Chapter 8 - Sedikit Lagi

Tiba-tiba saja Sena mendapat panggilan dari guru kelas Pelangi yang mengabarkan bahwa gadis itu bertengkar dengan teman sekelasnya. Masalahnya karena Tabitha, teman sekelas Pelangi mematahkan pensil warnanya. Pelangi marah karena Tabitha tidak mau minta maaf padanya. Membuat gadis kecil itu bertindak impulsif dengan mencubit lengan Tabitha. Tindakan Pelangi tentunya mendapat balasan dari Tabitha. Jadilah kedua gadis kecil itu bertengkar dan menangis bersamaan di kelas. Menyebabkan keadaan kelas menjadi tidak kondusif. Keduanya pun lantas di bawa ke ruangan kepala sekolah untuk ditenangkan.

Sena yang langsung mendapat kabar segera bergegas memacu motornya menuju sekolah Pelangi. Saat tiba, tidak hanya ada ibu guru, kepala sekolah juga kedua anak yang terlibat. Namun kedua orang tua Tabitha pun sudah hadir di sana. Sena menyapa semua orang yang ada di ruangan kemudian memusatkan pandangannya pada dua anak kecil yang tertunduk diam di tengah ruangan.

"Silakan duduk, Ibu Sena."

Mendengar nama Sena disebutkan, Pelangi akhirnya menaikkan wajahnya. Pandangannya terfokus pada Sena. Mata bulatnya yang tampak sembab karena jejak basah air mata menjadi pemandangan pertama yang Sena dapatkan. Melihat ibunya ada di sana, seakan Pelangi mendapatkan kekuatannya. Gadis kecil itu seketika menegakkan tubuhnya.

"Baik, karena kedua orang tua dari Ananda Pelangi dan Tabitha sudah hadir, saya akan jelaskan lagi duduk perkara yang terjadi. Menurut Ibu Naila, Tabitha mematahkan pensil warna Pelangi. Pelangi tidak marah karena pensil warnanya patah, tapi Ananda Pelangi menjadi impulsif karena Ananda Tabitha tidak mengucapkan kata maaf padanya. Karena itu Pelangi mulai menyerang Tabitha dengan mencubit lengannya. Ananda Tabitha yang kesakitan akhirnya ikut marah dan membalas dengan menarik rambut Pelangi. Keduanya mulai hampir saling memukul satu sama lain namun beruntung segera dilerai oleh dua Ibu guru yang bertugas."

Kedua orang tua Tabitha dan Sena hanya bisa menggeleng kecil mendengar penjelasan kepala sekolah. Kedua ibu menatap putri mereka satu sama lain.

"Pelangi yang nakal," Tabitha bersuara lebih dulu. Suaranya terdengar parau karena gadis kecil itu menahan tangis.

"Tabitha yang nakal. Dia patahkan pensil Pelangi tapi tidak minta maaf. Tidak baik kan, Mama?" tanya Pelangi mencari pembelaan pada ibunya.

"Sini."

Sena membuka kedua tangannya. Tanpa ragu, Pelangi langsung menghambur ke pelukan ibunya. Tangisan yang tadi sudah berhasil ditahannya akhirnya kembali pecah. Anak itu terisak dalam pelukan Sena.

Melihat Pelangi yang sudah berada dalam pelukan ibunya, Tabitha pun segera menghampiri ibunya. Sama seperti Pelangi, gadis kecil itu pun kembali menumpahkan tangisnya.
Suara tangisan kedua anak kecil yang saling bersahutan menghiasi ruangan kepala sekolah. Para orang dewasa yang ada di sana pun hanya bisa menggeleng maklum akan tingkah anak-anak ini.
Setelah membiarkan Pelangi menangis beberapa saat, Sena perlahan membelai puncak kepala putrinya.

"Sudah selesai menangisnya?" bisik Sena yang dijawab dengan anggukan Pelangi. "sekarang Mama mau bicara dengan Pelangi sudah boleh, kan?"

"Sudah."

Sena mengusap wajah sembab Pelangi dengan sapu tangan yang selalu ia bawa. Setelah yakin jika Pelangi siap diajak berbicara, Sena pun mulai menasehati putrinya.

"Pelangi, mencubit, memukul, marah-marah, itu baik atau tidak?"

Pelangi menggeleng. "Tidak baik."

"Lalu, kenapa Pelangi mencubit dan marah sama Tabitha?"

"Tabitha patahin pensil warna Pelangi."

"Mungkin Tabitha nggak sengaja, sayang."

