Tiga Puluh Empat : Surat Tanpa Nama

KAU tahu makna bahagia untukku?

Bersamamu, sesederhana itu.

***

"Oh, ya, aku penasaran sama Brian. Apa kabarnya, ya, dia? Apa udah ketemu sama Kalila? Atau justru dia udah move on?"

Kalila dan Alicia saling pandang lalu tersenyum penuh arti sewaktu seorang pendengar menanyakan hal tersebut.

"Kenapa, Lis? Kamu kangen apa mau daftar jadi calon pacarnya?" goda Alicia, "sekadar ngingetin, sih, ya. Brian udah naruh nama Nastiti di daftar pertama pengganti Kalila, lho."

Kalila sontak menoyor lengan Alicia yang justru terkikik. Bisa-bisanya gadis cerewet itu mengungkit hal tersebut. Seolah tak pernah tahu saja kalau Kalila dan Nastiti adalah orang yang sama.

"Ah, iya, ya. Aku baru inget. Lagian aku cuma penasaran aja sama kelanjutan kisahnya dia. Habis udah lama banget dia nggak nelepon lagi ke sini," jawab Lisa, nama penelepon tersebut. "Ya udah, aku request lagu aja. Lagunya Ed Sheeran yang Shape Of You, ya, Al, Ti."

"Oke, siap meluncur," balas Alicia bersemangat. "Selamat malam, Lisa. Selamat berakhir pekan."

"Tunggu dulu, Alice. Sebelum kita putar lagu request Lisa, kita masih nerima satu telepon lagi, nih." Kalila buru-buru menyela karena melihat isyarat dari Satya. Alicia yang juga melihatnya pun mengangguk mengerti.

"Oke, satu lagi penelepon." Alicia baru berujar ketika sebuah panggilan sudah menanti untuk diterima. "Oh, cepet banget. Udah ada penelepon lagi. Halo, dengan siapa ini?"

"Halo, Alice. Ini Brian."

Alicia hanya mengedikkan bahu sewaktu Kalila menatapnya dengan pandangan penuh tanya. Ia sendiri pun tak tahu kalau Brian tiba-tiba kembali menelepon setelah sekian lama absen sebagai pendengar.

"Hai, Bri. Nice to hear your voice again," seru Alicia. "Gimana kabarnya, nih? Banyak yang nanyain kamu, lho. Penelepon terakhir sebelum kamu aja tadi juga nanyain."

Terdengar tawa kecil Brian di seberang telepon. Mungkin ia merasa bangga bisa menjadi selebritis meski hanya di level radio. Entahlah. Kalila lebih penasaran tujuan lelaki itu menelepon ke Senandung Rindu. Tema acara hari ini menurutnya tak ada yang cocok dengan kehidupan Brian.

"Tema hari ini apa, ya?" tanyanya kemudian.

"Tema hari ini menjadi pemberani," jawab Kalila. "Kamu mau berbagi cerita atau cuma request lagu dan kirim salam aja, Bri?"

"Ehm, curhat boleh, nggak?"

"Ya, boleh banget selama sesuai dengan tema." Alicia langsung menyambar sebelum Kalila sempat membuka mulut. Seolah gadis itu tahu apa yang akan dikatakan oleh Kalila.

"Ya udah, deh. Silakan, Bri," tukas Kalila.

Ada jeda waktu beberapa detik sebelum Brian kembali bersuara. Sembari menunggu, Kalila sendiri membiarkan pikirannya terisi oleh kebersamaan mereka selama ini. Sudah sebulan ini Brian mencoba merajut kembali kisah mereka. Namun, Kalila masih bergeming. Dia tidak yakin ingin menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih di usianya yang tak lagi remaja.

"Kalila Putri Nastiti," Suara Brian akhirnya terdengar, mantap dan yakin, "aku jatuh cinta sama kamu. Jadi, cinta pertama dan terakhirku, maukah kamu menikah denganku?"

