Chapter 6 - Bendungan Hilir

Pagi ini cerah dan aku sangat mensyukuri hal tersebut. Aku bangun lebih pagi dari biasanya dan bertemu dengan Mbah Ati yang merupakan art untuk Paman Mada.

Orangnya cukup tua, tetapi masih cukup bugar dan sehat. Rambut putih Mbah Ati terlihat begitu lebat nan subur. Diikat sanggul ke belakang. Mbah Ati hidup dengan cucu laki-lakinya. Kami berbicara singkat sebagai bahasa sapaan dan beliau mulai sibuk membersihkan rumah.

Hubungan Paman Mada dan Mbah Ati bagai seorang anak dan Ibu, tatkala mereka saling berinteraksi. Kami berencana berangkat menuju sekolah menggunakan MRT.

Paman Mada bilang, aku harus mengingat rute dari perjalanan rumah menuju stasiun Bendungan Hilir sampai ke SMA Jagad Raya.

Aku sempat mencari informasi di internet mengenai Bendungan hilir sepanjang perjalanan. Katanya, ini adalah salah satu kelurahan di kecamatan Tanah Abang. Kelurahan ini memiliki penduduk sebesar 20.025 jiwa. Pantas saja, Jakarta menjadi kota yang sangat padat. Baru wilayah kecamatan, namun penduduknya sudah mencapai 20 ribu jiwa.

Kelurahan ini juga berbatasan dengan Rel Kereta Api dengan Kelurahan Petamburan di sebelah utara, Jl. Jend. Gatot Subroto dengan Kelurahan Gelora di sebelah barat. Jika ada waktu, aku ingin meminta Paman Mada mengajakku naik kereta.

Aku penasaran sekali menaiki alat transportasi umum tersebut. Sebab, aku sering melihatnya di televisi dan pasti menyenangkan bisa merasakannya secara langsung.

Di salah satu sebuah bangunan bertingkat. Paman Mada mengendarai mobil masuk ke area bawah tanah yang memiliki fungsi sebagai area parkiran.

Dari sini, aku dan Paman Mada akan berjalan kaki menuju stasiun bawah tanah Bendungan Hilir. Untung saja, kami tidak menemui titik kemacetan selama perjalanan. Benar-benar sesuatu, kalau sudah bangun lebih pagi dan harus terjebak macet.

Stasiun Bendungan Hilir, rupanya terletak di kawasan bisnis Sudirman. Pintu masuknya sangat besar dan megah. Aku bahkan sempat berhenti saking takjubnya melihat stasiun bawah tanah Bendungan Hilir.

Saat melangkah masuk bersama Paman Mada, aku memperhatikan desain interior yang mengandung konsep sungai dan aliran air yang
bernuansa alam dengan dominasi warna coklat dan gradasinya.

"Aru," kata Paman Mada yang berjalan menuruni tangga di sampingku. "Stasiun Bendungan Hilir memiliki panjang 200 meter dan lebar 19.3 meter. Sebaiknya, kamu hati-hati saat berjalan di dalam. Kamu bisa saja tersesat."

"Baik, Paman. Aru akan memperhatikan papan petunjuk dengan baik dan benar. Bila Aru kebingungan, Aru akan bertanya pada petugas jaga MRT."

"Kamu hebat, Aruna." Paman Mada menepuk pundakku bangga. "Paman dengar, stasiun bendungan hilir rencananya akan terkoneksi dengan beberapa gedung perkantoran di sekitar sini. Hmm, area peron stasiun sendiri berada di kedalaman 16,6 meter di bawah permukaan jalan dan area komersil di kedalaman 10,8 meter."

"Wah." Aku berseru, terpukau atas pengetahuan Paman Mada. Beliau pintar, tampan dan sayang masih jomlo.

Di pintu masuk, tas yang aku gunakan dan Paman Mada diperiksa oleh petugas. Pemeriksaannya tidak lama, hanya sebentar. Lalu kami dipersilahkan masuk.

Semakin masuk ke dalam stasiun. Aku memperhatikan setiap sudut dengan seksama. Banyak sekali calon penumpang yang sedang berjalan dan beberapa petugas kebersihan sibuk mengepel lantai.