"Tapi ... Tabitha nggak minta maaf."

Sekali lagi Sena mengusap lembut wajah Pelangi.

"Tabitha memang salah karena nggak minta maaf setelah mematahkan pensil warna Pelangi. Tapi Pelangi juga salah karena mencubit Tabitha. Dua-duanya sama-sama salah. Dua-duanya juga sama-sama tidak baik."

"Tapi ..."

Sena meletakkan telunjuk ke bibirnya, pertanda Pelangi tidak diizinkan bicara.

"Mama belum selesai bicara, loh."

"Maaf, Mama."

"Pelangi boleh marah karena sikap Tabitha. Tapi tidak boleh langsung berbuat kasar dengan mencubit atau memukul temannya yang salah. Pelangi bisa bicara dulu dengan Tabitha. Kasih tahu Tabitha kalau setelah mematahkan pensil orang lain harusnya minta maaf. Kalau Tabitha nggak mau dengar, Pelangi bisa lapor ke Ibu guru biar Ibu guru yang menasehati Tabitha. Kalau Pelangi langsung marah dan mencubit Tabitha, Tabitha juga pasti ikut marah. Kalau sudah begitu, dua-duanya nggak jadi anak baik, kan?"

Pelangi memandang Sena dengan tatapan mata penuh penyesalan. Anak itu seperti menyadari kesalahannya. Tak hanya Pelangi, Tabitha mendapat nasihat yang yang sama dari orang tuanya. Tentu saja peran aktif orang tua dalam mendidik anak-anaknya mendapat apresiasi dari kepala sekolah dan guru yang ada di ruangan tersebut.

"Sudah tahu kan kesalahan Pelangi di mana?" Sena kembali bertanya. Pelangi mengangguk sebagai jawaban. "kalau begitu, sekarang harus apa?"

"Minta maaf sama Tabitha."

"Anak pintar," puji Sena pada putrinya.

Pelangi pun mendekati Tabitha dan orang tuanya. Tak berbeda dengan Pelangi, Tabitha juga berdiri mendatangi Pelangi. Kedua gadis kecil itu berdiri berhadapan.

"Pelangi, maafin Tabitha karena sudah patahin pensil warnanya," ucap Tabitha dengan nada menyesal.

"Pelangi juga minta maaf karena sudah cubit, Tabitha."

Melihat dua gadis kecil itu saling bersalaman dan saling memaafkan, kedua orang tua dan gurunya merasa lega. Hal sekecil apapun harus diselesaikan dengan baik. Para orang tua sudah memberi contoh baik untuk anak-anaknya dalam menyelesaikan masalah. Bukan saling menyalahkan, namun memberi penjelasan akan hal yang salah dan benar dalam bersikap.

"Sudah saling minta maaf, kan? Siap kembali ke kelas?" tanya guru kelas Pelangi dan Tabitha setelah kedua anak didiknya menyelesaikan masalah.

"Siap, Ibu Naila."

"Sekarang pamitan sama Mama dan Papanya masing-masing, yuk."

Kedua anak tersebut kembali mendekati orang tua masing-masing. Berpamitan untuk kembali ke kelas. Sebelum melepas Pelangi, sekali lagi Sena memberikan nasihat pada sang anak untuk tidak lagi bertindak impulsif. Untuk lebih berhati-hati saat sedang marah atau kesal di dalam kelas. Tabitha pun mendapat pesan yang sama dari orang tuanya. Agar lebih berhati-hati saat di dalam kelas agar tidak merusak benda milik temannya. Setelahnya, kedua anak tersebut kembali ke kelas bersama gurunya.

"Terima kasih untuk Ibu dan Bapak yang bersedia meluangkan waktu dan menyelesaikan masalah anak-anak kita. Saya senang sekali dengan peran aktif orang tua dalam mendidik anak-anak kita. Semoga ke depannya mereka makin lebih baik lagi dalam perkembangan baik dalam belajar dan bersikap." Ibu kepala sekolah mengungkapkan rasa senangnya.

"Sama-sama, Bu. Terima kasih juga karena sudah tanggap untuk segera menghubungi kami, selaku orang tua saat anak-anak sedang mengalami masalah," jawab Papa Tabitha mewakili orang tua.

Sena dan orang tua Tabitha pun berpamitan pada kepala sekolah setelah keduanya bersama-sama mengucapkan permintaan maaf atas perbuatan anak masing-masing. Sena memilih untuk menunggu Pelangi hingga jam sekolah usai. Sedang orang tua Tabitha harus kembali pada pekerjaan masing-masing.

