15• Perasaan Yang Sama
Ketika matahari sudah berada pada titik horison dan perlahan-lahan bergerak naik, Hinata masih berada di beranda kamarnya, tetapi, bukan menikmati, wanita yang sudah memiliki dua anak tersebut hanya tak bisa tertidur.
Sejak pertemuan perdana ia dan Naruto semalam setelah sembilan tahun tak pernah saling melihat, dirinya tak kunjung terlelap. Pikirannya terus berkelana hingga pagi menjelang.
Naruto.
Lelaki bermata safir yang tak pernah bisa lepas dari hidup Hinata. Bahkan bisa dibilang, laki-laki itulah pemegang kuasa atas hatinya. Sebab, meski ia mencoba untuk mencari orang lain sebagai pengganti, tetap saja hatinya selalu berlabuh di pelabuhan yang sama. Seberapa keras pun ia coba tepis, nyatanya ketika mata mereka bersiborok semalam, perasaan yang coba ia kubur sembilan tahun silam ternyata masih melekat di hatinya.
Hinata sama sekali tak paham dengan dirinya sendiri. Harusnya ia merasakan kemarahan atau kebencian yang besar pada lelaki itu karena sudah membuangnya, namun ia sama sekali tak merasakannya.
Bodoh memang. Namun, ia pun tak tahu mengapa. Ah, atau mungkin saja perasaan itu disebabkan oleh anaknya yang terlampau mirip dengan Naruto hingga perasaan benci enggan dia rasakan. Yah, mungkin saja. Hinata menekankan dirinya, enggan mengakui.
...
Udara yang berhembus pagi itu sangat dingin, lebih dingin dari kota kelahiran Himawari dan Boruto dan membuat mereka terus bergelung di balik selimut. Tetapi, karena mengingat tujuan mereka ke Tokyo untuk memberikan kejutan pada kakeknya, mau tidak mau mereka harus bangun juga.
Himawari mengucek matanya setelah duduk di atas ranjang. Pandangannya mengarah keluar di balik jendela sebelum beralih pada Boruto di sampingnya.
"Kak, bangun!" Tangan kecil Himawari mengguncang bahu Boruto, namun bocah cilik itu tak memberikan respon dan tetap terlelap di balik selimut.
"Kak!" Sekali lagi Himawari berusaha. Tetapi, Boruto lagi-lagi tidak memberikan respon. Sampai Himawari menarik selimut Boruto dan menindihnya, barulah Boruto merespon.
"Himaaaa!!!"
"What?" sahut Himawari dengan ekspresi tak bersalah.
"Kenapa menggangguku tidur? Kalau mau main, main sendiri. Aku masih ingin tidur. Di sini dingin sekali." sentak Boruto dengan wajah kesal. Matanya masih setengah tertutup.
"Dasar bocah." ejek Himawari. Tetapi tak berhenti untuk membangunkan Boruto. "Ayolah, bangun. Kita ke sini buat kakek. Kalau kau tidur terus, kita tidak bisa kasi kejutan buat kakek." jelasnya.
Namun begitu, Boruto tetap saja tak menggubris Himawari. Bocah cilik itu lebih memilih bergelung dalam mimpinya. Kakek bisa sebentar dikasi kejutan, tetapi mimpinya diajak jalan-jalan dengan iron-man sangat jarang.
"Paman Iron-man tidak suka sama bocah pemalas. Biar kau mimpi ketemu dengan paman Iron, pasti paman tidak mau jalan-jalan denganmu." celoteh Himawari seperti tahu apa yang diimpikan Boruto.
Dan benar saja, tak sampai semenit mata Boruto terbuka. Ia melempari Himawari guling di sampingnya sampai terjengkang ke belakang sebelum bangun dan mengomel karena kata-kata Himawari sudah menyinggungnya. Bahkan dalam mimpinya pun, idolanya itu tak juga mau mengajaknya jalan-jalan.
"Sakit!" Himawari berseru keras sembari memegang kepalanya yang tadi terbentur bagian ujung tempat tidur dan rasanya sakit sekali.
Boruto memandang Himawari jengkel. "Makanya jangan mengganggu orang."
"Sakit." lirih Himawari. Sebentar lagi air matanya akan keluar.
Boruto yang melihatnya jadi merasa bersalah. Ia mendekati Himawari, lalu menggantikan tangan Himawari untuk mengelusnya. "Masih sakit?"
Himawari mengangguk, "Masih."
"Aku panggil mom. "
Dan tanpa menunggu tanggapan Himawari, Boruto melesat keluar dan mencari ibunya.
"Mom! Momy!" Boruto memanggil sambil berlari. Mengetuk pintu kamar yang ia lihat, namun tak satu pun ada yang menanggapi. Sampai kakeknya datang, Boruto menarik Hiashi sampai ke kamar mereka dan melihat Himawari menangis di atas ranjang.