Stasiun Bendungan Hilir membuatku takjub. Mereka memiliki tiga unit tangga, dua unit eskalator, dan dua unit lift dari permukaan jalan ke area komersil stasiun. Dari area concourse, terdapat dua unit tangga, dua unit eskalator, dan satu unit lift menuju area peron penumpang.

Sebelum naik MRT, Paman Mada mengajakku untuk membeli tiket terlebih dahulu pada sebuah mesin penjual otomatis. Karena aku masih belum mengerti menggunakannya. Aku hanya memperhatikan Paman Mada yang sedang membeli.

Tiket yang dijual pun ada dua pilihan. Yaitu tiket single trip dan tiket multi trip. Kalau dari petunjuk yang aku baca. Tiket single trip, berisi tarif 1x perjalanan yang berlaku selama 1 hari. Kartu juga berlaku selama 7 hari setelah penggunaan terakhir serta kartu dapat di uangkan kembali.

Pada tiket multi trip. Berisi nilai saldo, masa berlaku tidak terbatas dan kartu tidak dapat di uangkan lagi. Aku pun menerima kartu multi trip dari tangan Paman Mada.

"Simpan baik-baik Aru. Nanti kalau saldonya habis, bilang sama Paman Mada."

Aku mengganguk antusias dan memegang kartu multi trip dengan hati-hati. Lalu melanjutkan langkah menuju peron.

Kami harus melewati area pemeriksaan untuk melakukan registrasi pembayaran pada palang pintu. Lalu turun ke area bawah stasiun untuk menaiki MRT.

Di bawah, ada beragam pintu dengan dinding kaca berwarna hitam. Semua pintu sedang tertutup. Akan terbuka bila kereta telah tiba. Setiap pintu, memiliki nama peron mereka masing-masing.

Paman Mada pun menuntunku pada salah satu bangku kayu panjang yang memang disediakan untuk penumpang menunggu MRT tiba.

Aku pun didudukkan di depan pintu peron nomor 5/11. Di atas pintu, ada denah yang menunjukkan jalur yang di lewati oleh MRT.

Misalnya dari Bendungan Hilir, Istora Senayan, Senayan, ASEAN, Block M BCA, Haji Nawi, Cipete Raya, Fatmawati dan Lebak Bulus.

"Aru," ujar Paman Mada yang berdiri tepat di hadapanku. "Kamu ingat baik-baik letak peron 5/11 ini. Peron ini akan membawamu menuju stasiun Fatmawati. Dari stasiun Fatmawati, kamu perlu berjalan kaki 15 menit sampai ke SMA Jagad Raya. Sampai sini, kamu paham?"

Aku mengganguk

"Bagus, peron 5/11. Jangan sampai salah. Jika keretanya sudah tiba, pintu peron di depanmu akan terbuka dan kamu bisa masuk ke dalam sana."

Aku kembali mengganguk, aku bisa mengingat petunjuk ini dengan sangat baik. Ada palang-palang penunjuk arah. Kurasa, aku tidak akan tersesat bila mengikuti petunjuk tersebut. Lagipula, aku bisa menggunakan google maps bila perlu dan bertanya pada petugas MRT.

"Bagaimana dengan pulang, Paman? Arah rute perjalanannya sama, 'kan?"

Aku harus menanyakan hal ini, sebelum aku terlambat menyadari jalan pulang yang benar.

"Ya, di stasiun Fatmawati. Aru akan turun di peron 5/11 yang sama. Maaf, Paman tidak bisa mengantarkanmu sampai sekolah. Ikuti rute pergi ke sekolah. Karena itu rute yang sama untuk pulang. Jika kamu sudah sampai di Bendungan Hilir. Hubungi Paman Mada, Paman akan datang menjemput di sini. Kamu bisa menjaga diri bukan?"

"Tentu saja, Paman. Aru siap, semprotan merica pemberian Papa selalu sedia di saku seragamku. Hehehe."

Paman tersenyum lega. Tampaknya puas mendengar semua jawabanku. Beliau melirik jam di pergelangan tangan. Sejauh ini, aku tidak pernah tahu pekerjaan Paman Mada, apalagi Papa.