Selama menunggu, ia memilih untuk membaca beberapa buku yang disediakan pihak sekolah. Banyak buku parenting yang memberi Sena banyak informasi dalam mendidik anak. Sena sadar dirinya bukan pribadi sempurna. Masih banyak kekurangan yang ia miliki. Tapi meski begitu ia ingin menjadi orang tua yang baik dalam mendidik Pelangi. Memahami sang anak dengan pendekatan terbaik. Agar Pelangi menjadi pribadi yang kuat dan terbuka padanya. Agar apa yang menimpa dirinya, tak akan berulang pada putrinya.

...

Sudah lama Sena tak berinteraksi dengan keluarga besar. Meski sebagian mereka menganggap hubungan keluarga sudah terputus. Tapi diantara kerabat tersebut masih ada yang menjalin hubungan dengan Sena dan keluarganya. Terutama kerabat dari pihak ibunya. Seberapa besar pun kesalahan yang Sena perbuat, bagi mereka itu hanya masa lalu. Apa yang sudah terjadi tak akan pernah bisa dikembalikan seperti semula. Karena itu mereka berusaha menerima Sena sebagaimana dirinya saat ini.

Salah satunya yang masih berhubungan baik dengan Sena diantaranya sang sepupu dari pihak ibunya. Rika yang akan melangsungkan pernikahannya, menginginkan Sena dan keluarganya untuk hadir di hari bahagia tersebut. Tentu saja Sena merasa senang untuk sang sepupu. Namun untuk bertemu muka dengan banyak orang terutama kerabat, Sena masih memiliki kegelisahannya tersendiri.

"Sen, Rika minta kamu hadir di pernikahannya."

Sena yang sedang memotong buah, seketika menghentikan kegiatannya.

"Bu ..."

"Hei, sudah saatnya kamu menghadapi semua. Kamu nggak akan bisa terus bersembunyi." Sekala yang baru memasuki dapur ikut bicara seraya mengusap pelan kepala sang adik.

"Ikut, ya. Pelangi juga pasti ingin sekali mengenal kerabatnya yang lain," bujuk ibunya. "jangan pedulikan omongan orang-orang nanti. Yang penting kamu jaga Pelangi agar dia bisa menikmati pesta tanpa terganggu apapun."

"Kamu ingin Pelangi jadi anak yang kuat, kalau begitu kamu yang harus lebih dulu menjadi lebih kuat dan berani." Sekala kembali berucap sambil berlalu dari dapur.

Ucapan Sekala seakan menjadi pengingat bagi Sena. Ia kembali sadar bahwa keinginannya mendidik Pelangi menjadi pribadi yang kuat tak akan berhasil tanpa Sena yang lebih dulu membuktikan diri.

"Mama, buahnya mana?" Pelangi yang tiba-tiba memasuki dapur mengejutkan Sena dan ibunya.

Sena meletakkan pisau yang ia pegang kemudian membersihkan tangannya. Ia mendekati Pelangi yang matanya memberikan tatapan bingung.

"Pelangi, mau pergi ke pestanya Tante Rika, tidak?"

"Pesta? Ada banyak balon, tidak?"

"Mungkin," jawab Sena ragu-ragu.

"Mau. Pelangi mau ikut ke pestanya Tante Rika."

"Oke, kita pergi."

"Yeh. Pelangi mau pakai baju biru yang baru itu boleh ya, Ma?"

"Boleh."

Pelangi melompat kegirangan karena akan memakai pakaian barunya. Melihat sang putri yang begitu girang, Sena pun membulatkan tekadnya untuk menghadapi apa yang akan terjadi nanti. Bertemu kembali dengan para kerabat adalah langkah awal yang harus Sena lakukan demi menguatkan dirinya.

Malam itu untuk pertama kalinya Sena menghadiri acara keluarga. Setiba di sana, puluhan pasang mata tak lepas menatap mereka. Terutama dirinya dan Pelangi. Namun Sena sudah menguatkan hatinya. Tak masalah akan pandangan orang lain. Dirinya akan berdiri tegak sempurna menghadapi semuanya.

Kedatangan Sena yang mengejutkan sang pengantin. Rika yang sebelumnya diberi kabar jika sepupunya tersebut tidak bersedia hadir, kini berjalan dengan tegak menghampirinya di pelaminan. Air mata menetes membasahi pipi Rika. Ia tahu bagaimana pergulatan batin Sena untuk kembali menunjukkan diri di depan umum. Terlebih hanya demi pernikahannya.

