Lima Belas : Keinginan Takdir

KAU berkehendak, tetapi ku tak layak

Kau menginginkan, tetapi ku tertahan

***

Sebuah motor berhenti di depan halaman rumah Kalila pagi ini. Si pengendara lalu turun dan melepas helm. Membuat Kalila yang sedang menata kue dagangannya di etalase pun tersenyum ketika mengetahui siapa gerangan yang datang.

"Assalamualaikum," sapa pengendara motor tersebut, yang tak lain adalah Panji. Lelaki yang kini mengenakan kaus abu-abu dilapisi bomber jaket warna hitam itu tersenyum lebar seraya melangkah menuju teras rumah Kalila.

"Wa'alaikumsalam, Nji," balas Kalila. Diambilnya sebuah piring kecil lalu ia isi dengan beberapa potong lumpia dan kue lumpur. Kemudian disodorkannya benda itu pada Panji. "Kalau kamu udah sarapan, ini buat pencuci mulutnya."

"Makasih, Kal. Tahu aja aku nggak cukup kalau cuma sarapan doang." Panji mencomot sepotong lumpia dengan penuh semangat, sementara Kalila melanjutkan menata kue-kue tersebut. "Pakde ke mana, Kal?" tanyanya seraya mencari keberadaan Burhan.

Untuk menghidupi dirinya dan sang ayah, Kalila memang berjualan kue di depan rumahnya saat pagi hari. Mewarisi keahlian yang ia dapatkan dari Halimah, Kalila juga menerima pesanan untuk kue-kue tersebut. Dengan begitu, Kalila tetap bisa menghasilkan uang sembari merawat ayahnya yang tak bisa lagi bepergian tanpa kursi roda.

"Ada di dalam, tuh. Baru minum obat," jawab Kalila.

"Lagi istirahat, ya? Kalau gitu, aku nggak nyamperin, deh. Takut ganggu," ujar Panji dengan mulut penuh kunyahan lumpia. Sembari menghabiskan potongan terakhir lumpia di tangannya, Panji memerhatikan gadis berjilbab biru muda itu serius. "Malam ini kamu siaran lagi?"

Sudah hampir dua tahun ini Kalila bekerja di Canetis, sebuah stasiun radio di daerah Matraman. Seorang pelanggan kuenya yang menawarkan pekerjaan sebagai penyiar radio pada Kalila. Dulu, ia sempat ragu untuk mengambil kesempatan itu, tetapi Burhan justru mendukungnya. Ayah Kalila itu tahu jika putrinya suka dengan radio dan sempat berkeinginan bekerja di sana. Karena itulah, Burhan dengan mudah memberi izin. Jadilah, Kalila berjualan kue di pagi hari dan menjadi penyiar radio di malam hari.

Kalila mengangguk, lalu balik bertanya, "Kenapa?"

Ada jeda sejenak sebelum Panji menjawab. "Kamu beneran nggak apa-apa? Soal Brian?"

Embusan napas panjang terdengar dari Kalila. Dia menatap lawan bicaranya balik, lalu membalas dengan ucapan yang terdengar sedikit dipaksakan.

"Aku baik-baik aja. Kemarin itu cuma kebetulan. Dia nggak mungkin nelpon ke radio lagi. Jadi, ya, udah. Nggak ada lagi tentang Brian. Kaya dia bakal gimana aja kalau tahu Nastiti itu aku."

Kalimat yang cenderung panjang dan tawa yang terkesan miris bisa Panji tangkap jelas dari Kalila. Gadis itu sedang berusaha meyakinkan dirinya sendiri untuk tak terpengaruh oleh kemunculan Brian lagi.

Tiga tahun lalu, Kalila tak sengaja bertemu Panji di sebuah bank swasta tempat lelaki itu bekerja sebagai petugas keamanan. Mereka melepas rindu, tentu saja. Bersahabat sejak kecil tak lantas membuat Panji mendendam akan kepergian Kalila yang tanpa pamit. Kecewa itu ada, tetapi Panji lebih memilih untuk menanyakan kabar sahabatnya itu. Tak lupa ia sampaikan fakta paling penting mengenai Brian jika pemuda itu hampir gila karena kehilangan Kalila.

