4. Tinggal

Non nobis solum nati sumus.

(Not for ourselves alone are we born.)" --

"Yusuf!" panggil Senna.

Yusuf adalah mahasiswa jurusan teknik arsitek. Semester ini dia mengulang mata kuliah dasar Bahasa Inggris yang dibawakan oleh Senna. Seorang pemuda yang ceria dan ramah. Sosoknya identik dengan kemeja flannel dan jeans lusuh, gulungan kertas di punggung, dan gitar. Di balik karakternya yang slenge'an, Yusuf adalah mahasiswa yang sopan di mata Senna.

Tetapi berbeda dari biasanya, siang ini Yusuf tampak sendu, tidak banyak nyeletuk sepanjang jam kuliah. Senna yakin itu ada hubungannya dengan rona lebam samar-samar di mata kiri Yusuf. Dia berniat menanyakan apa yang terjadi setelah kelas berakhir, tapi Yusuf yang biasanya mampir ke meja dosen untuk sekadar menyapa, kali itu ngeloyor pergi tanpa memedulikannya.

"Yusuf!" panggil Senna sekali lagi.

Yusuf berhenti melangkah dan menoleh. Bibirnya mengembangkan senyum tipis sambil menunggu Senna mendekat.

"Kamu habis berkelahi, ya?"

Yusuf mengangguk. "Perkelahian kecil, Pak. Tidak apa-apa kok."

Senna mendengus maklum. "Bukan sesuatu yang serius, kan?"

Yusuf menggeleng kecil kemudian tersenyum lagi. Tiba-tiba, matanya memicing, membuat Senna merasa canggung. "Ada benang, Pak Senna," katanya lembut, seraya menjumput sesuatu dari rambut Senna.

"Oh. Terima kasih," ucap Senna malu.

Senyum Yusuf makin merekah. "Bapak kalau dari jarak dekat kelihatan semakin keren," pujinya tulus. "Mau saya bantu bawakan buku-bukunya sampai ke fakultas Bahasa?"

Senna menelan ludah, baru sekarang ada pemuda yang terang-terangan memuji penampilannya. Ini aneh bagi Senna. Dia hampir tidak pernah memuji sesama pria, apalagi yang berkaitan dengan penampilan. Tetapi, karena ini Yusuf yang dikenalnya senang bercanda, Senna tidak menganggapnya serius.

Pria itu lantas menyerahkan sebagian bawaannya kepada Yusuf.

"Kamu sudah jarang kelihatan di fakultas bahasa? Atau aku saja yang nggak pernah lihat?" tanya Senna basa basi.

Yusuf tidak langsung menjawab, diembuskannya napas berat. "Ya. Saya sudah keluar dari band, makanya jarang ke jurusan seni musik."

"Kenapa?" tanya Senna tanpa pikir panjang.

"Love quarrel," jawab Yusuf singkat. "Eh, bener nggak Pak ngomongnya?"

Senna tertawa kecil. "Bener. Tapi sama siapa? Groupies?"

"Bukan. Dengan anggota band," ujar Yusuf, mengakhiri kalimatnya dengan menoleh pada Senna. Mereka saling tatap, tapi Yusuf lebih dulu menggunting tatapannya.

"Setauku anggota band kalian cowok semua," gumam Senna. "Apa aku melewatkan sesuatu?"

Yusuf mengerucutkan bibir, kemudian menggeleng. "Memang pria semua," katanya enteng.

Senna tercekat, tiba-tiba dia menyadari sesuatu.

"Saya gay." Yusuf mengaku tanpa diminta, membuat langkah Senna berhenti seketika.

Menyadari Senna tidak berjalan di sampingnya, Yusuf ikut berhenti. Pemuda itu memutar tubuhnya menghadapi Senna. "Bapak homophobic?" tanya Yusuf. "Tenang aja. Saya nggak suka nyerang duluan kok. Tapi kalau bapak mau, saya dengan senang hati mau juga. Pak Senna tipe saya seratus persen!"

Wajah Senna pias. Kalau sebelumnya dia masih sanggup menelan ludah meski sulit, kali ini dia sesak napas. Matanya membeliak menatap Yusuf, sementara Yusuf tertawa-tawa melihat dosen yang biasanya penuh kharisma itu tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun.

Senna mengernyitkan alis dengan jengkel. "Kamu bercanda, ya?"

"Nggak. Saya ketawa karena reaksi bapak lucu." Yusuf berkata jujur, sisa tawa masih terdengar dalam kalimatnya.

Senna mendengus, kemudian menyusul langkah Yusuf.