Seruan heboh seketika terdengar begitu nyaring di radio. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Alicia. Namun, Kalila yakin para pendengar Senandung Rindu yang lain pun tak kalah terkejut. Brian benar-benar membuat kejutan yang epik untuk Kalila.

"Jawab dong, Kal," tegur Alicia karena Kalila hanya diam mematung.

Pertanyaan Brian sudah pasti menimbulkan efek tersendiri di hati Kalila. Dia bahagia, tentu saja. Bagaimanapun juga, Brian dan Kalila memiliki perasaan yang sama. Hanya menunggu waktu untuk memantapkan hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius. Dan, ternyata Brian memilih hari ini untuk menyatakannya.

"Nastiti, atau yang lebih suka aku panggil Kalila, nggak perlu jawab sekarang. Kamu tahu di mana aku jika ingin memberikan jawabannya hari ini."

Seruan Alicia makin menjadi setelah pernyataan terakhir Brian. Tindakannya itu menular pada Satya dan Agung, serta pegawai Canetis lain yang kebetulan masih tinggal di radio. Sepertinya mereka juga tahu keberadaan Brian sekarang.

Kalila mengusap wajahnya. Berusaha menyembunyikan rona malu-malu yang muncul.

"Ya, makasih, Bri." Jawaban Kalila terdengar begitu kaku dan canggung. Padahal ia sedang tak berhadapan langsung dengan lelaki itu. Terbayang olehnya kesulitan saat harus menjawab secara langsung.

"Oke, oke. Ini sejarah, ya. Teman baikku yang tukang baper ini akhirnya dilamar juga. Dan, Brian, nggak perlu request lagu. Biar aku yang tentuin lagu yang pas buat kamu. Sementara ini, siapkan mental untuk menerima jawaban Nastiti, ya," cerocos Alicia sembari tertawa lebar.

"Aku pasrah aja, deh," balas Brian lalu memutuskan panggilan.

Sembari mengering jail ke arah Kalila, Alicia memutar lagu pertama yang ternyata ia tujukan pada Brian. Lagu Akad dari Payung Teduh. Lagu yang sukses membuat wajah Kalila semakin merona karena malu.

Bersamaan dengan itu, pesan dari para pendengar lain beruntun masuk. Menanyakan perihal Kalila dan Brian. Kebanyakan mereka tak percaya dan terkejut sewaktu tahu Nastiti adalah Kalila yang Brian ceritakan. Alicia dengan senang hati meladeni pesan-pesan tersebut, sementara Kalila masih dilanda kebingungan. Bagaimanapun juga, ia pasti akan segera bertemu Brian. Dan, harus memberikan jawaban.

Satu jam setelahnya waktu terasa begitu cepat. Siaran Senandung Rindu berakhir dan mengharuskan Kalila meninggalkan ruang siaran, yang berarti satu hal. Dia akan segera bertemu dengan Brian.

Sepanjang persiapan pulang, semua orang menggodanya. Dan, semua seruan serta celetukan itu akhirnya berhenti sewaktu Kalila mendapati Brian di lobi. Lelaki itu tengah duduk di salah satu sofa sembari memainkan ponselnya.

"Good luck, Bri," seru Satya yang buru-buru mendahului Kalila keluar dari Canetis. Tindakannya diikuti oleh yang lain, termasuk Alicia. Namun, Kalila hanya bisa mengembuskan napas panjang berkali-kali. Berusaha menahan diri untuk tak menggubris semua tingkah kekanakan teman-temannya.

Tanpa berkata apa-apa, Brian dan Kalila pun berjalan berdampingan menuju mobil. Seolah keduanya telah mengerti satu sama lain tanpa perlu bicara.

Begitu telah ada di dalam mobil, Brian tak segera menghidupkan mesin. Jemarinya mengetuk-ngetuk kemudi. Kebiasaan lelaki itu jika sedang gugup atau malu.

