25 Juli 2012

Pertama-tama, akan kutegaskan bahwa ini bukanlah diari. Ini adalah catatan siasat untuk minggat.

Tabunganku bisa dibilang masih jauh dari cukup untuk kabur, terlebih untuk hidup mandiri di luar sana. Lebih memalukan lagi, sebagian besar sumber tabunganku berasal dari uang saku yang diberikan istri-baru-Bapak padaku. Usaha jahitnya cukup laku di gang kami, bahkan terkadang dia menerima pesanan jahit dari gang-gang lain. Penghasilan Bapak yang tak menentu sebagai kuli bangunan dan supir serabutan tak pernah cukup, atau setidaknya itulah yang selalu dikeluhkan Maria dulu; yang mana merupakan alasan utama dia meninggalkan rumah ini dengan cara mencari lelaki lain yang lebih berduit. Cerdik, bisa dibilang, tetapi Bapak lebih memilih memanggilnya jalang.

Aku tak bisa memakai siasat Maria, sehingga kutelan harga diri dan menampung uang saku pemberian si istri-baru. Aku hampir tidak pernah jajan di sekolah, lagi pula istri-baru-Bapak (dan lagi-lagi kutelan harga diriku) selalu menyiapkan bekal makan. Benar-benar bekal makanan yang layak, yang terdiri dari nasi, lauk, dan sayur--bahkan terkadang didampingi jeruk atau pisang. Bukan mie goreng instan nan kaku di kotak bekal yang selalu kusiapkan sendiri, sewaktu masih ada Maria.

Kedatangan istri-baru-Bapak terkesan memberi banyak keuntungan, tetapi tentu saja ada sisi menyebalkannya. Bapak selalu menyuruhku bantu-bantu kerjaan si istri-baru sepulang sekolah, sedangkan Indri bisa lolos dengan alasan 'sibuk kuliah' walau aku tahu sebenarnya dia sedang berkeliaran entah dengan pacarnya yang mana. Baru saja terjadi kemarin, aku disuruh mengantar pesanan hasil jahit seragam pengajian milik Ibu RT. Sewaktu aku mampir ke depan rumahnya, yang menyambutku adalah Pak RT. Lelaki paruh baya itu tersenyum ketika menerima keresek berisi baju dariku, kemudian mengusap kepalaku sambil menyugar rambutku sekilas. Kata orang-orang, Pak RT memang sedemikian 'ramah'.

Begitu kembali ke rumah, aku langsung keramas sebersih mungkin lalu mencukur rambutku sampai cepak. Berani sumpah, istri-baru bapakku langsung mengucap istigfar berkali-kali saking terkejutnya. Bapak menatapku heran, tetapi tidak berkomentar apa-apa saking seringnya menyaksikan tindakanku yang tak terduga. Daripada harus menjelaskan panjang-lebar, aku hanya berkata, "Biar hemat air dan shampo," pada si istri-baru yang bertanya-tanya dan menyayangkan tindakanku.

Tetap saja, istri-baru Bapak pusing bukan kepalang memikirkannya. Dia sampai menyarankanku untuk mengenakan kerudung ke sekolah besok. Aku menolak; selain karena enggan mengenakan kain di kepala seperti dirinya, aku lebih nyaman dengan tampilan kepalaku yang baru. Dengan begini, takkan ada yang lancang menyentuh rambutku lagi.

Sementara itu, Bapak tidak memusingkan rambut cepakku, justru mengkhawatirkan hal lainnya. Ketika si istri-baru sedang ke kamar mandi, dia berkata padaku, "Sar, ini udah dua tahun. Kamu enggak bisa terus-terusan menolak panggil dia 'Ibu'."

Ucapan Bapak tersebut sudah terprediksi olehku. Jawabannya pun sudah kupersiapkan, yakni hanya sebuah anggukan singkat kendati ingin sekali aku membalas, "Dia bukan ibuku."

Keinginanku untuk minggat pun semakin kuat. Mau tak mau, saatnya kujalankan siasat lain: 'berbisnis'.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top