"Apa kamu kenal seorang bocah bernama Rio Jiwa Ariya?" tanya Senna.

"Nggak," jawab Yusuf. "Siapa itu?"

"Ah, lupakan saja," kibas Senna.

"Apa dia gay juga?" tanya Yusuf sambil menahan tawa, tapi Senna yang terlanjur malu dengan pertanyaannya tidak menjawab. "Bapak kenal gay selain saya lalu berpikir saya mengenalnya? Memangnya kami punya perkumpulan kaum gay begitu menurut Bapak?".

"Aku sudah bilang lupakan!" Senna menghardik kesal, mempercepat langkah.

"Bapak! Saya dengar bapak pisah ranjang dengan istri. Boleh saya main ke rumah?" goda Yusuf sambil cekikikan.

"Tidak boleh!" larang Senna.

Yusuf semakin bersemangat. "Kenapa? Bukannya Bapak kenal gay lain selain saya? Kalau saya tadi enggak bilang kalau saya gay, toh Bapak juga nggak tau, kan?"

"Yusuf!!!"panggil seseorang.

Langkah Yusuf dan Senna berhenti. Serempak mereka menoleh dan mendapati Andrea—asisten dosen Senna—berkacak pinggang di belakang mereka. Gadis itu menyeruduk, menyambar setumpuk buku yang ada dalam dekapan Yusuf, kemudian meraih lengan Senna dan menariknya masuk ke dalam ruang dosen.

"Bapak jangan dekat-dekat sama Yusuf!" katanya memperingatkan. "Yusuf itu gay. Saya sudah tahu dari dulu, tapi saya diam. Cuma akhir-akhir ini gosip dia gay udah terdengar di mana-mana. Di fakultas teknik dan bahasa, dia ramai jadi buah bibir. Bapak tahu band-nya? Dia dikeluarin dari band karena ketahuan pacaran sama vokalis band itu. Dua-duanya gay tapi nggak tahu kok bisa cuma Yusuf yang jadi bulan-bulanan gosip. Mungkin karena dia ganteng."

Senna tidak terlalu mendengarkan, melirik arloji, kemudian menggulung lengan kemejanya sampai siku.

"Bapak mau ke mana?"

"Salat. Sudah masuk waktu ashar. Kamu pulang sana, nanti kemaleman."

Andrea cemberut. Mahasiswa manis berkerudung itu menyerah, susah memang mengajak kaum pria bergunjing. Sebelum pulang, Andrea menyeduh teh untuk Senna dan meninggalkan sebaris pesan di post it: Semangat ya, Pak!

Senna mendengus. Dia meremas post it peninggalan Andrea dan melemparnya ke tempat sampah. Setelah merapikan kembali kemeja dan memakai sepatunya, Senna bergegas meninggalkan ruang dosen menuju parkiran mobil. Sambil memanaskan mesin, diputarnya salah satu album kompilasi. Beberapa menit kemudian, dia mulai menyetir.

Sedang apa anak itu di rumahnya?

Senna menyalakan sebatang rokok sambil melamun. Entah sejak kapan dia mulai kembali merokok, menyetir sendirian memang paling asyik sambil mengisap tembakau. Sikunya dia sandarkan di jendela mobil yang terbuka. Deru angin memainkan anak-anak rambut dan menghapus peluh di wajahnya.

Matanya tidak lepas dari jalanan lurus di depan, tapi isi kepalanya mengambang di awang-awang.

Rio.

Bibir Senna menggumam sendiri.

Sebelum pemuda itu hadir dalam hidupnya, Senna hampir tidak mengenal hubungan selain antara lelaki dan perempuan. Tentu dia pernah mendengar, tapi hanya sebatas mendengar. Pernah membaca, tapi hanya sebatas membaca.

Bagaimanapun, Senna lain dari Kahfi dan Althaf. Profesinya mengharuskan dia memiliki wawasan luas terhadap berbagai isu dari berbagai sudut pandang, tidak hanya dari sudut pandang agama.

Pun sebagai dosen, Senna tidak membatasi bahan bacaan dan sumber pengetahuan. Dia pantang menyatakan suatu hal adalah salah atau benar seperti dalam ilmu pasti atau ilmu agama. Bagi Senna, seni dan sastra adalah warna-warni. Ketika seseorang ingin mengenal lebih baik, dia perlu mengesampingkan lebih banyak hal lagi.

Wajah Yusuf berkelebat di benak Senna.

