2• Bolt dan Himawari
7 tahun kemudian
"Mom, ayo cepat. Sebentar lagi pertunjukannya dimulai, nanti kita terlambat." kata seorang anak kecil kira-kira berumur delapan tahun dengan suara cempreng. Sambil menyeret seorang wanita dewasa.
Wanita itu menatap anaknya dengan lembut. Senyum menghiasi wajah cantiknya.
"Baiklah, sayang. Jangan terlalu terburu-buru, nanti kau jatuh." jawabnya sambil mensejajarkan langkahnya dengan langkah kecil anaknya juga menggenggam tangan kecil milik putranya.
Anak lelaki yang dulu pernah ditolak oleh ayah kandungnya sendiri dengan alasan umur dan ketidaksiapannya menjadi seorang ayah, kini tumbuh dengan membawa sebagian besar gen ayahnya. Mata, rambut, juga senyum lebarnya, terlalu mirip dengan lelaki itu, bahkan tidak menyisakan gen Hinata untuk berada di dalam tubuh anaknya agar ikut menonjol.
Tapi itu tidaklah mengapa, karena dia sangat menyayangi putranya. Sekalipun sangat bandel.
Dia ingat, dulu dia hampir melakukan apa yang diminta oleh lelakinya untuk menggugurkan anaknya. Akan tetapi, dia tidak melakukannya. Dia benar-benar tidak bisa. Hatinya terlalu lembut untuk itu. Lagipula, semua itu adalah kesalahan mereka dan janin dalam kandungannya tidaklah bersalah. Janin itu adalah anak mereka, sekalipun Naruto tidak menginginkannya. Dia anugerah dari Tuhan yang diturunkan untuknya dan tidak mungkin dia menolak pemberian Tuhan.
Memang pada awalnya ia sangat terpuruk dengan hal itu. Apalagi, ketika tidak ada dukungan dari orang-orang yang dia sayangi.
Dan tentu saja hal ini disebabkan oleh ayahnya sendiri. Rasa kecewa Hiashi benar-benar sudah lewat ambang batas hingga ia melarang semua keluarganya untuk membantu Hinata.
Yah, seharusnya dia tidak melakukan itu sekalipun ia sangat mencintai Naruto. Seharusnya dia bisa menahan diri ketika melihat tatapan memohon sekaligus mendamba dari laki-laki itu. Sayangnya ia tak bisa. Dan semuanya sudah terjadi, waktu tidak akan berputar kembali. Apa yang terjadi dulu adalah sebuah pembelajaran untuknya di masa kini.
Dan untung saja, itu tidak berlangsung lama, karena ketika tiga bulan masa kehamilannya, ayahnya datang untuk melihat keadaannya, bahkan ikut membantunya. Berusaha memenuhi kebutuhan Hinata, meski Hinata mengidamkan sesuatu yang tidak masuk akal seperti ramen dengan rasa jeruk, atau bahkan buah jeruk yang berasa ramen. Hiashi akan berusaha memenuhinya.
🍥🍥🍥
"GUGURKAN KANDUNGAN ITU!" Ucap Hiashi penuh emosi sambil menunjuk perut Hinata. Mata yang biasa memancarkan kelembutan pada setiap anaknya, kini berubah dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan.
Hinata tersentak, mendongak menatap ayahnya tak percaya. Bukan seperti ini yang dia inginkan, bukan bentakan dan tatapan kecewaan dari ayah dan kakak sepupunya yang ingin dia lihat, dan bukan pula tatapan kasihan dari sang adik yang dia inginkan.
Hinata menggelengkan kepalanya seraya meneteskan air mata. "Tidak oto-san, aku tidak bisa membunuhnya. dia hadir karena kesalahan kami─"
"Kalau begitu suruh dia bertanggung jawab!" bentak hiashi
Hinata menggeleng, tidak mungkin Naruto mau menikahinya, dia sudah ditolak bahkan lelaki itu juga menyuruhnya untuk menggugurkan kandungannya. "Aku tidak bisa oto-san. Aku tidak bisa."
"Apa dia tidak mau bertanggung jawab?"
Hinata menunduk tak tahu apa yang harus dia katakan. "A... Aku.. ─"
"Jadi benar dia tak mau bertanggung jawab?" sentak Hiashi makin membuat Hinata merasa sakit juga bersalah.
Seumur-umur, ayahnya tidak pernah memarahinya apalagi membentaknya seperti ini sambil menunjuk-nunjuknya.
"Maafkan aku oto-san."
