20.

Mengapa semuanya jadi begini?
Sebuah reaksi hati yang tak punya kendali,
Ini bukan seperti dering ponsel yang bisa dimatikan begitu saja,
Atau bunyi alarm pagi hari yang menusuk telinga namun bisa berhenti dengan satu klik.

Aku benci mengakui ini,
Aku terlalu rapuh untuk memegang kendali perasaanku sendiri.
Aku muak seperti ini,
Terlalu sering terluka hanya karena melihatmu dengan yang lain.
Aku lelah meluruskan pandanganku,
Saat kenyataan berkata bahwa aku bukan bagian darimu.

Bagaimana aku benar-benar membuangnya,
Sementara sesak dada bukan sekedar perumpamaan.
Ini menyakitkan kau tau?
Siapa yang dengan bodohnya ingin bertahan dalam mencintai sendirian?
Siapa yang sudi hatinya ditikam hingga sesak dan terkoyak?
Kau pikir aku sudi dirundung duka karena mencintaimu?
Ketahuilah aku lelah!
Bahkan bila semua perkataanku bisa mengubah keadaan hatiku menjadi pulih,
Aku ingin katakan bahwa aku menyesal mencintaimu.

Namun apakah sesalku berguna?
Apakah sesalku bisa mengembalikan semua keteguhan hatiku?
Sayangnya tidak, bukan?
Aku harus memikulnya dengan penuh lara dalam dada.
Ini menyakitkan!

Dan saat semua ini terjadi, siapa yang harus aku salahkan?
Diriku? Bahkan aku tak menginginkannya.
Hatiku? Siapa yang menggerakanya?
Dirimu? Aku hanya kau anggap rendah saat menuntutmu mengakui perasaanku padamu.

Bahkan kini air mataku saja tak mampu menenangkan lukanya.
Tangisku sepanjang malam tak meredakan rasa sakitnya.
Lalu aku harus bagaimana?
Membunuh ragaku? Hatiku? Atau perasaanku kepadamu?
Sungguh, aku selalu mencoba menguburnya dalam,
Hingga akhirnya ia selalu muncul dipermukaan tanpa aku kehendaki.

Aku benci mengatakan ini!
Namun aku mencintaimu dengan segala luka diseluruh tubuhku.
Aku benci pada kenyataan ini!
Aku tak ingin cinta yang tak diakui ini
Menggenggamnya sendiri seperti menancapkan belati pada tubuhku sendiri.
Aku benci pada setiap tawamu bersama mereka!
Jika jujurku kau anggap aku rendah, biarlah.
Tapi aku cemburu dengan sikapmu pada mereka.
Berapa banyak orang yang bisa tertawa bebas denganmu.
Sementara aku yang jelas mencintaimu tak bisa kau ajak damai sedikitpun.

Apa kau ingin menghakimiku?
Silakan!
Toh aku bisa apa dengan hinaanmu? Membalasnya?
Disini memang aku yang kalah karena dengan bodohnya aku memang sangat mencintaimu.

-Tia Purnama Setiani-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top