2. Arsetos
Family Means Putting Your Arms Around Each Other and Being There –Barbara Bush-
Arseto Kahfi dan Arseto Althaf memiliki tinggi badan yang nyaris sama, beberapa sentimeter lebih tinggi daripada Senna, si putra ketiga.
Kahfi bekerja di sebuah perusahaan ekspedisi internasional, bertubuh kekar, berperangai keras tetapi pendiam, dan yang paling dekat dengan sang ayah. Istrinya tinggal di rumah mengelola toko kelontong, memiliki seorang putra dan seorang putri.
Althaf, si putra kedua, bekerja di sebuah bank milik pemerintah, berperawakan tinggi kurus, dan berperangai tenang. Istrinya bekerja sebagai staf pengajar di sekolah menengah negeri, memiliki dua orang putra kembar yang Hafidz Qur'an.
Mereka berdua berperan penting dalam pertumbuhan Senna dan Hanafi karena perbedaan usia yang cukup jauh. Kahfi, 45 tahun dan Althaf, 42 tahun. Arseto Hanafi, si bungsu adalah seorang seniman lukis. Hanafi sangat tampan, tidak tertarik menjalani pekerjaan tetap, dan merokok seperti kereta api. Pemuda berusia 25 tahun ini baru saja menjadi sarjana seni rupa Institut Seni Indonesia Jogjakarta, memiliki galeri bersama kawan-kawan senimannya di kota yang sama.
"Hanafi!" hardik Naqi, istri Althaf. "Rokokmu! Banyak anak-anak."
"Kakak yang bawa anak-anak ke atas, dong. Kami sedang bicara serius. Tidak asik kalau tidak merokok," jawab Hanafi enteng.
"Ibas, Ibnu, ajak kakak-kakakmu ke atas dan awasi jangan sampai naik turun tangga sendirian. Orang-orang dewasa sedang berbicara serius." Althaf buka suara. Perintah itu segera direspon oleh si kembar.
Althaf lebih dulu menikah sebelum Kahfi. Putra kembarnya dua tahun lebih tua dibanding putra Kahfi yang pertama. Sesuai adat Jawa, putra-putra Althaf tetap memanggil putra-putri kakak tertuanya dengan panggilan untuk orang yang lebih tua.
Sepeninggal anak-anak itu, Senna berjalan ke dapur untuk meracik kopi, tapi Sarah mendahuluinya.
"Biar aku aja dek. Dek Senna duduk aja sama mas-mas," katanya.
Sarah adalah istri yang dipilihkan Ibrahim Jamal Arseto untuk Kahfi karena tak kunjung menikah setelah Althaf mendahului. Sarah cantik, solehah, dan berpendidikan tinggi. Seorang istri yang tidak pernah membantah perkataan suami. Ketika Kahfi memintanya meninggalkan pekerjaan untuk mengurus anak-anak, dia menurut tanpa syarat. Sebagai pengisi waktu sekaligus demi membantu perekonomian keluarga, Kahfi membuatkannya toko di halaman depan rumah mereka.
Sewaktu Senna membawa Ninet yang berbusana seksi menemui sang ayah untuk pertama kali, kedua kakak iparnya-lah yang mendesak agar mereka segera menikah. Mendiang ayahnya pun sepakat. Seorang wanita bisa menjadi istri yang baik bukan hanya ditentukan dari nasabnya saja, melainkan juga dari bagaimana sang suami mendidik, tapi iblis tidak suka buang-buang waktu.
"Apa saja yang terjadi sejak Ayah meninggal?" Kahfi bertanya. Baginya, melihat Ninet tidak mengurangi aktivitas di luar rumah, apalagi tanpa mengenakan penutup aurat yang memadai, merupakan teguran keras bagi Senna. Adalah sebuah kesalahan besar ketika suami gagal dalam menanamkan hal-hal prinsipil seperti berpakaian kepada seorang istri. Maka ketika perselingkuhan Ninet dibahas dalam rapat keluarga, Kahfi menuding Senna tidak sungguh-sungguh mendidik Istrinya.
"Bukan salah Senna kalau sampai Ninet berbuat seperti itu. Wanita yang baik akan menjaga martabatnya," ujar Naqi menyeberangi pendapat sang kakak ipar. "Kita berkumpul untuk memberi Senna dukungan, bukan untuk menunjuk hidungnya."
