13. Pertemuan Karena Takdir
Beberapa menit berlalu masih tak ada kabar yang diterima Hinata hingga membuat wanita itu semakin dirundung cemas. Lalu setelah satu jam berlalu, samar-samar suara mobil semakin terdengar nyaring dari balik pintu. Segera saja Hinata mengangkat tubuhnya dan melesat cepat ke luar untuk melihatnya.
"Tada-"
"Hanabi!"
Hanabi belum sempat menyelesaikan ucapannya ketika sapaan kencang dari orang yang ia kenal menyapa telinganya. Ia mengangkat pandangannya untuk menatap kakaknya yang sudah berdiri di hadapannya. Dan berkat itu pula, perasaan tak nyaman mulai mengambangi dirinya. Kakaknya mungkin sudah tahu kebohongannya terbukti dari ekspresi Hinata yang tak biada.
"Eh, nee-chan, kau ada-"
"Di mana Himawari dan Boruto?" sergah Hinata cepat tak membiarkan Hanabi menyelesaikan kata-katanya.
"Mereka ada di-"
Dan sekali lagi, belum sempat Hanabi menyelesaikan ucapannya, Hinata langsung menuju mobil. Membukanya buru-buru untuk melihat anak-anaknya.
"Boruto, Himawari...!" seru Hinata penuh kelegaan. Wanita itu lantas memeluk anak-anaknya tanpa memedulikan jika kedua anaknya masih berada di alam mimpi.
Sedikit menggeliat, Himawari terbangun dan membuat Hinata melepas pelukannya. Gadis cilik itu lantas mengucek kedua matanya sebelum menyahut, "Mom..." dengan suara serak khas bangun anak kecil seusianya. Sementara Boruto di sebelahnya masih nyenyak dalam lelapnya dan tak terusik oleh kelakukan Hinata.
"Dari mana saja kalian? Kalian membuat mom khawatir. Aku sudah bilang kalau sudah sampai, beri kabar..." Tanpa memedulikan sekitarnya, Hinata mengomeli anak-anaknya.
"Mom..."
"Kalian tahu, mom takut. Kalian membuatku takut. Bagaimana jika kalian celaka..."
"Nee-chan"
"Bagaimana jika aku tidak bisa melihat kalian lagi? Kalian benar-benar membuatku takut.." Hinata benar-benat tak mengindahkan keadaan di sekitarnya. Sekali pun pada sepasang safir yang terus memandangnya tanpa berkedip, bahkan tak percaya.
"Hi...Hinata-"
BUGH
Dan hantaman keras itu tak bisa membuat ia melanjutkan ucapannya.
"Mau apa kau ke mari, Brengsek? Aku sudah bilang padamu, jangan pernah lagi menginjakkan kakimu di sini... Naruto."
Dan barulah Hinata sadar setelah mendengar suara bentakan kakaknya. Hinata keluar dari mobil untuk melihat orang yang dihantam kakaknya diikuti oleh Himawari yang sudah sadar sepenuhnya.
"Nii-san ada-"
DEG.
Seolah baru saja ada guncangan dahsyat dari bumi, jantung Hinata terpompa melebi kecepatan degupannya. Nafasnya memberat dengan kepalanya yang tiba-tiba merasakan denyutan sakit. Bahkan seluruh tubuhnya terasa seperti dirajam. Ia kesakitan.
Ia bahkan tak sanggup melanjutkan perkataannya setelah melihat satu sosok yang tengah dicengkram bajunya ojeh Neji- Laki-laki yang tak ia harapkan dapat ia temui pada hari pertama kedatangannya di kota kelahirannya sekarang. Laki-laki yang membuat dirinya mengingat kembali kebodohan dan penyesalannya di masa lalu. Laki-laki yang sudah menghancurkan dan memporak-porandakan hatinya yang serapuh kaca.
Laki-laki itu adalah Naruto. Namikaze Naruto.
Dan kini laki-laki itu berada di hadapannya, dengan tatapan yang- ah, Hinata bahkan tak bisa menafsirkan arti tatapan itu. Yang jelas, perasaan tak nyaman lebih mendominasi dirinya saat ini. Rasa takut perlahan mulai menjalari seluruh tubuhnya. Keringat dingin tak terelakkan, muncul satu per satu dari pori-pori tubuhnya, bahkan tubuhnya menggigil karenanya. Tiba-tiba saja rasa mual yang tadi tak lagi ia rasa kembali muncul. Hinata jatuh berlutut sembari memegang perut dan membekap mulutnya yang ingin mengeluarkan cairan.
