5. Cinta

I Fell in Love with You because You Love Me when I couldn't Love Myself _tmblr-

Senna membunyikan klakson dua kali.

Rio yang sore itu mengenakan celana pendek selutut dan kaos biru polos menyambut. Senna tersenyum lega melihat bocah itu. Sepertinya tamu kecilnya sudah berhasil membiasakan diri.

"Bukain pintu garasi, ya?" pinta Senna ramah. "Ada tombol di bawah saklar lampu di garasi."

Rio menghilang ke dalam rumah untuk melaksanakan perintah Senna. Tiga menit kemudian, pintu garasi terbuka. Pemuda itu menepi agar Senna bisa memarkir city car-nya dengan mulus.

Begitu mesin mobil dimatikan, Rio bergegas menutup pintu dan menyapa Senna.

"Kamu harus ngasih aku nomor ponselmu," kata Senna sembari menyerahkan bungkusan makanan. "Siapa tahu aku butuh nanya kamu lebih suka kue bandung nutela atau isi kacang biasa."

Rio berseru riang menerima bungkusan kue bandung dari tangan Senna. "Saya suka apa saja," serunya sambil bersiap masuk tanpa memedulikan Senna yang masih harus mengangkut bahan-bahan ajarnya dari dalam mobil.

"Hei, Rio!" panggil Senna sebelum Rio pergi.

Bibir Rio menerbitkan senyum malu-malu—memperlihatkan lesung pipi—saat Senna mengangsurkan tas kerjanya.

Di dapur yang sudah bersih, Rio menata kue di dua piring saji. Senna menggulung kemeja dan mencuci tangan di wastafel sebelum bergabung dengan Rio di meja makan.

"Sudah makan siang?" tanya Senna perhatian.

Rio mengangguk. "Saya menanak nasi dan bikin setup daging," kata Rio riang. "Bibi yang bersih-bersih di sini tadi membantu saya menunjukkan semua tempat penyimpanan alat dapur dan membantu memanggil tukang sayur. Mas Senna suka setup daging?"

Senna mengedikkan bahu. Dia bahkan tidak tahu seperti apa setup daging itu.

Rio menjelaskan bagaimana memasak setup daging dan menunjukkan sepanci kecil masakan daging berkuah kecoklatan. Aromanya yang lezat membuat Senna memutuskan makan malam di rumah.

"Saya belajar masak di asrama. Siswa tahun pertama mendapat giliran masak tiap Sabtu. Biasanya, para senior yang membuat list menu. Kalau tidak enak, mereka akan mengotori meja dengan sisa makanan. Jadi kami berusaha keras." Rio tertawa sambil menutup panci di atas kompor, menanggapi pujian Senna atas masakannya.

"Mas Senna mau makan sekarang?" tanya Rio lagi.

"Nggak," jawab Senna singkat.

"Kalau gitu saya nggak jadi panasin setupnya, nanti saja kalau Mas mau makan."

"Kamu juga nanti yang panasin? Aku juga nggak apa-apa kok, kalo cuma manasin sih aku bisa."

"Jangan. Nanti malah gosong," canda Rio sambil melangkah ke meja makan. Sambil duduk, dia menunjuk kue di meja. "Ini boleh dimakan?"

Senna mempersilakan. Namun ketika Rio mengulurkan tangan untuk mengambil sepotong kue, Senna memukulnya. "Cuci tangan dulu!" perintah pria itu.

Rio meringis seraya mengelus punggung tangannya yang kena pukulan, buru-buru dia mencuci tangan sesuai perintah.

"Bikinin juga kopi, ya?" tambah Senna sebelum Rio kembali ke meja.

"Teh saja," tawar Rio. "Nggak enak kue bandung pake kopi."

Senna sempat terkesiap karena Rio mengoreksi permintaannya. Namun kemudian dia setuju saja. Ada perasaan lega karena Rio tidak lagi terlihat canggung beraktivitas di rumahnya.

Sambil menunggu Rio menyiapkan teh, Senna mengeluarkan ponsel seraya memulai obrolan. "Kamu berapa bersaudara?

"Empat. Saya bungsu. Kalau Mas Senna?"

"Sama, empat. Aku nomor tiga."

"Mas Senna berapa usianya?"