"Salah atau tidak salah itu bisa bervariasi tergantung sudut pandang." Sarah menengahi, seraya meletakkan sebaki minuman di atas meja. "Yang jelas, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Mungkin membahas perlakuan Senna selama tiga bulan terakhir ini ada baiknya, untuk pelajaran kita semua. Dia tentunya tidak akan terus melajang, bukan? Atau... siapa tahu ada keajaiban yang menyatukan mereka berdua kembali?"
"Menyatukan kembali?" serobot Hanafi. "Kak Sarah ini lucu. Sampah sudah dibuang, kenapa diambil kembali?"
"Sebaik-baiknya perceraian kalau bisa dihindari." Althaf menimpali. "Tapi itu urusan Senna dengan Ninet nanti. Aku juga bertanya-tanya seperti Mas Kahfi, apa yang terjadi selama tiga bulan ini? Wanita sampai jatuh ke pelukan lelaki lain tanpa kamu curigai sebelumnya berarti kamu sudah kurang perhatian. Dia tidur dalam dekapanmu setiap malam, berbagi satu selimut, bersentuhan kulit dan bertukar cerita. Kalau kamu tidak kehilangan minat terhadap orang terdekatmu, kamu seharusnya menyadari gelagatnya. Perselingkuhan tidak terjadi dalam satu-dua malam. Aku yakin."
Senna menunduk. Kedua tangannya terangkai menyangga dahinya.
"Jangan-jangan kalian nggak gituan sejak Ayah meninggal?" Hanafi menyahut.
Senna masih bungkam.
"Senna!" seru Kahfi.
Senna mendengus, tahu bahwa dia tidak mampu berkelit dari saudara-saudaranya. "Tidak sampai tiga bulan. Tapi jarang.
"Ninet selalu bilang dia ngerti perasaanku. Dia ngasih aku waktu untuk berkabung. Sebelum malam dia marah besar itu, nggak pernah sekalipun dia mengungkapkan keberatannya. Aku malah berpikir tabiatnya yang mudah marah sudah berkurang. Jadi aku ya...."
"Kamu sudah jatuhkan talak?" sela Althaf.
"Dia minta cerai," tutur Senna.
Kahfi menggaruk puncak kepalanya sebelum menyidik. "Kamu usir dia?"
"Nggaklah," sangkal Senna. "Ninet memutuskan pergi, kembali ke rumah orangtuanya."
Kemudian hening. Sarah mengulurkan segelas teh pada suaminya, memberi isyarat agar pria itu tidak terburu-buru dalam memberi tanggapan.
"Kamu bilang apa sama orangtua Ninet?" tanya Sarah, sementara suaminya menghirup teh sajiannya. Senna mengalihkan tatapan dari sepasang suami istri tersebut, Ninet tidak pernah memperlakukannya dengan kemesraan yang ditunjukkan Sarah terhadap Kahfi.
"Belum ada."
"Seharusnya kamu menelpon, paling tidak." Althaf berkata. "Kamu bawa anak mereka baik-baik, kembalikan dengan baik-baik pula."
"Omong kosong." Hanafi lagi-lagi menyela. "Apa masih butuh kesopanan setelah tindakan hina seperti itu, mas?"
"Kamu nggak usah ikut bicara!" bentak Kahfi kepada Hanafi. "Diam dan jadikan pelajaran. Kamu juga belum tentu bisa mendidik istri. Yang berbuat buruk itu Ninet, hal itu nggak lantas membuat orangtuanya sama buruk. Seorang wanita yang sudah diperistri merupakan tanggung jawab suaminya.
"Seorang wanita yang sudah menikah, jika ia berbuat baik akan mendapatkan pahala untuk dirinya seorang diri. Akan tetapi jika ia berbuat tidak baik, jika sudah menikah maka suaminya bertanggung jawab mengingatkannya. Jika belum atau sudah dikembalikan oleh suaminya kepada keluarganya, barulah ayahnya yang bertanggung jawab mengingatkan. Senna harus menjelaskan dengan baik dan terperinci dosa apa yang dilakukan oleh Ninet kepada orangtuanya. Membiarkannya pulang sendiri ke rumah orangtuanya sudah merupakan tindakan tidak terpuji, apalagi sampai tidak mengatakan apa-apa."
