Bab 4 - Sang Pemburu
Rasa cintamu kepada makhluk tidak akan sempurna jika engkau melanggar larangan-Nya demi mendapat cintanya(manusia).
~Senja di Istanbul~
Karya Mellyana Dhian
Tag dan follow @senjadiistanbul dan @mellyana.i
***
Hamish menggiring mobil menuju jalan alternatif. Baginya bukan masalah memutar, asal tidak terjebak macet. Melihat warna merah panjang yang menunjukan kepadatan jalan saja sudah setres, apalagi mengalami langsung.
Perjalanan menuju rumah Hawwa tidak begitu membosankan. Rofiah terus mengajak bicara Hamish. Pembahasan keduanya cukup beragam, dari hal sempit hingga meluas. Sementara Hawwa diam, sekadar menatap luar jendela, sesekali memainkan benda berradiasi yang sulit dilepaskan. Apalagi kalau bukan smartphone.
"Nak Hamish asal kota mana?"
"Semarang, Bu."
"Wah, bapaknya Hawwa dari Kendal. Dekat dengan Semarang."
"Kendal daerah mana?"
"Saya lupa, pokoknya dekat kebun binatang. Perbatasan dengan kota Semarang. Hamish sendiri Semarang kota atau kabupaten?"
"Kebetulan saya kota, Bu. Dua puluh menit kalau dari Kendal."
"Jadi tugasnya jauh dari keluarga ya?"
Hamish tersenyum. Ekspresi itu bisa Rofiah lihat dari pantulan spion tengah. "Begitu lulus taruna saya langsung ditempatkan luar kota, Bu. Namanya aparat harus siap mental dan fisik, meskipun awalnya cukup berat."
"Kenapa tidak minta ganti tempat saja?"
"Wah saya sudah janji siap ditugaskan di mana saja, Bu. Lagi pula tidak mudah minta ganti daerah tugas. Biasanya langsung dari atasan."
"Tetangga bisa, bayar sepuluh juta. Dulu waktu masuk bayar seratus juta. Memangnya semahal itu ya?"
Gigi Hamish terlihat, miris memang mendengar kecurangan seperti yang ibu Hawwa utarakan. "Nanti kalau saya seperti itu takut tidak berkah, Bu. Gak baik menafkahi anak dan istri dengan uang hasil sogokan. Pendapat saya sih seperti itu."
Mendengar jawaban santai Hamish, Rofiah tertegun. Seolah tidak terima mimpinya menjadikan lelaki itu sebagai menantu pupus begitu saja. "Loh, Nak Hamish sudah beristri?"
Cepat-cepat lelaki itu menjawab. "Belum, Bu. Doakan tahun depan hehehe..."
"Sudah ada calonnya ya?"
"Sudah."
"Syukurlah."
Hawwa memutar bola mata malas. Dia langsung bisa menilai sifat asli Hamish. Tak lain, tak bukan, lelaki penebar pesona. Sudah memiliki calon, bisa-bisanya mengoda perempuan lain. Ia tidak akan lupa kata-kata Hamish yang ingin melamar. Beruntung Hawwa tidak terjebak. Betapa ia sangat berterima kasih karena Allah telah memberikan hati yang kuat, tidak mudah terbawa perasaan.
"Dari dulu memang bercita-cita menjadi polisi?"
"Tidak, Bu. Saya mulai menginginkan profesi ini saat SMA. Dulunya saya mengira polisi itu hanya pekerjaan duniawi, gak akan berperan untuk kehidupan akhirat saya. Pengen jadi pendakwah saja hehehe ... "
Rofiah menimpali. "Berkah tidaknya bergantung niat. Kalau kerja niatnya cari nafkah buat keluarga, in shaa Allah berpahala. Orang kalau meninggal di tempat kerja saja mati syahid. Lagi pula kamu kerja untuk memerangi kejahatan, membantu menegakkan keadilan, dan melayani umat manusia."
Hamish tersenyum. "Ibu ini bikin saya pengen cepet nikah."
"Kalau sudah siap tidak baik ditunda."
"Calon saya sepertinya yang belum siap. Ngomong-ngomong anak ibu juga belum menikah?"
Lagi-lagi Hawwa memutar bola mata malas. Ia tidak suka Hamish bertanya prihal pribadi. Kekesalannya bertambah saat sang ibu justru menyudutkan. Kalau sudah begini, Hawwa merasa Hamish anak kandung Rofiah, dia hanyalah mantan anak kandung.
"Kamu tahu sendiri kalau Hawwa itu galak. Para lelaki pasti takut mendekati."