"Menurut kamu berapa?"

"40?"

"Ngarang!"

Rio tertawa sambil meletakkan dua cangkir teh di depan tempat duduk masing-masing. "Saya bercanda."

"Hayo berapa? Jawab yang serius," tuntut Senna.

"Tiga puluhan?" tebak Rio.

"Tiga-tiga."

Tiga puluh tiga tahun dan sangat tampan, puji Rio dalam hati. Diam-diam matanya memindai sosok di depannya, memperhatikan pergelangan tangan yang ditumbuhi rambut, merekam gerak-gerik Senna yang bertopang dagu sembari meneliti ponsel. Rio semakin asyik memperhatikan bahasa tubuh itu. Apa dia selalu begitu kalau sedang meneliti ponselnya?

Tanpa disadarinya, Rio sudah tenggelam dalam lautan tanda tanya mengenai kehidupan Senna.

Selama ditinggal di rumah, dia menemukan berbagai macam benda yang membuatnya lebih mengenal Senna. Fotonya bersama anak dan istri di dinding tampak bahagia, membuat Rio bertanya-tanya kenapa mereka berpisah. Macam-macam jenis sepatu di rak membuat Rio tahu bahwa selain bekerja di kantor, Senna senang bermain futsal.

Rio juga menemukan sebuah ruang serba guna. Ruangan yang di dalamnya terdapar sebuah layar LCD besar, lengkap dengan piranti sound system memadai, sebuah sofa besar nan nyaman, dan lemari penuh buku. Novel, ensiklopedia, buku agama, serta koleksi DVD dan CD semua terdapat di sana. Koleksi yang membuat Rio takjub saking banyaknya.

Senna melambaikan tangan di depan wajah Rio yang melamun. "Kok ngelamun? Nggak jadi makan kue?"

"Eh. Ehm. Boleh dimakan sekarang?" Rio gelagapan ketahuan melamun

Senna menautkan alis, meski merasa aneh melihat Rio gugup, dia tetap mengangguk. "Boleh. Habisin aja."

Sewaktu Rio melahap beberapa potong kue dengan buru-buru dan meninggalkan noda coklat di sekitar mulutnya seperti anak-anak, Senna merasa iba. Pria itu menopang dagu, memperhatikan Rio. Memang belum banyak yang dia dengar mengenai kehidupan Rio, tapi melihat pemuda sepolos itu harus menghadapi kerasnya perlakuan keluarga karena terlahir sebagai gay, membuatnya sedih.

"Mas kok nggak makan?" tanya Rio, mengejutkan Senna.

"Aku nggak suka yang manis-manis." Senna mengirup tehnya. Dahinya mengernyit peka terhadap air teh yang ternyata pahit. "Nggak suka pahit juga sih!"

"Maaf!" seru Rio mendengar seloroh Senna. "Saya pikir Mas makan kue. Saya sengaja kasih gulanya sedikit supaya tidak ampang. Biar saya tambahkan gula!"

Senna tidak sempat mencegah Rio merebut cangkir teh dari tangannya. Karena Rio kurang hati-hati, cangkir yang direbut tadi justru meleset. Air teh yang masih panas menjilat kulit Rio, membuatnya memekik kaget. Senna mendorong mundur kursinya, menghindari percikan air panas.

"Siram air supaya tidak terbakar," ujar Senna panik. Ditariknya tangan Rio ke wastafel dan diarahkannya kucuran air dari keran ke luka bakar di tangan Rio.

Rio mendesah lega. Rasa sakit di tangannya seketika reda begitu tersiram air.

"Mendingan nggak?"

Kisikan lembut suara Senna di telinga Rio membuat pemuda itu terhenyak. Karena sejak kecelakaan terjadi perhatiannya terpusat hanya pada perih di tangannya, Rio tidak sadar bahwa tangan Senna memegang erat pergelangannya. Kedua sisi tubuhnya berada dalam dekapan lengan Senna. Wajah Rio merona. Mendadak punggungnya yang menempel di dada Senna terasa hangat, pun pergelangan tangannya yang ada dalam genggaman Senna.

Rio mengirup sisa wangi musk bercampur keringat maskulin yang menguar dari tubuh Senna, menyerang indera penciumannya. Perasaan tidak menentu membuat jantungnya berdegup kencang, seluruh tubuhnya lemas.

