11. Pulang
Langit sudah tampak gelap ketika Hinata sudah menapaki Bandara Internasional Haneda. Meski udaranya tak sedingin saat di dalam pesawat, namun tubuhnya masih merasa dingin. Barangkali karena pengaruh tubuhnya yang baru lagi menyesuaikan dengan cuaca di Jepang.
Wanita itu terdiam selama beberapa menit. Pikirannya tiba-tiba berkecamuk, entah kenapa pikiran untuk kembali ke New York tiba-tiba terlintas, bahkan sampai membuatnya melupakan niatan awal kedatangannya di kota tersebut.
Lalu lalang orang-orang, tak sedikit pun mengusik wanita itu dari pikirannya, ia hanya menatap kosong pada kesibukan mereka. Suara obrol, suara tapak sepatu yang beradu dengan lantai, pemberitahuan informasi, bahkan suara ocehan sahabatnya di sebelah pun dia abaikan. Pikirannya sudah tak lagi berada di sana. Sampai sebuah tepukan kecil di pundak menyadarkannya. Hinata terkesiap, ia berpaling pada lelaki yang baru saja mengagetkannya.
"Are you okay?"
Hinata belum menyahut. Entah kenapa otaknya jadi linglung untuk menjawab pertanyaan mudah tersebut. Alhasil ia membiarkan jeda beberapa detik lalu mengangguk.
"Yes, of course. What's wrong?" tanyanya. Seolah yang barusan dia lakukan bukanlah apa-apa.
"Kau mau aku temani ke toilet?" tanya Kiba tak menghiraukan pertanyaan Hinata.
Kening Hinata bertaut hingga menghasilkan kerutan di dahinya, "Aku tidak ingin ke toilet, Kiba. Kenapa kau menyarankan hal seperti itu? Atau kau mau kuantar? Ck, padahal laki-laki tapi manja."
"Ck, kau ini. Lihat dulu bagaimana wajahmu itu sebelum mengejek orang. Kau itu sudah seperti wanita tua penjaga rumah tua di Amazon. Mengerikan. Kau mau menakuti anak-anakmu kalau bertemu, he?" balas Kiba tak kalah mengejek.
"Apa maksudmu? Wajahku semengerikan itukah?"
Kiba mengangguk lalu berdehem sebagai jawaban. "Percayalah."
Hinata menghela nafas, "Baiklah." kemudian berjalan menuju toilet umum.
Di belakangnya, Kiba memperhatikan Hinata dengan seksama. Sahabatnya itu tahu betul apa yang menyebabkan keresahan yang dialami oleh temannya itu. Dan ia yakin jika sifat keras kepala wanita itu membuatnya tidak akan mengakui.
"Kau masih memikirkan laki-laki itu?" tanya Kiba refleks.
Hinata refleks menghentikan langkahnya saat pertanyaan mendadak itu terlontar dari mulut Kiba. Ia diam tak menyahut, pun membantah. Tak ada suara bising yang ia dengar bahkan lalu lalang di sekitarnya seperti angin yang membelai.
"Bukankah kau sendiri yang bilang jika kau sudah siap jika sewaktu-waktu tanpa sengaja kalian bertemu? Kenapa malah bimbang dengan keputusanmu itu sekarang?"
Hinata memejamkan mata guna menghalau perasaan sakit yang tiba-tiba mendera jantungnya karena kebenaran dari ucapan Kiba.
"Atau kau malah ragu dengan perasaanmu? Kau takut jika bertemu kembali dengan dirinya, maka kau akan kembali terperosok dalam duka karena masih mencintainya. Apa jangan-jangan, sebenarnya sampai sekarang pun kau masih mencintainya dan bukan sebaliknya membencinya? Kau-"
"Stop it Kiba. Aku sudah bilang jika aku membencinya. Sangat membencinya. Kenapa kau selalu berkata seperti itu? Dan aku seperti ini, seharusnya kau sudah mengerti. Ini adalah kebiasaanku dari dulu yang sampai sekarang pun tidak bisa kuhentikan. Kau tahu kan aku sering terkena jetlag setelah penerbangan? Dan ini semua tidak ada hubungannya dengan pria itu. Jadi, hentikan pembahasan bodohmu tentang perasaanku terhadap laki-laki brengsek itu. Aku sudah melupakannya dan tidak ingin mendengarnya lagi." sahut Hinata sedikit emosi kemudian meneruskan langkahnya meninggalkan Kiba di sana yang menghela nafas berat.