Katanya sama-sama bekerja pada sebuah perusahaan swasta. Entah dalam bidang dan bisnis apa. Aku tidak pernah tahu, bahkan Paman Mada dan Papa, cenderung menyembunyikan hal tersebut. Satu-satunya hal yang pasti. Setiap pergi bekerja, mereka selalu menggunakan pakaian kantoran.

"Aru, jadwal keberangkatan Paman Mada akan segera tiba. Kamu bisa, 'kan?"

"Bisa, Paman Mada. Aru udah hapal rute perjalanannya."

Paman Mada kembali mengulas senyum. Senyum yang serupa milik Papa dan itu membuatku merasa selalu dekat dengan Papa. Walau nyatanya, keberadaan Papa sangat jauh dariku.

...

Sepuluh menit setelah Paman Mada pergi meninggalkanku sendirian di depan peron 5/11. Tidak ada penumpang lain yang ikut menunggu di sini.

Kebanyakan di peron 1,2,3 dan 4.  Aku memperhatikan keramaian tersebut sebentar. Ada para pekerja yang siap untuk mencari sesuap nasi dan beberapa anak berseragam SMA yang sedang menunggu di peron berbeda.

Aku memandang kembali area sekitar peron 5/11. Tempat ini hening. Pintu peron masih tertutup. Karena di bawah tanah, aku tidak bisa melihat langit.

Iya, tidak ada langit. Artinya tidak ada paus bungkuk yang berenang di atas kepala dan menyapaku. Itu sedikit mengecewakan.

Aku memainkan kaki sesekali. Lalu mulai terdengar pemberitahuan dari pengeras suara. MRT yang kutunggu akan segera tiba dalam waktu 5 menit lagi. Setiap penumpang diminta untuk memperhatikan barang bawaan dan berdiri tepat di belakang garis kuning.

Aku rasa, aku tidak perlu terburu-buru. Di sini, tidak ada penumpang yang berdesakkan untuk berebut tempat. Aku bisa menunggu sampai kereta dan pintu peron benar-benar terbuka.

Saat melirik ke peron lain. Lautan manusia sudah mulai menumpuk. Seakan saling berlomba siapa yang bisa duluan masuk ke dalam gerbong.

Suara itu kian terdengar. Suara mesin kereta listrik yang kian mendekat. MRT sendiri adalah kepanjangan dari Mass Rapid Transit atau Moda Daya Terpadu. MRT sendiri memiliki listrik yang berada di atas kereta dengan menggunakan sepasang rel.

MRT Senayan Express benar-benar telah tiba dibalik peron. Gerbong-gerbong dengan bilik kaca yang tembus pandang siap kunaikki.

Aku pun bangkit berdiri, sedikit lagi. Pintu peron akan terbuka. Sebelum pintu terbuka, aku melirik ke arah sudut peron 5/11.

Di sana, ada sebuah pigura yang menampilkan figur maskot MRT. Yaitu
Marti, seorang anak laki-laki berumur sembilan tahun yang melambangkan rasa ingin tahu serta keinginan yang cerah menyongsong masa depan.

Maskot MRT ini, digambarkan berbentuk bulat dan mirip dengan tampak depan Ratangga. Dia sangat menggemaskan dan lucu untuk dicubit. Tetapi aku tidak bisa berlama-lama memperhatikannya.

Pintu peron telah terbuka. Aku pun melangkahkan kaki. Namun, baru juga masuk ke dalam gerbong. Aku mendadak terkesiap dengan pemandangan yang kulihat.

Di bawah sepatuku, lantai gerbong di penuhi oleh aneka rumput hijau yang menyerupai karpet tebal. Rasanya agak aneh, jika pihak MRT menggunakan alas kaki seperti ini.

Visualnya terlihat sangat nyata untuk sekedar alas kaki rumput imitasi. Saking penasaran, aku membungkuk untuk menyentuh. Lalu terlonjak,  begitu menyadari rumput itu benda yang nyata dan teksturnya yang sangat lembut di kulit.

Aku memandang seluruh gerbong. Akan memalukan, jika orang-orang menatapku dengan keheranan dan anehnya. Aku tidak menemukan seorang pun di dalam gerbong Senayan Express.

Hanya ada aku dan seorang penumpang remaja laki-laki yang usianya seolah tidak berbeda jauh dariku. Dia duduk di pojok dengan pandangan lurus ke depan.

