Sembilan Belas : Mencipta Dusta
SATU dusta tak akan menumbangkan asa,
Tetapi ia akan menggerus percaya
Hingga cinta tak lagi bertahan sebagai rasa
***
Bangunan dengan papan nama besar warna putih bertuliskan Canetis dengan huruf merah tersebut ada di hadapan Brian sekarang. Sudah hampir setengah jam ia menunggu di dalam mobilnya tadi. Mengumpulkan tekad untuk menginjakkan kaki ke sana dan menemui seseorang yang sangat ingin ia lihat.
Waktu menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Senandung Rindu masih mengudara, belum berakhir. Brian sengaja datang pada jam itu agar bisa menemui Nastiti, atau yang ia yakini adalah Kalila, secara langsung. Namun, rindu yang membuncah di dadanya tak suka berkompromi. Semakin cepat ia bisa memastikan sosok Nastiti, maka akan semakin baik bagi kesehatan hatinya.
Setelah berusaha meyakinkan diri berkali-kali, Brian akhirnya memutuskan untuk memasuki bangunan tersebut. Kedatangan Brian disambut seorang perempuan berkacamata yang tersenyum manis begitu ia menyebutkan nama. Dan, senyuman itu semakin penuh arti saat Brian juga mengutarakan tujuan kedatangannya.
Perempuan tersebut lalu mempersilahkan Brian duduk menunggu di lobi. Secangkir kopi menemani penantiannya. Sembari menunggu, Brian mengeluarkan ponsel. Ia membuka galeri dan mencari satu foto lama yang dulu ia simpan di ponsel lamanya. Foto seorang gadis berseragam sekolah yang sedang duduk membaca di bawah pohon bugenvil.
Sebuah senyuman lolos begitu saja sewaktu Brian memandangi foto tersebut. Foto lama Kalila yang dulu didapatnya tanpa izin si pemilik nama. Namun, foto itu pulalah satu-satunya rekaman akan gadis yang selalu ia rindu tersebut. Tak peduli meski dalam kurun waktu sepuluh tahun ini semuanya bisa saja berubah.
"Wah, ada tamu rupanya," celetuk seorang lelaki yang baru saja memasuki lobi. Brian mendongak dan mendapati jika pemilik suara tersebut adalah lelaki tiga puluh tahunan yang cukup rupawan.
Brian tersenyum menanggapi ucapan lelaki tersebut. Melihat dari sikapnya yang cukup akrab dengan perempuan yang tadi menyambut Brian, pastilah lelaki tersebut salah satu pegawai di Canetis.
"Satya, salah satu produser di Canetis." Lelaki itu mengulurkan tangan setelah menempati kursi kosong di samping Brian.
Seraya menjabat tangan Satya, Brian pun membalas, "Brian."
Satya terbelalak beberapa detik begitu mendengar nama Brian. Namun, dengan cepat ia kembali bisa menguasai diri.
"Brian yang waktu itu nelpon dan cerita tentang cinta pertamanya? Yang namanya Kalila?" tebak Satya yakin.
Sebenarnya Brian tak tahu apakah para penelepon di radio yang bercerita tentang masa lalu mereka akan mendapat reaksi serupa dirinya atau tidak. Hanya saja, ia merasa Senandung Rindu membuatnya memiliki tempat tersendiri di Canetis.
"Betul," jawab Brian singkat.
Satya berdecak kagum. Membuat Brian menatapnya tak mengerti.
"Padahal aku baru berencana mengundang kamu, tapi ternyata sudah datang duluan ke sini. Omong-omong, ada keperluan apa, nih? Cari Kalila, ya?" Pertanyaan Satya sukses membuat Brian terkejut. Mengira lelaki itu mengenal gadis yang selama ini ia cari. "Aku cuma nebak, sih. Jangan berpikir aku tahu di mana dia, ya. Kenal aja, nggak," lanjut Satya seraya tertawa kecil.
Tatapan penasaran Brian seketika berganti kejengkelan mendengar candaan Satya yang menurutnya tak tepat waktu itu. Namun, ia berusaha untuk tak memperpanjangnya. Brian ingin menemui Nastiti dan segera mendapatkan jawaban. Tidak ada waktu untuk meladeni hal-hal sepele macam itu.
"Saya ingin bertemu Nastiti," ujar Brian akhirnya. Mungkin jawabannya bisa membuat Satya berhenti mengoceh dan bersikap lebih serius.
"Oh, Nastiti. Apa kalian ada janji?" tanya Satya dengan nada tidak percaya. "Setahuku Nastiti tidak pernah menemui tamu di sini, kecuali bintang tamu acara radio yang sudah pasti atas seizinku."
