6 September 2012
Bekal minggat terkini: 1.180.000
Hari ini Ragil menghubungiku lagi. Minta tolong diloloskan dari para perisak. Seperti sebelumnya, kuhampiri dia yang bersembunyi di dalam toilet perempuan.
"Sekarang harga promo udah enggak berlaku, loh," kataku begitu membuka pintu bilik toilet paling ujung. Ragil sudah menunggu di dalam sana.
"I-iya," ujar Ragil, kentara lega dijemput olehku. Dia menunjukkan selembar uang lima puluh ribu di tangannya.
Aku meraih uang tersebut, memasukkannya ke dalam saku jaket, kemudian mengedik ke arah laki-laki itu selaku isyarat untuk mengikutiku. Dalam perjalanan kami menuju gerbang sekolah, dia memanggilku, "K-kak?"
"Jangan panggil aku 'Kakak'," kataku, merasa itu menggelikan. Aku saja tak pernah memanggil kakakku Indri dengan sebutan 'Kak,' melainkan namanya langsung. "Namaku Sari."
"O-oke, Kak, eh Sari," kata Ragil. "K-kukira enggak bakal datang tadi. Soalnya kemarin pesanku enggak dibalas..."
"Ada bisnis lain kemarin," ujarku. "Kemarin aman?"
"A-aku nunggu sampai mereka nyerah," ungkap Ragil.
"Sampai jam berapa tuh?"
"Jam lima..."
Alisku langsung terangkat. Kasihan juga, anak ini. Normalnya, aku takkan berbaik hati memberitahunya trik, apalagi aku butuh sumber penghasilan. Bayangkan saja, lima puluh ribu rupiah setiap hari sekolah, paling tidak sampai aku lulus SMA kurang dari setahun lagi. Berapa banyak jumlah totalnya nanti?
Namun, mungkin karena wajah Ragil yang memelas tanpa daya, lidahku seakan tergelincir. "Kamu bisa aja loh 'nebeng' guru waktu lewat gerbang sekolah biar gak diganggu. Atau panjat pagar belakang, nanti kuajari caranya."
Ragil menatapku dengan terpana, seakan tak terpikirkan hal itu sebelumnya. Aku sendiri terheran dengan ucapanku barusan, yang seakan sengaja mengusir sumber penghasilanku. Ragil lantas membalas, "Nanti kucoba..."
Hening sejenak menyambangi. Kemudian Ragil berkata lagi, "T-tapi kamu mau enggak temenin aku selama jam istirahat? Kadang aku sering diganggu juga di jam-jam itu."
"Hah?" responsku terkejut.
"Kutraktir jajan apa aja di kantin, ya...?"
Bagaimana, ya? Aku lebih senang menghabiskan jam istirahatku sendirian, atau mengerjakan tugas pesanan klien pada waktu tersebut. Namun, tawaran traktir jajan itu menggiurkan. Aku akan bisa menghemat uang saku dari Mamah, juga tak perlu memakan bekal buatannya.
Tetap saja, terasa tak nyaman bagiku. "Emang enggak ada teman sekelasmu yang mau pergi bareng ke kantin?" tanyaku kemudian. Paling tidak, jika murid laki-laki suka mengganggu Ragil, aku berekspektasi murid-murid perempuan akan mau berteman dengannya.
Ragil menggeleng berulang kali. Kurasa, karena kepribadiannya yang pemalu dan tak percaya diri, laki-laki itu kesulitan berteman. Bukannya kondisiku lebih baik, sih. Paling tidak, aku memang bersukarela untuk menyendiri, bukan terpaksa karena keadaan sepertinya.
Obrolan terhenti karena kini kami sudah mencapai gerbang depan. Di sana, gerombolan perisak yang kemarin lusa mengganggu Ragil sudah menunggu. Namun, melihatku kehadiranku serta tatapan sengitku pada mereka, gerombolan itu hanya mendecih selagi aku dan Ragil melewati gerbang.
Di luar gerbang, Ragil mendesah napas lega. Dilihatnya mobil hitam, yang menjemputnya seperti kemarin lusa, sudah menunggu di pinggir jalan sekitar sepuluh meter dari gerbang. Mungkin orangtua atau saudaranya yang menjemput, pikirku. Apa mereka tahu kalau Ragil ditindas di sekolah? Lekas kuenyahkan pikiran itu dari benakku. Toh bukan urusanku.
Sebelum pamit pergi, Ragil berkata dengan memelas lagi padaku, "Mau ya bareng ke kantin, Sari..?"
Lagi-lagi, aku tak bisa menolak tatapan tanpa daya itu. Aku pun menganggukkan kepala dengan setengah enggan, tetapi Ragil tersenyum lebar dan berkata akan menjemput ke depan kelasku saat jam istirahat besok. Dia pun melambaikan tangan sebelum bergegas menuju mobil.
Entahlah. Apa aku memang selunak ini? Sungguh sama sekali tidak seperti diriku.
Kusalahkan Mamah karena perubahan ini.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top