"Masih panas?" bisik Senna lagi.

Rio menggeleng berkali-kali, mencoba melepaskan kedua tangannya dari belaian jemari Senna.

Senna mematikan keran air, lantas memeriksa tangan Rio dengan teliti. Warna merahnya memang sudah berkurang. Rio mencoba mengambil kembali tangannya tapi Senna menahan. "Harus dikasih bioplacenton!" gumam Senna.

"Kemarikan tanganmu!" perintah Senna sekembalinya dari mengambil salep dari kotak P3K.

Rio memberikan tangannya.

Kedua bola mata pemuda itu mengikuti gerakan jemari Senna mengoleskan salep di tangannya. Bagaimana jika jemari yang lembut dan hangat itu mengusap pipinya? Bagaimana jika dada dan lengan yang hangat tadi memeluk dan menyimpan tubuhnya dalam dekapan?

Rio mengibas kepalanya, menampik angan yang akan membuatnya kecewa karena tahu Senna hanya menolong tanpa pamrih.

Sementara itu, lain dengan Rio, Senna membelai tangan Rio tanpa ragu, memastikan seluruh bagian yang tersiram air panas sudah tertutup salep. "Sudah enakkan?" tanyanya tiba-tiba.

"Sudah..." angguk Rio. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Senyum tulus yang dibuatnya untuk menyamarkan malu karena sudah mengkhayalkan dekapan Senna.

Namun senyum sederhana itu, membuat Senna terpana, pun membuatnya melepaskan genggamannya kepada jemari Rio. Perasaan yang susah diungkap ketika senyum Rio memesonakannya—perasaan takut karena telah terpesona kepada senyum seorang pemuda—membuat Senna menarik diri.

Apakah karena Senna tahu pemuda itu gay sehingga dia melihat senyumnya berbeda dari senyuman pria lain? Sebelum tenggelam dalam pikirannya sendiri, Senna mengentaskannya. "Lain kali hati-hati, ya?" pesannya, mengalihkan risau hati karena senyuman Rio. "Jangan bikin orang khawatir ninggalin kamu sendirian di rumah."

Rio mengangguk patuh. "Boleh saya nanya?"

"Nanya apa?"

"Kenapa Mas Senna nolong saya?"

"Karena aku nggak mau kamu dipukuli."

"Itu kan yang semalam, saya sedikit banyak mengerti."

"Lalu?"

"Kenapa Mas Senna biarin saya tinggal di rumah Mas? Kalau saya jahat dan nyuri, gimana? Mas Senna 'kan nggak kenal saya?"

Senna diam seribu bahasa, mencerna pertanyaan Rio dan mencari jawabannya. Kenapa aku melakukannya? Batin Senna.

"Aku juga nggak tau," kata Senna semu. "Tapi...."

Rio menunggu lanjutan kalimat Senna dengan setia. Kepalanya mendongak, matanya membalas tatapan Senna yang seolah menyelam ke dalam matanya.

"...tapi kamu bikin sandwich yang enak banget tadi pagi," lanjut Senna. Ada lega tersirat dalam kalimatnya. "Kejunya meleleh di atas telur dadar dan daging asap. Aku mengajar seharian dengan suara lantang seperti komentator sepak bola hari ini. Lalu kamu juga bikin setup daging buat makan malam."

Rio tertawa. Bibirnya melebar ke kanan dan kiri, mulutnya membuka memperlihatkan gigi-gigi putih yang rapi. Dia tertawa. Lepas.

"Apa itu menjawab pertanyaanmu?" tanya Senna, senang melihat Rio tertawa lepas.

"Iya."

Senna membelai puncak kepala Rio. "Sebaliknya, aku merasa khawatir kalau kamu bosan sendirian di rumah."

"Oh, saya nggak akan bosan. Ada banyak buku yang bisa saya baca, kalau Mas mengizinkan." Rio menimpali.

"Baca aja apa yang kamu suka. Aku malah ngerasa lega kalau kamu bisa menganggap rumahku seperti rumahmu sendiri.

"Aku selalu tinggal di rumah yang ramai sejak aku kecil hingga remaja. Aku nggak suka rumah yang sepi. Yah, anggap aja kita sudah menolong satu sama lain. Aku menolongmu dari kakak-kakakmu dan kamu menolongku dari kemungkinan kurang gizi. Juga kesepian."