"Brengsek. Aku akan membunuhnya." Ucap Neji tiba-tiba kemudian berdiri dan bersiap untuk ke tempat Naruto
Hinata tersentak ketika pemuda itu sudah bersiap. Dia pun ikut bangkit dan memegang pergelangan tangan Neji untuk menahannya. "Ku mohon jangan Nii-san. Aku─"
"Kau─ apa kau bodoh Hinata. Kau menderita sementara dia di sana tengah bersenang-senang dan tidak menanggung apa-apa atas dosa yang kalian lakukan." Neji terlihat murka, urat-urat di wajahnya nampak jelas tercetak. Sepupu yang sudah dia anggap sebagai adiknya menderita karena ulah Naruto dan Hinata masih membela laki-laki itu.
Kakak mana yang akan senang dan membiarkan hal itu terjadi. Tidak ada. Sekalipun, mereka bukanlah saudara kandung, tapi Neji sangat menyayangi Hinata.
"Aku..."
Hinata tak sanggup lagi meneruskan ucapannya karena tiba-tiba kesadarannya hilang. Dia pingsan. Neji dan ayah Hinata yang masih ingin mengeluarkan apa yang ada di kepala mereka, jadi terhenti karena melihat keadaan Hinata yang tak sadarkan diri.
"Neji, urus berkas-berkas untuk kepindahan Hinata. Kita akan menerbangkannya ke Amerika, tempat bibimu berada. Dia akan mengurus Hinata di sana, sekalian mengajarkan Hinata tentang bisnis."
"Haik."
🍥🍥🍥
"Mom..." Suara seseorang kembali memanggilnya. kali ini adalah suara gadis kecil seumuran dengan anak lelakinya. Dia tengah berdiri di depan mobil sambil besedekap.
"Oh, sorry honey." Hinata tersenyum melihat tingkah menggemaskan anak perempuannya yang lain. Pipinya yang gembul sengaja dikembungkan tanda kejenuhannya akibat menunggu Hinata dan Bolt.
Dulu dia tidak menyangka, jika dirinya mengandung anak kembar, meskipun kandungannya cukup besar untuk kehamilan pertamanya. Tapi dia tidak benar-benar memikirkannya.
Himawari, lahir lima menit setelah Boruto anak pertamanya dan dia mewarisi hampir seluruh gen Hinata dari rambut, wajah, bahkan kulit putih pualamnya, kecuali warna matanya yang berwarna biru langit sama seperti ayah biologisnya. Dan itu adalah kejutan yang tidak diantisipasi olehnnya karena dia tidak tahu kalau anaknya adalah kembar. Meskipun ukurannya jauh lebih kecil dari anak pertamanya.
Mereka berdua adalah anugrah terindah yang diberikan oleh Tuhan. Meskipun tanpa laki-laki itu dia berhasil membesarkan mereka.
"Kenapa lama sekali? Sebentar lagi acaranya dimulai. Kita akan terlambat."
"Iya. Kau cerewet sekali, sih." Balas Boruto tidak terima.
Hinata hanya menggeleng melihat tingkah anak-anaknya. Lalu tersenyum. Mereka berdua selalu menampilkan kelucuannya, sekalipun karena pertengkaran mereka Dan itu selalu sukses membuatnya tersenyum bahkan tertawa kecil.
"Baiklah, sudah cukup anak-anak. kalian akan lebih terlambat lagi jika berdebat disini."
"Iya." Balas mereka bersamaan.
"Oh, iya Mom, kita akan kerumah kakek, kan akhir minggu nanti? Aku rindu kakek." Himawari bertanya dengan semangat dan dianggukan oleh Boruto. Mereka berdua menatap Hinata dengan mata berbinar sekaligus berharap jika rencana mereka kali ini bisa terealisasi.
"Oh... Maafkan aku anak-anak. Mom tidak bisa. Mom masih banyak pekerjaan di sini." Ucap Hinata sangat menyesal telah membuat anak-anaknya berharap dan kemudian mengecewakan mereka.
"Mom menyesal sayang." Dan apapun yang Hinata katakan tidak bisa menghilangkan raut kecewa anak-anaknya.
Hinata menghembuskan nafas. Satu hal yang tidak dia sukai adalah melihat anak-anaknya kecewa karena dirinya. Ini sudah kesekian kalinya dia membuat mereka kecewa dan Hinata akan berusaha untuk menghilangkannya.
Setibanya mereka tiba di Trinity of International elementary. Hinata membawa kedua anaknya masuk dan dia duduk di bangku yang sudah disiapkan oleh panitia. Sementara kedua anaknya menuju ke belakang panggung untuk mempersiapkan pertunjukan merek
Hinata mengambil ponselnya di dalam tas, mengetikkan beberapa nomor. Lalu menunggu hingga suara panggilan itu berubah jadi kata "Halo, Nee-chan..."
