Chapter 7 - Takut
Aditya tak sepenuhnya melupakan sosok Sena dalam hidupnya. Bagaimana pun selama beberapa waktu di masa lalu, keduanya begitu dekat. Menjalin hubungan tak hanya sebatas pekerjaan tapi juga lebih dari itu. Sena bahkan rela memberikan tubuhnya pada Aditya. Meski ia tahu pria itu tak akan memberikan balasan apapun untuk menjamin masa depannya.
Karena ketika ia bertemu muka kembali dengan perempuan itu, kisah yang lalu kembali mengusik benaknya. Perempuan itu tak banyak berubah dalam hal fisik di mata Aditya. Namun aura yang dimiliki Sena begitu berbeda dengan enam tahun lalu. Kearoganan masa muda tak lagi tampak di wajahnya. Aditya justru melihat kelembutan dan kedewasaan terpatri di wajah cantiknya.
Namun satu yang membuat Aditya bertanya-tanya adalah panggilan 'mama' yang terdengar tiba-tiba. Walau ia tak bisa melihat jelas siapa anak kecil yang ada direngkuhan Sena. Akan tetapi Aditya yakin jika anak itu adalah putri Sena. Atau mungkinkah, anak itu adalah darah dagingnya yang pernah Sena sampaikan padanya?
Di tengah lamunannya, sang istri menghampiri Aditya. Parinetta, wanita yang dijodohkan dengannya. Yang telah menemani Aditya selama hampir tujuh tahun lamanya. Parinetta adalah perempuan baik yang meski terlahir dari keluarga terpandang namun tak pernah memandang rendah orang lain. Wanita itupun tak pernah menuntut hal berlebihan pada Aditya. Ia tak seperti wanita terpandang lainnya yang hobi memamerkan kekayaan. Selama menjalani rumah tangga, wanita itu berperan sebagai istri yang baik dan bisa diandalkan.
Hanya satu yang masih menjadi satu kekurangan dalam pernikahan mereka. Adanya kehadiran seorang anak pelengkap keluarga. Aditya tak mempermasalahkan hal tersebut. Hanya saja kedua keluarga besar mereka kerap kali mempertanyakan hal tersebut. Membuat Aditya dan istrinya melakukan segala cara untuk secepatnya mendapatkan momongan.
"Mas, lagi mikirin apa sih? Oh ya, tadi Mama telepon, nanyain kapan kita berkunjung ke rumah." Netta, sapaan akrabnya, meletakkan secangkir teh di hadapan Aditya.
"Lagi mikirin kerjaan kantor." Aditya menyeruput teh yang dihidangkan istrinya kemudian meletakkan sisanya di meja. "Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa cari alasan untuk nggak berkunjung."
Netta menatap Aditya sendu. Sejujurnya ia cukup tertekan dengan berbagai pertanyaan keluarga besar mereka perihal kehamilan. Bukan keinginannya jika hingga saat ini mereka belum dikaruniai keturunan. Bahkan Aditya dan Netta sudah mengusahakan segala cara. Namun mereka tak bisa melawan kehendak Yang Kuasa jika memang mereka belum diberi kepercayaan.
"Mas, kalau sampai aku belum juga hamil ..."
Aditya menarik pergelangan Netta hingga sang istri duduk di sisinya. Ia menikahi Netta memang sepenuhnya atas kehendak keluarga. Namun begitu ia juga menyayangi perempuan itu. Baginya Netta adalah istri yang baik terlepas dari tujuan awal pernikahan mereka.
"Jangan berpikir yang macam-macam. Mau kamu bisa hamil atau tidak, pilihan menikah lagi itu, bukan pilihan. Kita akan usahakan semampu kita," ucap Aditya berusaha menenangkan Netta.
"Makasih, Mas. Tapi, kalau nantinya kita nggak punya anak, Mas bersedia nggak kalau kita adopsi anak?"
Aditya sempat memikirkan pilihan tersebut. Namun ia belum yakin karena bagaimanapun akan sulit bagi keluarga besar mereka menerima anak yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka. Anak, memikirkannya kata itu kembali Aditya dibuat mengingat sosok Sena.