Rio tersipu. "Kalau gitu, besok mau dimasakin apa, Mas?"

"Aku mau sayur lodeh dan empal gepuk besok siang."

"Mas besok pulang siang?"

"Ya, aku biasa pulang awal setiap hari Kamis. "

"Kalau besok pagi mau sarapan apa?"

"Serius nih?"

Rio mengangguk riang, senang karena Senna menghargai apa yang dilakukannya dengan sepenuh hati.

"Kamu bisa bikin pancake?"

"Pancake itu urusan gampang. Saya bikinkan besok sebelum Mas berangkat ke kantor!"

Senna tersenyum bahagia, tapi kemudian perhatiannya teralihkan ke baju yang dikenakan Rio. "Kamu bawa berapa baju ganti?"

"Eng... satu."

"Baju yang semalam?"

Rio tidak menjawab, bila membenarkan, Senna pasti akan memaksanya membeli baju baru. Dia tidak punya cukup uang, tapi juga tidak mau merepotkan.

"Oke. Habis makan malam dan isya, kita keluar sebentar," beritahu Senna, tidak terbantahkan.

"Eh? Saya ikut?" Rio memastikan.

"Kamu nggak mau bilang berapa ukuran celanamu, kan?"

Rio tidak mampu mengatakan apapun lagi.

Malam itu, usai makan malam sampai dengan pukul sembilan mereka berbelanja. Rio bersandar kelelahan di mobil pada perjalanan pulang.

"Ngantuk?"

"Nggak," jawab Rio. Padahal, jelas-jelas matanya sayu.

Beberapa hari ini memang paling melelahkan sepanjang tujuh belas tahun hidup Rio. Setelah kejadian di asrama pada Sabtu lalu yang berujung diseret pulang ke rumah beberapa hari kemudian, dia harus menghadapi pukulan dan makian sang ayah sebelum luka dari kawan-kawannya lagi sembuh. Ketika akhirnya dia berbaring di atas tempat tidur kamar tamu rumah Senna, barulah dia bisa beristirahat. Itu pun belum cukup.

"Kamu mau beli cemilan buat dimakan di rumah sambil nonton TV?"

"Eh. Boleh?"

"Boleh. Mau apa?"

Bicara makanan, lambung Rio memang sudah kosong kembali. Pemuda itu mengedarkan pandangan keluar jendela, sedangkan Senna memelankan laju mobil saat mereka melewati deretan penjaja makanan di sepanjang jalan.

Jari telunjuknya yang kecil menuding sebuah gerobak nasi ayam yang tampak sesak oleh pengunjung.

"Aku bilang kan cemilan, kamu nyemil nasi ayam? Memangnya sudah lapar lagi?"

"Tidak boleh?" tanya Rio memelas.

Senna tertawa geli, kali ini dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengacak rambut pemuda di sampingnya. Setelah memarkir mobil tidak jauh dari tenda nasi ayam, Rio keluar dari mobil lebih dulu untuk mencari tempat duduk.

Malam ini Rio melupakan segala kesedihan, menceritakan tentang sang ayah yang beringas dengan enteng, mengungkapkan jati dirinya dengan tanpa tekanan, mengisahkan Dimas yang melarikan diri entah kemana setelah membantunya kabur, tentang Mikaela, tentang Bayu dan juga Jarot. Semata-mata karena dia tahu, pria di sampingnya itu memandangnya dengan penuh kasih seperti dia memandang manusia lain sama rata.

Malam ini Rio dengan mudah jatuh hati, seolah jatuh hati-jatuh hatinya sebelum malam ini tidak ada artinya lagi.

Sementara itu Senna merasa bimbang antara menaruh iba dan terpesona kepada ketegaran pria kecil bernama Rio Jiwa Ariya. Nama indahnya terukir dalam ingatan, membuat Senna susah memejamkan mata memikirkan keinginan heroiknya untuk menolong.

Meski entah bagaimana.

***

Cerita ini pernah dipublikasikan di akun 

repost untuk back up karena akan dihapus di first account.

Sudah dibukukan dan masih bisa Print on Demand sewaktu-waktu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top