5•

Keesokan harinya sesuai janji Naruto pada anak-anak, ia membawa mereka untuk mencari Hanabi. Namun, terlebih dahulu, ia membawa mereka ke rumah sakit tempat Gaara bekerja.

Selain mengecek kondisi anak-anak, Naruto tentu saja ingin menjawab rasa penasarannya. Apakah mereka berdua memanglah anaknya? Atau itu semua hanyalah sebuah kebetulan dari takdir.

Tiba di rumah sakit, mereka langsung menuju ruangan Gaara yang sebelumnya sudah diberitahu.

Naruto ingat ketika ia memberitahu, Gaara, laki-laki itu langsung menyetujui dan malah lebih girang daripada Naruto. Nampaknya Gaara memang sangat menantikan ini.

"Paman, kenapa kita ke sini? Apa bibi Hanabi ada di dalam?" Himawari bertanya dengan raut menggemaskan miliknya. Tangan kecilnya menarik-narik pelan kemeja Naruto.

"Bibi Hanabi tidak ada di dalam, Sayang. Aku hanya ingin memastikan jika Boruto benar-benar baik-baik saja. Kalian tidak ingin membuat ibu, bibi Hanabi, dan kakek kalian khawatir, kan?" Mereka berdua menggeleng dan Naruto melihat Himawari menggandeng lengan kecil kakaknya untuk segera berlalu ke ruangan Gaara, "Ayo, kak." ucapnya.

Naruto mengikuti mereka dengan perasaan hangat. Seperti ada unggun kecil yang menghangatkan hati beku miliknya.

Seandainya saja mereka berdua memanglah anaknya...

Naruto tersentak dengan pikirannya sendiri. Jika mereka memang adalah anaknya, memang apa yang akan dia lakukan? Merebutnya? Meminta hak asuh mereka dan kembali melukai hati Hinata- wanita yang amat sangat dia cinta bahkan hingga detik ini? Ataukah membiarkan mereka, lalu melupakan dirinya dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, lalu membuat hatinya kembali diliputi oleh rasa bersalah dan penyesalan?

Naruto memejamkan mata, lalu menghela nafas, dia benar-benar bingung dengan langkah yang akan dia ambil untuk kedepannya.

Naruto kembali memperhatikan tingkah mereka. Mereka berdua memang seperti replika dirinya dan Hinata. Bahkan teman-temannya pun beranggapan sama ketika melihat mereka.

Lalu kalau mereka bukanlah anaknya seperti yang ia harapkan, bagaimana?

Lagi-lagi Naruto tersentak dengan pemikirannya sendiri. Tapi, kalau memang demikian, maka tidak apa. Setidaknya rasa penasarannya bisa terpuaskan. Dan lagi, bukankah ia bisa mengunjungi mereka berdua untuk melepaskan rindunya terhadap sang terkasih yang─ entah─ sudah dipanggil oleh Tuhan tanpa ada embel-embel apapun?

Ah, sudahlah. Lebih baik fokus di sini dulu, yang lain nanti diurus belakangan.

Naruto melepas pandangannya dari Boruto dan Himawari ketika tiba di depan ruangan Gaara. Ia mengetuk beberapa kali sebelum dipersilahkan masuk oleh Gaara.

"Akhirnya kau mengikuti saranku." Ucap Gaara kemudian mempersilahkan mereka untuk duduk. Raut laki-laki itu terlalu amat kentara jika ia sangat senang dan menantikan kehadiran mereka.

"Hn.." senyum kaku Naruto terbit dan memberikannya pada Gaara. Seperti yang biasanya. "Apa kita bisa memulainya Gaara. Aku harus mengantarkan mereka pada Hanabi. Tolong periksa mereka, pastikan mereka baik-baik saja."

"Yah, kau tenang saja." sahutnya kemudian menuntun Himawari dan Boruto menuju ranjang pasien untuk pemeriksaan. "Halo anak-anak..." Gaara menyapa mereka dengan senyum ramah khasnya untuk anak-anak. Tetapi senyum yang sangat berbeda untuk orang-orang dewasa, seperti pasien-pasiennya yang lain.

