1 September 2012

Aku pertama kali bertemu Jon di pemakaman Nenek.

Dia adalah anak suami-baru Maria dari pernikahan sebelumnya. Matanya agak sipit, seperti keturunan Tionghoa pada umumnya. Sepantaran denganku, usia pula tinggi badan. Perawakannya pun kurus sepertiku. Tidak lebih waras dariku juga. Sungguh, dia itu aneh sekali. Awalnya aku malas menceritakan tentang dia di sini, hanya saja ini akan berkaitan dengan Siasat Minggat-ku.

Baiklah, mulai dari mana?

Sebenarnya aku malas datang ke pemakaman Nenek, terutama karena aku pasti akan bertemu keluarga Maria di sana. Ada satu orang yang benar-benar ingin kuhindari. Namun, aku penasaran dengan warisan dari Nenek, yang ditujukan padaku tetapi tidak pada Indri. Semoga saja uang. Meski bukan orang kaya, Nenek mungkin punya simpanan dari uang pensiun mendiang kakek. Karena itulah aku harus datang secara langsung--kalau tidak, bisa-bisa Bapak mengantonginya untuk diri sendiri.

Pagi itu, aku dan Bapak pun bertolak ke sebuah tempat pemakaman umum di daerah Astana Anyar. Bapak bilang kami hanya perlu datang di prosesi penguburan, tidak sampai melayat ke rumah sebab kehadiran kami mungkin akan bikin canggung. Aku agak lega dengan keputusan itu, apalagi ban motor butut Bapak sempat kempes di jalan sehingga kami harus mampir ke bengkel dulu--alhasil waktu kami kian terulur. Semakin singkat kami unjuk diri di sana, semakin baik, pikirku.

Kami berdua akhirnya tiba di TPU tepat ketika jenazah Nenek akan dikebumikan. Mata Maria yang tak sembab namun lelah langsung tertuju pada kami. Sekilas saja, sebab kemudian suami baru Maria merangkul wanita itu di sisi lubang kubur. Jon berdiri di sisi mereka berdua, tampak tak betah berada di sana, tetapi saat itu aku masih masa bodoh dengannya.

Hampir tiga tahun tak bertemu, kulihat penampilan Maria kentara berubah: pakaiannya yang dulu sederhana kini tampak mahal dengan model terkini. Rambut panjangnya yang dulu selalu kusut, kering, dan terkuncir kini terurai rapi, jelas terawat dengan baik. Tubuhnya pun tampak lebih terisi, jelas-jelas tak lagi kekurangan gizi atau kelebihan beban kemiskinan. Aku bisa saja memerhatikan Maria lebih lama, menelusuri bagian mana saja dari dirinya yang telah 'dipoles' harta suami barunya, tetapi mataku lebih memilih mencari sosok yang semoga saja tak kutemukan di antara hampir tiga puluh pelayat lain. Sebagian besar pelayat kuasumsikan adalah tetangga di gang kediaman Nenek. Lantas kukenali beberapa sosok dari pihak keluarga Maria yang kukenal: tante-tante, adik-adik nenek, sepupu-sepupu, tetapi tak ada sosok yang kucari.

Segera saja aku bernapas lega.

Kemudian, beberapa tukang kubur mulai menimbun jenazah Nenek yang sudah terbungkus kain kafan dengan tanah. Seorang ustad setempat mulai melantunkan doa dalam bahasa yang pasti tak dimengerti oleh Jon dan ayahnya. Barulah ketika ustad tersebut memaparkan salam pembuka pada para pelayat, kupergoki seorang laki-laki paruh baya sedang berjalan ke arah kami dari arah pagar komplek TPU. Rokok tercucuh pada bibirnya. Rambut gondrongnya dibiarkan berantakan. Muka merahnya seperti pertanda bahwa dia habis mabuk. Secara keseluruhan, penampilannya masih sama persis seperti terakhir kali dia mendatangiku.

