Bab 5 - Catatan Surga

Rasa sakit menjadi wujud proses pendewasaan diri, bahwa manusia butuh jatuh bangun untuk menegakkan kebenaran.

~Senja di Istanbul~
Karya Mellyana Dhian

Tag @senjadiistanbul @mellyana.i

***

Pulang dari Tempat Kejadian Perkara, Hamish bersama Inspektur Satu Polisi (Iptu) Anhar Saputra berhenti di sebuah masjid guna melaksanakan jamaah Dhuhur.

Butuh waktu 10 menit bagi Hamish berkomunikasi dengan Allah. Tiga menit salat dan tujuh menit berdzikir; membaca ayat kursi, tahmid, tahlil, tasbih, istighfar, juga berdoa. Sesibuk-sibuknya Hamish, ia tidak pernah meninggalkan tempat salat setelah salam. Tanpa berdzikir setelah salat, ibarat makan tanpa lauk.

Keduanya berbincang sembari mengenakan kaus kaki dan sepatu PDH.

"Kasus ini lumayan rumit, papa korban membuat penyelidik kesulitan. Begitu menemukan anaknya tewas, dia langsung memeluk dan mengizinkan orang lain masuk ruangan, menyentuh barang-barang yang ada di sana. Itu menyalahi aturan, sama saja tidak mengizinkan polisi memeriksa sidik jari si penculik," keluh Anhar.

"Pak Gunawan orang yang berpendidikan. Menurut saya dia tahu aturan. Kenapa dia mengizinkan orang lain masuk bahkan menyentuh mayat anaknya?"

Pertanyaan Hamish membuat Anhar mencatat sesuatu di note yang selalu ia bawa.

Anhar pamit menuju mobil terlebih dahulu untuk menghormati privasi Hamish yang baru saja menerima telepon video dari keluarga.

"Assalamualaikum, Umah, Abah. Bagaimana kabarnya?"

"Waalaikumsalam, Nang." jawab kedua orangtua Hamish bersamaan. Nang adalah panggilan untuk anak laki-laki di Jawa Tengah.

Ayah Hamish, melanjutkan aktifitas membuka kitab kuning, sedangkan ibunya masih memandang Hamish di depan layar. "Umah sama Abah rinduuuu sekali. Kangen."

"Hamish juga kangen. Pengen balik Semarang. Ningali Lawang Sewu hehehe." (Melihat Lawang Sewu-salah satu icon kota Semarang)

"Kapan balik?"

Setiap mendapat pertanyaan itu, jawaban Hamish selalu sama. "Doakan pekerjaan Hamish lancar dan segera terselesaikan. Nanti Hamish bisa ambil cuti." Padahal tindak kriminal tidak ada surutnya. Ada saja kasus yang harus Hamish tangani. Prestasi pria itu yang dapat menuntaskan kasus besar secara tidak langsung membuat atasannya semakin percaya dan mengamanahkan kasus baru kepadanya.

Sebenarnya Hamish juga merasa berdosa. Terlalu sibuk dengan pekerjaan, hingga tidak sempat mengunjungi orangtua. "Bagaimana kalau Abah sama Umah ke Jakarta lagi? Nanti Hamish siapkan tiket pesawat. Minta tolong budhe mengantar."

Sudah empat tahun lebaran Hamish tidak pulang ke Semarang. Risiko pekerjaan yang ia cita-citakan sejak kecil. Ketika warga ibu kota sibuk mudik, pria itu duduk di kantor untuk memastikan keamanan atau rapat bersama tim mengenai kasus yang menggunung.

"Abah sama Umah sudah tua. Tidak sebugar dulu untuk naik pesawat. Kamu sudah makan, Nang?"

Hamish menampilkan deret gigi putihnya. Lagi-lagi ia lupa sarapan dan makan siang. "Belum, Mah. Tadi pagi Hamish kesiangan. Oh iya umah, paketan oleh-oleh umrah sudah Hamish kirimkan melalui ekspedisi pengiriman biasanya."