"Dasar bodoh." gumam Kiba lalu mencari tempat duduk untuk menunggu Hinata
Beberapa menit berlalu, Hinata kembali dengan wajah yang lebih segar dari sebelumnya. Make up natural yang ia sapukan di wajahnya kini terlihat lebih baik ketimbang tadi, meski dahinya masih sedikit mengkerut ketika menatap Kiba.
"Lama sekali..." keluh Kiba kepada Hinata karena merasa sudah menunggu wanita itu selama beberapa jam.
Hinata menatap Kiba dengan kesal karena sudah memprotes dirinya. Seharusnya Kiba itu sudah mengerti bagaimana seorang perempuan, karena ia selalu berurusan dengan wanita. "Kau itu seorang player, seharusnya lebih tahu bagaimana seorang wanita ketika berdandan."
"Bahasamu kasar sekali, Hinata. Dan perlu kau ketahui, aku ini bukan seorang player, tetapi seorang penikmat. Lagi pula para wanita itu tak pernah membuatku menunggu lama sepertimu."
"Aku tak melihat adanya perbedaan antara seorang player dan penikmat wanita."
"Tentu saja berbeda. Seharusnya kau tahu, seorang player seperti apa, dan aku bukan tipe pria yang senang mempermainkan perasaan wanita, aku ini tipe penikmat. Para wanita yang menyodorkan dirinya pun tak sedikit pun memiliki perasaan khusus terhadapku. Kami hanya saling menikmati, menghabiskan waktu dengan bersenang-senang, terutama di ranjang-"
"Ah, sudahlah. Tak perlu menjelaskannya panjang lebar, aku sudah tahu." potong Hinata cepat. Berbicara dengan Kiba sama saja menghabiskan waktu dengan hal tak penting. Dan hal itu sama saja dengan mengulur waktu untuk bertemu anak-anaknya. "Biar bagaimana pun sekarang aku sudah selesai. Sebaiknya kita jalan sekarang. Lebih mengefisienkan waktu dari pda mendengarmu berbicara sesuatu yang tak berguna." balasnya setengah jengkel. "Lagi pula aku sudah tak sabar melihat anak-anakku." ujarnya lagi dengan riang. Seperti kegalauan yang ia rasakan tadi hanya ada di dalam mimpi dan tak pernah terjadi.
Melihat tingkah sahabatnya yang labil, Kiba hanya berdecak. "Yah sudah kita jalan. Orang yang menjemput kita sudah tiba." kata laki-laki itu sedikit jengkel lalu berjalan mendahului Hinata sambil menyeret dua koper.
Sekarang gantian Kiba yang malah menjadi d
ongkol.
🍥🍥🍥
Hinata berdiam sesaat setelah ia tiba di depan sebuah gerbang berwarna putih gading yang tidak lain adalah kediaman orang tuanya. Ia sudah meninggalkan rumahnya selama sembilan tahun dan tak sekali pun ia berkunjung selama ia tinggal di kota New York. Dan kini, rasanya jantung yang ia miliki jadi berdebar tak karuan karena baru lagi menginjakkan kakinya di sini.
Hinata menarik nafas panjang guna menenangkan debar jantungnya sebelum menggerakkan tangan untuk mendorong gerbang secara perlahan.
Tempat itu agaknya sudah berubah dari terakhir kali ia lihat. Pohon besar rindang, tempatnya bermain ayunan dengan Hanabi dan Neji sewaktu kecil sudah tidak ada berganti halaman kosong yang hanya didekorasi sesuai kebutuhan. Bahkan tanaman bunga yang dulunya sering dirawat mendiang ibunya pun sudah tidak ada. Ayah sepertinya benar-benar tidak ingin lagi berlarut dalam kesedihan dan terus mengingat mendiang ibunya hingga menghilangkan bunga tersebut menjadi pilihan.