Para pelayat--dengan perhatian terpusat pada jenazah--tak menyadari kedatangan sosok itu, tetapi aku langsung berjalan cepat meninggalkan kerumunan, sebisa mungkin berusaha agar tak terlihat olehnya.

Beruntung, ada pohon cukup besar berkisar dua puluhan meter dari kuburan Nenek. Aku pun cepat-cepat bersembunyi di balik batangnya dengan napas terengah.

Belum sempat aku mengatur napas, kehadiran seseorang yang menyusul ke sampingku serta-merta mengagetkanku.

"Oi!"

Sahutan itu disuarakan oleh anak suami-baru Maria.

"Kampret! Bikin kaget aja!" sentakku, hampir saja akan berhenti bernapas bila yang ternyata menghampiriku adalah si lelaki gondrong. Namun, dari balik pohon, kuintip laki-laki gondrong itu bergeming di pinggir makam Nenek sambil menahan kuap.

Si anak suami-baru Maria balas melotot padaku, tak terima tiba-tiba dibentak. Dengan ketus, dia berucap, "Kamu anaknya istri-baru bapakku, kan?"

Ucapannya lebih menyerupai konfirmasi daripada pertanyaan. Sekaligus jenaka karena ternyata kami sama-sama menggunakan sebutan 'istri-baru bapak.' Kubalas bertanya saja padanya, "Kamu gak panggil dia 'Ibu' atau 'Mamah' atau apalah?"

"Najis," cetusnya. "Aku Jonathan, tapi kamu udah tahu lah ya. Panggil aja Jon."

Jujur saja, aku tak begitu nyaman dengan lagak lelaki itu yang--walaupun tak bisa dibilang ramah--terkesan sok akrab. Ini benar-benar interaksi pertama kami. Sebelum ini, aku hanya pernah diberitahu Bapak bahwa Maria punya seorang anak angkat dari pernikahan barunya.

Lelaki bernama Jon itu meneruskan, "Kamu ngapain melipir ke sini?"

"Ada orang yang kuhindari," jawabku datar.

"Ibumu?"

"Ibumu," aku mengoreksi Jon. "Bukan dia yang kuhindari. Kamu sendiri kenapa ke sini?"

"Diseret bapakku," keluhnya.

"Bukan. Maksudku kenapa kamu ke sini?" tegasku sambil menunjuk ke tanah yang dipijak Jon di sampingku.

"Aku gak ngerti mereka ngomong apa," keluh Jon seraya mengedik ke arah kerumunan pelayat. Dari sini, kulihat mereka--dibimbing Pak Ustad--sedang memanjatkan doa berbahasa Arab di atas gundukan tanah yang sudah tertata. Si laki-laki gondrong menguap selebar-lebarnya.

"Ini pohonku. Sana cari pohon yang lain." Aku mengusir Jon seperti kucing liar yang mendesis ketika teritorinya dimasuki kucing lain.

Namun, Jon tak berpindah. Dia justru mengeluarkan rokok dan pemantik dari dalam saku celananya. Kurasakan dia menatapku lekat-lekat. Aku, pura-pura tak menyadari, memilih untuk menatap hamparan nisan di hadapanku.

"Kamu dan ibumu udah putus kontak, ya?" tanya Jon.

"Kurasa dia ganti nomor," ujarku, tentu tak menyebutkan upaya sia-siaku untuk menghubungi Maria pada bulan-bulan awal kepergiannya. Panggilan-panggilan tak terjawab itu.

"Dia bahkan gak nyapa waktu kamu datang tadi."

"Lagi sibuk berduka," kataku asal.

Jon memutar bola matanya. "Yah, lagi sibuk dia. Sibuk bertingkah jadi nyonya besar di rumah dan toko bapakku."