Mengabaikan nada bicara Satya yang terlalu santai untuk dua orang yang baru berkenalan, Brian memilih meraih cangkirnya dan menyesap cairan hitam dalam benda tersebut.
"Sebenarnya belum. Apa saya harus buat janji lebih dulu?" tanyanya setelah menghabiskan satu tegukan.
Satya tersenyum sembari menggerakkan telapak tangannya, "Nggak perlu. Tuh, orangnya udah datang."
Brian menoleh ke arah yang ditunjuk Satya. Dari tempatnya berada, tampak seorang perempuan berhijab baru saja keluar dari sebuah ruangan lain di bangunan itu. Kemungkinan besar ruang siaran. Tanpa mempedulikan Satya, Brian bangkit lalu menyongsong Nastiti sebelum gadis itu memasuki lobi. Dengan cepat, ia mengadang dan menyerukan sebuah nama. Membuat sosok yang dinantinya itu ikut mematung.
"Kalila?"
***
Satya berdiri sambil bersedekap di hadapan Brian dan Kalila. Seutas senyum penuh arti tercetak jelas di bibirnya.
"Ti, apa pun masalah kalian, cepat selesaikan sekarang juga," titahnya seraya menatap Kalila tajam. Dalam hati, ia masih sedikit tak percaya jika spekulasinya tentang Brian dan Kalila ternyata benar.
"Iya, Mas," jawab Kalila pelan.
"Oke." Setengah yakin Satya pun berjalan pergi, meninggalkan dua orang tersebut.
Dalam hening selepas kepergian Satya, Brian justru tak dapat berpaling ketika kedua netranya terarah pada Kalila. Selain penampilannya yang kini berhijab, tak ada yang berubah padanya. Bagi Brian, gadis itu masih secantik dulu. Sama seperti perasaan rindunya yang juga tak pernah berubah.
Kalila yang sadar akan tatapan Brian padanya pun merasa jengah. Tanpa balas menatap lelaki itu, ia berucap. "Sebaiknya kamu punya alasan yang bagus untuk terus menatapku seperti itu."
Sorot mata Brian melembut, tetapi tetap tak berpaling dari Kalila.
"Aku rindu padamu."
Selain Tuhan dan dirinya sendiri, tak ada yang tahu betapa kalimat yang meluncur dari bibir Brian tersebut membuat hati Kalila bagai dihujani butiran es. Sejuk tetapi lambat laun membekukan.
Memilih untuk tak terlena akan perasaan, Kalila membalas perkataan Brian dengan tegas. "Lalu? Haruskah aku mengatakan hal yang sama?"
Tentu saja Brian memang berharap hal tersebut. Namun, melihat ekspresi tak suka di wajah Kalila membuatnya yakin jika keinginan itu tidak terkabul.
"Kamu cukup bilang alasan kamu pergi sepuluh tahun yang lalu, Kal."
"Aku nggak punya kewajiban ngasih tahu kamu." Kalila melirik jam dinding yang mengingatkannya jika harus segera pulang. "Dan, kalau nggak ada lagi yang pengin kamu omongin, aku permisi."
Kalila sudah bersiap bangkit, tetapi Brian buru-buru menahannya.
"Biar ... biar aku mengantarmu pulang." Kegembiraan yang melanda hati Brian membuatnya sedikit terbata saat berbicara. Sungguh, ia tak berniat membuang-buang waktu Kalila, tetapi terlalu banyak ungkapan kerinduan yang tersimpan untuk gadis itu hingga Brian kebingungan harus memulai darimana.
"Tidak. Terimakasih," tolak Kalila. Ia kembali berjalan dan mengabaikan Brian yang masih mengejarnya.
"Kal, kalau gitu bisakah aku minta nomor ponselmu? Ada banyak sekali yang pengin aku omongin sama kamu," pinta Brian.
Sungguh, jika saja bisa Brian ingin sekali memeluk Kalila. Mengalirkan perasaan rindu yang selama ini bersarang di hati. Namun, ia tahu batasannya. Saat ini, melihat kembali wajah Kalila sudah lebih dari cukup.
"Maaf. Aku nggak bisa kasih nomor ponselku ke sembarang orang." Lagi-lagi Kalila memberi penolakan, tetapi Brian pun tak pantang menyerah.
Lelaki berlesung pipi itu tersenyum, membuat Kalila segera memalingkan wajah. Tak ingin kenangan masa lalu menggoyahkan keyakinannya.