"Jaga kesehatan. Kamu jauh dari orang tua. Di sana tidak ada yang merawat. Syukur-syukur ada istri, biar ada yang mengurusmu."

"Hamish mandiri kok, Mah."

"Anak Ustad Somat sudah lulus sarjana keperawatan lo, Nang. Tidak ingin meminangnya to?" Umah berbicara dengan aksen lo dan to yang menjadi dialek khas Semarang. Lo sama dengan arti loh di Jakarta. Sementara to tidak memiliki arti khusus.

Gaya bahasa sang ibu membuat Hamish semakin rindu kampung halaman. Walaupun panasnya kadang melebihi Jakarta. "Umah ngawur, asal menjodohkan. Kalau Hamish ke rumah Ustad ternyata sudah punya pacar, gimana?"

"Baru pacar saja. Lelaki yang main-main akan kalah dengan yang serius."

Lelaki berusia 30 tahun itu tertawa ringan. Ia menutup telepon karena umah belum melaksanakan salat dhuhur, sedangkan Abah memang tidak banyak bicara. Khas dengan gaya bicara militer; singkat, padat, dan jelas. Hamish sendiri tidak menuruni sikap itu, hanya gaya hidupnya saja yang disiplin. Kecuali urusan makan. Dari kecil ia dididik menaati peraturan, melakukan semuanya tepat waktu, serta berpikir kritis. (Kritis adalah sifat tajam dalam penganalisisan)

Pernah Hamish menanyakan peraturan MOS yang tidak masuk akal. Meminta kakak seniornya memberikan alasan kenapa ada peraturan itu padahal esensinya belum jelas. Hingga senior pun merasa dipermalukan, sementara siswa baru berterima kasih kepada lelaki itu karena telah menyelamatkan mereka dari aturan mengenakan topi keranjang atau dalam bahasa Jawa disebut wakul. (Esensi berasal dari esensial yaitu sesuatu yang mendasar. Dalam kasus ini, sesuatu yang mendasari peraturan)

Hamish sempat membalas story WhatsApp Hawwa. Lalu meneruskan obrolan selama perjalanan. Kebetulan Anhar bersedia mengemudi mobil.

Story
Hati-hati berhadapan dengan penulis. Kamu bisa mati dengan kata-katanya, tetapi kalau kamu sedang dicintai. Berbahagialah, karena kamu ada di dalam kisah kisah yang ia tulis. Abadi di dalamnya.

Hamish

Menakutkan!

Bagi Hawwa, membalas pesan Hamish tidak penting. Hingga dia memilih melaporkan suatu teror yang didapatkan ibunya.

Hawwa
Ibu mendapat surat ancaman.

Hamish
Bisa kamu fotokan?

Tidak lama Hawwa mengirimkan gambar berisi surat yang di tulis tangan.

Matahari tenggelam di barat. Tidak ada jaminan bisa kembali terbit. Sama dengan nyawa. Selagi ada kesempatan untuk bungkam, terbit itu masih ada. Jika mulut sedikit saja menganga, maka terbenam ada di depan mata.

Prediksi sementara Hamish, pengirim pesan adalah seseorang yang menyukai puisi. Dan sepertinya orang yang sama dengan surat ancaman di rumah Balqis.

Hamish
Berikan surat itu kepada Rahman Budiyanto. Dia orang kepercayaan saya.

Tanpa menunggu lama, Hamish langsung menelepon Iptu (Inspektur Satu Polisi) Rahman Budiyanto. Lantas mengarahkan Iptu Anhar membalik arah menuju rumah ibu Rofiah.

"Iptu Rahman, tolong Anda ambil surat ancaman yang ada di tangan anak Ibu Rofiah. Bersiap ke Polda, saya meluncur ke rumah."

"Siap, laksanakan, Komisaris."

Sampai di rumah Rofiah, Hamish menemui Rahman. Lelaki itu sudah bersama seorang polisi yang menerima surat dari lelaki misterius yang diduga pembunuh Balqis.