Kala itu, Kalila hanya terdiam. Tak memberi jawaban. Ia justru menceritakan pertemuannya dengan Burhan, ayah kandungnya. Lalu, ketika Panji kembali membahas tentang Brian, Kalila memutuskan pembicaraan mereka dengan sebuah kalimat yang hingga kini menjadi misteri untuk Panji.

Brian dan Kalila tidak bisa bersama.

Jika alasan dari ucapan Kalila tersebut adalah perbedaan status mereka, Panji bisa memastikan kalau Brian tidak peduli dengan hal itu. Lagipula, kenapa pula itu bisa menjadi masalah jika Kalila sendiri bahkan tidak pernah mengungkapkan perasaannya pada Brian? Panji tak pernah tahu karena Kalila tak lagi mengungkit hal tersebut. Justru menyimpannya rapat-rapat.

"Dia bakal bahagia banget, Kal," jawab Panji. Ia menatap Kalila lagi dengan serius. Mencari tahu reaksi gadis tersebut setelah mendengar jawabannya.

"Omong kosong," tawa Kalila berderai, "sudah sepuluh tahun, Nji. Lagipula, nggak ada apa-apa di antara kami dulu. Kalaupun kami bertemu lagi, itu cuma kebetulan."

"Itu takdir, Kal," sela Panji. "Kalau pun bukan untuk menyatukan kalian, mungkin untuk menyelesaikan masalah di antara kalian."

Kalila terdiam. Tangannya sibuk menata kue yang sejatinya sudah rapi. Namun, tatapan kosong gadis itu menyiratkan kegamangan yang melanda hatinya.

Jauh di dalam hatinya, Kalila juga belum bisa menghapus ingatan akan Brian. Panji sangat yakin akan hal itu. Namun, gadis itu terlalu keras kepala untuk mengakuinya dan justru berbohong.

Setelah menghabiskan sepotong lumpia, Panji meraih kain lap di atas meja. Membersihkan tangannya dari minyak yang menempel. Lalu, ia menunjuk beberapa kue di etalase Kalila.

"Ya udah, sih. Pagi-pagi gini terlalu berat kalau ngomongin takdir. Itu aja kamu bungkusan masing-masing dua. Buat jenguk temenku yang lagi sakit," perintah Panji.

Tanpa banyak kata, Kalila melakukan permintaan sahabatnya itu. Panji lalu menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan sebagai pembayarannya.

Selang beberapa detik, Kalila lalu berujar, "Kamu benar, Nji. Tapi, takdir udah mengakhiri hubungan apa pun antara aku dan Brian sejak dulu. Tidak ada yang berlanjut."

"Apa pun nama hubungan kalian, bagaimana kalau takdir justru ingin itu berlanjut?"

Panji mengatakan hal itu seraya tersenyum, lalu berjalan menuju motornya. Setelah berpamitan, ia memakai helm dan melajukan motornya pergi. Meninggalkan Kalila yang terdiam tanpa bisa menyerukan sebuah jawaban.

***

Kantor berubah jadi sauna gara-gara napas api om kamu, Bri.

Brian baru saja selesai shalat Ashar ketika sebuah pesan chat masuk di ponselnya. Dari Imran. Lelaki berkacamata itu memang sedikit berlebihan. Seharian ini hampir tiap jam dia mengirim pesan. Mengabarkan situasi di kantor semenjak insiden kaburnya Brian di pesta pertunangan.

Nikmati aja. Kapan lagi bisa ngerasain sauna gratis.

Jemari Brian dengan cepat mengetikkan balasan lalu mengirimkannya sedetik kemudian. Ia tersenyum membayangkan reaksi Irman atas jawabannya. Pasti lelaki itu akan memaki-maki, sementara Geri yang bertetangga kubikel dengannya hanya akan melongok sejenak sebelum akhirnya kembali fokus pada pekerjaan.

