14. Langkah Awal Naruto
Malam sudah beranjak sejak beberapa jam lalu, namun Naruto masih betah berbaring di rumah pohon belakang rumahnya. Rumah pohon yang sengaja dibuat oleh ayahnya untuk Sumire, keponakannya dari sepupunya, Karin.
Rumah pohon itu sangat minimalis, tidak ada perabotan di dalamnya, apalagi mainan gadis cilik itu. Hanya satu ruangan kecil berukuran tiga meter persegi dengan atapnya yang bisa ia buka untuk melihat langit.
Suasana yang tenang, membuat Naruto bisa lebih menikmati kesendiriannya. Terlebih karena pemandangan langit malam yang indah. Dari tempatnya berbaring, ia bisa melihat taburan bintang yang menghias langit gelap, dan meski udara terasa menyengat di kulit, Naruto tak berniat pindah dari sana dan masuk ke kemarnya untuk menghangatkan diri.
Pikiran Naruto masih terus berputar ke arah yang sama. Hinata juga anak-anaknya. Dan bagaimana keluarga wanita itu sudah membohonginya.
Naruto tidak akan menyalahkan Neji atau pun ayah Hinata, karena berbuat demikian, sebab ia sadar sudah melakukan kesalahan yang sangat berat. Dan dirinya juga sadar, apa yang pernah ia lakukan dulu sangat tidak termaafkan.
Tapi, bukankah mereka bisa memberinya sebuah kesempatan? Naruto sudah berubah. Ia bukan lagi pecundang bermental tumpul seperti dulu, ia juga sudah sangat menyesal dengan perbuatannya ketika mereka belum dewasa. Dan bukankah mereka sudah tahu bagaimana ia hidup dalam penyesalan selama ini? Naruto juga yakin jika Neji tahu bagaimana selama ini ia belum melupakan Hinata.
Naruto menghela nafas. Membawa jari-jemarinya membentuk pola-pola abstrak di udara lalu berubah menjadi ejaan Hinata.
"Hinata." gumamnya. Lalu menarik nafas yang cukup dalam sebelum menghembuskannya pelan-pelan. Bersamaan ia menurunkan tangannya, Naruto memejamkan mata dan membayangkan bagaimana rupa wanita itu juga senyum dari anak-anaknya yang selalu membuat hatinya menghangat. "Aku akan kembali merebut hatimu." ucapnya penuh tekad. Yah, Naruto harus melakukan itu, jika mengingat bagaimana Boruto dan Himawari yang memanggilnya papa di kebersamaan mereka. Mereka sangat membutuhkan dirinya untuk membuat satu keluarga utuh.
Naruto mengambil ponselnya yang bergetar di saku celana. Menggeser slide hijau di screen ponselnya untuk mengangakat panggilan dari Shikamaru- asistennya.
"Ya, Shika?"
"Sudah kutemukan apa yang tadi kau minta."
Naruto sedikit tersenyum, "Jadi?" tanyanya.
"Kau harus senang sekarang."
"To the pint Shika. Aku tidak suka bertele-tele."
Terdengar suara dengusan dari balik sambungan, namun Naruto tidak peduli. Ia lebih memedulikan informasi yang akan Shikamaru sampaikan padanya.
"Kevin Luca dari perusahaan penyedia EO, Lumen Vioketta, beberapa minggu lalu mengajukan penyewaan gedung di UZU Corps. untuk event ulang tahun anak kedua perdana mentri Ohnoki, Kurotsuchi."
Naruto semakin menerbitkan senyum. Peluang akan pertemuannya dengan Hinata semakin besar.
"Bagaimana dengan kontrak kerjanya?" tanyanya sekali lagi. Ada perasaan cemas ketika memikirkan bahwa Hinata bisa saja membatalkan kontrak kerja sama itu.
"Kau tahu bagaimana cara kerjaku Naruto. Sebelum menyetujuinya, aku sudah mencari tahu lebih dulu. Jadi, aku sudah menyiapkan senjata, jika pihak Lumen Violetta membatalkan kontrak. Jadi, kau bisa dengan leluasa mendekati Hinata."
Satu alis Naruto menukik, namun rasa senang tak bisa ia sembunyikan. "Terdengar, seperti kau sudah mengetahui semuanya Shika."
Shika terkekeh di seberang. "Aku adalah asisten pribadimu Naruto. Kau tahu itu."
"Thank's Shika."
"Hm ...."
"Oh, satu lagi Shika, aku mungkin akan merepotkanmu lagi dengan urusan perusahaan. Kau tahu, kan?"
