Tiga Puluh Satu : Melapangkan Hati

TERLUKA tak berarti lemah, terkadang hanya tak tahu arah

Tanpa luka tak bermakna tak rapuh, seringkali hanya belum tersentuh

***

"Sienna Sayang, jangan seperti ini. Papa mohon," pinta Dennis untuk kesekian kali. Putrinya itu masih mengunci diri di kamar sejak kemarin. Tak mau makan dan minum. Tentu saja hal tersebut membuatnya khawatir.

Pengungkapan Farah atas kesalahan Dennis di masa lalu memang membuat Sienna terluka. Tak hanya tentang papa Brian, tetapi juga tentang Sofia. Gadis itu merasa telah dibohongi oleh orang yang justru paling dia percaya, papanya.

Sienna sejatinya tak hanya sedih karena hal tersebut. Harapannya untuk bersama Brian telah pupus begitu Farah menyebut Dennis sebagai pembunuh Danu. Meski rasanya begitu menyakitkan, Sienna akhirnya memaksakan diri untuk memilih. Dan, dengan berat hati ia memilih untuk membatalkan pernikahannya dengan Brian. Sesuatu yang tak mudah, sebab setelah itu ia hanya bisa menangis sendirian di kamar. Meratapi setiap hal yang selama ini ia pikir bisa membuatnya bahagia.

"Sienna Sayang!" Sekali lagi terdengar Dennis memanggil. Suara lelaki itu penuh keputusasaan. Tak tahu lagi bagaimana cara untuk membujuk putrinya keluar.

Bagaimanapun juga, Sienna menyayangi papanya. Setelah bertahan dengan mengurung diri di kamar, ia akhirnya memutuskan untuk menemui Dennis.

Dennis tak bisa menyembunyikan kelegaannya sewaktu mendengar suara anak kunci diputar. Akhirnya, Sienna bersedia keluar kamar.

"Papa," lirih Sienna. Kedua mata gadis itu sembab, menimbulkan perih di hati Dennis kala melihatnya.

Dennis berniat memeluk putri kesayangannya itu ketika tangan Sienna terangkat. Memberi gerakan menolak. Hanya satu gerakan, tetapi cukup untuk membuat hati Dennis ngilu.

"Sayang, Brian akan tetap nikahin kamu. Papa ja---"

"Aku nggak butuh janji itu lagi, Pa," potong Sienna. "Aku mau Papa minta maaf sama keluarga Kalila. Dan, aku ingin ketemu Mama."

Kedua permintaan Sienna adalah hal yang mustahil untuk Dennis lakukan. Ia tidak ingin melakukannya.

"Tapi, Sienna Sayang. Papa nggak mungkin ngelakuin itu. Kamu memberi Papa pilihan yang sulit."

Masih berdiri di ambang pintu, Sienna menatap tajam Dennis.

"Papa ingin pilihan lain?" tanya Sienna, "oke. Sebagai gantinya, Papa cukup mengembalikan semua yang menjadi hak Brian dan Tante Farah."

"Sienna." Dennis mengusap wajahnya kasar. Permintaan Sienna benar-benar memberatkan dalam banyak hal. Karena itu, ia berusaha membujuk putrinya itu agar berubah pikiran. "Itu tidak semudah yang kamu pikirkan."

Bergeming, Sienna kembali menjawab, "Kalau begitu, Papa lebih senang aku pergi dan mencari Mama sendiri? Atau Papa lebih suka ngeliat tubuhku tergantung dan kehilangan nyawa karena semua kebohongan Papa?"

Dennis tentu saja terkesiap mendengar kalimat terakhir putrinya. Tak mengira jika gadis kecilnya dulu sekarang berani mengancam dengan hal yang serius. Bunuh diri.

"Oke. Papa akan lakuin satu dari permintaan kamu. Tapi, tolong, jangan pernah pergi dari sisi Papa, ya, Sayang."