Hari ini Brian sengaja bolos kerja. Selain karena tak ingin bertemu Dennis dan Sienna sementara waktu, rasanya konyol juga jika dia dengan tidak tahu malunya tetap muncul di kantor tanpa penjelasan apa pun. Setidaknya, ia punya akal sehat untuk tidak mempermalukan diri sendiri berkali-kali.

Sembari masih memegang ponsel, Brian berjalan menuju balkon. Memutuskan untuk menikmati pemandangan langit Jakarta di sore hari. Tak ada semburat awan, sehingga warna jingga yang samar terlihat apik ketika berpadu dengan gradasi warna biru yang mulai memudar di sebelah barat. Sekawanan burung tampak melintas. Di kejauhan, tampak pula burung besi yang terlihat seperti miniatur langit.

Brian berbalik, lalu bersandar pada pagar pembatas balkon. Membiarkan angin memeluk tubuhnya dari belakang, sementara jemarinya sibuk mengetik sesuatu di ponsel. Ia langsung menuju laman jejaring sosial facebook. Mencari komunitas SMA-nya dulu.

Mudah. Dalam hitungan detik, Brian sudah menemukan apa yang ia cari. Namun, bukan nama Kalila yang ia tuju ketika telah membuka laman tersebut, karena gadis itu pindah sebelum ujian kelulusan sehingga tak akan ada namanya di sana. Orang yang Brian cari adalah Winda.

Muncul sebuah akun dengan foto profil seorang bayi laki-laki berpipi gembul ketika Brian mengetikkan nama Winda Kurniawati. Kabar terakhir yang ia tahu, mantan teman sebangku Brian dan Kalila tersebut memang telah menikah dan memiliki seorang anak.

Winda tidak memberikan nomor yang bisa dihubungi sehingga Brian terpaksa mencari tahu tentang temannya itu dari jejaring sosial. Dan, sungguh sebuah kebetulan perempuan berpipi tembem itu juga tengah online.

Masih belum ada kabar tentang Kalila, Win?

Lewat inbox, pertanyaan yang sama yang selalu Brian lontarkan pada temannya itu. Ia tak peduli meski Winda jenuh menghadapinya. Dulu, ada Panji juga yang menjadi tempat Brian mencari informasi tentang Kalila. Namun, tiga tahun lalu Panji mendapat pekerjaan baru di kota lain dan setelah itu ikut menghilang tanpa kabar. Akun media sosialnya pun tak pernah lagi aktif.

Hanya ada satu kabar yang baru aku dapetin, Bri. Dan, semoga ini cukup membantu.

Sontak hati Brian berjingkat senang. Meski tidak tahu seberapa besar arti kabar yang akan disampaikan Winda, apa pun tentang Kalila selalu menjadi hal yang ia tunggu. Ia lalu mengetik pesan balasan dengan tidak sabar.

Kabar apa itu, Win?

Dua detik kemudian, barulah jawaban dari Winda masuk. Dengan hati berdebar-debar, Brian membaca sederet tulisan tersebut. Setelah itu, seutas senyuman terbit di bibirnya.

Kalila ada di Jakarta.

***

"Selamat malam, Mas," sapa Kalila pada Satya, produsernya, ketika baru memasuki lobi Canetis. Waktu baru menunjukkan pukul setengah delapan. Setengah jam lebih awal dari jadwal siaran Senandung Rindu.

"Malam, Ti," balas lelaki tiga puluh tahunan yang sudah menjadi seorang duda itu. Satya tengah duduk di sofa panjang berwarna merah sembari menyesap secangkir kopi. "Mau kopi?" tawarnya.

Kalila menggeleng. Semua orang di Canetis memang lebih mengenalnya sebagai Nastiti, nama belakangnya yang juga ia pakai saat siaran.