"Nasib baik kita tidak punya saudara wanita, ya, Mas?" Hanafi terkekeh.
Althaf, yang duduk tepat di samping Hanafi, mengacak rambut adiknya yang mulai panjang dan ikut tertawa kecil.
"Saat seorang lelaki mengucapkan ijab kabul, itu berarti ia menyatakan berani menanggung dosa istri dari ibu bapaknya. Apa saja dosa yang ia kerjakan dari aurat hingga meninggalkan salat, ia yang tanggung, bukan ibu bapaknya lagi. Selain itu ia juga menanggung dosa anak-anak, jika gagal dalam mendidik, ia harus rela masuk neraka. Kamu sudah dua lima, Hanafi, pilihlah wanita yang baik kalau tidak mau terbebani banyak tanggung jawab. Dalam pengadilan Allah, kamu tidak bisa lari seperti kamu lari dari perempuan-perempuan yang cuma kamu jadikan pacar itu."
Hanafi menelan ludah, bibirnya mencebik karena tertohok telak oleh Kahfi. Ekspresinya mengundang tawa semua orang.
"Bagaimana dengan Selma? Apa kamu yakin keputusanmu tepat membiarkan Ninet membawanya?" Naqi membuka bahasan baru.
Senna mengangguk. "Selma belum lagi disapih. Kadang masih menyusu."
"Nanti setelah empat atau lima tahun, tinjau lagi keputusanmu," saran Althaf. "Jika Selma mendapatkan pendidikan Agama yang baik, keluarga yang baik, tidak masalah jika kamu membiarkannya dekat dengan Ibunya. Tapi jika tidak, ambilah dia, pastikan sendiri pendidikannya."
Senna mengangguk setuju, demikian juga yang lain.
"Tapi Mas Senna nggak apa-apa, kan? Jangan sampai kita sibuk membicarakan ini itu lalu lupa sendiri dengan keadaan Mas Senna. Mas masih terpukul atau malah lega?"
Kahfi melemparkan kupluk ke arah si bungsu. Hanafi tertawa sembari menjumput kupluk yang sesaat tadi terpental dari kepalanya. Sambil pura-pura membungkuk seperti bawahan, dia mengembalikan kupluk tadi kepada kakaknya.
"Mungkin memang sebaiknya dipikirkan lagi keputusan menikah itu, ya? Dulu, kalau kulihat-lihat, Bapak dan mas-mas mendesak Mas Senna untuk menikah karena khawatir dengan dosa yang mungkin timbul karena melihat sosok Mbak Ninet. Aku sendiri nggak tahu itu keputusan yang tepat atau malah bodoh, tapi kalau sudah begini kan jatuhnya sama aja, dosa-dosa juga!"
"Pernikahan itu tidak salah. Apapun yang terjadi kemudian itu di luar kuasa kita. Nah kalau dulu tidak menikah dan sampai terjadi zina, itu kita yang salah karena tidak menyegerakan pernikahan. Mindset kamu, Hanafi, mindset!" Kahfi mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke pelipisnya sendiri.
Hanafi cemberut, sementara yang lain (lagi-lagi) menertawakannya, termasuk Senna.
Senna merasa beruntung karena dia tidak terlahir sendiri dalam keluarga itu. Dia bersyukur sepeninggal orangtuanya, masih memiliki saudara-saudara yang bisa diajak berbagi beban dan berembug. Terbayang jika dia anak tunggal seperti Ninet, apa yang akan dilakukannya tanpa sandaran dalam situasi semacam ini? Dia mungkin bisa gila atau mengambil keputusan yang ceroboh.
Ruang keluarga kembali menghangat setelah canda tawa yang disulut oleh Hanafi. Mereka tetap tampak harmonis dalam menghadapi masalah pelik dan dalam formasi yang tidak lagi lengkap.
Memecah canda tawa, sebuah ketukan terdengar di pintu. Sarah beranjak, berjalan ke pintu depan melewati ruang tamu. Beberapa saat kemudian dia kembali ke ruang keluarga bersama Ninet.