Himawari dan Boruto memandang Gaara lalu membalas dengan senyum lebar yang memperlihatkan gigi-gigi kecil mereka, "Halo paman." sapa Himawari balik.

Gaara menyuruh Boruto membuka bajunya dan memeriksa tubuh Bolt, "Bagaimana kabarmu, Boy?"

"tentu saja baik, Paman Dokter. Paman bisa melihatnya sendiri." sahut Boruto dengan senyum yang memperlihatkan gigi-gigi kecilnya lalu mengangkat lengan kecilnya untuk memperlihatkan otot-ototnya yang belum terbentuk pada Gaara.

"Wah, kau anak yang kuat, Boruto." Gaara memuji, masih memeriksa keadaan Boruto.

"Tentu saja, Paman. Aku tidak boleh sakit saat ketemu dengan kakek. Nanti dia marah dan tidak memperbolehkan kami datang menjenguknya lagi." kata Boruto.

"Benar, Paman. Kami tidak boleh sakit. Kakek kan sedang sakit, kalau kami juga sakit, kami tidak akan bisa menghibur kakek." Himawari menimpali dengan bangga.

Gaara tersenyum, "Anak baik."

Dan mereka berdua terkekeh senang karena dipuji.

"Baiklah, sekarang giliran Himawari." kata Gaara sambil membantu Boruto memperbaiki bajunya dan menurunkan Boruto dari ranjang lalu membantu Himawari untuk menggantikan Boruto. "Kalau anak manis ini, bagaimana? Coba bilang A" lalu Himawari menirukan gaya Gaara dan membuka lebar-lebar mulutnya. Selanjutnya, Gaara memeriksa Himawari sama seperti Boruto barusan.

Naruto berdiri di samping mereka hanya melihat dan sesekali tersenyum mendengar pembicaraan mereka, "Bagaimana?"

Gaara berpaling dan menatap Naruto sejenak, "Mereka baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir." sahutnya.

"Terima kasih."

"Bukan masalah. Oh ya, Minggu depan hasil lab-nya bisa kau ambil." Gaara menjelaskan, "Tapi Naruto, kalau memang mereka adalah anak-anakmu itu artinya Hinata... masih hidup, lantas mengapa mereka mengatakan jika Hinata sudah meninggal dan melakukan upacara pemakaman?"

Naruto bergeming, tidak menjawab. Ingatan itu kembali lagi dalam benaknya.

Gaara menghiraukan ekpresi Naruto lalu melanjutkan. "Lalu apa yang akan kau lakukan jika itu semua memang benar?" Gaara membereskan peralatannya dan kembali duduk di kursinya, meninggalkan Himawari dan Boruto yang berbincang ala anak kecil di atas ranjang.

Naruto menghela nafas, "Entahlah, aku belum tahu. Aku... saat ini hanya ingin tahu kebenaran ini dan semuanya."

Gaara memandang Naruto dalam, dalam diam. Tidak menyahuti pun bertanya lagi.

"Baiklah, kalau begitu. Kuharap kau bisa menghadapinya lebih dewasa, Naruto." kata Gaara kemudian.

"Apa maksudmu, Gaara?"

"Bukan apa-apa─ ah, aku hampir lupa. Ini." Gaara memberikan satu undangan berwarna Gold pada Naruto. "Reuni angkatan 69. Kau akan datang, kan?"

"Entahlah." Naruto terdiam beberapa detik. "Mungkin iya, kalau aku tidak sibuk. Kalau begitu kami permisi. Aku harus mengantar mereka pada Hanabi."

Lalu Naruto permisi pada Gaara dan membawa Boruto dan Himawari keluar dari ruangan Gaara.

Gaara menatap punggung Naruto yang semakin jauh dan hilang di balik pintu ruangannya. "Semoga kau menemukan kebahagiaanmu, Naruto..." Lirihnya.