Aku memandang sekitar kembali. Tidak ada siapa pun dan memang tidak ada siapa pun di sini. Pintu gerbong perlahan tertutup. Pemberitahuan terdengar dari masinis tentang kereta yang akan segera berangkat.

Walaupun masih diliputi rasa kebingungan. Aku mencoba untuk duduk di dalam gerbong dengan posisi saling berhadapan dengan penumpang remaja laki-laki  di sudut.

Aku memperhatikannya dengan seksama. Dia menggunakan kemeja dan celana kain putih yang sama-sama panjang. Rambutnya berwarna hitam sedikit gondrong di bagian belakang. Tetapi aku bisa melihat, netra matanya berwarna biru seperti sapphire.

Bayangan stasiun Bendungan Hilir berganti dengan pemandangan kota Jakarta. Rumah-rumah penduduk dilewati begitu cepat. Ketika aku menoleh lagi, ada ikan-ikan koi kecil yang berenang sambil memakan rumput-rumput yang telah panjang.

Aku terbelalak. Biasanya, hewan-hewan laut berenang di atas langit. Tetapi yang ada di depanku. Malah sedang melahap rumput dengan begitu menggemaskan.

Jumlah mereka banyak, tidak hanya satu. Mungkin lebih dari sepuluh. Ikan koi kecil berwarna merah terang menyebar di seluruh gerbong peron.

Si remaja misterius menoleh ke arahku. Alisnya sedikit berkerut, lalu ia buru-buru memalingkan wajah dan di hadapanku, muncul seekor kura-kura bertempurung hijau. Entah dari mana ia muncul.

Kura-kura ini menatapku dengan kepala yang sedikit dimiringkan. Lalu berenang berputar-putar di atas kepalaku, kemudian pergi berenang ke arah sudut tempat remaja laki-laki berkemeja putih berada.

Dia mengangkat telapak tangannya dan kepala kura-kura menyendul lembut. Walau garis bibirnya tidak terbentuk. Sudut matanya terlihat tersenyum bahagia.

Semakin tinggal di Jakarta. Aku makin melihat hal-hal menakjubkan. Mereka tidak membuatku risih dan merasa terganggu. Hanya saja, rasa penasaranku kian besar. Fenomena ini pasti ada sebab akibat.

Saat kura-kura hijau tersebut terbang melintas ke langit-langit gerbong. Mataku dan mata biru sapphire itu kembali bertemu.

Warna netra sapphire seakan menghipnotisku beberapa saat. Dia mengerjab dan aku juga ikut mengerjab.

Lalu dia mengalihkan pandangannya. Dia tampak aneh dan misterius. Dia duduk tanpa membawa apa pun. Hanya tangan kosong dan ... aku tersentak. Dia tidak menggunakan alas kaki. Telapak kakinya kosong, bisa jadi dia menggunakan sepatu dan melepaskannya sebelum aku masuk. Aku saja yang tidak tahu.

Senayan Express masih bergerak membelah kawasan Jakarta. Aku mencoba menatap ikan koi yang asyik merumput.  Kucoba menyentuh seekor, tetapi mereka malah kabur.

Oke, si kura-kura tempurung hijau tampak menikmati berenang di atas kepalaku. Wajahnya tampak tenang dan teduh. Seolah ia memang tidak memiliki masalah apa pun di hidupnya.

Ingin kubertanya pada si remaja laki-laki itu. Jika dia berada dan duduk di dalam gerbong Senayan Express. Itu artinya dia bisa melihat paus yang sedang terbang di langit.

Pemandangan di dalam gerbong juga bisa ia lihat. Itu artinya, fenomena ini nyata dan hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat mereka.

Masih misteri memang. Ada banyak puzzle yang harus kupecahkan. Aku menatap ke arahnya lagi. Sekarang, ia tampak terduduk dengan sorot mata yang kosong ke depan. Cahaya matahari menyorot kemejanya hingga tembus.

Ketika aku menggunakan kedua jari-jari tanganku membentuk bidikan kamera. Dalam potretku, dia bagai sosok yang keluar dari negeri antah berantah. Bahkan, semakin aku mengamatinya, dia bagai kotak harta karun yang ingin kusimpan untuk diriku sendiri.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top