I - THESE FOOLISH THINGS


Fuck!

Ini acara kapan kelarnya sih?

Katanya cuma resepsi kecil-kecilan, tapi udah lebih dari 4 jam dan tamu Mas Gio masih banyak yang belum pulang! Capek harus bersikap manis di depan semua orang sementara gue mati-matian nahan kantuk, mana blazer yang gue pakai bikin gerah lagi. Ide siapa sih ini, resepsi di Bali musti pakai blazer segala?

Untungnya resepsi ini nggak di pantai melainkan di kebun vila yang disewa Mas Gio sejak seminggu lalu. Mama dan Papa juga nginep di sini sejak mereka di Bali. Dekorasinya nggak lavish banget, bahkan menurut gue sangat simpel. Kathy pun cuma pake gaun panjang dengan rambut panjangnya digerai dengan flower headpiece. Mas Gio pakai blazer krem dan keliatan ganteng. Cocoklah mereka berdua. Ditambah backsound yang cuma instrumental, sesekali diselingi lagu buat yang pengen dansa, bikin resepsi ini tambah intimate. Apalagi pas lampu-lampu mulai dinyalain. Kesan elegan yang pengen ditunjukkin Mas Gio dan Kathy makin kerasa.

Acara utamanya udah kelar dari kapan tahu—acara nikahannya sendiri udah tiga bulan lalu—tapi karena Mas Gio jarang ketemuan sama temen-temennya tiap balik Indonesia, jadinya berasa kayak reuni. Satu yang bikin gue lega, Theo nggak pernah jauh dari gue. Cuma ke dia gue bisa ngeluapin semua yang gue rasain: ngantuk, capek, dan gerah. Berkali-kali, Theo ngelus punggung gue dan nyuruh buat sabar. Buat ukuran cowok yang lumayan temperamental, kesabaran Theo buat jagain mood gue patut dikasih pahala. I can always reward him with a blowjob. He would be pleased.

Tamu-tamu Mas Gio pun nggak ada yang overdressed karena di undangannya cuma tertera smart casual. Kekhawatiran gue kalau ada tamu cewek yang sanggulnya mirip menara Eiffel nggak kejadian. Cowok gue juga tampil manis. Pakai kemeja lengan panjang warna cokelat muda dan celana biru gelap. Gue hati-hati banget pas nyulik dia beberapa kali buat make out di kamar yang bakal gue tempatin nanti malem. Cuma raba-raba dan ciuman doang, nggak lebih. Kalau ini bukan pesta Mas Gio, gue nggak akan puas dengan cuma pegang-pegang. Peduli amat. Gue bosen setengah mampus! Gue juga mastiin kemeja putih telur, celana panjang bahan item, dan—atas paksaan Mas Gio yang ngerecokin gue bikin blazer sekalian pas dulu ngukur jas buat jadi best man dia—made-to-measure structured blazer yang gue pakai nggak sampe kusut akibat acara make out selonongan sama Theo. Kalau ada yang liat, curiga, apalagi sampai nyinyirin, malah bakal gue ajak gabung sekalian asalkan yang mergokin kami cowok. Apalagi kalau orang itu—Dammit! Gara-gara ngeliat Levi, otak gue jadi ngebayangin dia yang muncul di sesi grepe-grepean gue sama Theo.