🍁🍁

Hinata menghembuskan nafas setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Rasa lelah karena tenaga dan pikirannya yang terkuras akhirnya terbayar. Lusa dia bisa menyusul anak-anaknya ke Jepang, tepatnya di kota Konoha. Kota yang menyimpan banyak kenangannya bersama keluarga, teman, sahabat, dan juga... Naruto. Lelaki yang entah kapan bisa dia hilangkan dari hatinya.

Sudah sembilan tahun berlalu, namun sosok lelaki itu masih setia tertanam dalam hatinya. Bahkan Hinata pun tak bisa mencabut atau membuangnya. Apakah karena ia masih mencintainya?

Entahlah. Hinata sendiri pun tidak tahu dengan perasaannya sendiri. Sudah beberapa kali dia coba untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain, namun tak satu pun di antara mereka yang berhasil menyentuh relung hatinya. Selalu ada kekurangan yang dia rasakan dengan hubungan itu, tidak ada chemisrty, tidak ada rasa, atau hal lainnya yang membuat hubungan itu tak bertahan lama. Hingga akhirnya, Hinata tidak lagi mencoba untuk menjalin hubungan dengan lelaki lain dan memfokuskan diri pada proses pertumbuhan dan perkembangan buah hatinya pun dengan pekerjaan dan perusahaan yang saat ini ia kelola.

Mungkin memang benar, cinta pertama tidak bisa dilupakan pun dihilangkan, karena cinta pertamalah yang memberikan kenangan pertama untuk semua rasa. Termasuk dengan rasa sakit itu.

Hinata melirik jam dinding di dalam kantornya, ia bahkan tidak sadar, kalau ia sudah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyelesaikan semua pekerjaannya hanya karena ingin segera bertemu dengan anak-anaknya.

Rindunya pada kedua anak-anaknya sudah tidak bisa lagi dia tolerir, padahal baru ditinggal dua hari. Tapi, rindunya itu seperti kanker yang perlahan menggerogoti tubuh. Menyebar dan menyesakkan. Dan anehnya, tidak menyakitkan.

Hinata mengambil ponsel dan mengetik pesan email untuk adiknya, Hanabi

"Hanabi, lusa aku akan ke sana. Bagaimana keadaan anak-anakku? Mereka tidak bandel, kan?"

Hinata menunggu balasan email dari adiknya namun sampai menit hampir berganti jam, tidak ada tanda jika email-nya akan dibalas.

Hinata menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, menyilangkan kaki, dan memutar kursi tersebut hingga pemandangan malam kota New York tersuguhkan di depannya.

Sembilan tahun dan perubahan kota sudah seperti ini. Gedung-gedung saling berlomba untuk sampai ke langit, lampu-lampu dari kendaraan, juga gedung-gedung kecil yang semakin tersebar. Di sini saja sudah terjadi perubahan yang banyak, bagaimana dengan Jepang yang sudah sembilan tahun ia tinggalkan? Akankah banyak perubahan yang terjadi? Ah, tentu saja. Di sana pasti banyak yang berubah.

Malam ini, langit tampak terang tanpa ada sapuan awan. Bintang bergemerlap seperti hiasan, membentuk formasi unik yang menghasilkan ribuan gambar dengan pola-pola tertentu.

Angan Hinata kembali ke beberapa tahun yang lalu, saat dia dan Naruto masih bersama. Saat cinta mereka masihlah menggebu, saat hanya ada masalah-masalah kecil yang menghampiri dan dengan mudah mereka selesaikan, sampai pada akhirnya mereka berpisah karena Naruto yang pergi meninggalkannya dan tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilannya.

Dia ingat betapa terpuruknya dirinya ketika ayah dan kakaknya mengatakan jika Naruto malah memilih pergi meninggalkannya karena lelaki itu menerima perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya dan membiarkan dirinya pergi ke kota New York, dan menanggung semuanya seorang diri. Melahirkan dan membesarkan kedua anaknya.