Wanita itu hanya mengangguk kepada seluruh anggota keluarga Senna sampai Kahfi mendahuluinya mengucap salam.
"Aku cuma mau ngambil beberapa barang yang ketinggalan," jelas Ninnet, ditujukan kepada Senna setelah membalas salam Kahfi.
Senna mengangguk.
"Lebih baik Ayah dan Ibu diajak masuk, dek," usul Sarah.
Ninet mengulum senyum. "Nggak usah mba. Saya cuma bentar kok."
"Kalau gitu, kamu yang keluar temui mereka, Sen," titah Althaf. "Ninet nggak perlu diantar ngambil barang-barangnya sendiri, kan?"
Ninet menggeleng, kemudian melangkah masuk ke dalam.
Sepeninggal Ninet, Kahfi mencengkeram lengan adik ketiganya dan berbisik, "Temui Ayah dan Ibunya. Pastikan wanita itu tidak menyebar berita bohong dan mengalihkan kesalahan sepenuhnya ke kamu!"
"Mas pikir begitu?" serobot Hanafi.
Pupil mata Kahfi membulat kepada Hanafi, memerintahkannya supaya tutup mulut. Kemudian dia kembali kepada Senna. "Mereka berhak tahu apa yang terjadi, terutama Ayahnya."
Senna menurut.
Pria itu menemukan Honda Freed keluaran tahun 2012 berwarna marun terparkir tepat di belakang AJS Hanafi. Senna mendekat tanpa melupakan senyuman hormat di wajahnya. Kaca jendela diturunkan dari dalam. Sepasang suami istri menjelang enam puluhan mengucap salam bersamaan, Senna menjawab dengan khidmat.
Garin, ayah Ninet, membuka pintu dan turun dari mobil.
Senna menyambut jabat tangan dan menempelkan punggung tangan Garin di keningnya. Tatahan sesal tampak jelas di wajah tua itu saat menerima sikap hormat menantunya. Dia malu dan tak tahu harus bersikap seperti apa lagi. Jikalau diibaratkan, dia sudah tidak lagi punya muka untuk ditunjukkan kepada Senna.
Hati Garin hancur.
Senna memejamkan mata ketika bahunya direngkuh ke dalam pelukan Garin. Tak pelak, air mata pria itu merembes dari sela-sela bulu mata, perasaan haru menyesaki dadanya menyadari tubuh Garin bergetar menahan luapan tangis.
"Maafkanlah Ninet," mohon Garin. Suaranya nyaris tidak terdengar, terdesak malu hati tak tertahankan.
Senna mengangguk, dalam hati dia mencoba meraba sejauh mana Ninet menceritakan mengenai apa yang terjadi.
"Kalau masih memungkinkan, rengkuhlah Ninet kembali. Ayah tahu itu sulit. Sangat sulit. Tapi demi Selma, demi mempertahankan mahligai rumah tangga. Ayah sudah bilang berkali-kali kepada Ninet, kalau dengan satu dua kesalahan kalian menyerah, untuk apa dulu berjanji sehidup semati?"
Senna termenung dalam diam. Dia ingat bagaimana dingin sikapnya setelah sang ayah meninggal. Hati kecilnya menyalahkan diri sebagai pemicu keretakan rumah tangganya. Padahal sudah jelas dianjurkan kepada pasangan suami Istri supaya tidak memelihara bisu dan diam diri.
Dia sudah melupakan bangunan berisi cinta dan kasih sayang dimana dia seharusnya mencurahkan kasih dan rindu kepada Istrinya. Dia melupakan adanya setan yang senantiasa mengutus bala tentaranya agar menghancurkan rumah tangga pasangan suami istri yang seharusnya damai.
"Insya Allah saya bersedia rujuk jika Ninet mau berjanji untuk memperbaiki diri. Demikian juga saya. Saya tidak luput dari kesalahan. Hanya saja kelihatannya justru Ninet yang sangat ingin berpisah. Bukannya saya bisa memaafkan perbuatan kejinya dengan mudah, tapi saya akan coba. Saya masih punya hak untuk merujuk, tapi tampaknya Ninet tidak tahu kewajibannya untuk tetap tinggal atau haknya menerima nafkah. Disamping itu, mohon maaf, saya mengizinkannya keluar rumah karena perbuatannya itu. Tapi bukan berarti saya mengusirnya."