"Kakeeeek!" Himawari berseru. Air matanya semakin deras saat Hiashi sudah duduk di sampingnya.
"Ada apa dengan cucu kakek? Hima kenapa menangis?" tanya Hiashi dengan lembut sekaligus khawatir.
"Sakit." keluh Himawari lagi dan membuat Hiashi juga Boruto semakin khawatir.
"Boruto, apa yang terjadi pada Himawari?"
Boruto menunduk. Ia tak berani menatap kakeknya karena merasa bersalah, juga takut jika kakeknya akan memarahinya.
"Maaf..." sahut Boruto dengan nada lirih dan membuat kening Hiashi mengkerut.
"Coba jelaskan pada kakek." pinta Hiashi dan masih mencoba menenangkan Himawari yang menangis di pelukannya.
"Himawari menggangguku dan aku mendorongnya. Tapi, aku tidak tahu kalau kepala Himawari akan terbentur." Kembali Boruto mencicit. Ia benar-benar menyedal sudah membuat adiknya terluka sampai menangis seperti itu.
Hiashi menghela nafas, "Panggil Tenten ke mari, bilang padanya untuk membawakan kotak P3K."
Boruto mengangguk kemudian berlari mencari keberadaan ibunya juga Tenten sesuai permintaan kakeknya.
Beberapa menit kemudian, mereka datang dengan Tenten yang membawa kotak P3K.
Hinata meringis melihat Himawari menangis sesengukan di hadapannya. Ia mengambil duduk di samping Himawari lalu mengambil alih Himawari dari ayahnya.
"Ayah, biar aku saja." sahutnya lalu dengan lembut menuntun Himawari untuk berhadapan dengan dirinya.
"Sayang, mana yang sakit? Biar mami obati."
Himawari menunjuk keningnya sambil sesengukan, "Boruto nakal, Mami."
Hinata menatap Boruto tajam hingga membuat Hiashi menyerngit. Belum pernah sekali pun ia melihat Hinata seperti itu selama ia tinggal dulu bersamanya. Bahkan ketika Hanabi menghancurkan karya tangan untuk hadiah ulah tahun Hikari, Hinata sama sekali tak memarahi Hanabi. Atau ketika Neji membiarkan Hinata menunggu selama lima jam di sekolahnya dulu karena lupa, tak juga membuat Hinata marah, justru memaklumi bahkan mengkhawatirkan keadaan Neji. Dan sekarang hanya karena Boruto membuat kesalahan- sebenarnya sempat membuat Hiashi juga marah- membuat Hinata terlihat kejam. Yah, Hiashi tahu, seseorang akan berubah seiring waktu berjalan, namun perubahan Hinata yang seperti ini tetap membuat Hiashi terkejut.
Hinata yang lembut, Hinata yang tak pernah mendelik tajam pada seseorang, pun Hinata yang tak pernah berbicara dengan intonasi tegas dan dingin kini ia dapatkan sekarang. Dan Hiashi tahu sebab yang membuat anaknya itu berubah.
Hiashi menyentuh pundak anaknya karena tak tega melihat cucu kesayangannya menunduk takut di hadapan mereka. "Hinata, Boruto sudah menyesali perbuatannya." katanya lembut.
Hinata menghela nafas, kemudian mengubah tatapannya kembali menjadi lembut. "Kau sudah meminta maaf pada Himawari?"
Boruto mengangguk, "Sudah." cicitnya
"Kemarilah, bantu ibu mengobati adikmu."
"Maaf, Ma." sahut Boruto sembari melangkahkan kakinya perlahan menuju adiknya.
"Hima, maafkan kakak?!"
Himawari membuang mukanya ke samping. Tidak mau menatap Boruto dan membuat Hinata menghela nafas.
"Sayang..." Hinata menegur lembut. Tangannya membelai wajah Himawari dan membuat anaknya untuk menatap dirinya. Ia mengambil kapas dan minyak lalu mengoleskan pada kening Himawari yang bengkak. "Kakak sudah minta maaf, kan? Kenapa tak dimaafkan, hm?"
"Boruto jahat, Mom." sahut Himawari dengan suara yang kecil. Air matanya kembali akan menetes saat ia rasa keningnya kembali berdenyut sakit.
"Meski begitu Hima juga tidak boleh membuat kakakmu sedih. Nah, sekarang maafkan kakak, yah?"
Himawari menatap Boruto yang menatapnya dengan perasaan bersalah. Ia menyuruh Boruto mendekat lalu mencium pipi Boruto. "Sudah. Aku maafkan kakak, Mom." ujarnya menatap Hinata.
Boruto yang mendapat perlakuan seperti itu terlihat senang. Ia menyengir lebar ke arah Himawari. "Terima kasih, Hima."