Status temenan gue sama Levi nggak bikin gue dilarang buat bilang tampilan dia petang ini—fuck! Gue inget terakhir kali liat dia dandan serapi ini: pas kami makan malam di Le Jules Verne. Jas biru muda, kemeja dan celana putih, rambutnya dikasih gel dan dibelah samping, plus dua hal yang udah jarang gue liat dari dia: 5 o'clock shadow dan gelang Chaine d'Ancre Hermes-nya. Theo sampe bilang "Lo nggak cemburu 'kan gue bilang Levi cakep?" dan percaya atau nggak, Theo nggak pernah bilang begitu di depan gue soal Levi. Gue cuma bales ucapan Theo dengan gelengin kepala. Levi looks devilishly handsome tonight. And that's a statement. Eh, gue nggak akan nyia-nyiain pemandangan cowok keren di depan mata ya? Sekalipun cowok itu Levi plus his always-super-neat boyfriend dan sekalipun Theo nempel terus di samping gue. Good looking man is good looking man. Period. Marcus ... well, dia nggak keliatan jelek juga, tapi dibandingin Levi? Tetep timpang. Sejak kenal Marcus, gue langsung inget Zack. Cara dia berpakaian sehaluan sama Zack meski dia nggak melulu pakai kemeja. Tiap kali papasan, gue nggak pernah liat dia pakai celana pendek. And they look good together. No, it's not one of my bullshitting remarks. Beberapa kali gue sengaja perhatiin cara Levi natap Marcus atau bahasa tubuh dia yang naruh lengan di pinggang Marcus. Gue nggak ragu Levi beneran udah klepek-klepek di depan Marcus. Terlepas dari apa pun sejarah yang ada antara gue dan Levi, gue juga pengen Levi bahagia.

"Mau gue ambilin minum lagi, Glenn?"

Gue mandang Theo dan gelengin kepala. "Nggak usah," jawab gue dengan nada yang lebih manis dari gula sekilo. "Makin ngantuk gue nanti."

"Lo nginep sini 'kan?"

Gue ngangguk setelah ngabisin sisa mojito yang tinggal es-es doang. "Lo kalau mau balik, balik aja. Gue nggak mau lo jadi capek nemenin gue," jawab gue sambil bersihin rambut Theo yang kena rontokan daun.

"Beneran nggak pa-pa gue tinggal?"

"Lo musti nyetir, Theo. Gue nggak mau lo jadi ngantuk kalau tetep nemenin gue di sini. Lo nggak minum 'kan tadi?"

"Cuma nyesep mojito lo dikit tadi pas lo ke toilet. Lo tahu gue minum apa sesorean. Gue nggak bakalan minum tiap bawa mobil sendiri."

"Atau perlu gue buatin kopi supaya mata lo melek?"

Tiap kali Theo bales kalimat gue dengan senyum, rasanya pengen langsung nyeret dia ke kamar buat gue uyel-uyel. He's so adorable! "Nggak usahlah. I'll be fine."

Gue nawarin buatin Theo kopi karena hampir aja gue nyebut soal Zack. Jujur, tiap kali ada orang terdekat gue pamit pulang naik mobil atau motor, gue berkali-kali mastiin mereka nggak ngantuk, capek, atau abis minum. What happened to zack still haunts me. Gue nahan diri sama Theo karena nggak mau dia curiga kenapa gue jadi khawatir berlebihan.

"Lagian lo besok musti gawe. Kasian kalau nunggu pesta ini kelar."

"Ya udah, gue pulang." Theo kemudian nyium pipi gue. Dia ini memang nggak bakal mikir dua kali buat PDA. "Gue pamit ke Mas Gio dulu ya? Ntar gue kabari kalau udah nyampe rumah."

"Mau gue anter ke parkiran nggak?"

Theo cuma berdecak dan ketawa kecil. "Nggak usah. Dicariin lagi nanti lo." Dia kemudian ngeraih pergelangan tangan gue dan ngeremasnya pelan. "See you tomorrow?"

"Kalau gue nggak capek banget deh." Gue udah janji buat nemenin dia ke pesta ulang tahun temennya. Sebenernya, gue udah mutusin buat nggak dateng begitu tahu tanggalnya abis pestanya Mas Gio. Sinting kali kalau gue musti ke pesta dua hari berturut-turut. Cuma, supaya nggak ribut aja, gue iyain. Lagian, gue pasti molor seharian juga besok.

"Oke. Kabarin aja."