Langkah Hinata kembali berderap, suara high hellsnya menjadi satu-satunya suara yang menemani dirinya selain suara roda koper dan degupan jantung yang semakin memberontak. Entah kenapa perasaan tak nyaman itu kembali lagi. Ia takut sekaligus khawatir, di sisi lain ia ingin segera bertemu dengan anak-anaknya. Ada apa ini? Apakah sudah terjadi sesuatu pada anak-anaknya?
Tanpa berpikir lagi, Hinata mempercepat langkah kakinya hingga beberapa langkah lagi ia tiba di depan pintu bercat lavender pudar. Ia kemudian mengetuk beberapa kali hingga terdengar suara langkah kaki terburu-buru dari dalam.
"Iya, tunggu sebentar."
Tidak lama terdengar suara kunci yang dibuka dari dalam dan perlahan pintu itu terbuka menampilkan seseorang yang baru pertama kali ia lihat.
Dia adalah seorang gadis yang diperkirakan Hinata masih berusia lima belas sampai enam belas tahun dengan pakaian baju kaos bergambar teddy bear dan celana jins selutut yang sudah pudar warnanya, rambut coklatnya ia ikat ekor kuda dengan kaca mata yang membingkai wajah. Tapi, meski tampilannya terkesan tomboy dan sederhana, gadis itu tetap kelihatan cantik.
Sejenak gadis itu memiringkan kepalanya. Keningnya mengkerut dalam sambil terus memperhatikan Hinata.
"Maaf, Anda siapa?"
Kini gantian kening Hinata yang mengkerut setelah mendengar pertanyaan dari gadis muda itu dan tidak jadi mengungkapkan pertanyaan.
Gadis ini tak mengenalnya? Atau barangkali ia pegawai baru. Tapi, meski begitu seharusnya ia tahu siapa Hinata. Ataukah malah ia sendiri yang salah memasuki rumah? Tapi, itu lebih tidak mungkin. Jelas-jelas di pagar terdapat tulisan keluarga Hyuga dan matanya masih normal untuk bisa membaca tulisan kanji tersebut. Lagi pula seingatnya, ayahnya tak pernah berpindah rumah, meski di rumah itu sudah banyak perubahan. Dan juga alamat yang Hanabi berikan juga sama. Lalu kenapa gadis itu tak tahu siapa dirinya? Seharusnya, tiap pegawai yang dipekerjakan di rumahnya tahu anggota keluarga Hyuga.
"Kau tidak mengenalku?"
Gadis muda itu menggeleng polos, "Tidak. Maafkan saya. Apakah Anda memiliki kepentingan dengan keluarga Hyuga?"
Gadis ini benar-benar tak mengenal dirinya. Apakah gambar dirinya sembilan tahun lalu dan sekarang berbeda?
Hinata melirik ke belakang gadis itu. Tak seorang pun dari keluarganya yang datang menyambut kedatangannya. Entah karena sibuk atau tidak mengetahui kedatangannya. Ah, seharusnya ia memberitahu mereka. Hanabi juga hanya tahu ia akan datang besok, tapi ia tak memberitahu jika ia datang lebih awal. Dan ini adalah kesalahannya.
Hinata menghela nafas, lalu kembali menatap gadis di hadapannya yang perlahan menutup pintu rumah dan maju untuk meladeni Hinata. Gadis itu bertindak seperti Himawari yang melindungi bonekanya dari Boruto.
"Aku Hinata. Hyuga Hinata. Anak sulung dari Hyuga Hiashi."
"Hm..." gadis muda itu terlihat berpikir. Posenya membuat Hinata tersenyum. Ia bahkan melupakan kekhawatirannya.
Tidak lama, ekspresi gadis itu berubah. Matanya agak membulat, persis kucing yang dikagetkan. Benar-benar gadis yang polos.
