Chapter 7- Fatmawati

Senayan Express tiba di stasiun Fatmawati. Rasanya begitu cepat, mungkin karena aku tidak memperhatikan bagaimana MRT ini melaju.

Di stasiun Fatmawati, peronnya bukan berada di bawah tanah, melainkan di atas atau disebut juga stasiun layang. Cahaya matahari bersinar terang dan aku bisa melihat langit tanpa terhalang apa pun. Sebelum turun, aku sempat melirik ke arah si remaja misterius. Dia terlihat belum ingin turun. Barangkali, tujuan stasiunnya berbeda denganku.

Setelah pintu peron terbuka sempurna. Aku melangkahkan kaki keluar dari Senayan Express. Stasiun Fatmawati bernuansa menyejukkan, dengan dominasi warna biru dan gradasinya.

Di peron, aku bisa melihat banyak Siswa-siswi SMA yang berjalan keluar. Bisa jadi, mereka semua adalah siswa-siswi SMA Jagad Raya.

Selain itu, desain stasiun Fatmawati ini terlihat ramping, membaur dengan lingkungan sekitar. Gerbang masuk stasiun memiliki atap agar pengguna terhindar dari hujan dan terik matahari.

Aku masih melihat-lihat sebelum pergi ke arah pintu keluar yang bertuliskan exit. Saat meneruskan langkah, aku takjub dengan muka bangunan stasiun Fatmawati terdiri dari panel-panel alumunium yang memungkinkan keluar-masuk udara secara alamiah. Bahkan, atap stasiun memakai desain ventilasi bersistem alamiah.

Sekonyong-konyong, aku bisa merasakan bahwa stasiun Fatmawati akan menjadi stasiun favoritku. Karena aku harus segera ke sekolah. Aku tidak bisa berlama-lama menikmati keindahan stasiun Fatmawati.

...

Di dalam stasiun Fatmawati, aku membaca sebuah informasi mengenai panjang stasiun mencapai 175 meter, lebar 22,3, dan tinggi mencapai 34,3 meter dari permukaan jalan hingga atap stasiun dan 25,6 meter dari permukaan jalan hingga area peron penumpang. Berbeda dengan stasiun lainnya, stasiun Fatmawati memiliki area intermediate yang terletak di bawah area concourse.

Untuk memilih akses di dalam stasiun. Stasiun Fatmawati memiliki tiga unit tangga, dua unit eskalator, dan satu unit lift dari permukaan jalan ke area intermediate. Aku sendiri memilih menggunakan tangga. Agar aku bisa lebih leluasa memandang sekitar. Lantai di stasiun ini bercorak kotak-kotak, gradasi warna hitam, abu-abu tua hingga abu-abu terang, yang menyiratkan dinamika pergerakan pengguna MRT Jakarta yang bergerak masuk dan keluar stasiun.

Setibanya di luar stasiun. Ada papan petunjuk arah yang menunjukkan denah mengenai tempat-tempat yang menjadi icon di sekitar stasiun Fatmawati. Salah satunya adalah papan petunjuk yang mengarah ke SMA Jagad Raya.

Aku mengikuti petunjuk tersebut, bahkan tanpa mengikuti petunjuk. Aku bisa segera tiba di SMA Jagad Raya dengan berbaur bersama siswa-siswi yang berjalan di depanku.

Semakin menjauh dari stasiun Fatmawati. Makin banyak yang bisa kulihat di kota ini. Trotoar penuh dengan pejalan kaki yang menggunakan seragam putih abu-abu. Beberapa berjalan berkelompok dan ada pula yang berjalan seorang diri, termaksud diriku sendiri.

Seperti yang disampaikan Paman Mada. Jarak tempuh yang diperlukan dari stasiun Fatmawati adalah lima belas menit berjalan kaki.

Di sini, aku bisa melihat koloni ikan yang berenang di atas langit. Sayang, tidak ada paus bungkuk yang sedang berenang. Matahari menyilaukan mataku.

Sebagian besar adalah koloni ikan dengan corak warna beragam. Mereka yang bergerombol berenang tiga meter dari kepala siswa-siswi. Menjadikan tiap kepala sebagai terumbu karang untuk sesekali singgah dan berhenti bergerak. Ini pemandangan yang sangat lucu, saat melihat mereka mendorong ekor dan sirip kecilnya menembus rambut-rambut siswa laki-laki.