"Hm... mondekusai-ne. Harusnya gajiku dinaikkan."
"Tenang saja, jika semuanya selesai, aku akan menaikkan gajimu dan memberimu cuti seminggu."
Shikamaru kembali berdecih dari balik sambungan, "Meski itu hanya pemanis kata. Aku akan menagihnya nanti."
Naruto terkekeh lalu mematikan sambungan.
Naruto kembali termenung, ia memikirkan rencana-rencana apa saja yang akan dia lakukan untuk mendekati Hinata lagi. Meski wanita itu kelihatannya sangat membenci dirinya, namun Naruto memiliki kartu AS yang tidak bisa diabaikan oleh wanita itu. Statusnya sebagai ayah biologis anak-anaknya akan memberikan keuntungan tersendiri untuknya.
"Naruto?!"
Naruto membuka matanya kala mendengar suara sang ibu memanggilnya bertepatan dengan suara derap langkah yang semakin memakin mendekat. Naruto tak berniat bangkit dan menghampiri ibunya. Pria tegap itu tetap membaringkan tubuhnya di rumah pohon.
"Apa yang di dalam itu kau, Naruto?"
Sekali lagi Kusina mengeluarkan suara dan barulah Naruto bergerak. Ia menyembulkan kepalanya lewat jendela kecil yang ada di samping kirinya.
"Iya, Nyonya Namikaze. Ini Naruto yang sedang merasa gundah gulana karena ditinggal wanita yang ia cintai ke pesta." kelakarnya dengan cengiran khas Naruto.
Namun, Kusina tak membalas sesuai harapan Naruto. Wanita berusia setengah abad itu terdiam sambil memperhatikan anak lelakinya dengan intens. Beberapa detik kemudian, ia menghela nafas lalu berkata, "Turunlah! Kita mengobrol di gazebo." Lalu bergerak ke arah gazebo tidak jauh dari rumah pohon.
Naruto sendiri sebenarnya tidak ingin menemui ibunya saat ini, apalagi dengan kondisinya- yang bisa dikatakan tidak baik. Di wajahnya masih menempel bekas hantaman dari Neji dan meski ia sudah mengobatinya, lebam dan bekas lukanya masih belum hilang.
"Ada apa Nyonya Namikaze? Apakah Anda butuh sesuatu dari hamba?" Sekali lagi Naruto coba bercanda.
Dan kali ini Naruto berhasil membuat Kusina tersenyum.
"Dasar anak nakal." kata Kusina sambil geleng kepala pelan.
Naruto tetaplah Naruto. Meski orang lain melihat Naruto sebagai pribadi yang dingin, namun di depan Kusina, Naruto akan menunjukkan sisi kekanakannya. Seperti dulu. Sebelum kejadian beberapa tahun silam merenggut senyumnya. Dan semua itu juga disebabkan oleh Naruto sendiri.
"Jadi, apa yang terjadi pada anak nakal ibu ini, hm?"
Naruto memberikan cengiran sebelum membalas pertanyaan Kusina. "Hamba tidak mengerti Tuan Putri." sahutnya dengan raut tak mengerti. "Hamba tidak melakukan sesuatu yang bisa membuat Hamba terluka."
Kusina menghela nafas, "Kemarilah." pintanya seraya mengulurkan tangannya pada Naruto.
Dengan lembut wanita berambut merah menyala itu mengelus rambut anaknya. Perlakuan yang sering ia berikan ketika Naruto tidak mau memberitahukan masalahnya.
"Kau tahu, Nak. Meski kau tidak menceritakan masalah apa yang sekarang kau hadapi, seorang ibu bisa merasakannya. Entah kau sadar atau tidak, anak dan ibu mempunyai ikatan yang lebih kuat dari ikatan apapun di dunia ini. Simpul yang terjalin tidak akan lepas, bahkan jika kau berusaha memotongnya. Jadi, ceritakanlah, Nak apa yang sekarang kau alami. Meski ibu tidak bisa membantu apa-apa, setidaknya perasaanmu akan lebih melegakan ketimbang menyembunyikannya." kata Kusina bijak. Tangannya masih sibuk mengelus rambut kuning Naruto.
Sementara Naruto sendiri masih terdiam sambil menikmati usapan lembut milik ibunya. Kata-kata ibunya memang benar. Seberapa keras ia berusaha menyembunyikan sesuatu, ibunya akan mengetahuinya. Ikatan seorang anak dan ibunya adalah ikatan yang terjalin dari sebelum anak itu lahir di dunia ini, bahkan dengan alat pemotong yang super kuat pun tak akan mampu memotongnya.