"Aaa... No..nona Hinata? Sungguh?" seru gadis itu dengan gagap karena kaget. Namun, ada kegembiraan yang tampak nyata dari binar matanya.
Hinata tersenyum lalu mengangguk pelan. "Iya, aku Hinata."
"Ma...maafkan saya Hinata-sama. Saya Tenten, pegawai baru yang baru beberapa hari yang lalu bekerja."
"Tidak apa."
"Wah, Anda lebih cantik dari yang di foto. Juga... Berbeda. Hehehe..."
"Terima kasih. Jadi, bisakah aku masuk? Kau tahu, berdiri di sini dengan sendal seperti ini membuat kakiku tak nyaman."
"Eehh... Ma...maafkan saya, Hinata-sama. Silahkan. Saya akan mengantar koper Hinata-sama ke kamar. Apakah Nona" sahut gadis itu sambil membuka pintu lebar dan mempersilahkan Hinata masuk. Ia kemudian mengambil alih koper Hinata untuk dia masukkan ke dalam dan berjalan mendahului Hinata.
Tiba di dalam rumah, Hinata bisa melihat banyak perubahan termasuk tata letak lukisan dan furniturnya. Ada tambahan dekorasi sekaligus barang-barang yang mungkin sudah dipindah ke tempat lain dari ruangan itu, termasuk foto keluarganya.
Hinata mengalihkan pandangannya pada gadis di depannya tersebut. "Di mana ayah?"
Tenten berbalik hanya untuk menjawab Hinata, "Beliau ada di ruang kerja bersama Neji-sama."
Hinata mengangguk paham. Ayah dan kakaknya memang orang yang suka kerja, sama seperti dirinya jika menginginkan kemenangan proyek, ia juga akan fokus bahkan sampai melupakan waktu. "Kalau anak-anak?" tanyanya sekali lagi.
Tenten menyerngit, keningnya bertaut dan menampakkan wajah bingung yang kentara. "Anak-anak yang Anda maksud, siapa?" tanyanya.
Mendengar pertanyaan Tenten tersebut tak pelak membuat Hinata terkejut. Mana mungkin Tenten tak tahu mengenai anak-anaknya, sementara Boruto dan Himawari sudah tinggal di sini selama dua hari. "Tentu saja anak-anakku. Boruto dan Himawari. Siapa lagi?"
Tenten masih meneruskan langkahnya untuk menuntun Hinata menuju ke kamar saat ia menjawab pertanyaan Hinata dengan lugas. "Tapi Hinata-sama, selama dua hari ini, tuan muda dan nona muda memang, tidak ada. Hanabi-sama juga tidak pernah terlihat membawa anak-anak."
Hinata refleks menghentikan langkahnya saat kata-kata itu terlontar dari mulut Tenten. Jantungnya tiba-tiba berdebar perih, seperti ada hantaman gemuruh yang mengobrak-abrik hingga bernafas pun jadi terasa sulit. Perasaan tak nyaman yang tadi dia lupakan kini kembali dan menjadi beribu kali lipat tak enaknya. "Apa maksudmu? Bukankah Boruto dan Himawari, dari kemarin sudah ada di sini. Hanabi sendiri yang datang menjemputnya kemarin di Bandara." tanyanya dengan intonasi suara yang lebih keras. Perasaannya jadi tidak karuan. Ia mulai panik sekarang.
Tenten diam, kemudian berbalik untuk melihat Hinata. Raut panik dan takut adalah hal pertama yang Tenten lihat dari wanita itu. Ia jadi menyesal dengan jawaban yang ia berikan barusan, tapi ia juga tidak bisa berbohong. Lagi pula dia tahu apa. "Maaf, Hinata-sama, ta...tapi saya ber...berkata jujur." sahutnya dengan gagap karena didominasi perasaan tak enak. "Me...mereka benar-benar tidak ada di sini. Hanabi-sama juga tidak pernah membawa anak-anak Hinata-sama ke rumah ini." lanjutnya tertunduk.