Begitu Theo ngejauh, gue ngembusin napas lega. Gue sempet liat dia pamitan sama Mas Gio, orang tua gue, Levi, dan juga Marcus. Entah apa yang dia omongin, tapi gue cuma ngelambaiin tangan pas masing-masing ngeliatin gue. Begitu dia beneran udah nggak keliatan, gue langsung nyari satu kursi dan duduk di sana. Bali panas banget, anjrit! Rasanya pengen ngelepas blazer aja, tapi masih ada tamu dan gue nggak mau diomelin Mama atau Mas Gio nanti. Sabar, Glenn, sabar, ucap gue sambil tarik dan embusin napas pelan-pelan. Kalau ada yang merhatiin, pasti dikira gue lagi meditasi.

"Hey, what are you doing here all by yourself? Missing Theo already? He just left less than 10 minutes ago, Glenn."

Gue diemin Levi yang tiba-tiba aja udah duduk di samping gue. Sendirian. Mata gue langsung beredar buat nyari Marcus dan liat dia lagi ngobrol asik dengan salah satu temennya Mas Gio. Pas ngelirik, gue liat Levi sedikit keringetan dan otak gue langsung beraksi nyuruh ngulurin pocket square yang ada di saku blazer buat ngusap keringetnya. Cahaya lampu yang ada di atas dia justru bikin sisi wajahnya itu makin keliatan—crap! You're doing it again, Glenn. Laki orang, woy! Gila kali gue ngelakuin itu sementara cowoknya di sini. Bisa dicincang terus dijadiin rendang. Judul menunya: Rendang Pelakor—perebut laki orang. Okay, lebay gue mulai nggak tanggung-tanggung. Akhirnya, gue cuma deham pelan sambil ngelurusin kaki, masih nggak niat bales ucapan Levi. Nggak penting juga gue jawab.

"You look bored."

"Capek gue harus manis-manis di depan banyak orang. Mana Bali nggak nanggung-nanggung lagi panasnya."

Levi ketawa. "Lepas blazer kamu."

Gue akhirnya mandang Levi setelah sekian menit gue tahan. "Lo sinting? Bisa dirajam Mama dan Mas Gio kalau gue sampai ngelepasin blazer."

Jawaban gue justru bikin kening Levi ngerut. "Kenapa memangnya?"

"Males aja diceramahin. Lagian tamu-tamu Mas Gio masih di sini, nggak etis." Gue negakkin tubuh tanpa ngalihin perhatian dari Levi. "Lo memangnya nggak kepanasan?"

"I'm okay. Agak berkeringat, tapi masih belum ingin sampai buka jas dan kemeja."

Gue tahu dia cuma bercanda, tapi kadang, candaan dia itu sama sekali nggak lucu alias garing.

"Kok lo ninggalin Marcus sendirian?"

"What do you mean? I'm still here. In less than 10 second, I can reach him."

"Nggak takut cowok lain bikin Marcus kesengsem?"

Levi ketawa sambil nepuk lututnya. "Why should I be afraid? We're adult, if he doesn't love me anymore, I won't force him to stay with me."

Gue nelen ludah.

Sebenernya ada satu pertanyaan yang masih gue tahan-tahan sejak tahu Levi jalan sama Marcus: kualitas Marcus yang bikin Levi akhirnya nyerah ngejar gue. Gue nggak punya keraguan Marcus sangat pantes buat Levi, gue cuma pengen tahu. But, bringing it up would only mean talking about his feeling towards me, which obviously has vanished and which obviously I have no intention to discuss. Gue ogah ya ngungkit sesuatu yang udah jadi sejarah, apalagi hubungannya sama perasaan, se-kepo apa pun gue. Lagian, bukan urusan gue juga sebenernya.

"Gue sempet ngeliat cara lo mandang Marcus."

Fuckity fuckity fuck!