"Selamat ya, Ka. Semoga pernikahan kamu langgeng, bahagia sampai akhir hayat," ucap Sena saat menghampiri sepupunya tersebut.

"Terima kasih karena kamu juga sudah datang ke sini." Rika memeluk erat Sena. Dan semoga kamu segera dipertemukan dengan pria terbaik yang akan membahagiakan kamu dan Pelangi, doa Rika dalam hatinya.

Di tengah peluk haru Sena dan Rika, tiba-tiba saja sosok kecil menginterupsi mereka.

"Tante Rika?"

"Ya, sayang. Ada apa?" tanya Rika pada Pelangi.

"Happy wedding."

Pelangi memberikan sebuket bunga kertas yang sudah ia persiapkan. Dengan kartu ucapan dan pita yang mempermanis hadiahnya. Rika tertawa mendapatkan hadiah spesial dari keponakannya.

"Terima kasih, sayang. Semoga Tante Rika segera diberi anak supaya Pelangi punya teman main, ya." Rika menerima buket pemberian Pelangi kemudian menghadiahi ciuman di pipi gadis kecil itu.

Kedua orang tua Rika dan suaminya tampak senang melihat sang pengantin wanita yang akhirnya bisa tertawa lepas. Mereka mengetahui bagaimana permasalahan yang menimpa Sena. Mereka juga tahu betapa inginnya Rika melihat sang sepupu yang sudah lama mengasingkan diri hadir di pernikahannya. Tentunya kedatangan Sena juga menjadi kebahagiaan tersendiri bagi Rika.

"Selamat menikmati pesta dan hidangannya. Jangan pikirkan tatapan atau ucapan orang lain. Pokoknya kamu harus menikmati kebahagiaan di hari bahagiaku," pinta Rika sekali lagi.

"Pasti."

Seperti yang diinginkan Rika, Sena dan Pelangi benar-benar menikmati hidangan yang ada di pesta. Terlebih Pelangi yang hari ini diberikan kebebasan untuk memakan berbagai kue dan makanan ringan. Tak dipedulikan bisikan dan tatapan yang mengarah pada mereka.

Di tengah suasana, salah satu kerabat Sena menghampiri. Meski tujuannya adalah bertukar kabar dan sedikit berbasa-basi. Namun Sena tahu dari tatapan sang kerabat bahwa mereka sedang menilai Sena.

"Anak kamu sudah sebesar ini ya, Sen?" ungkap salah satu kerabatnya.

"Alhamdulillah. Pelangi tumbuh sehat dan baik."

"Terus, kamu nggak kepikiran untuk mencari pasangan begitu? Biar begitu anak kamu kan butuh yang namanya figur ayah."

Sena, Sekala dan ibunya seketika kehilangan senyum yang sejak tadi mereka jaga. Pertanyaan yang memiliki dua maksud tersebut jelas mengganggu mereka. Sena berusaha untuk menjawab ketika Pelangi tiba-tiba menginterupsi.

"Mama, Pelangi mau ke toilet."

"Permisi sebentar, Sena mau antar Pelangi ke toilet dulu."

Setelah kepergian Sena dan Pelangi, Sekala dan ibunya tak lagi menampilkan senyum ramah mereka.

"Terima kasih atas perhatiannya. Tapi jangan khawatir tentang Sena dan Pelangi. Kami bisa jamin anak itu akan tumbuh dengan baik. Dengan cinta dan kasih sayang utuh dari keluarga," balas Sekala dengan tegas.

"Bukan begitu, Kal. Maksud kami kan baik."

"Iya, saya tahu semua orang pasti punya niat baik. Karena itu sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Masalah kami biar kami yang atasi."

Mendengar jawaban tegas Sekala sekali lagi, membuat para kerabatnya akhirnya memilih untuk berpamitan. Meski begitu di belakang mereka tetap saja membicarakan keluarga Sena. Akan tetapi, Sekala tidak akan ambil tindakan. Karena ia tahu tidak ada gunanya melawan tindakan mencibir yang mereka lakukan.

Sementara di toilet, Sena yang sedang menemani Pelangi tiba-tiba mendapat pertanyaan paling sulit dari putrinya.

"Mama, Pelangi punya Papa, kan?"
Sena sempat terperanjat. Namun setelah menari napas panjang untuk menenangkan diri, ia siap menjawab pertanyaan putrinya.

"Tentu. Pelangi punya Papa. Tapi ..."

"Papa di mana?" potong Pelangi yang entah mengapa hari ini tampak berbeda.