"Ayah akan bicara dengannya. Ayah akan bujuk dia. Asal kamu masih mau. Kamu masih mau kan?"
Senna mengangguk meskipun ragu.
"Nak Senna... kami tahu Ninet sudah berbuat kesalahan yang tidak bisa dimaafkan, setidaknya, kalian harus memikirkan masa depan Selma."
"Lebih daripada masa depan Selma, saya mengkhawatirkan diri saya sendiri jika Ninet tidak punya keinginan berubah. Hal seperti ini dibawa sampai mati, dipertanggungjawabkan di akhirat. Masa depan Selma tidak seorang pun tahu akan bagaimana, tapi suami yang tidak bisa membawa istri ke dalam kebaikan sudah jelas akan bagaimana."
Garin menatap Senna dengan tatapan tidak paham. "Apa itu maksudnya?"
"Saya menolak rujuk dengan istri yang menolak dibimbing. Lebih baik dari sekarang kami sepenuhnya memikirkan yang terbaik untuk Selma dengan cara masing-masing. Sebab, jika saya memaksakan diri sementara Ninet tidak, kami hanya akan buang-buang waktu dan justru melupakan kebutuhan Selma sementara kami berdua memupuk dosa."
Wajah Garin menegang.
Senna kembali membuka suara, "Saya tidak pernah menginginkan perceraian, saya menjatuhkan talak dua karena masih ada kemungkinan untuk rujuk, wallahualam. Tapi saya akan merujuk dengan pertimbangan akal yang jauh lebih sehat dibanding ketika saya menjatuhkan talak."
"Sen...?" Suara Ninet memotong obrolan Senna dengan ayahnya.
Ninet menarik sebuah travel bag berwarna biru. Saat berhadapan dengan Senna, sambil memasukkan travel bag ke bagian belakang mobil dia berkata, "Bisa minta tolong antarkan Ayah dan Ibu pulang? Aku ada janji dengan kawan."
Telinga Senna memerah seketika.
"Ninet!" Garin menghardik.
Kalau tidak ingat kedua orangtua Ninet menyaksikan, ingin sekali Senna menampar mulut lancang istrinya. Mulut itu seolah tidak tahu dosa semacam apa yang diperbuatnya.
"Bawa saja mobilnya," kata Senna. "Biar Ayah dan Ibu kuantar dengan mobilku."
"Tidak bisa," tolak Ninet. "Aku dijemput Raisa. Kami ada rapat lanjutan dengan klien baru. Kalau bawa Freed bisa repot. Nanti biar aku diantar mobil kantor. Jangan kasih Ayah nyetir ya. Refleksnya udah nggak bagus."
Senna secara refleks menarik wajahnya saat Ninet mendekatkan bibir ke telinganya untuk membisikkan kalimat terakhir.
"Kenapa sih kamu? Jijik?"cibir Ninet.
"Di mana Selma?" Senna mengalihkan pertanyaan Ninet dengan pertanyaan. Dengan malas Ninet menjawab bahwa Selma di rumah bersama Tini.
Dengus lelah menembus bulu-bulu hidung Senna. Setelah Ninet menghilang di ujung gang, Senna berpamitan kepada saudara-saudaranya—meminta Sarah menitipkan kunci rumah kepada tetangga saat mereka pulang—untuk mengantarkan Ayah dan Ibu Ninet.
Tidak banyak yang mereka bicarakan di dalam mobil menuju pinggiran kota yang sama. Jaraknya cukup jauh, tapi belum terhitung luar kota. Garin tampak masih menyimpan sejuta tanda tanya yang tidak ingin dia utarakan di hadapan Istrinya. Ia masih meraba-raba isi kepala Senna. Sementara Senna sendiri, tidak banyak lagi yang dia harapkan dari perkawinannya dengan Ninet. Sedalam apa pun dia paham bahwa perceraian adalah salah satu hal yang tidak disukai Allah, sebagai manusia biasa dia tidak mampu membayangkan meneruskan hidup bersama Ninet.