Ini nih kalau pikiran gue lagi nggak pada tempatnya. Omongan gue jadi nggak bisa disaring. Dan entah udah berapa kali kejadian sama Levi. Baik pas dia masih di Swiss, pas dia sama orang tuanya ke Bali dulu, atau pas dia udah pindah ke sini, pasti ada aja kalimat yang nggak punya niat buat gue ucapin, tapi ujung-ujungnya keceplosan. Kayaknya gue musti beneran lebih ati-ati. Soalnya yang gue bilang pasti jadi bahasan yang panjang. Sama kayak pas gue nyeletuk soal Levi yang nggak tinggal di Bali dan bikin dia jadi punya pertimbangan buat pindah sini. And look what happened now? Dia beneran pindah. Gara-gara mulut gue yang nggak bisa direm.

Dari ekor mata, gue bisa liat Levi senyum. Kayaknya puas banget denger gue ngomong begitu. Which is, entah kenapa gue malah makin sebel. Berasa kayak bumerang! Eat that, Glenn!

"And what did you see?"

"Apa yang nggak gue liat pas lo sama Ferro dulu."

Suara tawa Levi berasa pas banget ditempelin di kuping gue. Gue nggak tahu apakah tamu lain sempet denger dan pas gue perhatiin, kira-kira ada nggak yang sampe noleh denger ketawanya dia, ternyata nggak ada.

"Ketawa lo kurang kenceng. Mau gue ambilin mik biar tamu-tamu Mas Gio bisa denger?"

Kayaknya dia nyadar karena detik berikutnya, dia nundukkin wajah dan minta maaf, meski gue liat senyumnya masih belum ilang juga.

"Kamu pikir, aku dan Marcus cuma pura-pura seperti apa yang terjadi dengan Ferro dulu?"

Nggak perlulah gue jawab ya? Dan memang, gue cuma diem.

"Kenapa kamu sampai berpikiran begitu?"

Gue ngedikin bahu. "Kali aja lo nggak terima gue jalan sama Theo dan lo jadiin Marcus pelampiasan."

"Bukannya tadi kamu bilang cara aku memandang Marcus tidak sama dengan Ferro dulu?"

Kena 'kan lo, Glenn? "I did."

"I love Marcus, Glenn. I really do."

"Nggak ada yang tahu isi hati orang, Lev. Ngucapin cinta juga tiap orang bisa."

Damn! Gue ngomong apa lagi sih?

"Kamu bisa tatap mataku dan bilang, apakah aku bohong atau tidak."

Gue malah ngelambaiin tangan pas kebetulan pandangan gue dan Mas Gio ketemu. Gue nggak akan nurutin ucapan Levi. Bukan karena nggak mau, tapi gue justru nggak siap buat tahu kebenarannya. Pengecut banget 'kan gue?

"Gue nggak mau cowok lo mikir macem-macem kalau liat lo duduk berduaan sama gue. Gue masih mau hidup ya?"

Dengan itu, gue bangkit dari kursi dan ninggalin Levi buat jalan ke open bar. Nggak peduli kalau yang gue minum cuma air putih, tapi gue nggak bisa di deket Levi dan ngebiarin mulut gue makin ngaco. I've said enough. Gue nggak bisa ngebayangin beneran tipsy sampai blabbering di depan Levi, ngomong apa yang seharusnya gue simpen sendiri. Gue nggak mau ambil risiko.

Begitu nyampe di depan bar, gue langsung bilang, "Mojito-nya satu lagi, Bli."

Mungkin ada baiknya gue teler sekalian. At least, gue bakal bisa tidur nyenyak malam ini dan otak gue jadi nggak mikirin apa yang baru kejadian.

Dan gue sama sekali nggak nengok buat mastiin apakah Levi masih duduk atau udah nyamperin Marcus.

***

"Kok belum tidur? Katanya ngantuk."

