nanti." Hanafi mengakhiri ucapannya dengan tawa.
Senna sama sekali tidak menganggap itu lucu, membikin Hanafi mengerutkan kening.
"Mas pasti jadi sentimentil, deh. Hati-hati lho, Mas. Mereka sama aja kayak kita. Kalau dapat perhatian lebih, ya bisa jatuh cinta. Nggak harus sama sesama gay, namanya juga perasaan."
"Hati-hati gimana maksud kamu?"
"Yah..., siapa tau anak itu suka sama Mas Senna."
"Ngawur!" bentak Senna.
Hanafi belum puas menggodanya. "Mas Senna juga bisa aja jatuh cinta sama mereka, lho."
"Taik!" maki Senna makin kesal, Hanafi tertawa terbahak-bahak.
"Aku nggak mengada-ada, Mas Sen. Banyak temenku yang lalu jadi biseksual karena nggak tahan godaan sesama jenis. Mereka nggak kalah memesonanya kalau dibanding perempuan, justru untuk beberapa kasus, mereka menjawab lebih banyak keresahan pria-pria straight—terutama yang suka senang-senang—yang tidak mereka dapat jika berhubungan dengan lawan jenis."
Senna merenungi kata-kata Hanafi, mengingat perasaan hangatnya jika bersama Rio. Usai cukup dia diam, dia bertanya lagi. "Contohnya?"
"They don't urge for commitment, Mas. Itu salah satunya. Banyak gay sendiri yang ngerasa bahwa itu adalah satu fase hidup, yang suatu saat akan mereka lewati. Suatu saat akan mereka akhiri, jadi mereka menganggap itu hubungan main-main. Mereka menawarkan hubungan yang mudah, ringan, no strings attached. Makanya banyak orang nganggep 'jadi' gay itu dorongan napsu saja, padahal hakikatnya nggak. Kalo orientasinya suka sama sesama jenis, ya sampe mati bakalan kayak gitu."
Mereka mudah, mereka ringan, mereka tidak membebani, karena itu mereka mungkin membahayakan bagi kondisi Mas Senna saat ini.
Kalimat itu terngiang di kepala Senna, merenggut hampir separuh kesadarannya. Tapi mengapa ia tidak menepis kenyataan itu? Di kepalanya justru berkelebat wajah Rio. Mengkhawatirkan bagaimana makhluk mungil itu akan menghadapi dunia yang kejam sendirian. Tanpanya.
Dan ia merasakan rindu yang perlahan menyapa relung hatinya.
***
Cerita ini pernah dipublikasikan di akun kincirmainan
repost untuk back up karena akan dihapus di first account.
Sudah dibukukan dan masih bisa Print on Demand sewaktu-waktu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top