Chapter 6 - Sekolah

Bunyi klik kamera tak berhenti sejak tadi. Sena rasanya belum puas mengabadikan putrinya yang hari ini akan memasuki jenjang pendidikan TK. Hari pertama yang biasanya akan membuat anak-anak gugup justru berkebalikan pada Sena. Putrinya terlihat tenang kala akan memasuki dunia sekolah. Bebeda dengan Sena yang justru berdebar-debar.

Melihat Pelangi tampil cantik dengan balutan seragam sekolah membuat Sena tak henti berdecak bangga. Putrinya terlihat sangat manis dengan topi berwarna biru yang menghiasi kepalanya. Sena seakan tak pernah puas memandangi penampilan Pelangi. Tentu saja aksinya menjadi pusat perhatian para orang tua lainnya.

“Sen, sudah foto-fotonya. Kelas Pelangi sudah mau dimulai itu.” Ibunya mengingatkan Sena.

Tak ayal Sena pun menghentikan kesenangannya mengabadikan Pelangi dengan kamera. Hari ini memang Sena ditemani sang ibu mengantarkan Pelangi di hari pertamanya bersekolah. Andaikan Sekala tak memiliki rapat penting di kantor, pria itu pun akan bergabung dengan ibu dan adiknya. Hari pertama Pelangi di sekolah, mereka sangat tak ingin melewatkan momen bersejarah tersebut.

Sebelum akhirnya mengambil keputusan untuk memasukkan Pelangi ke Taman Kanak-Kanak, Sena sempat memiliki pertimbangan yang panjang. Sedikit ketakutan pun melandanya. Tak ingin status Pelangi sebagai anak yang dilahirkan tanpa pernikahan menjadi beban bagi gadis kecil tak berdosa itu. Namun Sena beruntung, sekolah yang dipilihnya memiliki pemimpin dan tenaga pendidik yang tak mempermasalahkan status kelahiran Pelangi. Bagi mereka memberikan pendidikan yang baik bagi anak-anak menjadi hal utama.

“Para Ibu dan pendamping, mohon pengertiannya untuk tidak berada di sekitar kelas ya. Agar anak-anak kita mulai membiasakan diri dengan suasana kelas dan mandiri tanpa orang tuanya. Para Ibu dan pendamping silakan bersantai di taman selagi menunggu anak-anak menyelesaikan hari pertamanya. Terima kasih.”

Salah seorang pengajar memberikan instruksi pada para orang tua. Sena dan orang tua murid lainnya pun segera mematuhi peraturan. Mereka harus bisa bekerja sama dengan pihak sekolah demi memberikan lingkungan belajar yang kondusif pada anak-anak.

Selama menunggu, Sena dan ibunya berbincang dengan ibu-ibu lainnya. Mereka saling berbagi pengalaman seputar cara mendidik anak-anak di rumah. Selama berbincang, perasaan Sena cukup tenang. Ia merasa lega memilih sekolah tersebut untuk Pelangi. Karena tak satu pun orang tua yang ia temui saling mengenal satu sama lain sebelumnya. Meski konsekuensi jarak yang jauh harus mereka hadapi. Namun ketenangan Sena dan Pelangi bisa terjamin dengan tak adanya orang-orang yang mereka kenal dari lingkungan tempat tinggal. Walau begitu Sena juga cukup merasa bersalah pada putrinya karena harus berangkat ke sekolah lebih awal dari anak-anak lainnya.

Tiga jam berlalu tanpa terasa. Ketika mendengar suara gemuruh dari arah pintu ruang kelas, para orang tua pun bersiap menyambut anak-anak mereka. Di tengah kerumunan anak-anak yang berhambur, Sena langsung menemukan keberadaan Pelangi. Wajah mungilnya tampak berseri. Menunjukkan bahwa Pelangi begitu menikmati hari pertamanya di sekolah. Tak ayal senyum Sena dan ibunya pun merekah.

“Mama, Nenek, Pelangi sudah selesai belajar,” ungkap gadis kecil itu dengan nada riang kala mengahmbur ke pelukan Sena.

“Bagaimana sekolah? Pelangi suka, tidak?”