"Nah sekarang kalian mandi lalu ke meja makan untuk sarapan, oke?"
Boruto dan Himawari mengangguk, lalu menyahut untuk setuju.
...
Pagi di Jepang memang sangat berbeda dengan tempat kelahiran Boruto dan Himawari di NYC. Jika di sana mereka akan merasa lebih hangat, maka di Jepang suhu udaranya justru terasa dingin. Jadi, mereka harus mengenakan pakaian tebal jika ingin keluar dari rumah.
Setelah permohonan kedua bocah itu pada Hinata akhirnya mereka diizinkan keluar, untuk menemani Hinata meninjau tempat penyelenggara acara yang wanita itu buat.
Boruto dan Himawari tidak tahu dimana acara itu akan berlangsung, karena yang mereka inginkan hanya bisa berjalan-jalan di sana. Terlebih ketika mereka mendengar bahwa tempat yang dituju ibu mereka dekat dengan tempat kincir raksasa. Tempat yang belum pernah mereka lihat selain di teve atau di internet.
Himawari yang duduk di kursi penumpang menyimpan tab ibunya di samping kirinya lalu beralih menatap Boruto. "Kak, katanya di tempat kerja momy ada kincir raksasa loh?" katanya memulai obrolan.
Boruto melirik adiknya di belakang lalu beralih pada ibunya. "Iya, aku sudah tahu. Bibi Hanabi yang sudah beri tahu. Kincir itu besar sekali." Boruto menggerakkan tangannya untuk menunjukkan seberapa besar kincir itu. "Di sana pasti seru."
Himawari mengangguk, "Iya, kak. Aku ingin sekali naik. Pasti seru seperti yang bibi Hanabi bilang." Lalu pandangannya beralih pada ibunya, "Mom, setelah kerja boleh kita ke kincir raksasa?"
"Tidak."
Himawari menunduk. Ibunya tidak pernah mengijinkan mereka untuk pergi ke tempat bermain seperti itu. Padahal kata temaan-temannya tempat itu sangat seru. Ada cangkir yang bisa berputar, kuda, pesawat, lalu luncuran. Himawari ingin sekali bermain di sana.
"Mom..."
"Tetap tidak boleh."
"Kenapa?"
"Karena kalian masih kecil. Kalau kalian hilang, bagaimana? Kalian mau lihat mami sedih?"
Himawari dan Boruto menggeleng, "Tidak." Mereka menyahut bersamaan.
"Tapi, kalau mami ikut, kita berdua tidak akan hilang." Boruto mencoba membujuk ibunya. Bocah cilik itu terlihat muram karenanya.
"Tetap saja tidak boleh."
"Coba kalau ada papa Naruto." Himawari bergumam dan membuat Hinata refleks menatap anaknya.
"Hima, Sayang." Hinata menghentikan mobilnya ketika lampu jalan menandakan berhenti. Ia menatap Himawari lalu mengelus puncak kepala bocah cilik itu yang duduk di sampingnya. "Dia bukan papa kalian, oke? Jadi, kalian tidak boleh memanggilnya Papa lagi."
"Kenapa mom?" Himawari menatap ibunya penasaran. Ia mengingat apa yang sudah mereka lakukan kemarin ketika mereka masih bersama Naruto. "Papa Naruto baik. Dia mengajak kami main, lalu membelikan kami makanan yang enak."
"Meski begitu kalian tidak boleh memanggil orang lain dengan sebutan papa..."
"Tapi, Papa Naruto punya foto momy." Boruto menyela di belakang mereka. Bocah laki-laki itu sedang mengemil snack yang tadi disiapkan Hinata untuk cemilan mereka di sana. "Kalian kelihatan senang seperti kita berfoto. Seperti bibi Hanabi dan kami kalau berfoto. Papa Naruto bilang, dia sayang momy, tapi mom pergi. Tapi, mom, kau ada di depan kami sekarang dan tadi malam kita bertemu. Kenapa papa Naruto bilang begitu, mom?"
"Momy tidak mengenal laki-laki itu, Sayang. Jadi, bagaimana mungkin dia punya foto momy. Mungkin perempuan yang ada di dalam foto itu kenalan paman itu. Jadi, jangan sebut dia sebagai papa kalian lagi, yah? Nanti orang akan salah paham, oke?"
"Lalu kemana papa kami, mom?" gumam Himawari namun masih bisa didengar oleh Hinata. Wanita itu terdiam, membiarkan pertanyaan Himawari menguap di udara, lantas berbalik ketika lampu jalan berubah. Mereka meneruskan perjalanan tanpa ada yang membahas topik itu lagi. Hinata tidak akan membiarkan anak-anaknya memanggil laki-laki brengsek itu dengan sebutan papa.
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top