Ueeek...!
"Hinata...!"
"Nee-chan...!"
"Hinata...!"
Bergegas Naruto menghampiri Hinata. Sayangnya, ia tak bisa. Neji masih mencengkram erat dirinya. Seperti elang kepada mangsanya. Tak sedikit pun memberi dirinya kesempatan untuk lepas.
"Apa yang kau lakukan? Lepaskan aku, Neji."
"Seharusnya itu yang kutanyakan padamu. Ada urusan apa kau datang kemari?" balas Neji sengit.
"Lepaskan...!"
Tanpa menggubris Naruto, Neji berpaling pada Hanabi yang terpaku menatap mereka.
"Apa yang kau lakukan Hanabi? Bawa Hinata dan anak-anak ke dalam!"
Suara tegas dari Neji, secara paksa membawa Hanabi kembali pada kenyataan. Ia melihat kakak sepupunya itu masih mencengkram kerah baju Naruto dengan rahang mengeras. Kilat kemarahan tampak jelas menguar dari dirinya. Matanya tetap tajam menghunus pada Naruto dan tak sedetik pun berpaling pada objek yang lain meski ia memerintah.
Hanabi bergegas menghampiri Hinata. Tak lagi memedulikan Naruto yang hampir babak belur karena ulah kakak sepupunya. Ia benar-benar sangat khawatir sekaligus merasa bersalah pada kakaknya. Ia tak tahu jika perbuatannya ini sangat berdampak buruk bagi kesehatan fisik dan mental Hinata. Hanabi kira, kakaknya itu masih menyimpan perasaan pada Naruto. Perasaan yang sama saat sembilan tahun yang lalu, melihat bagaimana kakaknya masih menyimpan gelang pemberian laki-laki itu juga selembar foto mereka, nyatanya salah. Kakaknya bukan malah terlihat bahagia bertemu kembali dengan pria masa lalunya, ia malah terlihat sangat tertekan.
Hanabi tak lagi melihat adanya binar cinta di mata kakaknya untuk pria itu, tetapi rasa kekhawatiran dan ketakutan seperti melihat malaikat pencabut nyawa yang ingin mencabut nyawa anak-anaknya. Laki-laki itu bukannya membawa Hinata yang dulu ke tempat cahaya berada, melainkan semakin menenggelamkan Hinata ke dasar lembah ketakutan. Dan Hanabi tak bisa membiarkan hal itu.
Meskipun, rencana yang ia susun sudah lama harus terancam batal. itu lebih baik dari pada melihat kakaknya lebih menderita lagi.
Lalu bagaimana dengan keponakan-keponakannya? Mereka sangat membutuhkan sosok ayah yang sesungguhnya, bukan seorang pengganti.
Astaga, Hanabi benar-benar pusing memikirkan hal itu. Di satu sisi, akan ada bahagia jika ia meneruskan rencananya, namun di sisi yang berbeda ada pula yang akan menderita. Apa yang harus ia lakukan?
"Hanabi!"
"Tunggu Hinata-" Neji tak memberikan kesempatan pada Naruto.
Sementara Hanabi, tak butuh perintah yang ketiga dari Neji, ia segera membantu kakaknya untuk bangkit lalu meminta pertolongan Tenten untuk membawa Himawari dan Boruto yang sudah terbangun masuk ke dalam rumah.
"Nee-chan kau tidak apa-apa?"
Hinata tak bergeming. Ia tetap diam dalam kebisuannya sembari mengikuti langkah kaki Hanabi.
"Aku benar-benar minta maaf Nee-chan."
Meski Hanabi terus mengajaknya berbicara, Hinata tetap diam. Tak sedikit pun menggubris perkataan Hanabi yang tidak bosan meminta maaf padanya. Wanita itu sepertinya sudah berda di dalam dunianya sendiri.
Sementara di bagian belakang mereka. Boruto dan Himawari yang sudah bangun, justru melihat dengan jelas ketika Neji menyudutkan Naruto.
"Bibi, Neji-jisan dan papa Naruto sedang apa?" Himawari dengan matanya yang masih sayu bertanya pada Tenten yang menggandeng masing-masing sebelah tangan mereka.