Ruang siaran masih dipakai oleh Darma, penyiar radio untuk acara sebelum Senandung Rindu. Sembari menunggu, Kalila biasanya akan duduk-duduk di sofa yang kini ditempati Satya. Mengobrol dan membicarakan bahan siaran hari ini. Sayangnya, hal tersebut jarang bisa ia lakukan karena rekannya, Alicia, adalah pemegang rekor terlambat paling banyak di Canetis.

"Siaran kemarin malam sangat menarik," ujar Satya mengawali pembicaraan begitu Kalila duduk di sofa yang sama, "terutama cerita penelepon bernama Brian. Respon beberapa pendengar setia sangat bagus sewaktu sesi curhatnya."

Kalila yang tadinya duduk dengan santai mendadak tegang. Tidak berharap untuk membicarakan masalah itu lagi. Namun, tentu saja ia tak bisa menolak. Satya bukan Panji dan lelaki itu tak pernah tahu jika gadis yang diakui Brian sebagai cinta pertamanya kemarin adalah dirinya.

"Yang lain juga menarik, kok," balas Kalila yang hanya bisa merespon dengan netral. Berupaya mengalihkan pembicaraan ke hal lain. "Alicia bakal telat lagi, ya, Mas?"

Satya mengedikkan bahu. Seolah tak peduli dengan tingkah salah satu penyiarnya. Lelaki itu justru kembali menyesap kopinya sembari menatap lurus pada Kalila.

"Omong-omong, namamu juga Kalila, kan, Ti?" tanyanya yang membuat Kalila terkesiap, tetapi hanya bisa mengangguk mengiakan. "Mungkin, nggak, kalau Kalila yang dimaksud itu kamu?"

Bukan mungkin lagi, tetapi itu memang aku, batin Kalila. Namun, ia hanya menunjukkan seutas senyum tipis pada Satya. Tak berani menanggapi lebih jauh.

"Cuma berandai-andai aja, sih. Soalnya nama Kalila itu termasuk nama yang nggak umum digunakan," Satya masih berbicara, "Dan, bisa jadi itu alasan kamu lebih suka memakai nama belakang sebagai nama panggilan, kan?"

Duda keren yang satu itu memang suka sekali berspekulasi. Semua penghuni Canetis sudah hafal soal itu. Celakanya, kali ini Satya benar tentang Kalila. Meski tak tahu alasan ketertarikan Satya membahas hal tersebut, Kalila hanya bisa berharap produsernya itu segera beralih membicarakan hal lain.

"Bisa jadi," jawab Kalila cepat, lalu sengaja menyambungnya dengan bahasan lain. "Oh, ya, bagaimana dengan acara baru yang Mas Satya sempat tawarin ke aku tempo hari?"

Satya masih menatap Kalila, membuat gadis berjilbab di hadapannya itu merasa rikuh. Melihat hal tersebut, ia pun tersenyum. Lalu menghabiskan isi cangkirnya yang tersisa dalam sekali teguk.

"Masih kupertimbangkan. Mungkin akan aku coba double headed*) dengan Darma sekali-kali untuk melihat hasilnya."

"Ide bagus, Mas," balas Kalila antusias, lebih karena ingin produsernya itu tak lagi membahas Brian.

Satya lalu bangkit karena cangkir kopinya telah kosong. Menimbulkan kelegaan tersendiri pada Kalila yang seolah baru saja terbebas dari sebuah interogasi. Namun, baru satu tarikan napas, Satya berhenti dan berbalik. Lelaki itu lalu mengucapkan sebuah kalimat yang membuat Kalila tertegun dan tak mampu berkata-kata.

"Oh, ya, Ti. Aku penasaran sama ceritanya. Kayanya ngundang Brian ke sini ide yang bagus."

***
*) Siaran duet

~~~
Buat writerlatte makasih udah bikin FF dengan judul yang menginspirasiku menamai stasiun radio di cerita ini. Canetis, yang dalam bahasa latin berarti suara.

***
Salam Baca 😉
Suki

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top