Di rumah keluarga Ninet, Selma menangis di pelukannya, meminta dibawa kembali pulang kerumah. Daerah perumahan milik orangtua Ninet memang tergolong daerah yang panas dan gersang karena dekat pelabuhan. Aroma laut mengambang di udara, udaranya kering, dan airnya berwarna serta berbau. Selma tidak betah, bahkan susah tidur karena banyak nyamuk.
Rengekan Selma baru reda setelah gadis itu lelap kelelahan. Senna membisikkan doa penjagaan berupa surat An Nas dan Al Falaq ke telinga gadis kecilnya, juga sebait do'a yang biasa diucapkan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam untuk meminta perlindungan bagi Hasan dan Husain sebelum beliau pergi.
Senna menelpon taksi untuk pulang. Saat taksi yang ditumpanginya mencapai kota, salah seorang kawan mengundang makan malam di sebuah hotel. Senna menyanggupi ajakan itu, mereka bertemu, menikmati sajian makan malam dan mengobrol sampai larut.
Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika Senna mengundurkan diri. Dia bisa saja meminta hotel mencarikan taksi, tapi malam itu rasanya dia ingin jalan-jalan sendiri sampai ujung jalan atau sampai kakinya lelah sebelum menelpon Blue Bird. Senna ingin sejenak menghirup udara malam, mengurai sedikit beban yang memberati pundaknya.
Malam telah larut, tapi aktivitas manusia belum tampak surut. Puluhan kedai makan masih buka, pengunjung pun masih setia memadati. Sebagian besar dari mereka sudah selesai makan, bincang-bincang, ngopi atau menghabiskan sebatang rokok. Kendaraan masih lalu lalang menebar bising. Gelandangan merenungi nasib berselimut karung di emperan toko, pengamen jalanan melepas lelah di pinggir trotoar, pedagang asongan menghitung omzet penjualan, tidak banyak dari mereka yang peduli terhadap Senna yang berjalan seorang diri di tengah malam yang bisa jadi berbahaya.
Senna berjalan sampai kakinya lelah. Ketika arloji di tangannya menunjukkan setengah jam lewat tengah malam, diputuskannya untuk menelpon taksi. Dia berdiri menunggu di tepi jalan, menyimpan kedua tangan ke dalam kantung jaket.
Taksi yang dinanti tidak kunjung datang, Senna mulai cemas.
Dari kejauhan, Senna mendengar derap langkah menderu bergerak mendekat. Dengan tidak antusias, Senna menoleh ke arah datangnya suara.
Dari tempatnya berdiri Senna melihat seseorang dalam jaket berwarna kuning terang tengah berlari tunggang langgang. Dia memicingkan mata, menajamkan penglihatan supaya dapat menangkap jelas sosok tersebut. Beberapa meter di belakang sosok dalam balutan jaket kuning, dua orang yang lain mengejarnya.
Perkelahian? Tebak Senna dalam hati. Segera dia memutuskan untuk tidak terlibat dengan menyingkir dari trotoar.
Semakin dekat, semakin Senna mampu menangkap wajah dari tubuh yang berbalut jaket kuning. Seorang gadis? Senna terkesima. Bukan. Seorang pemuda. Bukan. Seorang gadis. Gadiskah? Atau pemuda?
Seorang pemuda! Jantung Senna berhenti berdegup. Sosok dalam balutan jaket kuning itu adalah seorang pria seperti dirinya, hanya jauh lebih muda. Wajahnya halus seperti wajah seorang gadis remaja, demikian juga ekspresi ketakutannya saat menubruk tubuh Senna.
"Tolong! Tolong! Tolong saya!" pintanya terbata, antara ketakutan dan kehabisan napas.
Kedua lengannya merengkuh pinggang Senna, wajahnya terbenam dalam dada pria itu sementara kakinya limbung karena lututnya lemas kelelahan. Senna membantunya berdiri, kemudian menyembunyikan tubuh si pemuda ke balik tubuhnya. Saat kedua orang pengejar sampai di hadapannya, Senna berbisik kepada pemuda itu, "Jangan takut. Aku akan menolongmu."
Pemuda itu mempererat pelukannya pada pinggang Senna, memohon perlindungan.
***
Cerita ini pernah dipublikasikan di akun
repost untuk back up karena akan dihapus di first account.
Sudah dibukukan dan masih bisa Print on Demand sewaktu-waktu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top