"Kenapa? Apa akan ada yang marah kalau aku minta nomor ponselmu?" Brian hanya berniat menggoda Kalila saat mengatakannya, tetapi jawaban gadis itu kemudian justru membuatnya terbungkam.
"Ya. Aku sudah bertunangan dan akan segera menikah. Jadi, maaf, aku harap kamu mengerti."
Tak percaya dengan ucapan Kalila, Brian kembali tersenyum. Yakin jika gadis itu hanya berupaya menghindarinya meski ia sendiri tak tahu alasannya.
"Kamu nggak perlu bohong, Kal."
"Aku nggak bohong. Itu dia sudah datang menjemputku," tunjuk Kalila pada seseorang yang baru saja menghentikan motornya di depan bangunan Canetis.
Brian mengernyit. Penasaran setengah mati dengan sosok yang Kalila maksud. Bagaimanapun juga, ia tak ingin menyerah begitu saja pada keadaan. Ia tidak akan membiarkan sepuluh tahunnya merindukan Kalila berakhir sia-sia. Ia akan berusaha mendapatkan gadis itu kembali.
"Panji?!"
Seruan Brian juga mengejutkan Panji yang kini berhadapan dengannya. Kedua lelaki itu saling tatap dengan sorot mata yang berbeda. Panji lalu melirik ke arah Kalila, meminta penjelasan. Namun, Kalila justru menariknya pergi tanpa mau mengatakan apa pun.
"Selamat malam, Brian. Terimakasih sudah berkunjung ke Canetis. Dan, hati-hati di jalan," ujar Kalila seraya meninggalkan Brian yang mematung di tempat.
Tangan Brian mengepal seraya memandang kepergian dua orang tersebut. Segumpal rasa tak rela bercampur amarah memberontak ingin keluar dari hatinya. Namun, ia memilih untuk diam. Membiarkan Kalila dan Panji meninggalkannya sendirian di sana. Juga membiarkan beragam tanya menguasai benaknya.
Tentang Panji. Tentang Kalila. Dan, tentang nasib perasaannya yang kini tengah dipenuhi kabut kekecewaan.
***
Kalila berbaring di atas ranjang kamarnya sembari memandangi layar ponsel. Sudah dua kali ia menelepon Alicia untuk meminta maaf karena tak sempat berpamitan pulang. Namun, gadis ceria itu tak menerima panggilannya sama sekali. Pesan-pesannya pun tak mendapatkan balasan.
Memilih untuk tetap menunggu, Kalila lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Kemudian, tanpa bisa dicegah ingatannya tertuju pada Brian.
Kalila tersenyum. Dalam hati, ia merasa bahagia karena akhirnya bisa bertemu Brian lagi. Lelaki itu pun tak banyak berubah. Senyumnya masih memiliki efek yang sama pada debar jantung Kalila. Sesuatu yang harusnya sudah tak lagi terjadi setelah sepuluh tahun berlalu.
Kalila juga teringat protes Panji atas pernyataannya pada Brian tadi. Sahabatnya itu berkali-kali mengingatkan jika ia tidak mau terlibat kebohongan apa pun.
Emangnya kamu nggak mau kalau kita beneran tunangan dan akan menikah, Nji?
Pertanyaan Kalila sukses membuat Panji terdiam. Lelaki bertubuh tinggi besar itu lalu bergegas berpamitan pulang tanpa memberikan jawaban apa pun. Menyisakan Kalila yang menyesali tindakan gegabahnya karena lagi-lagi melibatkan Panji.
Brian tak mungkin bisa bersama Kalila. Ia sudah memantapkan kalimat itu berulangkali agar tak pernah lupa. Ia yakin rasa cinta Brian saat ini pun akan menghilang dalam sekejap begitu lelaki itu tahu rahasia yang tersimpan di antara keluarga mereka. Kalila tengah berupaya menyiapkan diri untuk hal itu. Dan, membuat Brian lebih dulu membencinya sebelum rahasia keluarga mereka terkuak menurutnya adalah cara terbaik.
Lamunan Kalila terputus oleh suara pesan masuk di ponselnya. Ia bergegas meraih benda tersebut dan tersenyum lega sewaktu melihat pengirim pesan itu adalah Alicia. Namun, senyum Kalila memudar sewaktu membaca isi pesan tersebut.
Jangan hubungin aku lagi, Kal. Berbahagia aja sama Bang Panji sana.
***
Buat para pembaca yang masih ngikutin cerita ini, boleh dong minta opini kalian tentang cinta dalam diam 😁
***
Salam Baca 😉
Suki
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top