Sesampainya di SMA Jagad Raya. Aku harus masuk melewati gerbang sekolah yang di depannya, ada sebuah pos satpam.

Beberapa siswa-siswi yang saling mengenai dengan pria paruh baya itu, sesekali melemparkan salam selamat pagi. Kadang ada dari mereka hanya melemparkan senyum tanpa mengucapkan sepatah kata.

Begitu melewati gerbang sekolah. Aku di sambut oleh halaman yang begitu luas. Gedung sekolah menyerupai bentuk huruf U dengan bangunan memiliki dua lantai.

Karena aku masih menjadi siswa baru. Aku harus berjalan menuju Aula. Di mana, mulai dari lapangan upacara. Berdiri siswa-siswi yang menggunakan ban anggota osis berteriak kepada siswa kelas satu agar mengarah ke aula yang memiliki gedung terpisah dari bangunan utama.

Suara-suara itu saling bersahutan dan membuat gendang telinga menjadi sakit. Aku bersitatap dengan seorang siswa berwajah oriental dengan papan nama bernama Yuga yang memberi komando agar kami masuk ke dalam aula.

Di dalam aula, aku memilih mengambil tempat di dekat jendela. Sebisa mungkin untuk menatap langit kapan pun yang aku mau.

Di sekolah, aku tidak melihat lagi koloni ikan-ikan menggemaskan. Hanya ada satu dua yang tadi kebetulan melintas di lapangan upacara. Mungkin hewan laut tidak suka sekolah. Beberapa tempat tertentu menjelaskan keberadaan mereka.

Langit dari jendela aula terlihat biru cerah. Awan putih bergerak mengikuti rotasi bumi. Aku mendambakan ada bayangan paus bungkuk yang melintas atau segerombolan lumba-lumba. Akan sangat menyenangkan melihat pemandangan tersebut di sela-sela kesibukan sekolah.

Satu persatu siswa-siswi mulai masuk memenuhi tempat duduk. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh situs resmi sekolah. Hari ini kami akan menjalani masa-masa pengenalan. Tidak ada pelocongan di sini, dan itu adalah kabar baik.

Pukul 08.30. Suasana aula mulai kondosif. Hening merajai, tidak ada lagi suara-suara yang mengganggu gendang telinga.

"Anak-anak." Suara kepala sekolah menggema di seluruh aula. "Selamat pagi dan Bapak ucapkan selamat datang di SMA Jagad Raya. Maaf, Bapak tidak bisa lama-lama di sini karena ada keperluan mendesak di dinas pendidikan. Acara pembekalan akan dipimpin oleh osis dan Pak Orion sebagai pembimbing. Sekali lagi, Bapak resmikan kegiatan pembekalan SMA Jagad Raya."

Aku terpukau dengan Bapak Kepala Sekolahku. Wajahnya agak sedikit bundar dan memiliki aura ramah yang menyenangkan.

Kami bertepuk tangan meriah, karena melihat instruksi osis dari samping podium. Tepuk tangan tersebut, mengiringi langkah Bapak Kepala Sekolah yang turun dari podium.

Sebelumnya, beliau berhenti sebentar pada seorang guru pria yang terlihat masih muda. Mungkin orang tersebut, yang dimaksud sebagai Pak Orion. Mereka berbincang sedikit lalu ditutup dengan anggukan kepala Pak Orion dan kepergian kepala sekolah.

"Pagi, kelas satu."

Guru laki-laki bernama Orion itu maju di atas podium. Dia memiliki rambut hitam yang disemir ke samping dengan poni yang melengkung.

"Selamat pagi, perkenalkan, nama saya Orion. Kalian bisa memanggil saya Orion saja. Enggak perlu pakai embel-embel Pak, Mas atau Kakak. Saya lebih senang, kalian bisa memanggil saya selayaknya seorang teman."

Aku termanggu dengan perkenalkan yang terkesan non formal ini. Suara tepuk tangan kembali tercipta. Namun bedanya, ada siulan dan jargon-jargon yang dilontarkan dari barisan belakang.