Kalila yang menyadari hal itu berinisiatif untuk memulai percakapan. Meski sejatinya ia sendiri tak jauh beda dengan Brian. Ia juga gugup.

"Bri, soal yang di radio tadi ...," Kalila menjeda ucapannya, berusaha merangkai kalimat yang tepat untuk memberi jawaban, "kamu serius?"

Brian sontak menoleh pada Kalila. Raut wajahnya tampak terluka karena gadis itu seolah tak percaya padanya.

"Kal, aku benar-benar serius. Aku pengin menghabiskan sisa hidupku sama kamu."

Kalila terdiam. Perlahan senyumnya merekah, lalu dengan mantap ia menjawab, "Aku juga, Bri."

Senyum Brian mengembang. Lega sekaligus bahagia karena akhirnya mendapatkan jawaban yang ia inginkan.

"Tunggu." Brian buru-buru meraih saku celananya, berusaha mengeluarkan sebuah benda dari sana. Sebuah kotak cincin beludru berwarna merah. Namun, sebelum berhasil membukanya, Kalila lebih dulu berujar.

"Tapi, kamu harus izin Bapak dulu, Bri. Termasuk ngasih benda itu sama aku," tunjuk Kalila pada kotak di tangan Brian.

Brian menyentuh tengkuknya dan tersenyum malu. Lalu menyimpan benda itu kembali.

"Pasti. Aku akan segera melamarmu ke Bapak. Dan, aku yakin bakal diterima," ujar Brian percaya diri. Kalila tersenyum kecil mendapati rona bahagia di wajah Brian. Dan, perasaan tersebut menular pada hatinya.

"Tapi, sekarang kita harus pulang dulu. Kalau sampai kemalaman, bisa-bisa Bapak nggak kasih restu, lho," canda Kalila.

"Wah, siap Bu Bos. Kalau begitu kita meluncur sekarang." Brian bersemangat menghidupkan mesin mobil. Lalu membawa keduanya meninggalkan Canetis dengan perasaan bahagia yang berlipat.

Akhirnya, sepuluh tahun yang mereka jalani sebagai penantian tak berakhir sia-sia.

***

Kalila menghampiri Brian yang sedang duduk di taman belakang rumah mereka. Di bawah pohon bugenvil berbunga merah muda yang sengaja Brian tanam di sana sebagai peneduh. Lelaki itu sedang serius melakukan video call dengan seseorang ketika Kalila mendekat.

"Hai, Kal!" sapa gadis dalam video yang menjadi lawan bicara Brian, yang ternyata adalah Sienna.

Brian menoleh dan mendapati sang istri di belakangnya. Tanpa sungkan, ia lalu meraih lengan Kalila, memintanya duduk di samping Brian.

"Hai, Sienna!" balas Kalila sembari tersenyum ramah. "Bagaimana liburan kamu? Menyenangkan? Di mana Mama?

Sienna mendengkus sebelum memberi jawaban. "Awalnya nyenengin, tapi suamimu tercinta itu ganggu banget. Aku disuruh cepet pulang buat bantuin proyeknya. Oh, ya, Mama lagi tidur. Capek banget habis keliling kota."

Brian hanya tertawa kecil mendengar keluhan Sienna. Ia memang suka sekali menggoda sepupunya itu. Tentu saja dengan sepengetahuan Kalila.

"Bri, tunggu saja sampai Sienna pulang. Atau minta bantu Om Dennis aja," saran Kalila.

"Nah, bener itu. Jangan gangguin aku terus," imbuh Sienna, "aku butuh liburan."

Brian kembali tertawa, kali ini dibarengi oleh sang istri. Secara pengalaman dan kemampuan dalam mengelola perusahaan, Sienna memang lebih unggul dari Brian. Karena itu, meski mereka tinggal di kota yang berbeda, Brian selalu saja merecoki Sienna dengan alasan butuh bimbingan. Sebenarnya ia bisa meminta bantuan Dennis, tetapi lelaki itu sekarang terkesan menutup diri dari hal-hal yang berhubungan dengan Brian. Mereka seolah saudara jauh yang sangat jauh.