Jadi kenapa, lelaki itu tak mau pergi dari pikirannya, dari hatinya? Bukankah lelaki itu sudah sangat kejam terhadapnya juga pada anak-anaknya?

Hinata menghembuskan nafasnya dengan berat. Lusa adalah saat dirinya kembali menginjakan kaki di kota kelahirannya, kota yang banyak menyimpan kenangannya, terutama bersama pria itu.

Sanggupkah ia?

Hinata hanya bisa berharap agar semuanya baik-baik saja. Ia berharap agar ia tidak bertemu dengan lelaki itu dan kembali merasakan perasaan hancur sama seperti beberapa tahun lalu atau mungkin perasaan yang selama ini berusaha ia kubur kembali bangkit dan membuatnya kembali terpuruk ketika melihat laki-laki itu bersama dengan wanita yang sudah ia nikahi.

🍁🍁

"Maaf, Nee-chan aku baru membalas email-mu, semalam aku tidur lebih awal. Aku terlalu lelah. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan. Oh iya, kau tenang saja nee-chan Bolt dan Himawari baik-baik saja, mereka tidak bandel, kok. Mereka berdua adalah keponakanku yang paling menggemaskan. Dan omong-omong, mungkin aku tidak akan menjemputmu. Kau tahu kan nee-chan, tou-san memberiku banyak pekerjaan. Dia benar-benar tanpa ampun."

Hanabi membalas pesan email dari Hinata sambil memperhatikan interaksi antara ayah dan anak di depannya. Tepatnya beberapa meja di depannya.

Sudah seharian ini dia mengikuti mereka, mengikuti segala kegiatan yang mereka lakukan. Naruto, lelaki yang pernah menyakiti kakaknya dan kedua keponakan yang sangat dia sayangi. Entah lelaki itu sadar dengan ikatan yang ada di antara mereka atau hanya karena mereka mengingatkannya pada kakak perempuannya hingga menunda menghubunginya dan mengembalikan mereka pada keluarganya.

Dia memang salah, sudah terlambat─ sangat terlambat─ menjemput mereka karena tertidur akibat rasa lelah yang tidak bisa dia tahan karena proyek yang ditangguhkan oleh ayahnya padanya hingga ia baru sadar setelah kakaknya menelpon untuk menanyakan kabar kedua keponakannya.

Jantungnya serasa mau melompat dan meninggalkan tubuhnya ketika dia melihat jam yang sudah berputar dan banyak melewati angka tetapi keponakan-keponakannya belum sampai di rumahnya.

Dia benar-benar kalut saat itu dan tanpa memedulikan waktu dia berangkat menuju bandara untuk menjemput keponakan-keponakannya. Namun usahanya itu sia-sia karena kedua keponakannya sudah tidak ada di sana. Lagipula mana mungkin dua keponakannya masih menunggu dirinya di bandara, padahal jam sudah mennjukkan angka satu dini hari. Enam jam yang lalu.

Hingga hari ini, dia tidak sengaja melihat mereka keluar dari rumah sakit tempat nenek Konohamaru bekerja. Senju Tsunade, pemilik sekaligus orang yang bertanggung jawab terhadap Rumah Sakit tersebut.

Awalnya ia kira matanya mengalami kerusakan ketika melihat mereka namun setelah lama diperhatikan mereka memang orang-orang yang ada dikepalanya. Naruto dan para keponakannya.

Ia mengikuti mereka tanpa mengingat jika ia sudah membuat janji dengan Konohamaru. Terus memperhatikan mereka seperti seorang stalker, tanpa berniat menyapa atau pun mengganggu mereka. Ia hanya ingin melihat bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama sebelum─ mungkin─ kakak dan ayahnya memisahkan mereka.

Sejujurnya ia ingin sekali mereka─ Naruto, kakak perempuannya, juga keponakan-keponakannya─ bisa bersama. Ia ingin melihat kakak perempuannya kembali seperti dulu, seorang wanita yang lemah lembut dengan segala kelembutan dan ketulusannya yang selalu ia pancarkan dan ia juga ingin keponakan-keponakannya bisa merasakan memiliki seorang ayah yang sesungguhnya.