"Kita harus ambil tindakan cepat. Rahman, kamu bawa surat ini ke grafolog agar diselidiki. Dan kamu temui ahli gambar Bareskrim Polda untuk menggambar sketsa wajah si pengirim. Anhar, kamu juga kembali ke Polda. Bawa barang-barang yang kita temukan tadi. Saya yang akan di sini sebelum 2 polisi datang untuk berjaga malam. Siapa tahu akan ada petunjuk baru."

"Siap, Pak," jawab mereka tegas.

Beriringan dengan kepergian mobil Anhar dan Rahman, Hawwa membawakan minum dan makanan ringan. Seorang polisi yang menemani Hamish izin ke kamar mandi, sehingga tersisa lelaki itu duduk di teras.

Hawwa tampak terkejut melihat sosok Hamish. Sepertinya 10 menit lalu, polisi yang bertugas bukan dia. Kemunculan Hamish yang tiba-tiba membuat Hawwa semakin yakin menjulukinya 'Hantu Jeruk Purut'.

"Loh, kok kamu?"

"Waah, kebetulan sekali saya haus."

Alih-alih meletakan hidangan di atas meja, Hawwa malah berbalik badan membawa nampan beserta makanan ke dalam.

"Hay Patung Kuda," panggil Hamish yang membuat Hawwa membalas. "Kenapa dibawa masuk lagi?"

"Dasar hantu jeruk purut!"

"Hantu jeruk purut?" lirih Hamish sambil tersenyum manis.

"Ada apa ini?" Selayaknya seorang ibu. Rofiah hadir menengahi.

"Hawwa kamu ini gimana kok hidangannya di bawa masuk lagi?" Rofiah sedikit menaikan intonasi.

"Wah, Nak Hamish. Ayo masuk."

"Saya di luar saja, Bu."

Rofiah menghampiri Hamish, menarik bahu lelaki itu agar mau ke dalam. "Anggap saja rumah sendiri. Rumah ibu memang kecil. Semoga kamu tidak masalah harus ikut mengawasi ibu di perkampungan sepadat ini."

Tanpa melihat ke arah Hamish, Hawwa menyuguhkan hindangan dengan cepat. Seolah tidak ingin berlama-lama berada di depan Hamish. Kalau ditanya kenapa, Hawwa juga tidak tahu alasannya bisa sekesal itu dengan lelaki yang duduk di kursi ruang tamu itu.

Hawwa masuk dan menutup pintu kamar, ibu Rofiah pun mengatakan hal yang ia tahu dari anak sulungnya. "Kalau kamu lihat Hawwa sangat pemberani dan kuat. Padahal ibu tahu dia tidak nyaman gara-gara kasus ini. Pergi ke warung saja dia merasa diawasi. Bukan kepolisian, tapi penjahat. Memang ibu yang lebih mereka incar, tapi ibu juga takut kalau mereka ingin membahayakan Hawwa. Bisa kamu melindunginya, Nak?"

"Saya akan kirimkan tim untuk mengawasi anggota keluarga ibu. Mereka akan menyamar seperti orang biasa, pemulung, atau bisa saja orang gila."

"Terima kasih, Nak."

Jika si pembunuh adalah kalangan pengusaha, seharusnya mereka tidak mengincar keluarga Rofiah. Apalagi Rofiah tidak ada di TKP ketika pembunuhan terjadi.

"Ibu takut pembunuh Balqis adalah anggota keluarganya sendiri," bisik Rofiah.

"Sebelumnya saya sudah menduga, Bu."

***

Terima kasih sudah membaca Senja di Istanbul

Jangan lupa vote dan komen 😊

Syarat yang mau join grup WA Ubul-ubul adalah rekomendasikan cerita ini ke grup WA maupun snapgram atau postingan WA, boleh juga story WA.

Kalau sudah silakan screenshot dan kirim ke WA bisnis saya 085850525858/ DM @mellyana.i

Selamat slvyeka sebagai The Best Comment Bab 4

Mel~

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top