Dennis mendekat lalu memeluk Sienna yang tak lagi menolak. Ia tak berniat untuk membuang begitu saja semua hal yang selama ini sudah ia perjuangkan. Namun, kebahagiaan putrinya jauh lebih penting.

Dennis boleh kehilangan hartanya, istrinya, tetapi ia tak akan sanggup kehilangan Sienna, gadis cantik yang mulai beranjak dewasa. Gadis yang akan selalu menjadi putri kecil Dennis.

***

"Aku tidak datang untuk minta maaf."

Burhan tak terkejut sama sekali dengan ucapan lawan bicaranya. Dennis, kakak tiri dari mantan bosnya sekaligus dalang di balik semua penderitaannya puluhan tahun ini. Justru, Burhan akan bertanya-tanya jika kedatangan Dennis bertujuan untuk meminta maaf atas semua perbuatannya. Kecuali kerutan di wajah dan semburat uban di rambutnya, Dennis yang Burhan lihat kini sama sekali tidak berubah dari laki-laki yang dikenalnya 28 tahun lalu. Arogan dan penuh perhitungan.

Pertemuan Burhan dan Dennis sebenarnya di luar dugaan. Setelah Farah mengungkapkan kebenaran tentang kematian Danu, suaminya, tidak ada tindakan apa pun dari Dennis. Burhan pikir laki-laki itu akan mengambil sikap tidak peduli. Kalaupun terpaksa harus bertindak, uang bisa membuat Dennis melakukannya dengan cepat.

"Kalau begitu apa tujuan kedatangan Pak Dennis ke sini?" Burhan akhirnya bertanya.

"Hanya melihat kondisimu," Dennis menjawab dengan ragu. Wajahnya tampak sendu, sesuatu yang sama sekali bukan dirinya. "Lagipula, kamu tidak mungkin memaafkanku. Bagaimanapun juga sudah lebih dari dua puluh tahun. Bukankah lebih baik dilupakan saja."

Dennis berbicara sembari tertawa kecil. Tawa meremehkan yang tertuju untuk dirinya sendiri. Dia tahu dari awal dia bersalah, tetapi dia tidak akan mengemis maaf untuk itu. Tindakannya sudah menghancurkan sebuah keluarga tak berdosa, yang bahkan tak tahu menahu tentang ambisinya akan keluarga Atma Wijaya. Dan, kini kebahagiaan putrinya pun luluh lantak. Dia tidak memiliki kata-kata penyesalan selain betapa sedih hatinya melihat Sienna. Sebuah keajaiban Burhan bahkan masih mau menerima kedatangannya.

"Memang sulit memaafkan orang yang sudah memfitnah saya, Pak," ujar Burhan. "Karena dia, saya tidak bisa mendampingi istri saya di saat-saat terakhirnya, tidak bisa menemani tumbuh kembang putri saya, dan Kalila bahkan mendapat cap putri pembunuh."

Burhan mengatakannya dengan nada datar. Tidak tampak emosi, tetapi juga belum terlihat kerelaan untuk melupakannya.

"Kamu bisa membalasku," tukas Dennis, "aku memang tidak meminta maaf, tapi aku tahu apa yang pantas kuterima atas kematian Danu."

Burhan tiba-tiba tersenyum tipis. Langit sore melatarbelakangi pertemuan dua orang lelaki paruh baya tersebut. Ditemani dua cangkir teh manis hangat dan sepiring kue dadar gulung buatan Kalila, percakapan itu seharusnya bisa menjadi obrolan hangat dan menyenangkan. Sayangnya, sejak awal kedatangan Dennis sudah membawa aura muram.

"Membalas dengan cara apa? Hukuman atas pembunuhan Pak Danu sudah selesai saya jalani."

Dennis terdiam. Ucapan Burhan benar adanya. Dengan cara apa dia ingin mendapatkan konsekuensi setimpal atas perbuatannya di masa lalu? Sedetik kemudian jawaban itu muncul di benaknya. Ia berani menerima hukuman apa pun, selama bukan membuat putrinya hidup dalam kesedihan.