"Apa begitu kentara?"
Kusina berdehem. Belum mengubah posisinya.
Dan Naruto hanya menghela nafas sebagai tanggapan. Mulutnya belum terbuka untuk mulai mengatakan masalahnya. Dan Kusina tidak mau memaksa anaknya untuk berbicara karena ia tahu, Naruto pasti bisa menyelesaikannya.
"Kalau belum mau bicara, ibu akan menunggu, Nak sampai kau siap membaginya pada ibu." ucapnya ketika ia tidak merasa kalau Naruto akan bicara.
Naruto menggeleng pelan. "Ka-san?!"
"Hm..."
"Ka-san percaya kalau aku sudah punya anak?"
Untuk beberapa detik Kusina hanya terdiam mencerna perkataan putra satu-satunya itu, dan selanjutnya ia tidak lagi menggunakan tangannya untuk mengusap rambut Naruto melainkan menjitaknya dengan keras hingga suaranya sedikit menggema di kesunyian malam.
"Ittai..." mendesis, Naruto mengelus kepalanya yang baru saja dijitak. Ia mendongak dan tidak lagi bersandar di pangkuan Kusina.
"Astaga, Ka-san... Kepala anakmu ini sangat berharga, kalau geger otak bagaimana?"
"Kalau begitu katakan, anak siapa yang sudah kau hamili?" sergah Kusina dengan emosi.
"Hinata."
PLETAK
Dan sekali lagi Naruto mendapatkan jitakan keras dari Kusina. "Jangan bercanda! Dan jangan menyebut Hinata lagi!" bentak Kusina dengan suara yang keras hingga terdengar suara desisan daun daun karena serangga-serangga yang panik. "Ibu tahu, kau masih mencintainya, Naruto." kata Kusina dengan nada yang lebih lembut. "Tapi, sadarlah! Hinata sudah tenang di sana, jangan membuatnya khawatir padamu karena kau tidak bisa melepaskan dia."
Tepat seperti yang Naruto pikirkan. Bahkan ibunya pun tidak akan percaya apa yang ia katakan. Berkat kebohongan yang diciptakan keluarga Hinata, tidak ada satu pun yang tahu bahwa Hinata masih hidup, bahkan dengan dua anak.
"Hinata masih hidup, ka-san." sekali lagi Naruto memberitahu ibunya.
Dan Kusina menggelengkan kepalanya pelan. Ia tahu bahwa anaknya belum bisa melupakan Hinata. Pacar pertama yang sangat anaknya cintai. Hinata yang lembut dan ramah mampu mengimbangi sifat Naruto yang aktif dan pecicilan. Bahkan mereka juga sangat menyukai kepribadian Hinata. Namun begitu, anaknya rela memutuskan hubungan mereka karena dirinya. Karena kakek Naruto menginginkan kerja sama dengan perusahaan lain untuk mengembangkan bisnis mereka.
Kusina tahu, saat itu Naruto sangat bersedih. Tetapi, ia mengabaikan perasaan Naruto. Pikirnya, Naruto dan Hinata sudah berpisah dengan cara yang baik dan Naruto akan segera menerima Shion. Sayangnya, itu adalah kesalahan paling besar yang ia lakukan. Sebab sejak saat itu Naruto berubah. Tidak ada Naruto yang periang dan aktif melainkan Naruto yang dingin dan kalem. Dan meski mereka sudah bertunangan selama dua bulan Naruto tak pernah sekali pun berinisiatif untuk mendekati anak gadis temannya itu. Naruto hanya menerima. Apa yang diminta oleh Shion, Naruto lakukan tanpa protes. Sampai ketika kabar menyedihkan itu terdengar di telinga mereka, Naruto tak bisa lagi menahan dirinya. Di situlah semuanya berubah. Naruto benar-benar tidak seperti dirinya lagi.
"Sayang, aku tahu kami semua sudah salah. Tapi, Naruto... Hinata sudah tiada. Jangan menyiksa dirimu lagi, Nak."
"Tidak kaa-san. Hinata masih hidup. Dan Hiashi Ji-san sudah membohongiku. Membohongi kita semua. Dan Hinata..." Naruto menjeda ucapannya selama beberapa detik. Ia mengumpulkan keberanian untuk menceritakan apa yang sudah ia ketahui kepada wanita yang sudah melahirkannya di hadapannya itu. "Hinata sudah punya anak. Anakku Kaa-san." Senyum lembut dari pria blonde itu terbit membuat Kusina hanya terdiam di tempatnya. Berpikir dan tertegun melihat senyum tulus anaknya yang muncul setelah beberapa tahun silam terlewat.
