5 September 2012

Bekal minggat terkini: Rp 1.080.000

Jon benar-benar mewujudkan rencana anehnya. Kemarin malam, ponsel bututku bergetar, menampilkan panggilan dari nomor yang tak kukenal. Karena tak ada yang pernah meneleponku selain Mamah, kuyakin itu adalah Jon (aku tak pernah menyimpan kontak selain klien-klienku).

Benar saja, ketika kuangkat, Jon langsung menanyakan alamat sekolahku tanpa berucap 'Halo' atau basa-basi lain. Begitu kuberitahu alamatnya, dia pun menyuarakan instruksi secara ringkas, padat, dan jelas: "Tunggu di depan pagar. Kujemput jam tiga."

Baru mau kutanyakan detailnya, Jon sudah menutup telepon (dan aku malas menghamburkan pulsa untuk bertanya lebih lanjut). Saat itu, aku masih skeptis dia bakal muncul sungguhan.

Sore tadi, aku pun tiba di gerbang sekolah pukul tiga lebih sepuluh menit karena harus menyerahkan tugas pesanan klien dulu. Di sana, kudapati Jon sudah menunggu. Duduk di atas motor sambil memegang helm, dia memprotes, "Telat!"

Tampangnya ketus, tetapi dia langsung menyodorkan helm padaku, menyalakan mesin motor, dan menyuruhku duduk di belakangnya.

Ketika aku tak kunjung naik, Jon mengeluh "Ayo!"

Pasalnya, aku tak pernah dibonceng oleh orang selain Bapak. Karena itu, aku harus memastikan tindakanku ini setimpal balasannya.

"Walau ini masih percobaan, ada bayarannya kan?" tagihku.

"Matre banget, sih! Iya, iya," tanggap Jon tak sabar. "Buruan naik!"

Aku pun naik ke jok motor, menjaga jarak sejauh mungkin agar tidak menyentuh Jon dengan cara meremas gagang di sekitar jok. Cara begini juga kulakukan setiap dibonceng Bapak, dan tetap kupertahankan selama perjalanan bersama Jon.

Setelah kurang lebih dua puluh menit, kami tiba di depan bangunan ruko dua lantai yang cukup besar, persisnya di depan sebuah toko bangunan. Sebut saja Toko Makmur Jaya Sentosa. Aku belum pernah kemari sebelumnya, tetapi aku tahu ini adalah toko milik bapaknya Jon sekaligus tempat Maria bekerja.

"Jadi, apa rencanamu?" tanyaku pada Jon sembari melepas dan mengembalikan helm padanya.

Jon menaruh kedua helm di atas masing-masing spion. "Gak ada rencana," katanya tercengir. "Atap lantai dua kosong. Kita nongkrong di sana sampai jam enam. Kamu bisa pulang sendiri, kan? Nanti kukasih ongkosnya."

"Dan bayaranku," tambahku.

"Dan bayaranmu," tanggap Jon, mengayunkan tangan sebagai gestur mengajakku masuk ke dalam toko.

Toko bangunan itu cukup luas. Perkakas seperti palu, sekop, obeng, martil, dan lain sebagainya terpajang di dinding sementara barang-barang yang lebih kecil ditata di dalam rak etalase panjang yang mengisi separuh interior toko.

Di antara rak bagian tengah di sisi kanan toko, terdapat meja kasir. Di sana, kulihat Maria tampak sedang menegur seorang karyawan yang mengangguk-angguk sambil tertunduk masam. Jon menyeringai dan memanduku untuk berjalan melewati wanita itu. Ketika Maria menyadari kedatangan kami, atau persisnya kehadiranku, matanya langsung terbeliak.

"Ngapain kamu ke sini?" tanyanya padaku, memberi celah bagi si karyawan untuk melipir.

Setelah tiga tahun, itulah ucapan pertama Maria padaku.

Kulirik Jon yang mewakiliku untuk menjawab, "Main."

Wajah Maria tampak syok sekaligus gusar. Namun, sebelum wanita itu sempat berkata apa-apa lagi, Jon sudah lanjut berjalan menuju tangga di bagian belakang toko. Aku membuntutinya, sesekali melirik Maria yang masih tak mampu berkata-kata.

Kami berdua pun menaiki tangga ke lantai dua, melewati koridor kosong yang berisi ruangan-ruangan dengan pintu tertutup, kemudian menaiki tangga melingkar yang menuju atap.

Daerah atap itu sendiri merupakan petak terbuka tanpa dinding dan langit-langit. Tidak ada ubin di lantainya, hanya permukaan semen kering. Tidak ada perabot apa-apa selain sebuah sofa reyot yang tampak sengaja ditaruh di bagian tengah. Di sana, Jon langsung mengempaskan diri setelah sembarang menaruh tasnya di atas lantai.

"Seluruh ruko ini milik bapakku, mau dijual tahun depan," kata Jon. "Dia lagi sibuk bikin ruko di daerah lain, jadi kita bebas nongkrong di sini sampai pindah nanti. Kadang teman-temanku ke sini juga."

Mungkin dia mengucapkan itu untuk membuatku terkesan, tetapi reaksiku datar saja. Jon mengerutkan dahi, seperti menelitiku, kemudian bertanya, "Jadi, kenapa kepalamu hampir pelontos begitu?"