Ia ingat, dulu ketika ia berkunjung ke rumah kakak perempuannya, mereka─ Bolt dan Himawari─ menangis sambil bertanya tentang ayah mereka.

Hari itu musim gugur, dengan banyak daun-daun yang berguguran mengotori setiap jalan setapak yang ia lalui ketika mengunjungi mereka. Umur Bolt dan Himawari masih lima tahun dan karena kakak perempuannya sibuk mengurusi proyek yang baru dia menangkan akhirnya meminta padanya untuk mengurus Bolt dan Himawari, yang kebetulan datang berkunjung.

Kakaknya tidak memakai jasa pengasuh, karena trauma. Pernah Bolt dan Himawari diculik oleh seseorang yang berpura-pura menjadi pengasuh mereka. Waktu itu, keluarga Hanabi sangat khawatir, terutama Hinata yang sudah kalut dan berniat pergi sendirian menjemput anak-anaknya. Untung saja, ada inspektur polisi Ibiki yang menenangkannya dan tidak lama mereka bisa menemukan lokasi penculiknya.

Hanabi juga tidak bisa melupakan, bagaimana mata Bolt dan Himawari yang membengkak karena menangis juga di tubuh mereka yang terdapat beberapa lebam biru bekas cubitan. Hanabi benar-benar marah saat dan ingin menghajar penculik itu karena sudah melukai dua keponakan tersayangnya kalau saja Hinata tak melumbai dirinya.

Dan sejak saat itu, Hinata tak lagi menyewa jasa pengasuh dan memilih mengasuh anak-anaknya sendiri. Dan jika sibuk, Hinata akan membawa mereka ke kantornya.

Hanabi tentu saja dengan senang hati menerimanya, karena alasan utamanya mengunjungi mereka adalah karena kerinduannya terhadap keponakannya. Keponakan yang sangat lucu. Tingkah polos mereka selalu membawa tawa, menghilangkan semua kepenatannya terhadap pekerjaan dan tuntutan sebagai seorang karyawan di perusahaan tempatnya bekerja.

Mereka pergi ke taman. Taman yang tidak jauh dari sekolah mereka. di sana ada banyak anak-anak yang bermain dan di dampingi oleh orang tua mereka. Mereka semua tampak bahagia. Banyak tawa yang terdengar, banyak senyum yang tersungging di bibir mereka, juga aura yang menunjukkan kebahagian di taman itu.

Bolt dan Himawari juga asik bermain. Mereka juga tertawa, mereka bahagia tetapi Hanabi merasa ada sesuatu yang berbeda dari bahagia mereka.

Awalnya ia tidak mengacuhkan perubahan tingkah mereka yang jadi lebih banyak diam dan tidak biasanya hingga ia tidak sengaja melihat Himawari menangis. Entah karena apa. Bolt berusaha menenangkan Himawari yang tidak berhenti menangis.

Hanabi berjalan, bermaksud menenangkan Himawari, namun langkah kakinya terhenti ketika suara keluhan Himawari terdengar di sela-sela isakannya. Membuat Hanabi bergeming di tempat seperti patung air mancur.

"Kenapa kita tidak punya dad, Bolt? Aku juga ingin punya dad sepelti Eric, Cika, Mimi, dan Glay. Aku cudah jadi anak yang baik Bolt, kenapa dad belum datang juga? Apa dia membenci kita?"

"Hima kenapa bicala sepelti itu?"

Bolt yang tadinya berusaha menenangkan Himawari ikut menangis ketika mendengar keluhan adiknya. Ia juga rindu pada sosok ayahnya. Teman-temannya selalu membanggakan ayah mereka, selalu menceritakan kebiasaan mereka menghabiskan waktu bersama ayah mereka dan itu membuat mereka benar-benar iri.