Untuk beberapa saat Tenten hanya bisa diam sambil menyerngit. Ia tak paham dengan masalah apa yang membelit keluarga tempatnya bekerja saat ini. Lagi pula ia juga baru bekerja di sini dan baru kali ini bertemu dengan mereka.
"Mereka mungkin sedang bermain. Mereka kan teman lama." sahut Tenten asal, namun tetap dalam porsi yang bisa dicerna anak-anak polos seperti mereka. Lagi pula mana berani dia jujur dan mengatakan jika Tuannya sedang melakukan kekerasan terhadap orang lain. Bisa-bisa anak-anak itu akan menirunya dan ketika besar mereka akan jadi seorang berandal. Tidak mingkin.
Akan tetapi, lain maksud Hanabi, lain pula di bayangan Boruto. Anak itu justru membuka matanya semakin lebar. Ia benar-benar terlihat sangat bersemangat, rasa ngantuk yang ia rasa barusan sepertinya sudah hilang. "Aku juga ingin bermain, Bi. Kelihatannya seru." seru Boruto dengan cengiran. Segera saja ia langkahkan kakinya untuk segera ke tempat Neji dan Naruto. Sayangnya, Tenten yang sigap segera meraihnya kembali saat pegangan tangannya hampir lepas di genggaman tangan Tenten. Entah bagaimana nasib Tenten jika ia tak sigap dengan kelakuan Tuan mudanya itu.
"Aku juga mau ikut, Bi." rengek Boruto sambil berusaha melepaskan genggaman Tenten di tapak tangannya.
Tenten menghela nafas. Rengekan anak kecil memang menyusahkan, tetapi ia juga tak mungkin mengabulkan permintaan Boruto. Permintaan itu terlalu mustahil. Bisa-bisa ia kehilangan pekerjaannya bila ia menghiraukannya.
"Tapi, ini sudah malam, nanti kau sakit, Tuan Muda. Lagi pula ibu kalian pasti akan marah jika kalian keluyuran malam-malam. Kau tidak mau kan, dimarahi?" pelan-pelan Tenten menjelaskan. Ia berusaha membuat Boruto mengerti dengan menyisipkan kata ibu. Biasanya manjur untuk anak yang lebih besar. Entah itu akan sama ampuhnya terhadap anak seusia mereka ini.
"Bi... Aku juga ingin. Biarkan aku juga ikut main bersama mereka."
"Maafkan aku Tuan muda. Aku tidak bisa mengizinkannya."
"Bibiiii..."
Tenten menggeleng tegas. Ia tak mau mempertaruhkan pekerjaannya hanya karena permintaan Boruto.
"Biii-"
"Biarkan saja, Bibi. Dia memang masih anak-anak." Himawari menimpali tiba-tiba. Matanya terlihat sayu dan sesekali menguap. Jujur saja, ia juga cukup muak melihat tingkah kakaknya yang seenaknya sendiri dan menyusahkan orang lain, terutama dirinya. Padahal ia sudah mengantuk sekali, dan ingin segera menemukan bantal dan ranjang agar bisa terlelap, namun saudara kembarnya malah berulah dan menahan mereka dengan permintaan tak pentingnya.
Mendengar penuturan adiknya membuat wajah Boruto memerah. Ia dongkol dan tak terima dengan tuduhan yang sebenarnya benar itu. "Apa katamu?"
"Apa? Itu kan benar." balas Himawari apatis.
Boruto semakin geram melihat tingkah adiknya. "Itu tidak benar. Kau saja yang sok dewasa padahal cengeng. Dasar tukang ngompol." balas Boruto sengit.
Mendengar ejekan kakaknya sentak membuat mata Himawari membulat. Rasa kantuknya langsung menguap. Rasa rindunya pada bantal dan ranjang tiba-tiba hilang dan berganti emosi meluap-luap. "A...apa?"
"Itu benar, kan?"
"Ti...tidak. itu tidak benar." balas Himawari dengan membentak.
"Itu benar. Kau juga menyembunyikan celanamu di dalam lemari. Dan kau bilang blaki yang mengompol."
"Ti...tidak... Itu tidak benar..." perlahan air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Himawari sungguh malu. Baginya peristiwa ia mengompol adalah rahasia yang tak boleh terbeber. Tak boleh sampai ditahu banyak orang apalagi oleh orang lain. Dan kakaknya yang bodoh malah membeberkannya.