"Halo, Hanabi. Apa kau sibuk minggu depan?" Hinata bertanya sambil menonton pertunjukan anak-anak sekolah Trinity.
"Tidak, Ne-chan. Ada apa?"
"Bolt dan Himawari ingin ketemu Oto-san. Mereka merindukannya, tetapi aku tidak bisa ikut pergi. Masih banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan di sini."
"Tapi aku juga tidak bisa berangkat ke sana nee-chan, pekerjaanku juga sangat banyak dan barulah minggu depan berkurang, tapi tidak bisa bepergian. Maafkan aku, Ne-chan. Ah... tapi kalau kau mengijinkan, biarkan mereka naik pesawat, biar aku yang menjemputnya di bandara."
"Aku tidak berani mengambil resiko, Hanabi. Aku tidak mau jika terjadi sesuatu pada mereka."
"Baiklah. Sekali lagi maafkan aku nee-chan, karena tidak bisa membantu. Tapi, kuharap kau memikirkannya. Bagaimanapun juga, mereka merindukan kakenya."
"Yah, akan kupikirkan ini, Hanabi. Terima kasih
Hinata mematikan sambungan dan kembali menatap ke panggung. Anak-anak sekolah Trinity sangat besemangat memunjukkan kemampuan mereka untuk menghibur para penonton dan setelahnya mereka akan menunjukkan senyum cerah ketika mendengar sorak dan tepuk tangan dari penonton.
Hinata jadi tidak sabar menunggu kedua anaknya. Mereka sudah berlatih keras untuk hari ini.
Lama berselang ketika sebagian peserta sudah menampilkan kehebatan mereka. Selanjutnya adalah giliran kedua anaknya. Bolt sudah siap di depan pianonya sementara Himawari berjalan menuju tengah panggung di mana microphone berada.
Suara indah dari denting piano yang dimainkan oleh Bolt menggema di dalam aula sebagai pembuka. Semenata Himawari memegang microphone nya dan bersiap melantunkan lagu yang sudah mereka siapkan.
Para tamu terdiam ketika dua suara itu menggema dalam aula. Suara mereka lembut dan menghipnotis hampir semua penonton. Walaupun mereka masih anak-anak tapi permainan nada yang mereka tampilkan sangat hebat dan hampir menyamai profesional.
Hinata menatap kedua anaknya dengan mata berbinar penuh haru. Mereka berdua sudah membuatnya bangga. Walau mereka lahir tanpa ayah, tapi mereka bisa tumbuh sehebat ini.
Sebenarnya dulu, ketika dibulan ketujuh kehamilannya, Hinata mulai meragu. Dia takut jika nanti anaknya lahir, dia tidak akan bisa menjadi seorang ibu yang baik. Dia sangat tidak percaya diri, mengingat dia akan melahirkan tanpa dampingan seoarang suami. Namun, sekarang pemikiran itu tidaklah terbukti. Anak-anaknya tumbuh dengan perkembangan yang hebat bahkan melebihi ekspektasinya.
Hinata sangat bahagia memliki mereka berdua. Dua malaikat yang selalu membuatnya tersenyum dengan tingkah lucu dan menggemaskan. Dua malaikat yang membuatnya bertahan dan melupakan semua kesedihannya.
Tepuk tangan dari banyak penonton menyadarkan Hinata dari lamunannya. Dia melihat kedua anaknya tengah tersenyum kearahnya sambil melambaikan tangan. Hinata tersenyum melihat tingkah kedua anaknya yang seolah memberi tanda jika merekalah yang telah melakukan pertunjukan barusan. Hinata kemudian mengangguk agar mereka percaya jika Hinata juga menonton pertunjukan mereka.
Mereka berdua turun dari panggung dan menghampiri Hinata dengan berlari sambil tersenyum lebar.
"Kalian tadi hebat sekali, Mom sangat bangga pada kalian.."
"Terima kasih mom." Mereka menjawab bersama.
"Nah, sebagai hadiah. Apa yang kalian inginkan dari, mom?"
Mereka saling menatap dan ada senyum yang menghias bibir mereka.
"Tapi bisakah mom menepatinya?" Tanya Boruto. Ada harapan yang terpancar dari kedua bola matanya membuat Hinata tidak enak.
Hinata tahu apa keinginan anak-anaknya, karena mereka sudah mengatakannya berulang kali. Walau Hinata sering menjanjikannya, tapi dia sangat jarang bahkan hanya beberapa kali saja menepatinya.
