Chapter 1 - Mopah
Terminal keberangkatan Bandar Udara Mopah, Merauke
Sabtu yang cerah. Setidaknya aku telah berdoa beberapa hari terakhir agar hari keberangkatan berjalan lancar.
Paman Mada duduk di sisi kiriku. Ia sibuk membaca sebuah novel fiksi yang kulihat berjudul Kuanta dengan cover penuh rumus dan hitung-hitungan fisika bercampur matematika. Paman pernah merekomendasikan novel ini padaku, tetapi aku tidak tertarik membaca buku pelajaran berkedok novel fiksi.
Kusibukkan diri memperhatikan pegawai bandara yang tengah berdiri di depan pintu gate. Dia berdiri sambil membaca lembaran-lembaran kertas dengan wajah serius. Kuharap itu bukan tagihan listrik yang seharusnya dikirim ke rumahnya.
"Aru."
Aku menoleh refleks pada Paman Mada.
"Kau baik-baik saja, Nak?"
"Ya." Aku menyahut tegas. "Aku baik-baik saja, Paman. Aku sudah tidur tadi malam jam sembilan, bangun pagi dan sarapan nasi dan telur dadar. Aku baik-baik saja Paman."
Paman Mada tersenyum tipis. Kacamata bulat yang membingkai di wajahnya terlihat rupawan. Rambut hitam klimis di sisir ke belakang, meninggalkan beberapa helai jatuh di jidat.
Sayang, aku terlahir sebagai keponakannya. Paman Mada tipe-tipe pria mapan yang kulihat di manhwa-manhwa negeri gingseng. Teman-teman sekelasku sangat menyukai pria fiksi gepeng seperti Paman Mada.
"Kau tidak bosan? Mau Paman pinjamkan buku untuk dibaca?"
Aku menggeleng cepat.
"Hahah, baiklah. Aku tidak akan memaksamu. Hanya saja, kau terlihat serius sejak tadi. Jika Aru butuh sesuatu. Katakan saja pada Paman."
"Oke, Paman." Aku menyahut dengan jari tangan membentuk tanda ok. "Siap sedia. Heheh."
Paman mengelus pucuk kepalaku dengan lembut. Lalu ia kembali membaca dan aku refleks menghela napas. Entahlah, aku tidak yakin. Apa aku sedang berpura-pura baik-baik saja atau memang baik-baik saja.
Pemberitahuan bahwa penerbangan kami telah tiba. Aku berdiri di belakang Paman Mada saat melakukan boarding pass. Aku sangat senang, karena nomor kursiku berada di samping jendela pesawat. Aku bisa leluasa melihat pemandangan di luar.
Ini kali pertama aku pergi ke Jakarta dan pertama kalinya akan meninggalkan kota yang penuh masa kecilku. Papa dan Mama memilih berpisah. Aku tidak pernah tahu alasan pasti mereka bercerai. Papa dan Mama hanya bisa mengatakan bahwa mereka tidak bisa lagi bersama.
Kenapa tidak bisa? Mereka punya seorang anak remaja perempuan, buah hati mereka. Tidak bisakah mereka melihat keberadaanku? Tidak bisakah keberadaanku menjadi alasan untuk tetap bersama? Aku pusing memikirkannya, pola pikiran orang dewasa terlalu ambigu. Aku benci jika akan menjadi orang dewasa seperti itu.
Pesawat pun take of, menembus awan-awan putih. Kota Rusa semakin jauh di bawah dan menjadi titik-titik kecil. Daratan berganti lautan dan aku selalu terkantuk-kantuk jika sedang mengalami perjalanan jauh. Benar saja, aku tidak ingat apa-apa saat semuanya berubah gelap.
...
Aku bingung dan benar-benar bingung. Di terminal kedatangan, aku berdiri seperti orang bodoh memandang ke arah langit ibukota. Kami tiba di Bandara Soekarno Hatta menjelang sore setelah beberapa kali transit penerbangan dari Merauke, Makassar, Surabaya dan akhirnya sampai di Jakarta.
Sejak turun dari pesawat. Aku melihat bayangan hitam besar sedang terbang di atas kepalaku. Kupikir, itu adalah awan yang bergerak menutupi cahaya matahari. Namun rupanya aku salah.