"Ti... Ti... Huaaaaaaa... Boruto bodoh. Hua... Moooooom... Papaaaaaaaa..."
Dan tangisan cempreng itu tentu saja sentak membuat beberapa orang di sana tiba-tiba berhenti dari kegiatannya masing-masing termasuk Neji dan Naruto. Apalagi ketika Himawari memanggil papa.
Tak ada yang tahu papa yang dimaksud siapa, bahkan Neji. Selain Naruto, Hanabi, dan anak-anak itu.
Tenten berusaha melerai pertengkaran mereka, namun ia tak mampu. Anak-anak itu masih bertengkar dengan Himawari yang sudah menangis dan Boruto yang terus mengejek Hanabi.
"Papa..." sekali lagi Himawari memanggil.
Naruto berusaha bangkit dan melepaskan cengkraman Neji dari bajunya untuk segera menuju ke anak-akanya. Ia benar-benar khawatir pada mereka.
Tak peduli jika Neji malah mengartikan tindakannya sebagai pemberontak dan- mungkin- akan semakin menjauhkan dirinya dari Hinata juga anak-anaknya (yang baru saja ia yakini jika mereka memanglah darah dagingnya).
"Dasar cengeng... cry princess..." Boruto kembali mengejek dan membuat Himawari semakin histeris.
Tenten masih berusaha melerai mereka, meski itu adalah sia-sia karena mereka tak akan berhenti selain dihentikan oleh ibu mereka dan barangkali oleh Naruto.
"Huaaaa... Papa... Boruto nakal... Papa..."
Sepuluh detik. Hanya sepuluh detik Naruto bisa melepaskan dirinya dari Neji dan bergegas menuju Himawari. Namun, sayangnya, lagi-lagi ia ditahan oleh tangan Neji yang tak rela.
"Brengsek lepaskan aku! Kau tidak lihat Himawari menangis seperti itu?" bentak Naruto dengan emosi yang sudah meluap, namun masih menahan diri untuk tidak menghajar Neji.
"Itu bukan urusanmu. Kau tidak berhak mengurusi urusan di sini! Kau bukan siapapun di sini." balas Neji sengit masih mempertahankan cekalannya pada lengan Naruto dan berusaha mengunci pergerakan laki-laki itu.
"Sialan! Biarkan aku lewat. Anakku menangis, Brengsek!"
Sejenak Neji tersentak ketika kata-kata itu meluncur mulus dari bibir Naruto. Laki-laki yang pernah membuang adiknya dan menyuruh Hinata membunuh anak-anak itu kini terlihat khawatir seolah ia tak pernah menyuruh Hinata untuk membunuh mereka. Ck, bukankah Naruto adalah lelaki brengsek yang benar-benat parah?
Neji mendengus kasar, melihat raut Naruto seperti itu semakin membuat rasa marahnya terbakar. Laki-laki yang berniat menyakiti wanita saja sudah seperti sampah yang patut dibasmi, apalagi lelaki yang tidak hanya menyakiti tetapi juga membuat seorang wanita menderita selama bertahun-tahun. Dan Neji tak akan pernah membiarkan Hinata kembali pada lelaki itu.
"Anak? Sejak kapan kau menjadi ayah mereka, hah? Sejak kapan? Kau sudah membuang mereka. Apakah kau sudah lupa, bagaimana dulu kau menyuruh Hinata untuk membunuh mereka, Brengsek?" Neji kembali membentak Naruto, tak menerima jika Naruto memberi label dirinya sebagai ayah dari kedua keponakannya.
Naruto, mendengar kalimat penegasan seperti itu sentak membuatnya terdiam. Rasa bersalahnya kembali hadir. Dia memang bersalah.
Tapi,
Terserah mereka mengatainya apa, kenyataan bahwa mereka adalah anaknya tak akan pernah bisa diubah. Dan ia akan menebus semua kesalahannya di masa lalu. Bagaimana pun caranya ia akan mendapatkan kembali mereka. Tidak peduli jika ia menjadi laki-laki paling brengsek.
"Iya, itu memang benar. Aku memang lelaki brengsek, tak akan kupungkiri. Tapi, itu dulu. Sekarang semuanya sudah berbeda. Dan tidak peduli kau mengatakan apa, mereka tetaplah anak-anakku. Anakku bersama Hinata."