"Itu pilihan terakhir yang akan kita ambil. Untuk saat ini, kita akan usahakan lebih lagi. Kalau perlu kita akan cari pengobatan terbaik ke luar negeri."
Netta menyandarkan kepalanya pada bahu Aditya. Ia bersyukur memiliki suami penyayang dan pengertian seperti Aditya. Meski banyak tekanan yang diberikan keluarga perihal belum adanya anak dalam pernikahan mereka. Namun selama ini Aditya tak pernah memberikan tekanan yang sama. Pria itu selalu ada di sisinya. Menguatkan Netta bahwa mereka akan baik-baik saja meski belum diberi keturunan.
Netta pun selalu berusaha untuk terlihat tegar di depan semua orang. Meski tak bisa ia pungkiri dirinya pun sangat menginginkan kehadiran seorang anak dalam hidup mereka. Buah hati yang akan mengukuhkan menguatkan ikatan pernikahan mereka.
Bukannya Netta tak mengetahui jika awal pernikahan mereka didasari alasan bisnis. Aditya yang tak dapat menolak keinginan keluarga saat harus dijodohkan dengan Netta. Ia yang menyukai Aditya sejak pertama kali bertemu dengan pria itu, tentu saja tak akan melewatkan kesempatan bisa bersanding dengan pria impiannya.
Beruntung bagi Netta karena Aditya memperlakukannya dengan baik. Pria itu menghormatinya sebagai istri. Memberikan kasih sayang juga nafkah lahir batin sebagai seorang suami. Tidak ada drama klise pernikahan perjodohan seperti yang ada dalam cerita roman. Mereka menjalani rumah tangga secara normal dan harmonis. Walau taka da cinta berlebih yang ditunjukkan Aditya padanya. Namun begitu saja sudah membuat Netta bahagia menjalani biduk rumah tangga.
Netta tak ingin serakah. Karena ia tahu jika manusia dikuasai keserakahan, bukan kebahagiaan yang akan didapatkan. Karena itu, Netta merasa cukup dengan hubungan mereka saat ini. Mungkin hanya satu yang masih menjadi kekurangan mereka, apalagi jika bukan perihal anak. Untuk itu, Netta akan berusaha semampunya agar ia dan Aditya segera diberikan kepercayaan tersebut.
...
Bertemu kembali dengan Aditya tidak memberikan ketenangan pada Sena. Wanita itu justru makin dilanda pemikiran yang membawanya pada ketakutan. Ketakutan akan kehilangan Pelangi.
Sena tahu Aditya belum menyadari sepenuhnya akan kehadiran Pelangi. Tapi tidak menutup kemungkinan suatu saat pria itu akan tahu. Dan pemikiran bahwa Aditya bisa saja memisahkan dirinya dan Pelangi menjadikan Sena semakin takut. Pikirannya terus dihantui dengan kemungkinan tersebut.
Bukan hanya Sekala yang menyadari perubahan sikap Sena. Ibunya yang tak mengerti apapun juga melihat ada yang berbeda dengan Sena belakangan waktu ini. Namun tiap kali sang ibu bertanya apa yang mengganggunya, Sena selalu mengelak menjawab.
"Mama, PR Pelangi sudah selesai. Boleh Mama periksa?"
Tak ada jawaban dari Sena yang pikirannya lagi-lagi berkelana. Sekali lagi Pelangi berusaha menarik perhatian sang ibu. Namun seolah Sena sedang tak berada di sana. Pelangi akhirnya hanya menatap sang ibu yang sedang melamun. Sampai suara Sekala memanggilnya berhasil mengembalikan kesadaran Sena.
"Ada apa, Mas?" tanyanya.
"Pelangi daritadi panggil kamu untuk periksa PR-nya. Tapi kamu nggak merespon."
Sena seakan tersadar. Ia melirik secepatnya pada Pelangi yang masih memandangi dirinya. Mata jernih gadis kecil itu tampak bertanya-tanya.
"Maafin Mama, ya. Mama sedang melamun tadi. Mama periksa PR Pelangi, ya?"
Pelangi tampak tersenyum karena mengira sang ibu sudah sudah kembali. Satu senyuman yang sedikit banyak mampu mengendurkan kecemasan Sena. Setelah memeriksa PR Pelangi, Sena mengembalikan hasil kerja sang anak.