"Oke." Pak Orion kembali melanjutkan pidatonya. "Jadi, sebagai pembekalan. Saya dan tim osis telah memutuskan agenda yang akan dilakukan selama tiga hari dua malam. Yaitu perkemahan yang dilaksanakan mulai hari jumat sampai minggu. Acara ini melibatkan para ketua ekstrakurikuler. Jadi, setelah ini, semua siswa kelas satu sudah boleh memilih kegiatan ekstrakurikuler mana yang mau digeluti. Setiap orang boleh memiliki tiga klub berbeda. Siswa yang ingin membuat klub baru minimal membawa tiga anggota untuk melapor."

Kegiatan ekstrakurikuler dan acara menginap di sekolah terdengar menarik di telingaku. Aku belum pernah merasakan pengalaman seperti itu. Bahkan, rasanya aku berharap, acara tersebut bisa segera terlaksana.

"Setelah ini, ketua osis akan melakukan persentanse pengenalan sejarah sekolah. Silakan di simak baik-baik. Saya rasa, segitu dulu bahasan yang bisa saya bawa. Ada pertanyaan?"

Aku sendiri tidak ada pertanyaan. Tetapi, beberapa siswa lain mengangkat tangan mereka ke atas.

"Jika siswa kelas satu menginap di sekolah. Bagaimana dengan anak-anak kelas malam?"

Kelas malam? Aku sedikit termanggu dan kebingungan. Ada apa dengan kelas malam? Apa kami akan belajar di malam hari?

"Nak," kata Pak Orion, "kamu seharusnya mengucapkan salam terlebih dahulu lalu mengajukan pertanyaan."

Tawa dan kekehan terdengar memenuhi seisi aula. Aku merasa sedikit bodoh di sini. Rasanya, hanya aku saja yang tidak mengetahui tentang kelas malam yang berada di SMA Jagad Raya.

Seingatku, aku sudah membaca sejarah dan segala informasi yang tertera di situs resmi SMA Jagad Raya. Tidak mungkin, ada hal yang terlewat.

"Ah, ya. Maaf, selamat pagi Orion. Namaku Naka Algara. Yeah, kira-kira seperti tadi pertanyaanku. Mohon dijawab ya. Kulihat tadi banyak kelas malam yang berbaur. Sekolah ini, benar-benar sesak ya?"

Nama dia Naka, dan aku masih gagal paham dengan topik yang sedang mereka bicarakan. Gara-gara Pak Orion minta tidak dipanggil dengan sapaan sopan. Naka Algara tampak tidak merasa berdosa, memanggil orang yang lebih tua darinya dengan mengucapkan nama panggilnya saja.

Selain itu, ada perubahan atmosfer yang mendadak terasa dingin memenuhi seluruh aula. Rasanya agak tidak menyenangkan dan membuatku risih. Di luar jendela, langit masih tampak biru cerah.

"Pertanyaan menarik." Pak Orion tersenyum tipis pada Naka Algara. "Jika kamu mengkhawatirkan keberadaan mereka ... kenapa tidak bertanya langsung pada anak-anak kelas malam? Saya rasa, mereka tidak keberatan menjawab pertanyaanmu."

Sesuatu tentang kelas malam, membuatku mulai menangkap benang-benang merah yang saling bertaut satu sama lain.

"Naka," kata Pak Orion lagi. "Kuharap kamu tidak membicarakan ini. Kelas malam hanya rumor dari dulu yang terus berkembang. Kepala sekolah melarang siapa pun mempercayainya dengan serius dan guru-guru juga sepakat menggangap ini adalah lelucon yang di besar-besarkan. Lihat sekelilingmu."

Pak Orion menunjuk seisi ruangan. Naka Algara dengan polos, refleks mengikuti arah tangan Pak Orion. Aku mulai sadar tentang istilah kelas malam. Ini seperti sebuah rumor yang sering beredar dalam sejarah sekolah. Biasanya, diwariskan dari generasi ke generasi.

"Teman-temanmu ketakutan. Sekarang duduk, Bagas akan maju memulai persentase."

Aku menarik napas dalam-dalam. Setelah melihat paus bungkuk yang terbang di langit Jakarta. Aku juga harus menerima kenyataan bahwa sekolahku memiliki urban legend yang terkenal.

Dari pemaparan Bagas, aku mengetahui bahwa SMA Jagad Raya, berdiri sejak tahun 1970. Wajar saja, jika sekolah setua ini memiliki banyak cerita-cerita kelam yang menarik untuk diperbincangkan.