Dan Hanabi tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Hatinya benar-benar seperti diremas tangan tak kasat mata ketika melihat kedua keponakannya menangis meraung sambil memanggil ayah mereka. Sejak saat itu, Hanabi berniat ingin mempertemukan mereka dengan Naruto─ ayah mereka─ tetapi ayah dan kakak lelakinya pasti tidak akan pernah mengijinkannya. Mereka sudah benar-benar membenci Naruto. Lelaki yang mereka anggap tidak pernah bertanggung jawab. Lelaki yang hanya bisa mencari kesenangan tanpa mau repot-repot menanggung akibatnya.

Hanabi kembali memperhatikan mereka. Ia ikut tersenyum ketika keponakannya bertengkar dan entah memperebutkan apa. Hanabi bisa melihat Naruto tersenyum dengan hangat dan tertawa melihat tingkah keponakannya─ tidak seperti berita yang ia dengar jika lelaki itu tidak pernah tersenyum. Sama sekali tidak pernah.

Drrrrtt...

Getaran ponsel Hanabi sedikit mengalihkan perhatiannya.

Hinata nee-chan is calling...

Jantung Hanabi berpacu, ketika melihat siapa yang menghubunginya. Hinata─ kakak perempuannya yang tadi ia pikirkan, "Ya, nee-chan ada apa?" jawab Hanabi berusaha menutupi kegugupannya.

"Hanabi, bisakah kau memberikan ponselmu pada anak-anakku? Aku ingin bicara pada mereka. Aku sangat merindukan mereka."

Hanabi diam sejenak. Ia memikirkan alasan yang masuk akal untuk menolak permintaan kakaknya. Ia tidak mungkin mengatakan jika keponakannya itu tidak sedang bersamanya, terlebih mereka bersama Naruto atau mendatangi Naruto secara langsung, berpura-pura semua yang pernah terjadi di antara mereka tidak pernah ada dan langsung memberikan ponselnya pada Bolt atau Himawari karena ibu mereka ingin bicara. Apa yang akan Naruto pikirkan nanti?

Hanabi tidak sengaja melihat jam tangannya dan mendapatkan alasan bagus untuk menolak keinginan Hinata. "Ma...maaf nee-chan Boruto dan Himawari sementara istirahat. Mereka sedang tidur siang. Kau tahu kan kalau anak-anak seumuran mereka sangat aktif jadi, yah mereka sedang tidur siang karena kelelahan bermain." Maaf nee-chan aku membohongimu. Kata Hanabi dalam hati.

Terdengar helaan nafas dari seberang sana, "Baiklah kalau begitu."

"Maaf yah nee-chan." Ucap Hanabi merasa bersalah.

"Iya tidak apa-apa. Oh, Hanabi, apa Neji-nii atau tou-san tidak bisa menjemputku nanti?"

"Iya nee-chan. Mereka juga sibuk mempersiapkan pesta tahun baru di perusahaan. Aku akan mengirimkan orang untuk menjemputmu."

"Hah, baiklah."

Selanjutnya telepon di tutup oleh Hinata. Hanabi masih memperhatikan mereka. Ada keinginan untuk mempertemukan mereka. Ia ingin sekali meluruskan kesalahpahaman yang terjadi antara Hinata dan Naruto. Ia tahu kalau semua alasan yang dilontarkan oleh Neji-nii juga ayahnya adalah bohong. Ia tahu, semua yang mereka lakukan adalah untuk kebaikan Hinata, tetapi melihat sekarang adalah kebalikan dari yang mereka harapkan, ia jadi tidak tega.

Hanabi ingin mempertemukan mereka. Barangkali saja penyesalan dan rasa bersalah juga kebencian yang ada pada mereka berdua bisa sirna dan berganti dengan perasaan mereka yang dulu. Saling mencintai. Terlebih pada Bolt dan Himawari yang merindukan sosok ayahnya.

Semoga saja dia bisa dan berhasil. Untuk itu Hanabi butuh bantuan teman-teman Naruto dan Hinata.

Yah, semoga saja berhasil. Harap Hanabi dalam hatinya

...

Tbc

Mickey139 09.12.17
@CC

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top