Beruntung Sienna masih mau bersikap hangat. Bahkan, gadis itu kini berteman baik dengan Kalila. Namun, untuk meminta bantuannya dalam hal pekerjaan, Brian harus bisa memberikan penawaran yang bagus. Seperti saat ini contohnya. Sienna bersedia membantu asalkan dia boleh liburan lebih dulu bersama Farah ke Bali.

"Oke, deh, Na. Lanjutkan liburanmu. Salam buat Mama, ya," pungkas Brian. "Dan, jangan lupa cari cowok cakep di sana. Bule juga nggak masalah. Yang penting mereka mau sama kamu."

Sienna sontak memelotot mendengar olok-olok Brian.

"Sial! Kalian juga, cepat beri aku keponakan. Aku bosan menunggu," balas Sienna.

"Kami sedang berusaha, Na," kilah Brian yang segera disambar ucapan Sienna selanjutnya.

"Dari enam bulan yang lalu juga itu yang kamu bilang, Bri. Parah. Udah, deh, Kal, tinggalin aja nih orang."

Kalila masih tertawa mendengar perdebatan kedua saudara tersebut. Namun, Brian memutuskan untuk mengakhirinya demi menyelamatkan Kalila dari provokasi Sienna.

"Udah, udah. Kalau diterusin yang ada aku nggak makan-makan, nih. Sekali lagi salam buat Mama, ya. Assalamualaikum."

"Wa'alaikumsalam," jawab Sienna seraya terkikik kemudian mematikan panggilan.

Setelah meletakkan ponsel di sampingnya, Brian memandang Kalila dan bertanya, "Bapak mana?"

"Ada di dalam. Aku habis bikin kue putu, makanya aku panggil kamu buat nyicipin." Kalila lalu menyodorkan sepiring kecil kue berbentuk silinder berwarna hijau muda. Di tengah kue tersebut terdapat gula merah yang sudah cair. Brian terlalu asyik berbicara dengan Sienna hingga tak menyadari jika sang istri membawa makanan tersebut.

"Bapak nggak apa-apa, kan, sendirian di dalam sebentar?" tanya Brian seraya matanya melihat ke sekeliling. Meski heran dengan tingkah suaminya itu, Kalila tetap memberi jawaban.

"Bapak nggak sendirian, Bri. Kan, lagi sama Alif."

Brian tersenyum lebar sewaktu Kalila menyebutkan nama anak sepuluh tahun yang merupakan salah satu tetangga mereka tersebut. Alif sangat tertarik bermain catur dan bisa menghabiskan waktu berjam-jam bersama Burhan dengan memainkan permainan tersebut. Selama itu, Brian jadi memiliki waktu lebih banyak untuk berdua saja dengan Kalila.

Setelah menikah, Brian dan Kalila memutuskan untuk tinggal di rumah Burhan agar tetap bisa merawat lelaki itu juga. Sementara Farah memilih ikut Sienna ke Malang. Namun, terkadang Brian sungkan pada Burhan setiap kali ingin bermesraan dengan sang istri.

"Bagus, dong." Brian tersenyum lebar. "Soalnya aku lagi pengin berduaan aja sama istriku."

Kalila ikut tersenyum. Rona di wajahnya masih suka menampakkan diri setiap kali Brian menggodanya. Padahal mereka sudah enam bulan menjadi pasangan suami istri.

Brian lalu melingkarkan lengannya di bahu Kalila, menarik perempuan itu mendekat agar bisa memeluknya dari samping. Dengan gerakan isyarat, ia meminta Kalila menyuapinya kue putu yang ada di tangannya.