"Apa yang kau katakan itu benar, Nak?"
Suara lain dari arah pintu rumahnya terdengar. Namikaze Minato perlahan berjalan ke arah mereka. Pria paruh baya itu kemudian duduk di seberang Naruto dan Kusina.
"Tou-san."
"Jadi, yang ayah lihat kemarin, memang adalah anakmu dan Hinata?"
Naruto dan Kusina tidak mengerti apa yang ayahnya katakan. Sejak kapan Minato bertemu dengan anak-anak Naruto? Bahkan kemarin Naruto masih bersama-sama dengan Boruto dan Himawari, sepanjang hari sebelum bertemu dengan Hanabi dan setelahnya ia diusir dari kediaman Hyuga.
"Kapan ayah bertemu dengan anak-anakku?" Naruto bertanya dengan kening mengkerut.
"Apa maksudmu, Anata?" Sama halnya dengan Naruto, Kusina pun merasa heran dengan perkataan suaminya. Bahkan kemarin mereka selalu bersama, dari pagi hingga menjelang malam sampai sekarang. "Kemarin aku tidak melihat ada anak kecil yang kita temui bahkan hari ini."
"Ingat ketika kita ke rumah sakit dua hari yang lalu?" Minato menatap istrinya.
Kusina mengangguk. Ingatannya pun membawanya pada kejadian beberapa hari yang lalu. Saat asam lambungnya naik dan membuat kepalanya terasa berdenyut. Mereka pergi ke rumah sakit untuk memeriksa, namun ia tak melihatbada anak kecil yang bisa menarik perhatiannya. Mungkin karena Kusina hanya fokus pada rasa sakit di kepalanya hingga tak melihat ada anak kecil yang menghampiri suaminya.
Sementara Naruto, mendengar perkataan ayahnya tentang rumah sakit sudah cukup membuatnya mengerti. Rupanya ayahnya melihat dia yang saat itu mengantar Boruto dan Himawari untuk check up sekaligus mengambil sampel milik mereka untuk tes DNA. Lalu kenapa ayahnya tidak menghampiri mereka saja waktu itu?
"Lalu kapan kau melihat mereka, Anata?" Sekali lagi Kusina bertanya.
"Ketika Naruto keluar dari ruangan Gaara. Dia bersama dengan dua anak kecil dan salah satunya sangat mirip dengan Naruto." sahutnya.
"Dan kenapa kau tidak menghampiri mereka?" Kusina mulai marah karena perkataan suaminya yang mengabaikan Naruto dan kemungkinan anak-anak kecil yang dimaksud Minato adalah cucu-cucunya.
Minato menghela nafas, kemudian mengelus tangan kusina yang terkepal di atas meja gazebo. "Karena aku tidak mungkin mengabaikan istriku yang kesakitan. Ingat bagaimana kondisimu saat itu? Jalan pun kau kesusahan. Jadi, bagaimana mungkin aku meninggalkanmu?"
Pelan-pelan Kusina melunak. Menatap suaminya penuh damba seperti sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Dan Naruto memutar matanya bosan. Ia memang senang melihat ayah dan ibunya yang sangat rukun dan harmonis, tetapi tidak bisakah mereka lihat kondisi? Hell, anaknya sedang gundah gulana sekarang karena memikirkan kemungkinan buruk yang akan menimpanya nanti.
Hari ini ia sudah mendapatkan pukulan keras juga tatapan kebencian dari keluarga kekasihnya. Kekasih? Ck, Naruto berdecih terhadap dirinya sendiri ketika masih menganggap Hinata sebagai kekasihnya? Bahkan Hinata sangat enggan menatapnya.
"Tou-san, Ka-san, aku akan kembali ke kamar. Sebaiknya ka-san dan tou-san juga kembali ke kamar. Udara dingin tidak baik untuk tubuh ka-san." kata Naruto lalu berjalan memasuki rumahnya.
"Nak..."
Langkah Naruto terkenti ketika suara bariton ayahnya masuk ke indra pendengarnya.
"Kejar mereka, Nak. Kami akan mendukungmu."
Naruto berbalik, lantas tersenyum menanggapi kata-kata ayahnya. "Tentu saja Tou-san." Lalu kembali berbalik dan meneruskan langkahnya.
Di belakangnya, Minato dan Kusina saling tatap dan berjanji tidak akan menggadaikan kebahagiaan anaknya lagi. Cukup mereka kehilangan senyum hangat dan keceriaan, Naruto sembilan tahun yang lalu.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top