BUGH
"BRENGSEK, kau-"
"Neji hentikan!" Hiashi dan Kiba datang bersama dengan seorang lelaki. Lelaki itu tinggi dengan rompi hijau dan celana loreng hijau yang membungkus tubuhnya. Alisnya tebal dengan mata yang sipit, namun memiliki rahang yang tegas. Laki-laki itu nampak seperti tentara. "Ada apa ini? Kenapa kalian-" sejenak Hiashi berhenti berucap ketika melihat laki-laki yang baru saja Neji pukuli. Beberapa detik kemudian, raut wajahnya berubah. Aura permusuhan tiba-tiba menguar dan semakin kental dari tubuhnya. Ia menatap Naruto sama bencinya dengan Neji.
"Apa yang kau lakukan di sini Naruto? Bukankah sudah kukatakan sejak bertahun-tahun lalu, kalau kau diharamkan untuk datang kemari."
"Tidak, Paman. Kali ini aku tidak akan mengikuti perkataanmu lagi. Kau sudah membohongiku. Kau membuatku percaya bahwa Hinata meninggal dan kau membuatku hidup dalam rasa bersalah. Kali ini aku tidak-"
"Tidak apa?" sergah Hiashi dengan nada dingin, "Kau pikir setelah membuat putriku menderita, maka aku akan membiarkanmu mendekatinya lagi?" Hiashi berhenti sejenak, lalu berpaling pada Neji dan Lee. "Bawa dia keluar...!" titah Hiashi sebelum berjalan menuju Himawari yang masih menangis meraung sambil memanggil papanya.
"Tunggu, Paman..!"
Seolah Tuli, Hiashi melanjutkan langkahnya meninggalkan mereka. Ia berhenti hanya untuk menegur Kiba yabg tiba-tiba terdiam dan mengamati mereka.
"Apa yang kau lakukan di sana, Kiba?"
Kiba tak menjawab. Laki-laki itu masih terpaku di tempatnya. Masih berusaha menafsirkan apa yang baru saja terjadi. Ia tak menyangka akan bertemu ayah Boruto dan Himawari di awal kedatangannya di kota kelahiran sahabatnya. Padahal ia mengira, pertemuan mereka akan terjadi tiga hari dari sekarang. Mengingat, ia dengan sengaja merekomendasikan gedung untuk event kliennya di gedung Uzu Corp. Perusahan milik mantan kekasih Hinata sekaligus ayah biologis Boruto dan Himawari. Itu pun jika dia beruntung.
Dan sekarang melihatnya secara langsung di waktu yang tidak tepat, membuat Kiba tak tahu harus melakukan apa. Ia juga tak tahu harus merasa senang atau merasa lega.
"Kiba? Himawari sedang menangis."
"I... Iya, Paman."
Naruto semakin memberontak, ia benar-benar tak ingin lagi kehilangan Hinata. Apalagi ketika ia tahu bahwa ia memiliki dua anak dari wanita itu. "Tidak, Paman. Kau tidak bisa melakukannya. Mereka anak-anakku- lepaskan aku, Brengsek. Paman Hiashi... Neji kumohon, biarkan aku mendiamkan Hinawari. Dia membutuhkan aku, kumohon!"
"Tidak Naruto. Kau sudah membuang mereka. Dan aku tidak akan membiarkan kau mendekati mereka lagi. Sekarang pergilah..."
"Aku menyesal Neji. Kau juga tahu itu. Kumohon biarkan aku bertemu dengan mereka atau setidaknya biarkan aku bicara dengan Hinata dan memanenangkan Himawari."
"Tidak. Bukankah kau sudah menghabiskan tiga hari bersama mereka..."
"Apa? Kau tahu-"
"Lee bawa ia keluar dari sini." kata Neji tak memberikan kesempatan bagi Naruto untuk bertanya.
"Tunggu!"
Namun seberapa keras pin usaha Naruto, baik Neji maupun Lee tak memberikannya sebuah kesempatan untuk kembali dan meminta penjelasan pada mereka.
Tbc.
a/n : sory typo l, mataku audah gak mampu mengeditnya. btw, thanks yah buat kalian. siapapun yang membaca dan mendukung cerita ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top