"Baiklah, mom berjanji. Jadi katakan apa yang kalian inginkan?"
"Kerumah kakek." Mereka menjawab serempak. Banyak harapan yang terpancar dari dua bola mata bening mereka dan Hinata akan sangat merasa bersalah jika menolaknya.
Dan sepertinya ide Hanabi akan dia lakukan.
"Baiklah. Tapi mom tidak janji akan ikut bersama kalian."
"Lalu bisakah kami pergi tanpa mom?" Himawari manatap ibunya. Ada harapan dalam kata-katanya. Mata birunya berbinar menatap Hinata.
"Kami mohon." Kali ini Boruto melakukan hal yang sama.
Mereka berdua menatap Hinata.
Hinata menghela nafas. Mungkin dia harus menghubungi Hanabi dan menyetujui saran Hanabi tadi.
"Baiklah."
.
.
.
.
.
"Di sana kalian akan dijemput oleh bibi Hanabi. Kalian masih ingat bukan wajahnya?" mereka mengangguk. Tentu saja mereka masih ingat karena bibinya itu hampir tiap bulan datang mengunjungi mereka. Kadang kala bahkan bersama paman Konohamaru.
"Jika kalian sudah sampai, jangan lupa menghubungi mom." kembali mereka mengangguk. Tentu saja mereka harus menghubunginya, karena mereka tidak ingin membuat ibunya khawatir. Kekhawatiran ibu mereka kadang sangat merepotkan dan mereka tidak ingin mendengar omelan yang bahkan bisa berhari-hari.
"Yes, mom. We will."
Mereka sudah berada di bandara. Hinata mengantar mereka tidak sampai di dalam, karena ditahan penjaga. Hinata menitipkan Boruto dan Himawari pada seorang pramugari yang bertugas di pesawat yang akan kedua anaknya tumpangi.
Awalnya Mereka berdua tidak diizinkan, karena umur mereka masih kecil dan tidak didampingi oleh siapapun walau Hinata sudah memberukan penjelasan. Tetapi, untungnya Hinata bertemu dengan seorang pramugara, seorang teman saat kuliah dulu. Dan akhirnya Bolt dan Himawari diizinkan untuk pergi.
Di dalam pesawat, Boruto dan Himawari duduk bersampingan. Mereka tampak tenang walau tanpa didampingi siapapun padahal ini pertama kalinya mereka melakukan perjalanan udara tanpa orang dewasa.
Mungkin karena mereka sudah sangat merindukan kakeknya. Lagipula ini adalah kejutan untuk kakek mereka. Guru mereka pernah bilang, ada hari perayaan untuk ayah dan karena mereka sudah tidak punya ayah, jadi kakek mereka adalah penggantinya.
Sebenarnya, mereka ingin memberikan kejutan saat kunjungan lalu kakek mereka, karena biasanya kakek mereka akan berkunjung tiap akhir bulan ke rumah mereka, tetapi sudah hampir enam bulan belakangan ini kakek mereka tidak datang. Kata paman Neji, kakek mereka sedang sakit jadi tidak bisa berkunjung.
Mereka jadi tidak sabar untuk sampai ke Konoha. Ingin melihat raut terkejut kakeknya. Dia pasti akan senang sekali dengan kejutan ini. Dan lagi mereka juga ingin melihat Noara, anak dari paman Neji dan Bibi Tenten secara langsung. Mereka hanya pernah melihatnya beberapa kali itupun dari ponsel panan Neji.
Noara umurnya masih tiga tahun, tapi katanya dia sangat nakal seperti laki-laki. Anak perempuan itu walaupun cantik tapi agak tomboy, dia tidak bisa diam, makanya tiap kali paman Neji berkunjung kerumah mereka dia tidak pernah membawa Noara.
Tidak berapa lama mereka sudah sampai di bandara. Bolt langsung menghubungi Ibunya.
Tapi karena tidak diangkat, Boruto hanya mengiriminya pesan.
"Mom, kami sudah sampai." Ketiknya kemudian berjalan sambil menggenggam tangan Himawari agar tidak terpisah.
Mereka berjalan dan mencari bibi Hanabi yang katanya akan datang menjemput mereka, tapi sampai sekarang mereka tidak menemukannya.
Mereka kemudian berjalan di ruang informasi setelah bertanya pada security. Meminta untuk bibi Hanabi menjemput mereka di dekat ruang informasi. Tapi sampai beberapa lama menunggu bibi mereka tidak kunjung datang. Bolt kembali meminta pegawainya untuk mengumumkan untuk bibi Hanabi menjemput mereka.