Gue cuma dongakin kepala pas denger suara Mas Gio. Tanpa gue minta, dia langsung duduk di samping gue, ngerendemin kakinya di kolam renang sama kayak yang gue lakuin setengah jam ini. Setelah keriuhan seharian, gue pengen banget sendirian. Dan mojito yang terakhir gue minum tadi, nggak mempan bikin gue ngantuk. Alhasil, di sinilah gue sekarang. Mainin kaki gue di air kolam sambil mandang bintang. Kurang kerjaan banget 'kan?

"Mas Gio sendiri kenapa belum tidur? Nggak capek?"

Mas Gio cuma ngembusin napas. "Capek banget malah. Besok mau ikut Kathy ke spa. Siapa tahu bisa ilang pegel-pegelnya."

Gue ngangkat alis. Mas Gio ke spa? "Mas Gio kesambet apaan sampe mau diajak ke spa?"

"Hahahaha. Sekali-kali nggak pa-palah, Glenn." Gue ngamatin Mas Gio ngobok-ngobok air kolam sama tangannya. "Did you enjoy the party?"

"Diluar harus nahan gerah dan bersikap sok manis di depan banyak orang, gue enjoy kok, Mas."

"Tapi Mas Gio perhatiin, tadi kamu keliatan agak bothered gitu."

"Ya karena harus jadi cowok anteng itu tadi. Duh!"

Mas Gio ketawa. "Bukan karena Levi keliatan cakep?"

"Ck!" decakku. "Levi kapan sih nggak cakep? Dari pertama liat dia pas masih sama Zack juga dia udah cakep kali, Mas. Udah cetakannya begitu. Dia cuma tampil lebih rapi aja. Udah lama gue nggak liat dia serapi itu."

"Jadi kamu perhatiin dia juga?"

"Ya iyalah. Orang keliatan kok, masa nggak diperhatiin." Gue sebenernya curiga ada maksud terselubung di balik ucapan Mas Gio, tapi gue nggak mau juga asal tuduh.

Mas Gio cuma ngangguk-ngangguk, yang tandanya dia setengah percaya dan nggak.

"Mas Gio mau nyeramahin gue soal Levi atau Theo? Mau sampai kapan? Dia udah punya Marcus dan gue udah punya Theo. Udahlah, Mas. Nggak usah bahas-bahas dia lagi."

Akhirnya gue luapin juga apa yang ada di pikiran setelah Mas Gio cuma diem. Sejak gue jalan bareng Theo, kakak gue ini kayak setengah hati nerima. Gue nggak tahu alasannya. Tiap ada kesempatan, Mas Gio bakal bawa-bawa Theo dan Levi sampai gue beneran bingung gimana harus ngadepinnya. Mas Gio bukan orang yang suka ikut campur urusan gue, tapi kayaknya semua mulai berubah pas gue jadian sama Theo.

"Mas Gio sempet nggak sengaja perhatiin, Levi beberapa kali mandangin kamu."

"Terus? Salah? Nggak usah ngada-ngadain apa yang nggak ada deh, Mas."

Gue berusaha nahan emosi. Seriusan! Kombinasi alkohol—meski udah gue tumpuk sama air putih banyak-banyak—dan capek memang bukan kondisi ideal buat diajak ngobrol beginian. Jangankan Mas Gio, misalnya Mama ngajak nyinggung hal yang sama sekarang, bakal gue ketusin juga. Bukan perkara hormat atau nggak, tapi otak gue nggak akan kuat kalau harus ngebahas hal berat. I'm emotionally and physically tired.

"Bahkan Kathy pun sempet nangkep ada yang ganggu pikiran kamu meski Theo nggak lepas dari samping kamu."

"Jadi, Kathy mau ikut-ikutan psychoanalyzing gue?"

"Kok gitu responnya?"