"Aku juga tidak tahu." Akhirnya Dennis mengaku. "Aku hanya berpikir kamu perlu melampiaskan emosimu pada orang yang tepat."

Kursi roda Burhan berdecit ketika laki-laki itu bergerak. Ia tahu Kalila mendengarkan pembicaraan mereka. Karena itu, ia memilih untuk mengatakan hanya hal-hal terpenting.

"Pak Dennis benar. Saya belum bisa memaafkan Bapak. Tapi saya berusaha, sebab saya tidak mau hidup berkubang dendam. Saya sudah selesai menjalani hukuman di penjara dan hanya ingin melewati hidup saya bersama Kalila. Mengenai Bapak, saya yakin kehidupan sudah berjalan sebagaimana mestinya. Bukankah roda itu berputar?"

Burhan merasa kalimatnya itu sudah cukup mewakili semua yang perlu ia katakan. Dennis maupun Kalila tidak perlu tahu tentang penderitaannya selama di penjara. Tentang malam-malam yang ia habiskan dengan tangis kerinduan pada anak dan istri. Juga mengenai kebencian yang menggerogoti hati Burhan karena merasa diperlakukan tidak adil. Dua puluh tahun sudah cukup untuk meratapi semua itu. Kalaupun sekarang faktanya telah terbongkar, tidak akan ada yang berubah kecuali hubungan Brian dan Kalila.

Satu hal lagi yang terpenting. Burhan tidak ingin dendam itu berlanjut. Ia yakin Dennis akan mendapatkan balasannya sendiri. Ia hanya berharap orang-orang mengerti jika tak ada gunanya mengungkit hal itu lagi. Bukannya bagi Burhan itu hal yang mudah, tetapi ia terus berusaha untuk menerima semuanya dengan ikhlas. Pastinya butuh waktu yang tidak sebentar, tapi Burhan akan menjalaninya dengan senang hati. Sebab, semua peristiwa pahit itulah yang membentuk pribadi Kalila menjadi gadis sederhana, tetapi tangguh.

Dennis terdiam. Kali ini cukup lama. Laki-laki itu berusaha meresapi kata-kata Burhan. Sama seperti dirinya, putri mereka adalah alasan utama mereka bisa tetap bahagia. Jika Burhan mau melupakan kejahatan yang merenggut bahagianya dulu demi Kalila, seharusnya Dennis pun bisa melakukan hal yang sama. Bahkan lebih.

Menyadari kebenaran yang baru saja terbersit di benaknya, Dennis pun bangkit. Ia mengakhiri pertemuannya dengan Burhan begitu saja. Lalu dengan cepat meninggalkan halaman rumah itu dengan isi cangkir yang masih penuh.

Kalila bergegas keluar, menemani ayahnya memandangi kepergian Dennis yang menyisakan tanya. Apakah yang tengah dipikirkan lelaki itu sekarang?

***
Sienna tengah memasukkan barang-barangnya ke dalam koper ketika terdengar pintu kamarnya diketuk. Ia menghentikan kegiatan lalu berjalan menghampiri pintu kayu bercat putih tersebut dan membukanya.

"Brian?" Sienna tak benar-benar terkejut dengan kedatangan sang sepupu. Ia justru mengharapkannya meski hanya sebagai salam perpisahan sebelum ia pergi beberapa hari lagi. "Tumben?"

Brian menjawab dengan seutas senyum tipis dan agak canggung. Dia memang tidak pernah memasuki kamar Sienna meski gadis itu sering keluar masuk kamarnya saat masih SMU dulu.

"Kamu yakin mau pergi?" tanyanya kemudian.

Sienna memberi ruang agar Brian yang masih berdiri di ambang pintu bisa masuk. Ia lalu kembali melanjutkan acara berkemas yang tadi terjeda. Sienna tidak terlalu peduli Brian akan mengikutinya atau hanya masuk dan berbicara secara berjarak dengannya.

"Kamu mau jawaban jujur atau bohong?" tanya Sienna balik.

"Mana ada yang mau jawaban bohong, Na."