Entah gadis kecil itu mengerti apa yang dibicarakan para orang dewasa tadi. Atau memang pertanyaan itu sudah lama bercokol di benaknya. Hanya saja selalu ia simpan dan tak pernah ia tanyakan pada Sena.

"Papa Pelangi, tidak ada di sini."

"Lalu di mana?"

Membicarakan hal serius di toilet bukanlah hal yang tepat. Namun wajah Pelangi yang tampak penasaran membuat Sena tak tega untuk mengabaikannya.

"Kita keluar dulu, yuk. Kita cari tempat yang nyaman untuk bicara."

Sena membawa Pelangi ke pelataran taman hotel tempat dilangsungkannya pesta. Keberuntungan mungkin sedang berpihak pada mereka. Karena saat tiba di sana, tidak ada satu orang pun di taman hotel tersebut. Sena membawa Pelangi untuk duduk di kursi batu dengan atap menyerupai jamur. Tak lupa ia mengirimkan pesan pada Sekala bahwa dirinya dan Pelangi berada di taman untuk sementara waktu.

"Mama boleh tanya?" Pelangi mengangguk. "Kenapa tiba-tiba Pelangi tanya soal Papa?"

"Karena Pelangi penasaran?" gadis kecil itu menangkupkan telapak tangannya ke depan bibir. Membentuk gestur malu-malu. Membuat Sena seketika tersenyum kecil.

"Karena Tante yang tadi tanya soal ayah, ya?" tebak Sena. Pelangi langsung menggeleng.

"Bukan. Karena teman-teman di sekolah punya Papa. Pelangi juga pasti punya Papa, ya kan?"

Saat ini rasanya menjadi satu fase terberat yang dihadapi Sena. Lima tahun membesarkan Pelangi, Sena memang tidak pernah membicarakan tentang sosok ayah pada putrinya. Kalau pun membacakan cerita tentang keluarga, Sena hanya menjelaskan seperlunya tentang isi cerita. Tanpa pernah mengaitkannya dengan kehidupan mereka. Pelangi yang tak pernah bertanya apapun tentang ayah membuat Sena merasa bahwa semua masih dalam kendalinya. Kalau pun anak itu ingin tahu tentang ayahnya, Sena memprediksi bahwa Pelangi akan bertanya paling tidak ketika dirinya sudah memasuki usia sekolah dasar.

"Teman-teman pernah tanya di mana Papa Pelangi?" tanya Sena ingin tahu.

"Tidak."

"Lalu, kenapa tiba-tiba ingin tahu di mana Papa?"

"Tidak boleh, ya?"

"Boleh dong. Tapi, tidak sekarang ya? Pelangi bisa tunggu sebentar lagi?"

Pelangi menatap Sena dengan wajah serius. Namun kemudian gadis kecil itu mengangguk. "Iya."

"Terima kasih, sayang."

Sena memeluk tubuh putrinya. Ada rasa bersalah di hatinya. Sena tahu putrinya sangat ingin mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Namun jujur saja, saat ini Sena belum ingin memberikan jawaban tersebut. Ia masih butuh waktu yang tepat. Waktu terbaik ketika putrinya bisa diajak menerima kenyataan sepahit apapun yang terjadi dalam hidup. Sebentar lagi, berikan Sena waktu sedikit lagi. Sampai saat itu tiba, ia akan memastikan putri kecilnya mengerti apa yang terjadi dalam hidup mereka.

...

Note : halo-halo, akhirnya bisa update juga. Ditunggu saran jika ada yang dirasa janggal dari part ini, ya. Oh iya, kalau ada yang merasa dialognya Pelangi agak 'gimana' gitu, harap diterima ya . Referensiku akan sosok Pelangi itu adalah si kutil Aifa dan Kiera yang sejak kecil memang gaya bicaranya ya mirip-mirip Pelangi gini. Anca, Aifa dan Azka punya gaya bicara yang semiformal. Jadi dari mereka lah aku ambil gaya bicaranya Pelangi. Aifa dan Kiera kalau bicara selalu menyebutkan namanya. Anca, kadang-kadang nyebut nama kadang pakai 'saya' dan Azka, selalu dengan kata formal 'saya' yang gak pernah ketinggalan kalau ngobrol. Mungkin agak terasa asing ya. Tapi pasti teman-teman juga ada yang terbiasa berbincang dengan anak-anak begini ya, kan. Jadi ... semoga paham dan nggak berpikir kalau dialog mereka ini 'agak aneh' hahaha. Maaf kalau infonya gak penting ya. Pokoknya, selamat membaca.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.

Restricted area, 20/06/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top