"Jangan bercanda Tenten! Hanabi sendiri yang mengatakan padaku kalau mereka sudah ada di sini. Tidak mungkin dia membohongiku." lepas sudah pertahanan Hinata. Tanpa sadar ia membentak Tenten dengan suara keras.
Tenten terperanjat. Ia tak pernah tahu jika Hinata yang terlihat lembut, bisa membentaknya dengan suara yang keras hingga membuat sebagian tubuhnya gemetaran. Kedua tangannya kemudian memegang gagang koper dengan erat untuk menyanggah tubuhnya yang limbung karena takut. "Ta...tapi, aku tidak berbohong." cicitnya sambil menunduk.
"Jadi, maksudmu Hanabilah yang membohongiku? Ke-"
"Ada apa ini- loh, Hinata?! Kapan kau datang?"
Hinata berpaling melihat suara yang sudah mengiterupsinya. Di sana ia melihat ayahnya yang sudah berdiri tidak jauh dari tempat mereka. Rasa haru merebak, namun perasaan khawatir yang mendominasi menepis perasaan haru tersebut. Di belakangnya ada Neji yang menatap mereka dengan terkejut sekaligus heran melihat Hinata.
"Kapan kau sampai? Ke-"
"Di mana anak-anak, Ayah?" Hinata tak memberi kesempatan pada Neji untuk menyelesaikan perkataannya. Sopan santun yang selalu ia terapkan kini raip akibat kepanikan. Bahkan salam sapa yang biasa ia lakukan jika bertemu dengan keluarganya, tak ia pedulikan lagi.
"Anak-anak? Maksudmu Boruto dan Himawari? Bukannya ada bersamamu sekarang?"
"Tidak, nii-san. Mereka sudah di Jepang sejak dua hari yang lalu. Hanabi juga sudah menginformasikannya padaku jika mereka berdua sedang bersamanya."
"Tapi, Hanabi tak pernah membawa mereka di rumah..."
"Tidak mungkin. Ka... Kalian pasti bercanda, 'kan? Ha...Hanabi selalu bilang kalau mereka ada ber- tidak mungkin... Di...dimana Hanabi? Di mana Hanabi, tou-sama?"
"Tenang dulu, Hinata! Sebentar lagi Hanabi, akan pulang."
"Ta...tapi, anak-anakku-"
Hinata jatuh terduduk. Perlahan setitik kristal bening merebak dari matanya dan perlahan membentuk aliran kecil. Ia akhirnya sadar sekarang. Perasaan tak nyaman yang selalu rasakan adalah pertanda jika sesuatu sudah terjadi pada anak-anaknya. Di mana anak-anaknya sekarang?
Dengan langkah cepat, Neji maju mendekati Hinata. Mengelus pundaknya lalu menuntun Hinata untuk masuk ke dalam kamar.
"Tenanglah! Hanabi pasti membawa para keponakanku pulang. Dia tidak mungkin lalai, kau tahukan bagaimana sifatnya? Meski Hanabi kadang ceroboh, tapi ia tak pernah mengecewakan kita. Sekarang istirahatlah, biar aku yang mengurus semua masalah ini. Kau pasti sangat capek sekali, bukan?"
"Bagaimana mungkin aku bisa istirahat Nii-san, kalau kondisi anak-anakku tidak kuketahui?" balas Hinata yang sudah tersedu.
"Mereka pasti baik-baik saja. Tidak ada seorang pun yang akan tega mencelakai anak-anak selucu dan sepintar mereka." Neji kembali menenangkan Hinata, agar wanita itu bisa beristirahat.
"Ta... Tapi Nii-san..."
"Kau tenang saja. Aku pastikan besok kau akan melihat Boruto dan Himawari ada di sini."
"Tapi..."
"Istirahatlah..."
Setelahnya Neji melepaskan sendal hinata kemudian memasangkan selimut sampai dada lalu meninggalkan Hinata yang sudah terlelap. Barangkali ini dipengaruhi oleh rasa lelah pada fisik dan pikiran Hinata makanya wanita itu tertidur dengan cepat.
.
.
.
tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top