Namun, dalam beberapa dekade. SMA Jagad Raya mengalami rekontruksi dan perbaikan di beberapa sudut. Jendela-jendela kayu telah diganti dengan jendela kaca yang dibuka dengan cara digeser.

Sesi pengenalan sekolah ini lumayan panjang. Kendati demikian, aku menyimak semuanya dengan jelas.

...

Waktu istirahat telah tiba, tim osis memberikan siswa kelas satu sebuah brosur dan formulir untuk mendaftarkan diri pada setiap kegiatan ekstrakurikuler. Kami boleh memilih sampai tiga klub.

Aku sendiri masih belum memikirkan klub apa yang kuinginkan. SMA Jagad Raya memiliki banyak klub ekstrakurikuler.

Mulai dari klub voli, klub basket, klub bahasa inggris, klub memasak, klub tari, klub bahasa jepang, klub marching band, klub renang, klub tenis, klub paduan suara, klub musik, klub bulu tangkis, klub taekwondo, klub pemandu sorak, klub PMR, klub jurnalistik, klub kerajinan tangan, klub peneliti sejarah, klub sinematografi, klub astronomi, klub manga, klub menggambar, klub novel detektif, klub detektif, dan klub novel fiksi.

Saat sedang memikirkan salah satu klub yang menarik. Aku dikejutkan dengan seorang siswi perempuan yang menepuk bahuku.

"Aruna Sakaladewa?"

Aku mengganguk mendengar namaku disebutkan secara lengkap.

"Perkenalkan, namaku Tania Yama. Aku ingin mengajakmu bergabung dengan klub kelas malam. Aku lihat, kamu memiliki potensi untuk bergabung."

Sejujurnya, aku kurang mengerti arah pembicaraannya. Aku saja, masih belum mengetahui banyak tentang kelas malam.

"Klub kelas malam?" tanyaku, "itu klub seperti apa? Dan mengapa aku harus bergabung di dalamnya?"

Tania tersenyum tipis dan itu terlihat sedikit menakutkan. Dia menggunakan sebuah cardigan hijau alpukat.

"Klub pecinta kisah-kisah horor yang berada di sekolah. Kami perlu anggota lagi untuk meresmikan klub ekstrakurikuler ini. Seperti kataku di awal, kamu sangat cocok untuk menjadi anggota. Bukannya kamu ... melihat sesuatu yang tidak dilihat orang lain?"

Kusimak baik-baik arah pembicaraan ini. Kalimatnya terlalu ambigu, jika yang ia maksud melihat sesuatu yang berkaitan dengan konsep kelas malam. Itu adalah hal yang salah, aku bukan anak indigo. Sesuatu yang kulihat bersifat fantasi. Tentang hewan-hewan laut yang berenang di atas langit Jakarta.

Namun, mungkin orang-orang akan lebih percaya dengan sesuatu yang berkaitan dengan dunia indigo. Itu hal yang lumrah, berbeda dengan paus bungkuk yang berenang di atas kepala.

"Hmm, baiklah. Aku mau ikut."

Tania tersenyum. Jenis senyum yang lagi-lagi membuatku bergidik ngeri. Dia menarikku menghampiri siswa kelas satu yang lain. Di sana, ada Naka yang tadi bertanya dengan Pak Orion, seorang siswa bernama Ofal dan seorang siswi yang bernama Suri.

Kami saling berkenalan satu sama lain. Suri, di penglihatanku terlihat sedikit gelisah. Dia sesekali terlibat adu mulut dengan Naka.

Melihat mereka, aku seperti punya firasat. Bahwa di kemudian hari, seluruh anggota kelas malam akan menjalin sebuah tali persahabatan yang erat.

Naka tampak antusias menulis semua anggota kelas malam, setelahnya, ia pergi menemui wakil ketua osis untuk melaporkan pembentukan klub ekstrakurikuler yang baru.

Harapanku, semoga saja permintaan ini di Acc. Lagipula, jika bisa berteman dengan Naka, Ofal, Tania dan Suri. Bisa saja, mereka bisa membantuku menyelidiki tentang fenomena yang kulihat. Ada kemungkinan, bahwa mereka juga sama seperti remaja laki-laki di gerbong Senayan Express. Yaitu, dapat melihat paus bungkuk berenang di langit biru.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top