Gue ngambil napas dalem. Kathy ini memang psikolog, makanya gue agak-agak nggak nyaman deket sama dia. Apalagi kalau gue harus bohong, pasti langsung ketahuan, meski dia nggak pernah secara gamblang nanya gue macem-macem juga. Justru ini pertama kalinya gue denger Mas Gio ngomong begitu.

"Dia cuma khawatir kamu ada masalah, Glenn. Itu aja. You know how much she cares about you."

"Tell her I'm fine. And please, ask her to stop psychoanalyzing me."

Mas Gio diem lama. Matanya cuma natap permukaan air kolam, kayak apa yang lagi ada di pikiran dia tertulis di sana.

"Mas Gio pengen kamu bahagia. Setelah Zack, Mas Gio belum liat kamu bener-bener bahagia lagi. Bahkan sama Theo pun, Mas Gio nggak bisa liat itu, kecuali—"

"Dan Mas Gio pikir, gue bakal bahagia kalau sama Levi?" Gue sengaja motong kalimat Mas Gio karena tahu banget apa yang bakal gue denger.

"Mas Gio nggak tahu. Mungkin jawabannya bukan apakah cowok itu Levi atau nggak, tapi apa definisi bahagia buat kamu. Mas Gio malah liat kamu jauh lebih enjoy pas masih single. Kalau memang kamu nggak bahagia ngejalanin sebuah hubungan, kenapa nggak stay single aja? Nggak ada yang ngejar-ngejar kamu buat nikah."

"Mas Gio perlu bukti apa?"

Mas Gio justru gelengin kepala sambil senyum. Jenis senyum yang gue hafal banget karena apa pun yang bakal gue denger, pasti nohok banget.

"Buat apa kamu kasih Mas Gio bukti? Nggak perlulah. Kamu tuh. Buktiin ke diri kamu sendiri aja. Itu jauh lebih penting."

Pas gue masih belum nanggepin apa-apa, Mas Gio neglanjutin kalimatnya.

"Ask yourself questions, Glenn. Nggak usah jaim sama diri sendiri."

"Pertanyaan macem apa? Gue nggak perlu nanya apa-apa, Mas. Gue bahagia sama Theo. Titik." Gue langsung bangkit dari samping Mas Gio, berniat buat masuk ke kamar. Untuk kedua kalinya, gue lebih milih kabur daripada ngadepin kakak gue dan ngebahas tentang sesuatu yang sama sekali nggak gue mau. "Pikirin aja pernikahan Mas Gio. Itu jauh lebih penting daripada ngurusin kebahagiaan gue."

Dan tanpa nunggu balesan Mas Gio, gue masuk vila karena nggak tahan lagi harus ada di deket Mas Gio sekarang dan sok tahu betapa nggak bahagianya gue sama Theo. Bullshit!

Gue jarang bersikap kasar ke kakak gue, tapi malam ini, gue muak sama Levi dan Mas Gio atas dua alasan yang bersinggungan. Gue ini udah 30 tahun, bukan anak kemarin sore yang perlu diceramahin soal bullshit things about happiness. Cuma gue yang tahu apa dan siapa yang bikin gue bahagia, dan saat ini, sumber kebahagiaan gue sama sekali bukan manusia bernama Gabriel Levi. Sesusah itu ya nerima kenyataan?

Gue dan Levi nggak bakalan jadi apa-apa selain temen. Titik!


***

ANother update. Maaf ya baru bisa dilanjutin. Disengaja memang :D

Jadi saya mau gantian posting SBJ dan KAI, biar nggak kayak dikejar setoran (padahal sebenernya iya, LOL) jadi sabaaaar. Saya aja sabar kok nunggu hati Akang Kyle #eh

Ternyata nulis Glenn di SBJ ini jauh lebih challenging daripada Glenn di KLB. I feel like Glenn has grown into a kind of mature one without losing his frankness and cablaknya, hahahaha. Jadi a bit challenging, though I still enjoy writing him. 

Semoga bisa dijadikan teman akhir pekan :)

Have a great weekend, people!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top