Dia tidak pernah menyangka Yusuf gay. Dari namanya saja Senna yakin Yusuf seorang muslim, Arfan Yusuf Sani. Tidakkah Yusuf pernah mendengar mengenai kaum Sodom dan Gomora? Semua muslim seharusnya tahu, setipis apapun pengetahuannya mengenai kisah-kisah nabi dan rasul dalam Qur'an. Meski begitu, Senna mempertanyakan kadar imannya sendiri. Mengapa dia tidak merasa jijik? Mengapa dia tidak merasa risih? Mengapa dia justru ingin tahu lebih banyak mengenai Yusuf dan Rio? Tidakkah dia tahu, betapa berbahayanya rasa ingin tahu yang berlebihan itu?

Lamunan Senna terhenti di sebuah lampu merah. Saat menoleh ke kanan, pria itu baru saja menyadari bahwa dia tengah berhenti di depan sebuah mall. Entah mengapa ketika lampu hijau menyala, Senna justru memutar balik mobilnya.

"Pak dosen!" sapa ramah pemilik kios Kue Bandung dan Martabak. "Seperti biasa?"

Senna diam sebentar. Dia tidak tahu kue apa yang akan disukai Rio, tapi dibiarkannya saja wanita itu membuatkan dua porsi seperti biasa.

Seperempat jam kemudian pesanannya siap. Senna membayar dan melanjutkan perjalanan pulang.

Sedang apa Rio sendirian di rumahnya?

Bayangan kejadian malam itu kembali hadir.

Di balik tubuhnya, seorang pria bertubuh mungil bersembunyi. Pemuda itu berambut hitam pendek seperti pelajar pada umumnya, mengenakan celana jeans dan jaket berwarna kuning terang. Tingginya hanya sebahu Senna, badannya kurus, kulitnya halus dan tenaganya kecil seperti gadis remaja. Jantung Senna entah mengapa berdegup kencang saat kepala anak itu menekan punggungnya karena ketakutan.

"Menyingkirlah, Bang. Dia adik kami!" seru salah seorang yang mengejarnya.

Senna mengernyit merasakan lengannya dicengkeram oleh si pemuda. Diselipkan jari-jarinya ke dalam jari-jari yang mencengkeram itu, seolah menenangkannya. Tentu saja tindakan itu dia lakukan secara spontan, tanpa pikir panjang.

"Bagaimana saya tahu kalian berdua kakaknya?" tanya Senna tenang. "Kalian membawa pentungan, kakak macam apa yang mengejar adiknya dengan pentungan sampai dia lari ketakutan?"

"Kami punya urusan keluarga. Lebih baik anda tidak ikut campur urusan kami."

"Saya tidak akan menyingkir. Kalau terjadi apa-apa terhadap anak ini, saya tidak bisa tinggal diam. Bagaimana kalau kita selesaikan di depan polisi?" Senna menunjuk ke depan. "Di depan ada pos polisi. Bagaimana kalau kita berjalan ke sana?"

Seorang lagi, yang kemudian diketahuinya bernama Bayu, menanggapi. "Maafkan kami kalau bikin abang kaget. Saya Bayu, dan ini adik saya Jarot. Maaf Bang, tapi ini bukan urusan anda. Mohon menyingkir karena ini urusan keluarga," tuturnya. "Rio adalah tanggung jawab kami berdua. Kami tidak akan menyakitinya, mohon serahkan pada kami secara baik-baik."

Senna berpikir sejenak, kemudian menanyai pemuda di balik punggungnya dengan lembut. "Gimana? Mau ikut mereka?"

Rio menggeleng tegas. Dia justru memindahkan cengkeramannya ke pinggang Senna yang menyembunyikan tubuh mungilnya dengan sempurna.

"Maaf, dia menolak," ucap Senna kepada Bayu.

"Rio..." panggil Bayu. "Kami nggak akan pukul kamu lagi. Ayo pulang."

"Bagaimana, Rio?" Senna menengahi. "Mau pulang? Kakakmu kelihatannya sudah jauh lebih tenang."

Rio bergeming, sampai kemudian Senna mengemukakan ide gila yang tiba-tiba melintas di kepalanya.

"Bagaimana kalau saya ajak dia pulang ke rumah saya? Saya akan menghubungi kalian berdua jika keadaan sudah tenang. Istri saya pasti akan menerimanya dengan baik."

Dia sadar dia telah berbohong, padahal dia tidak tahu untuk apa dia melakukannya. Sesungguhnya, Senna hanya tidak tega dan tidak percaya pemuda itu akan baik-baik saja.

"Anda punya istri?" tanya Jarot, suaranya tiba-tiba melunak.