"Saya tidak takut, Bu," jawab Hamish cepat.
"Lelaki kalau udah punya calon gak usah godain perempuan lain. Genit banget!" ketus Hawwa yang dibalas cubitan oleh sang ibu. Sedangkan Hamish tertawa puas. Entah kenapa melihat Hawwa marah-marah membuatnya terhibur, tampak manis baginya.
"Semua karyanya bergenre romansa, tapi tidak punya pengalaman bercinta," adu Rofiah lagi.
Fakta baru yang Hamish ketahui tentang Hawwa membuatnya cukup tertegun. "Ohh, kamu penulis?" Pertanyaannya ia ajukan langsung kepada gadis bercadar yang sibuk memainkan benda persegi panjang.
"Kebanyakan tanya!"
"Hahahaha..." Hamish tertawa sambil menggeleng-geleng. "Begitu tahu saya sudah punya calon patung kuda ngamuk. Apa mungkin cemburu?"
"Amit-amit! Nikah saja sono, mau sama Luchina Luna apa Nahkita juga terserah elu."
"Cuma Nak Hamish yang ketawa dapat kata-kata ketus dari Hawwa. Cowok lain pasti kabur, malas dengan dia. Belum nikah aja udah kayak gitu, kalau berumah tangga the power emak-emaknya keluar. Apa gak galaknya jadi dua kali lipat?"
"Harimau kelaparan, Bu."
Rofiah tertawa lagi.
Dighibahin di depan langsung memang tidak enak. Seperti yang Hawwa rasakan.
Hamish tidak punya rasa bersalah. Dengan santainya ia bertanya lagi seolah kenal dekat. "Suka menulis apa, Hawwa?"
"Nanya mulu gak bosen?"
Bukannya tersinggung, Hamish tertawa ringan. Tidak biasa dicuekin perempuan.
Biasanya kaum hawa menampilkan sikap terbaik di depan Hamish agar disanjung atau dimasukkan deret calon pendamping, tetapi Hawwa yang ini berbeda.
Guna menghilangkan rasa sungkan, Rofiah mengalihkan pembahasan. "Nak Hafish kenapa sangat menikmati pekerjaan menjadi polisi? Kalau ibu lihat ... Berat sekali."
"Saya terinspirasi dari seorang pemuda, penguasa Utsmani ketujuh. Muhammad Al-Fatih. Lelaki yang menguasai ilmu tentang peperangan, matematika, juga 6 bahasa saat usainya masih sangat muda. Umur 12 tahun sudah diangkat menjadi Sultan. Dia bisa menaklukkan Konstantinopel, kota termasyur kala itu, diusia 21 tahun. Padahal ayah dan kakeknya selalu gagal, memang pertahanan Konstantinopel begitu kuat. Tidak hanya bidang ilmu umum, Muhammad Al-Fatih juga orang yang taat beragama juga rendah hati. Buktinya, beliau memberikan pembelajaran agama untuk para prajurit. Sebelum perang, beliau mengajak pasukannya puasa dan salat malam. Strategi perangnya juga masyaallah, dianggap strategi perang yang tidak terduga saat itu,"
"Melihat pasukan berkapalnya tidak bisa menembus pertahanan, sebab Pelabuhan Tanduk Emas dilindungi menggunakan rantai penghadang dan dijaga dua puluh delapan kapal. Al-Fatih memerintahkan pasukan menarik kapal melalui daratan. Dia dianggap gila, apalagi kapal itu harus melewati daratan perbukitan, tetapi Al-Fatih tidak peduli. Dalam satu malam, pasukan berhasil memindahkan beberapa kapal, nyatanya trik itu juga yang membuat pertahanan Konstantinopel lemah,"
"Setelah penaklukan, Muhammad Al-Fatih memindahkan ibu kota Utsmani dari Edirne ke Konstantinopel. Dua keponakan dan pewaris kaisar lantas menjadi pelayan dekat Mehmeh (Al-Fatih) yang kemudian masuk Islam. Diberi nama baru, Hass Murad dan Mesih," cerita Hamish begitu bersemangat seperti anak kecil yang begitu membanggakan tokoh superhero fiktif.
"Kenapa ya Al-Fatih tidak meminta damai saja? Kenapa harus berperang? Pantas saja teman non-muslim Ibu mengatakan Islam menyebarkan agama dengan peperangan."