"Kal, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Brian setelah menelan satu buah kue yang disuapkan Kalila. "Sejak kapan kamu suka sama aku?"

Kalila memasang ekspresi berpikir, lalu tertawa kecil. "Sejak aku tahu kamu selalu membuntutiku sepulang sekolah. Aku tahu, sih, itu bukan karena kamu suka sama aku. Tapi, aku jadi ngerasa seneng aja karena cowok yang dulu benci sama aku tiba-tiba perhatian gitu."

"Waktu itu aku penasaran, sih, soalnya kamu biasa aja meski aku sengaja nggak ngerjain tugas kelompok kita."

Kalila menyuapkan satu potong kue putu lagi ke mulut Brian, lalu balik melontarkan pertanyaan.

"Kalau kamu, kapan mulai suka sama aku?"

Brian mengedikkan bahu.

"Nggak tahu. Tiba-tiba suka aja. Dan, tiap hari malah makin suka," jawabnya seraya tersenyum menggoda.

Sebuah kuntum bugenvil kemudian jatuh di atas pundak Brian. Kalila mengambilnya, memandangi bunga tersebut selama beberapa detik sebelum akhirnya kembali bertanya.

"Dan, kenapa kamu masih nunggu meski aku pergi tanpa pamit waktu itu? Kamu saat itu belum tahu perasaanku, kan?"

Brian melepaskan rangkulannya pada pundak Kalila lalu merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah dompet kulit berwarna coklat tua. Dibukanya dompet tersebut, lalu ia menunjukkan sebuah lipatan yang tak Kalila ketahui maksudnya.

"Karena ini." Brian membuka lipatan tersebut sehingga tampaklah selembar kertas, sepertinya sebuah surat, yang warnanya menguning. Namun, tulisan yang tertera di atasnya masih bisa terbaca dengan jelas. "Aku nemuin ini di laci bangku kamu. Pas aku temuin, udah kucel banget, tapi isinya justru bikin aku bersemangat."

Kalila mengernyit, sama sekali tak bisa menduga hubungannya kertas itu dengan pertanyaannya.

Seolah mengetahui isi pikiran Kalila, Brian pun tersenyum. Ia lalu mulai membaca dua baris pertama dari surat tersebut.

Ini benar-benar aneh.
Aku tidak pernah menulis buku harian atau semacamnya.
Namun, aku terlalu malu untuk berbagi cerita ini pada Winda, apalagi pada Panji.

Kalila seketika teringat kalimat-kalimat tersebut. Wajahnya sontak merona. Ia lalu berusaha merebut kembali kertas tersebut.

"Bri, itu suratku. Balikin," pintanya.

Namun, Brian justru segera menyimpan kembali benda tersebut. Sengaja membuat Kalila tak bisa mendapatkannya.

"Itu surat kamu? Tapi ditujukan buatku, kan?" goda Brian.

"Jangan kepedean. Nggak ada namanya di sana."

Brian tersenyum semakin lebar. Ia mendekati Kalila lalu tanpa isyarat apa pun segera mendaratkan sebuah kecupan di pipi kanan istrinya itu.

"Nggak perlu nama selagi aku tahu itu ditujukan buatku. Karena berkat surat itulah aku jadi yakin dengan perasaan kita. Sampai hari ini."

Sembari tersenyum, Kalila menatap Brian lalu balas memberikan sebuah kecupan di pipi suaminya itu. Membuat Brian segera meraih tubuh sang istri lalu mendekapnya erat. Menikmati kebahagiaan mereka.

***
Akhirnya udah sampai ending. Gimana, nih, perasaan kalian? Aku harap cerita ini memberi kesan manis dan hangat pada kalian, sama seperti yang aku rasakan. Btw, siapa tokoh favorit kalian? Scene favorit? Quote favorit? Boleh, dong, komen di sini.

Oh, ya, jangan lupa baca epilog ya

***
Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top