"Ya. Saya dosen sastra Inggris di Universitas Pemuda Indonesia. Nama saya Arseto Senna, saya tinggal di jalan Kenangan nomor 10B bersama Istri dan putri saya. Kalian bisa menjemputnya jika adik kalian sudah lebih tenang."

Mendengar status Senna, Jarot menurunkan alat pemukulnya. Kedua kakak beradik itu tampak berdiskusi sebentar dan kemudian sepakat melepaskan adiknya. Setelah menyerahkan kartu nama, Senna menggandeng pemuda itu masuk ke dalam taksi yang datang tepat ketika diskusi itu selesai. Sebelum mengikuti Rio yang masuk lebih dulu, Bayu menekan lengan Senna dan menariknya mundur sebentar. "Dia gay. Jangan sampai istri anda tahu."

Sampai kini, Senna masih ingat rasa pahit ludahnya saat mendengar informasi itu.

Di dalam taksi yang melaju menembus kota menuju rumahnya, Senna terus mengawasi bocah yang duduk diam di sampingnya. Namanya Rio, batinnya. Tidak lama kemudian pemuda itu tidur, mungkin kelelahan. Kepalanya yang kecil berhias rambut hitam legam terantuk-antuk. Senna menyentuh dagu si pemuda dengan hati-hati dan menyandarkan kepala pemuda itu ke bahunya. Dalam sekejap, posisi kepalanya sudah mendongak dengan mulut menganga lebar.

Senna membangunkan Rio begitu taksi berhenti di depan rumahnya. Disuruhnya Rio melanjutkan istirahat di kamar tamu.

Tadi pagi ketika Senna hendak berangkat ke kampus, Rio sudah menunggu di depan kamar tamu untuk berpamitan.

"Kamu mau ke mana?" tanya Senna sambil menyeduh kopinya. "Duduk. Kamu biasa makan nasi atau roti untuk sarapan?"

"Ah. Tidak perlu," ujar Rio tersipu malu. "Saya benar-benar minta maaf karena sudah merepotkan."

Senna menarik sebuah kursi dan duduk. "Berapa usiamu?"

"Delapan belas," jawab Rio singkat. Suaranya yang pelan nyaris membuat Senna memintanya mengulang jawaban.

"Nggak kuliah?"

Rio menggeleng.

"Sekolah?"

Menggeleng lagi.

"Boleh lihat KTP-mu?"

Rio meraba bagian belakang celananya dan mengeluarkan sebuah dompet untuk mengambil selembar KTP. Disodorkannya benda itu kepada Senna.

Senna mengernyitkan alis. "Tujuh belas tahun lima bulan. Kamu seharusnya masih kelas tiga SMA. Kamu nggak sekolah hari ini?" tanyanya sambil mengembalikan kartu identitas Rio. "Rio Jiwa Ariya."

Nama yang bagus, batin Senna.

Rio menerima kembali kartu identitasnya, tapi tidak menjawab pertanyaan Senna.

"Aku nggak ngizinin kamu pergi karena aku sudah janji sama kakakmu buat jagain kamu, kecuali mereka yang jemput. Kamu mau mereka datang kemari lalu marah-marah karena kamu nggak ada di sini? Gitu?"

Rio menggeleng lemah, kepalanya menunduk.

"Kalau begitu duduk," perintah Senna. Dia menarik sebuah kursi lagi tepat di sampingnya. "Kamu biasa sarapan nasi atau roti?"

Rio merasa tidak punya pilihan. Dengan sopan dia mendekati meja makan. Tapi, bukannya duduk di samping Senna, Rio menarik sebuah kursi di seberang pria itu.

Senna memperhatikan Rio dengan seksama. Semakin jelas, justru semakin manis—mirip anak perempuan—nilai Senna dalam hati.

Rio beberapa kali memperbaiki sikap duduknya selama Senna menyikmati kopi dan membaca koran pagi. Pria itu tampan luar biasa, hanya itu yang terlintas di benak Rio. Aura dewasa terpancar dari bahasa tubuh dan sorot matanya, harum semerbak tubuhnya membuat Rio tanpa sadar mengendus. Dia tidak tahu banyak mengenai wewangian, tapi dia suka wangi tubuh pria itu.

"Bapak tidak sarapan?" tanya Rio.

Senna melirik. "Aku kehabisan selai," jawabnya pendek.

"Saya belikan."

"Jangan."

"Saya buatkan sarapan?"

"Memangnya kamu bisa?"

"Saya dulu tinggal di asrama, jadi saya bisa sedikit memasak. Apa bapak punya sesuatu di kulkas?"

Senna beranjak dari kursi, berjalan ke arah kulkas. Rio mengikutinya.