Aku hanya mengangkat alis selaku respons, tak berminat terlibat dalam percakapan lebih jauh. Namun, rupanya Jon ini cerewet sekali. Dia mengoceh lagi, menjawab pertanyaanku sebelumnya, "Kupanggil dia Maesaroh, nama lamanya waktu masih jadi simpanan bapakku. Maria? Jangan harap pengakuan dariku. Dia hanya mau dibaptis buat dapat harta bapakku."

Kubalas Jon dengan tatapan malas. Kuharap itu sudah cukup sebagai isyarat agar dia berhenti bicara, tetapi dia justru menyeringai tiba-tiba. "Aku punya ide."

"Ide apa?"

"Gimana kalau kita sering-sering nongkrong bareng di depan ibumu? Dia pasti kesal."

"Ibumu," aku mengoreksinya lagi. "Dan kenapa kita harus bikin dia kesal?"

Jon menatapku heran seakan-akan aku adalah orang paling tolol sedunia. "Karena dia seenaknya berhenti jadi ibumu? Lalu sekarang seenaknya berlagak jadi ibuku?!"

Laki-laki itu langsung meludah usai berucap demikian, seolah mengakui Maria sebagai ibunya merupakan hal paling menjijikan di dunia. Kendati demikian, ucapan Jon benar juga. Hanya saja, semua perasaan yang pernah kualami akibat kepergian Maria sudah kukubur dalam-dalam seperti tahi kucing-kucing Nenek. Seperti kuburan Nenek di depan sana. Aku tak bisa menggalinya lagi.

"Saat ini aku gak tertarik dengan kegiatan yang gak menghasilkan duit." Aku pun menolak tanpa basa-basi. Ini alasan paling utama, sejujurnya. Aku tak boleh teralihkan dari Siasat Minggat-ku.

"Cih, kamu sama matre-nya kayak ibumu," ujar Jon.

"Mungkin," kataku, "tapi aku gak bakal sampai merayu bapakmu, kok."

Jon terbeliak, tak menyangka ucapan itu keluar dari mulutku, lalu tergelak seiring asap rokok lolos dari lubang hidungnya. "Aku suka humormu!"

Baru mau kusanggah bahwa aku sedang tidak bercanda, Jon sudah membuka mulutnya lagi. "Gimana kalau kita coba dulu aja? Rabu depan, kujemput ke sekolahmu, lalu kita nongkrong di ruko bapakku dan lihat reaksi si Maesaroh. Kalau berhasil, aku bakal bayar kamu buat 'nongkrong-nongkrong' selanjutnya. Sini, minta nomer hape-mu."

Kali ini Jon mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Model paling mutakhir. Hanya agar membuatnya diam, kuberikan nomor ponselku. Ketika Jon menelepon nomor tersebut, mau tak mau kucek ponselku yang bergetar di dalam saku jaketku. Tatapan Jon seperti meremehkan, atau prihatin, terhadap ponsel bututku yang bahkan tak berkamera. Begitu kusimpan nomor Jon, barulah lelaki itu tampak puas. Dia pun menjatuhkan rokoknya ke tanah, menginjaknya sampai padam, lalu pamit dariku.

"Kuhubungi lagi Rabu nanti. Jangan kabur!"

Dasar kurang kerjaan orang itu, tetapi tawaran duit darinya cukup menggiurkan. 

Omong-omong, soal warisan dari nenekku; begitu prosesi pemakaman selesai, kulihat Maria menghampiri Bapak dan menyerahkan sebuah bungkusan kain hitam padanya. Wanita itu tak berkata apa-apa, pula tak mencariku, dan langsung meninggalkan TPU bersama si suami-baru dan Jon. Aku menunggu hingga para pelayat pergi, termasuk si laki-laki gondrong, sebelum menghampiri Bapak yang mencari-cariku di sekitar komplek pemakaman.

Bapak pun menyerahkan bungkusan kain hitam dari Maria padaku. Menilai dari raut wajahnya yang kecewa, jelas warisan Nenek bukanlah uang.

Ternyata itu adalah sebuah keris.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top