"Aku. Kalau pertanyaannya adalah 'Bri, kamu cinta nggak sama aku?'" Sienna mengatakannya sembari tersenyum masam. "Tapi kalau kamu mau aku jawab jujur, ya, aku yakin mau pergi. Biar aku bisa segera ngelupain kamu."

Brian tertegun. Tak tahu harus menjawab apa. Dia memang lega jika Sienna benar-benar mau melakukannya, tetapi rasanya tetap tak nyaman mendengar pengakuan tersebut secara langsung dari Sienna.

Seolah tahu jika Brian sulit merespon ucapannya, Sienna pun berinisiatif untuk lanjut bicara. "Nggak mungkin semudah itu. Perasaan belasan tahun sulit dihapus begitu saja. Tapi maksa kamu juga nggak ada gunanya. Apalagi aku anak Papaku."

Sienna mengurung diri berhari-hari bukan hanya untuk menghindari Dennis, tetapi sekaligus merenungkan nasib perasaannya pada Brian. Sepupunya itu hampir gila sewaktu Kalila mengaku jika Burhan adalah pembunuh Danu. Meski Brian terang-terangan bersedia menikah dengan Sienna, laki-laki itu selalu berakhir pulang dalam keadaan linglung. Irman dan Geri selalu berhasil mencegahnya melakukan hal berbahaya, tetapi tidak bisa melindungi hati Brian yang hancur.

Lalu, setelah fakta sebenarnya terkuak bahwa Dennis-lah sang pembunuh sebenarnya, bagaimana mungkin Sienna masih ingin memaksakan perasaan pada Brian? Jika itu terjadi, Sienna hanya akan menghancurkan orang yang ia cintai lebih dalam. Brian mau memaafkan Dennis saja sudah hal yang patut disyukuri, meski itu pun karena andil Kalila dan ayahnya. Butuh waktu untuk menyadari hal itu, sampai Sienna benar-benar bisa menerima kenyataan jika sumber kebahagiaan Brian adalah Kalila, bukan dirinya.

"Maaf, Na." Brian tak tahu mengapa justru kata itu yang terucap. Namun, dia tidak merasa tindakannya salah.

Sienna menghentikan gerakan tangannya yang tengah melipat sebuah baju, lalu menoleh dan tersenyum pada sang sepupu.

"Aku yang harusnya minta maaf. Pasti sangat buruk harus menghadapiku dan Papa selama ini."

"Nggak sepenuhnya kaya gitu, Na."

"Udah, Bri. Aku udah janji untuk ngerelain kamu. Jadi, kamu harus janji juga sama aku sebelum kita akhiri bahasan ini," tukas Sienna. Berharap bisa segera menyelesaikan topik tak menyenangkan yang tengah mereka bicarakan.

Brian menatap sang sepupu. Tak yakin janji apa yang harus ia ucapkan.

"Aku nggak bisa janji apa pun," ujar Brian lirih. Tak terbayang jika ia harus melukai hati seseorang lagi.

"Harus. Karena ini demi kamu dan Kalila," sergah Sienna cepat, "berjanjilah kalau kalian akan hidup bahagia dan selalu jadi pasangan yang saling mencintai, supaya aku nggak punya penyesalan karena udah mutusin untuk ngelupain kamu, Bri."

Sienna mengatakan hal itu sembari tersenyum. Namun, matanya berkaca-kaca. Ia sudah berusaha tegar di depan Brian, tetapi air mata ternyata tak semudah itu berkompromi. Tetap menunjukkan diri meski tak menetes.

Brian meraih tangan Sienna, menggenggamnya dan mengucapkan yang Sienna mau.

"Aku janji, Na."

Segera setelah itu, tangis Sienna tak terbendung lagi. Sembari meneteskan air mata, ia mengucapkan sesuatu yang pantas ditujukan pada sang sepupu setelah semua hal pelik dalam kehidupan keluarga mereka berkali-kali.

"Terima kasih, Bri."

***

Tinggal beberapa part lagi. Nggak berasa, ya.

Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top