"Kemoterapi," jawabku asal, masih berdiri sambil memerhatikan sekitarku.

Jon setengah beranjak dari baringannya di atas sofa, kentara penasaran. "Beneran?"

Aku mengangguk. "Kanker."

"Kanker apa?"

"Kantong kering."

Jon menggerutu lalu kembali merebah. "Gak lucu!"

"Aku gak melucu," kataku datar. "Itu fakta."

"Ibuku meninggal karena kanker," ungkap Jon.

"O ... oh."

Aku bingung harus merespons apa. Kukira, seperti halnya Maria dan bapakku, orangtua Jon bercerai juga. Apa aku harus merasa bersalah karena ucapanku barusan? Meminta maaf rasanya menggelikan dan berlebihan, lagi pula bukan salahku kalau tidak tahu, bukan?

"Si Maesaroh gak pernah cerita, ya?" ucap Jon lagi.

"Cerita apa?"

Jon menggeram. "Tentang perselingkuhannya dengan bapakku selagi ibuku dirawat di rumah sakit. Tentang betapa cepatnya mereka menikah padahal kuburan ibuku masih basah!"

Laki-laki itu tampak amat murka, terlihat dari matanya yang tiba-tiba memerah. Namun, secepat kemarahannya timbul, secepat itu pula perginya. Ekspresinya melunak seiring dia menambahkan, "Yah, bukan kuburan basah, sih. Ibuku kan dikremasi, tapi ngerti lah maksudnya."

Aku hanya mengangguk, masih bingung bagaimana menindaki situasi emosional yang naik-turun seperti tadi.

"Aku benci dia setengah mati," lanjut Jon. "Si Maesaroh."

Paling tidak, kali ini aku tahu responsku. "Kalau ini bisa bikin kamu merasa lebih baik, banyak orang yang benci dia juga."

"Termasuk kamu?"

Entahlah. Seperti yang pernah kutulis sebelumnya, semua emosi yang pernah kurasakan hilang setelah Maria minggat, seakan wanita itu memborong mereka pergi bersamanya. Aku tidak bisa merasakan apa-apa.

Namun, Jon tidak menanti jawabanku. Dia hanya merogoh rokok dan pemantik dari dalam saku jaketnya. Usai menyalakan rokok, dia berkata, "Kamu lakukan urusanmu. Aku lakukan urusanku. Toilet ada di bawah. Kalau mau minum, jajan aja ke warung sebelah tokoku. Bilang, 'Nanti dibayar Jon'."

Dengan demikian, Jon lanjut merokok sambil bermain gim di ponselnya. Punya dua pesanan untuk klien besok, aku duduk di atas permukaan lantai semen sambil mengerjakan tugas. Sempat kucek ponselku dan kudapati ada pesan dari Ragil, dikirim setengah jam lalu: 'Kak, ini Ragil yang Kakak bantuin lewat gerbang Senin kemarin. Boleh minta tolong lagi sekarang?'

Aku tidak membalasnya. Sepertinya dia terlalu segan untuk meneleponku. Kuharap dia bisa menyelamatkan diri sendiri hari ini. Lebih dari itu, kuharap duit dari Jon bakal lebih banyak dari duit yang bisa kudapat dari Ragil.

Ketika pukul enam tiba, tugas-tugas sudah beres kukerjakan. Kulihat Jon masih tidur di sofa sejak satu jam belakangan. Aku pun membangunkan Jon, yang menggeliat puas karena tidurnya nyenyak, dan berkata bahwa aku sudah boleh pulang. Dia lantas memberiku seratus ribu rupiah, upah yang kurasa terlalu banyak hanya untuk 'nongkrong' bersamanya selama dua jam, tetapi kuambil tanpa sungkan.

Kami berdua lalu turun ke Toko Makmur Jaya Sentosa, lagi-lagi mendapat tatapan gusar dari Maria. Kali ini, wanita itu sudah berani ambil bicara, "Kamu mau apa ke sini, Sari?"

Lagi-lagi, Jon yang menjawab untukku. "Ini ruko bapakku. Tempatku. Terserah aku mau bawa siapa aja."

"Kenapa bawa dia?" tanya Maria, seolah-olah aku tak berada di sana.

"Dia kan saudara tiriku," ujar Jon. "Apa salahnya?"

Maria langsung terbungkam. Kulihat tangannya mengepal keras di atas meja kasir. Sebanyak empat karyawan pura-pura tak mencuri-dengar, sedangkan Jon masih memasang tampang cuek sampai tiba di luar toko. Barulah ketika dia mengantarku ke tempat angkot di pinggir jalan, Jon terbahak. "Kamu lihat muka si Maesaroh?! Gondok banget dia!"

Bayaranku mungkin mengharuskanku untuk sependapat dengannya, karena itu aku mengangguk saja.

"Kita harus lakukan ini lagi. Rabu depan, jam yang sama. Oke?"

Reaksi Maria sebenarnya tidak memberiku kepuasan apa-apa. Namun, karena bayarannya cukup besar, aku tidak melihat alasan untuk menolak.

Aku pun berkata, "Oke."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top