"Kenapa bibi Hanabi lama sekali? Apa mom lupa bilang pada bibi, kalau hari ini kita datang?" Himawari bertanya setelah kakaknya duduk di sampingnya.
"Tidak mungkin, Hima." Jawab Boruto. Pandangannya menyusuri pintu masuk bandara, mungkin saja bibinya sedang mencari mereka atau setidaknya baru datang dan tidak mendangar pengumuman.
"Itu dia, kak." Himawari menunjuk, seorang wanita yang tengah celingak-celinguk mencari sesuatu. Rambutnya panjang berwarna coklat, dengan kaca mata hitam yang bertengger di hidungnya.
Wanita itu berjalan berlawanan arah dengan tempat mereka berdua sambil meletakkan ponselnya di telinga. Mungkin dia tengah menghubungi kami, pikir mereka berdua.
"Ah... pantas saja. Ponsel kakak bibi sedang menghubungi kita, Hima." Kata Bolt setelah melihat ponselnya.
"Kalau begitu sebaiknya kita hampiri bibi. Mungkin dia bingung cari kita, kak." Himawari memakai tas ransel kecilnya kemudian menarik tangan kecil kakaknya untuk segera menyusul bibinya yang sudah bersiap pergi berlawanan arah dengan tempat mereka.
"Bibi, jangan pergi dulu. Kami ada di sini..." Himawari dan Boruto secepatnya berlari mengejar wanita itu karena kalau tidak terkejar, mereka akan saling mencari.
Tapi wanita itu terus saja berjalan, langkahnya sangat besar dan tergesa-gesa langkah kaki kedua anak itu tidak bisa menyamainya. Bolt dan Himawari terus memanggilnya, tapi tidak sekalipun dia hiraukan. Seperti tidak mendengar apapun.
"Bibi Hanabi tunggu kami."
Wanita itu akhirnya berbalik, tapi tidak berhenti maupun menghampiri mereka. Dia terus berjalan bahkan kini dia sudah setengah berlari seperti sedang menghindari sesuatu. Tapi tidak mungkin kan dia menghindari Boruto dan Himawari karena setahu mereka bibinya itu sangat menyayangi mereka bahkan dia sendiri yang mengusulkan agar Boruto dan Himawari datang berkunjung dan memberikan kejutan untuk kakek.
Wanita itu sudah sampai di luar bandara. Dia terlihat sedang menunggu sesuatu, tapi tidak seperti menunggu Bolt dan Himawari.
Ketika taxi berhenti di depan wanita itu, dia lalu menumpanginya dan tidak peduli pada Bolt dan Himawari yang sedari tadi mengejarnya.
Bolt melepaskan genggamannya dari Himawari agar larinya bisa lebih cepat dan bisa menghentikan bibinya yang akan meninggalkan mereka. Taxi itu bergerak dan perlahan meninggalkan bandara. Boruto semakin mempercepat laju larinya, dia tidak mau ketinggalan. Mereka tidak mau terluntang lanting dan membuat ibu mereka khawatir.
Dan ketika mobil itu menyebrang, Boruto tidak bisa menghentikan kakinya untuk mengejar. Banyak mobil yang berlalu lalang di sana, tapi tidak dihiraukan anak itu.
Himawari di belakangnya terus meneriakinya untuk berhenti mengejar dan kembali padanya, tapi dia tidak bisa. Dia harus bertemu dengan bibi mereka, agar mereka bisa diantar ke kakek.
Ckik
Boruto terjatuh di aspal. Wajahnya pucat. Hampir saja nyawanya melayang jika saja sang pemilik mobil tidak me-rem mobilnya tepat waktu.
.
.
.
.
TBC
a/n : b
agian 2 udah update, yey 😁.
BTW, Mungkin kalian sudah sering membaca cerita dengan tema seperti ini, dan saya harap sih kalian gak bosan kalau baca ceritaku ini. Karena seperti yang ada di kepala kalian semua, endingnya juga bakalan sama.
Oh, iya sampe lupa. Pasti kalian bertanya-tanya, kok gaya bahasanya beda-beda sih? yah aku hanya menyesuaikan dengan sudut pandang anak-anak dan orang dewasa. Aku merasa aneh saja kalau sudut pandang anak kecil disamakan dengan sudut pandang orang dewasa.
Eh... sudah yah, hahahaha... (paling juga catatan authornya gak di gubris 😩) Abaikan saja catatan ini kalau merasa gak penting. Hahahaha... 😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top