Pertanyaan Rofiah bukan pertanyaan yang pertama kali dia dengar. Banyak teman maupun saudara mempertanyakan itu. Kalau menurut Hamish, pemuda zaman sekarang langsung menelan mentah mentah presepsi golongan yang ingin memojokkan Islam. Umat Islam malas mengkaji sejarah dan agama, juga tidak kritis hingga menimbulkan sikap kecewa kepada para pendahulu. Lebih mengenal superhero fiktif ketimbang orang-orang saleh yang sebenarnya tidak kalah dengan pahlawan karangan yang menyelamatkan kota dan sebagainya.
"Ash-shalabi menulis, Al-Fātiḥ telah berinteraksi dengan ahli kitab sesuai dengan syariat Islam dan memberikan pada mereka hak-hak beragama. "Dia tidak pernah melakukan perlakuan jahat pada seorang pun dari kalangan Kristen," Sebaliknya, Al-Fatih justru menghormati para pemimpin agama lain dan berbuat baik kepada mereka. Slogan yang pernah Al-Fatih katakan adalah, 'Keadilan sebagai pondasi kekuasaan.' Dari sikap itu bisa dilihat bahwa sebenarnya beliau mencintai perdamaian. Perang kala itu menjadi salah satu solusi, sama seperti seorang dokter yang menindak pasiennya operasi. Al-Fatih sudah mengajukan cara baik-baik, tetapi ditolak."
Hawwa sesekali mencuri pandang kepada Hamish, mulai tertarik dengan informasi yang lelaki itu sampaikan.
"Kamu benar Hamish, ibu saja lebih tahu supermen daripada Muhammad Al-Fatih. Malu sekali, sudah tua baru mau belajar agama. Padahal belajar di waktu muda bagai menulis di atas batu, belajar usia tua bagai menulis di atas air."
"Hamish sebenarnya kecewa dengan remaja saat ini, lebih mengidolakan tokoh yang entah bermanfaat tidak kelak di akhirat. Al-mar'u ma'a man akhabba, kelak di hari kiamat kita akan bersama orang yang kita cintai. Kalau di dunia, cinta sama yang tidak beragama, pakai rok seksi, mengajak melalaikan Allah, bagaimana kelak di akhirat? Berbeda kalau mengidolakan Al-Fatih, Abu-Bakar, Usman. Kalau perempuan bisa mengidolakan ibunda Fatimah dan lain-lain."
Mobil Hamish berhenti sejenak di pom bensin. Lelaki itu turun dari mobil, membuka penutup bensin. Begitu petugas mengatakan selesai, ia masuk lalu mengemudi. Tidak lupa menyimpan nota ke dashboard mobil dinas.
"Saya kagum dengan Hawwa, menulis adalah cara mengubah pola pikir pembaca. Kalau Hawwa mau menulis tentang Islam dan mengajak mencintai pahlawan Islam. Pasti bagus sekali."
Seketika itu Hawwa menyesali perbuatannya. Dia berburuk sangka kalau Hamish hanya ingin tahu kehidupannya, sedangkan tujuan pria itu sangat baik.
"Pemberani, pandai ilmu dunia tanpa mengabaikan ilmu agama membuat saya menjadikan Mahmed sebagai role model," terang Hamish sebelum menekan tombol agar kunci pintu mobil terbuka. Mobil berhenti di gang depan rumah Rofiah.
Hawwa dan Rofiah turun, Hamish juga mengikuti. Namun ia menolak lembut saat wanita paruh baya itu mengajak masuk.
"Saya harus masih ada tugas. Tim saya sedang menuju ke mari untuk penjagaan. Hawwa simpan nomor saya, telepon kalau ada hal mencurigakan."
"Sudah."
"Nah gitu, Patung Kudaku."
"Dasar hantu!"
Tatkala mobil Hamish meninggalkan rumah Rofiah bertanya, "kenapa bisa ada panggilan sayang gitu sih? Ibu pengen denger ceritanya."
"Panggilan kebencian itu, Bu."
"Benar-benar cinta?"
"Terserah Ibu saja."
"Kenapa hantu, gak pangeran aja?"
"Idih, pangeran kodok? Dia itu muncul tiba-tiba kayak hantu."
Rofiah tertawa geli mendengar penjelasan anaknya.
Dari kejauhan sepasang mata memandang tajam seperti srigala yang mengincar mangsa.
***
Terima kasih sudah membaca Senja di Istanbul ❤️
Kita buat grup WA Ubul-Ubul mau gak?
1. MAU
2. Enggak
Ngapain aja?
Sama di grup pembacaku yang lain. Ada kegiatan tadarus (buat yang mau), gak ketinggalan informasi, dan satu grup sama aku pastinya.
Bab ini panjang loh, jangan lupa vote untuk mendukung SDI.
Selamat kepada Zahratunnufus1
Kewajiban manusia adalah beribadah
Mel~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top