"PR-nya benar, Mama?" tanya Pelangi kemudian.
"Benar dong. Anak Mama kan, pandai."
"Sekarang boleh nonton TV?"
"Boleh. Dua jam, ya."
"Tiga jam, boleh?" Pelangi menunjukkan tiga jarinya seraya memasang ekspresi memohon penuh harap.
Setiap kali Pelangi memasang wajah seperti itu, Sena rasanya tak tega untuk menolak. Namun ia ingin putrinya bersikap disiplin sejak dini. Karena itu ia menguatkan hati untuk menolak permintaan putrinya.
"Tidak boleh, ya?"
"Ingat aturan yang sudah kita sepakati?"
"Boleh menonton lebih lama kalau hari libur."
"Anak pintar. Kalau gitu hari ini cuma boleh dua jam seperti biasa, ya."
Pelangi menyerah. Ia mengangguk perlahan sambil merapikan peralatan belajarnya. Setelah mengembalikan tas sekolah ke meja belajarnya, Pelangi menuju ruang tv. Gadis kecil itu membuka tayangan kartun anak yang biasa ia saksikan.
Suara televisi menggema hingga ke ruang di mana Sena tadi mengajari Pelangi. Menyadari putrinya sudah terlarut dalam tayangan tv, pikiran Sena kembali berkelana.
"Sen, Kalau kamu butuh cerita, Mas siap mendengarkan."
Sena tersentak dari lamunannya.
"Mas Kal? Kok sudah pulang?" tanya yang cukup terlambat Sena lontarkan.
"Tadi ada ketemu klien di luar. Karena nggak ada pekerjaan yang perlu Mas lakukan jadi langsung pulang."
"Oh," gumam Sena. Wanita itu kembali akan menerawang namun Sekala kembali mencegahnya.
"Sen, ke beranda samping sebentar. Mas mau bicara."
Sena pun mengikuti langkah Sekala menuju beranda samping. Tempat di mana biasa ia dan Pelangi bersantai jika cuaca sedang sejuk. Sekala menepuk sisi sofa sebelahnya sebagai isyarat agar sang adik duduk di sampingnya. Sena pun kembali menuruti.
"Mas mau bicara apa?"
"Mas tahu apa yang mengganggu pikiran kamu belakangan ini."
Sena menoleh dengan raut terkejut. "Maksud, Mas Kal?"
"Pria yang tidak sengaja kita temui minggu lalu di mal. Dia, Ayah Pelangi, kan?"
Sena menahan napasnya sesaat. Matanya mulai memancarkan raut ketakutan. Seperti pencuri yang berusaha bersembunyi namun ketahuan. Cairan panas mulai terasa di sudut mata Sena. Bibir Sena membuka namun tidak ada suara yang keluar.
Sekala yang melihat sang adik tampak kalut pun merasa tak tega karena telah menangkap basah rahasia yang disembunyikan Sena bertahun-tahun. Ia menarik tubuh Sena agar bersandar padanya.
"Mas melihat foto pria itu di ponsel kamu yang dulu sebelum kamu menghapus semuanya. Diantara banyak foto teman pria kamu, hanya pria itu yang tampak mendominasi. Bahkan kalian begitu dekat dan intim. Jadi Mas bisa menebak kalau pria itu adalah Ayah Pelangi."
Sena sudah terisak dalam rangkulan Sekala. Ia tak tahu harus berkata apa. Dirinya benar-benar kembali terguncang.
"Mas dan Pelangi pernah bertemu dia hampir setahunan yang lalu. Saat itu istrinya menyapa Pelangi."
"Mas pernah ketemu dia?" tanya Sena terkejut.
Sekala mengangguk. "Tapi Mas tidak bertegur sapa dengannya."
Sena ingin bertanya mengapa, namun Sekala kembali berbicara.
"Sejujurnya Mas ingin menghajar dia saat itu. Darah Mas mendidih melihat laki-laki itu bersama istrinya. Pria yang tidak punya hati seenaknya menelantarkan perempuan setelah dia merasakan kepuasan. Mas tahu bukan sepenuhnya kesalahan dia karena kamu juga punya andil. Tapi tetap saja, Mas tidak rela adik perempuan Mas diperlakukan seperti sampah oleh laki-laki itu."