Itu bukan awan, itu adalah paus biru. Tubuhnya panjang dan tampak membentang bila dibandingkan dengan tubuh paus lain, yang barusan aku cari informasinya di google. Kepalanya datar, berbentuk seperti huruf U, dan memiliki punggung yang terbentang dari lubang sembur hingga bagian bibir atas.
Dia berengang dengan begitu elegan di atas kepalaku. Aku pikir, aku gila. Tentu saja, kurasa hanya diriku seorang yang melihatnya. Orang-orang di sekitar terminal kedatangan sama sekali tidak menyadarinya.
Paman Mada sedang mengambil mobil yang sengaja diparkir sebelumnya di bandara. Kuharap, biaya parkirnya tidak membengkak. Setahuku, semakin lama kendaraan diparkir, harga sewa lahannya semakin mahal.
Atensi keberadaan paus biru tidak bisa kuabaikan begitu saja, ikan raksasa itu berenang dan berputar-putar di antara barisan awan, dia meliuk tanpa pernah ragu akan menabrak sesuatu. Awan-awan ditembus bagai kumpulan asap. Aku harap-harap cemas, jika dia menabrak pesawat yang akan take off atau landing.
"Aruna." Fokusku buyar dari langit kota ibukota. "Kau sedang melihat apa di langit?"
Paman Mada membantu mengangkat koperku dan koper miliknya ke bagasi mobil belakang. Tidak banyak barang bawaan kami. Hanya sekali angkut, kami bisa segera masuk ke dalam mobil.
Sepanjang perjalanan menuju tempat tinggal. Aku menemukan tidak hanya ada satu paus yang terbang di atas bandara. Di area gedung-gedung pencakar langit, ikan raksasa itu selalu ada. Kadang-kadang hanya mengapung dan tidak bergerak. Silaunya matahari, seolah tidak membuat ikan-ikan ini merasa terganggu.
Suara mereka juga terdengar membahana dan menggangumkan. Aku benar-benar merasa terpukau saat mendengarnya. Terdengar menenangkan dan begitu fantasi di telinga. Aku merasa, ragaku seolah dibawa terbang mengikuti sirip-sirip indah menembus kumpulan awan kota ibukota.
Aneka ubur-ubur merah muda dengan totol merah terang terbang di depan mobil kami. Ukuran mereka sebesar balon tiup di acara-acara ulang tahun.
Mereka berenang dan mengambang indah layaknya sedang berada di lautan. Tidak pula mempedulikan asap-asap kendaran yang bising di pendengaran.
Aku bahkan terkikik geli melihat salah satu ubur-ubur hinggap di atas kepala seorang pengendara motor saat di lampu merah. Dia mengingatkan pada kartun Spongebob Squarepants. Sejenak, aku berpikir, apa aku harus menyiapkan jaring dan pergi berburu ubur-ubur layaknya rakyat Bikini Bottom.
"Kau melihat apa, Aruna? Apa ada yang lucu dengan lampu merah di sana?"
Aku menoleh menatap Paman Mada sambil menggeleng. Tetapi tetap tidak bisa menyembunyikan rasa humorku. Aku terbayang, ubur-ubur itu akan menyengat si pengendara motor dan mungkin akan menimbulkan masalah yang fatal dan berbahaya.
"Kau merasa lucu melihat badut Masha di depan sana?" Paman Mada menunjuk pada kostum animasi anak-anak asal negeri komunis. Sosok itu berdiri di trotoar, menari mengikuti alunan lagu anak-anak yang diputar oleh sound system mini yang dikalungkan pada leher. Anak-anak penjual tisu, berkerumun mengitarinya dengan tawa kegembiraan.
"Em, ya." Aku menjawab tidak pasti.
Saat menatap ke arah pengendara motor di depan tadi. Keberadaan si ubur-ubur telah lenyap. Lampu merah telah berganti warna jadi hijau. Paman Mada kembali melaju menembus jalanan ibukota.
Kehidupan untuk hidup di Bikini Bottom pun sirna. Hewan-hewan laut ini, aku rasa, ini adalah sihir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top