"Cuma ada telur, sosis, keju dan aku nggak tahu apa itu yang ada di freezer. Coba cek aja," katanya sambil melangkah mundur, membiarkan kulkas terbuka.

Rio yang tidak siap dengan gerakan mundur Senna, terhuyung ke belakang. Dia akan jatuh kalau saja Senna tidak mencekal lengannya. Tubuh Rio yang ringan dengan mudah diseimbangkan kembali oleh Senna. Mata mereka bertemu sekejap sebelum Rio mengalihkannya ke arah lain karena salah tingkah.

"Kamu kurus banget," tukas Senna tanpa bermaksud mengejek.

Rio meringis.

"Bapak mau saya buatkan sandwich? Sepertinya itu nugget yang di freezer."

"Aku mau sandwich." Senna menjawab cepat. "Tapi nggak mau nugget."

"Buat saya aja nugget-nya," cengir Rio.

"Makan aja!" Senna mempersilakan. "Itu nugget sayuran punya Selma. Kamu mau?"

Rio mengangguk riang, membuat Senna tersenyum. "Oke. Buatin aku sandwich, kamu makan nugget-nya."

"Saya nggak boleh makan sandwich juga?" tanya Rio kecewa.

Kali ini Senna tertawa. "Bolehlah!" ucapnya sambil menjauh dari kulkas. "Namaku Senna, ngomong-ngomong. Arseto Senna. Panggil aku Senna aja."

"Saya segan," tampik Rio.

"Oke, terserah kalo gitu," tanggap Senna ramah. "Lagian kamu terlalu muda buat panggil namaku gitu aja."

Rio mengangguk.

"Tapi jangan 'Pak', ya? Panggil Mas Senna juga boleh. Inget itu namaku."

Rio mengangguk. Senna. Arseto Senna, batinnya. Nama yang indah.

Sambil menanti, Senna naik ke lantai dua untuk menunaikan Dhuha.

Sewaktu dia kembali sepuluh menit kemudian, perpaduan aroma lezat roti panggang, mentega, dan keju menyambutnya. Dua porsi besar sandwich terhidang di meja.

"Hmmm... kelihatannya enak," puji pria itu sambil duduk.

Rio yang masih sibuk membereskan dapur langsung menawarkan. "Mas Senna mau tambahan kopi?"

"Boleh," jawab Senna senang. "Pake krim, ya?"

Senna menunggu sementara Rio sibuk menyiapkan minuman.

Seusai harapan, sandwich yang aromanya lezat tadi, rasanya pun enak. Perpaduan mentega dan keju yang meleleh dalam tumpukan telur dadar dan daging asap terasa menggigit lidah Senna.

"Istri Mas ke mana?" tanya Rio, supaya Senna berhenti memuji keahliannya memasak.

"Oh. Kami sedang dalam proses bercerai." Senna menjawab santai.

"Putri Mas?"

"Ikut Mamanya."

Keduanya kembali terdiam, saat Rio akan mengajukan pertanyaan selanjutnya, Senna lebih dulu mencegah. "Stop," pintanya. "Gantian kamu yang cerita. Masa nanya terus."

Rio menggaruk hidungnya yang tidak gatal. "Gantian Mas yang tanya."

"Tapi aku buru-buru," ujar Senna sambil membersihkan mulutnya dengan tisu. "Nanti sore saja aku nanyanya. Kamu jangan kemana-mana, ya? Nanti agak siang atau sore Mbah Ijah biasanya datang buat bersih-bersih, jadi kamu nggak usah repot-repot nyuci piring. Kamu bawa baju ganti? Kalau nggak, nanti aku beli beberapa. Ukuranmu berapa?"

"Ukuran?" ulang Rio.

"Iya. Baju, celana, kaus dalam, celana dalam?"

"Nggak usah, Mas!" kata Rio gugup. "Saya bawa beberapa."

Senna baru ingat ada sebuah ransel di punggung Rio saat mereka bertemu. Karena tidak ingin memaksa, Senna menghabiskan kopinya kemudian berangkat ke kampus. Sebelum pergi, dia banyak berpesan kepada Rio mengenai cara menghidupkan pompa air, mengunci pintu dan lain-lain.

Apa yang dilakukan Rio selama aku bekerja? Senna mendesah di belakang kemudinya. Apa dia makan siang? Apa dia kesepian?

***

Cerita ini pernah dipublikasikan di akun  

repost untuk back up karena akan dihapus di first account.

Sudah dibukukan dan masih bisa Print on Demand sewaktu-waktu

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top