Sena kembali menangis. Tangannya mengerat kuat bagian depan kemeja Sekala. Mendapati adiknya kembali menangis membuat Sekala kembali merasa iba.
"Kenapa?" tanya Sena dengan suara teredam karena kepalanya terbenam di dada Sekala.
"Kenapa?"
"Kenapa Mas nggak menghajar dia?"
Sekala tersenyum. Tangannya membelai lembut puncak kepala Sena.
"Karena Pelangi. Selain karena itu tempat umum, Mas tidak ingin mempermalukan diri dengan berseteru dengannya di sana. Karena ada Pelangi yang harus Mas jaga perasaannya. Semarah apapun Mas dengannya, Mas tidak akan lepas kendali demi Pelangi. Mas yakin kamu juga akan melakukan hal yang sama."
Benar apa yang dikatakan Sekala. Andaipun Sena berada di situasi yang sama, ia tidak akan bertindak gegabah demi Pelangi. Gadis kecil itu harus mereka jaga agar tumbuh menjadi anak yang kuat jiwa dan raganya. Sebisa mungkin mereka akan memberikan lingkungan yang baik untuk Pelangi tumbuh.
"Tapi, Mas masih belum mengerti apa yang kamu pikirkan saat bertemu kembali dengan pria itu."
Sena menegakkan tubuhnya. Berusaha menghapus jejak air mata di wajahnya.
"Sena merasa ketakutan, Mas. Sena takut kalau sampai dia tahu keberadaan Pelangi. Sena takut dia akan memisahkan kami."
Sekali lagi Sekala mengusap lembut puncak kepala adiknya.
"Tidak ada yang perlu kamu takutkan. Mau pria itu tahu keberadaan Pelangi atau tidak. Dia tidak punya hak untuk Pelangi. Dia tidak menginginkan kamu dan Pelangi. Jadi dia tidak akan pernah bisa menuntut apapun. Kamu juga tahu itu kalau anak yang dilahirkan di luar pernikahan sepenuhnya adalah milik ibunya."
"Tapi Pelangi bukan barang, Mas. Sena hanya ingin Pelangi memiliki hidup seperti anak lainnya tanpa perlu takut akan statusnya."
"Mas, tahu. Itu hanya pengumpamaan hukum. Pelangi adalah hak kamu. Apapun yang menyangkut gadis kecil itu, akan menjadi keputusan dan tanggung jawab kamu. Tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Kamu tidak sendiri. Kamu punya Mas dan Ibu. Terlebih kamu punya Pelangi. Mas yakin demi dia, kamu akan menjadi ibu yang kuat untuk menjaga haknya."
Perasaan Sena sedikit melega. Rasanya beban pikiran yang beberapa waktu ia alami perlahan terangkat. Selama ini ia bukan hanya takut akan bertemu Aditya. Namun ia takut saat keluarganya mengetahui siapa Aditya. Sena tidak ingin menambah semua kerumitan yang sudah ia berikan pada keluarganya. Namun mendapat dukungan penuh dari Sekala, membuat Sena pelan-pelan menyingkirkan rasa takutnya. Ia tidak boleh terpengaruh oleh ketakutan. Karena ia harus menjadi ibu yang kuat agar Pelangi pun tumbuh menjadi anak yang sama kuatnya dalam menghadapi kehidupan.
...
Note : halo-halo, apa kabar semua? Semoga baik dan tetap sehat ya. Kali ini update agak cepat ya, heheh. Semoga ke depannya juga semakin cepat lagi ya biar cepat juga cerita ini kelar. Nah setelah baca chapter ini, tanggapan kalian buat masing-masing karakter apa? Kalau aku sih, Aditya itu suami yang baik, sayangnya dia bukan pria yang baik. karena kalau dia pria baik dia pasti nggak akan merusak anak orang dan membuang Sena tanpa mikirin perasaan Sena juga ya, kan. Kalau sebagai ayah? entahlah, tunggu saja selanjutnya. Tapi karakter favorit di sini masih Om Kal yang pengertian dan penyayang, unch, heheh.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Pss : ilustrasi dari pinterest (imajinasikan aja itu Pelangi, lucu ya ☺️)
Restricted Area, 10/06/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top