“Suka. Pelangi suka sekolah.”

Sena dan ibunya mengembuskan napas lega. Melihat bagaimana reaksi Pelangi terhadap hari pertama sekolah, kecemasan mereka sirna. Karena selama ini Pelangi tak banyak berinteraksi dengan anak seusianya, mereka sempat takut Pelangi tidak bisa beradaptasi dengan lingkungan baru. Namun melihat Pelangi yang begitu ceria dan bersemangat di sekolah, mereka tak perlu lagi merasa takut akan perkembangan sosial gadis kecil itu.

Sesampai di rumah, Sena pun mulai mengajak Pelangi bercerita tentang hari pertamanya bersekolah. Dengan penuh semangat gadis kecil itu bercerita hal-hal yang mereka lakukan di kelas tadi. Berkenalan, bermain dan bernyanyi bersama dengan teman sekelas dan para guru. Selama bercerita tampak jelas betapa senangnya Pelangi menjalani harinya di sekolah.

“Besok, Ibu guru bilang harus bawa bekal camilan, Ma. Nanti makan sama-sama dengan Ibu guru dan teman-teman.”

“Pelangi senang di sekolah?” tanya Sena dengan nada antusias.

“Pelangi senang, Mama. Menyanyi , menari, banyak teman, ada Ibu guru juga.”

“Kalau senang berarti Pelangi harus rajin belajarnya, ya.”

“Iya, Pelangi mau rajin belajarnya.”

“Kalau begitu anak baik, ayo sekarang bersih-bersih terus bantu Mama siapin makan siang, boleh?”

“Boleh.”

Pelangi segera bergegas menuju kamar mereka. Sena mengikuti di belakang. Ia masih harus mengawasi Pelangi dalam kegiatan yang berhubungan dengan kamar mandi. Memang hingga saat ini ibu dan anak tersebut masih tidur di satu kamar yang sama. Meski Sena sudah mempersiapkan satu kamar yang akan menjadi hunian gadis kecilnya nanti. Hanya saja Sena belum ingin berpisah dengan putrinya. Ia masih ingin tidur dengan mendekap tubuh hangat anaknya. Mungkin nanti ketika Pelangi memasuki jenjang sekolah dasar, Sena akan mulai membiasakan anak itu tidur di kamarnya sendiri.

Setelah memastikan bahwa Pelangi melakukan proses bersih-bersihnya dengan benar, Sena membawa putrinya ke dapur. Bersama sang ibu keduanya mempersiapkan makan siang. Suasana dapur tampak ceria dengan adanya Pelangi. Meski tak banyak membantu, namun kehadiran gadis kecil itu membuat Sena dan ibunya bersemangat dalam menyiapkan menu makan siang.
Suara bel membuat ketiganya menghentikan sejenak kegiatan mereka. Sena dan Pelangi bergegas menuju pintu depan. Ketika pintu terbuka, sosok Sekala yang menjulang mengejutkan ibu dan anak tersebut.

“Om Kal!” teriak Pelangi seraya merentangkan tangannya.

Assalamualaikum,” ucap Sekala sembari mengangkat keponakan kesayangannya.

Waalaikumsalam,” Sena dan Pelangi menjawab bersamaan.

“Kok Om Kal pulang?”

“Om Kal mau makan siang sama-sama dengan Pelangi, Mama Sena dan Nenek.”

“Ayo. Pelangi suka makan siang sama-sama.”

Sekala dan Sena tertawa mendengar jawaban gadis itu. Ketiganya bersama memasuki rumah. Langsung menuju ruang makan di mana Ibu Sena sudah menyiapkan meja makan dengan hidangan makan siang yang siap di santap.

“Om Kal cuci tangan dulu, ya.”

Sekala mendudukkan Pelangi di kursi makan sementara dirinya menuju dapur untuk mencuci tangan. Ketika mereka berempat sudah duduk di kursi masing-masing, Sena yang biasa bertugas mengisi piring-piring dengan nasi mulai melaksanakan tugasnya.

Tak ada yang bersuara. Mereka makan dengan tenang dan khidmat. Kebiasaan yang ditanamkan pada Pelangi sedari dini sejak ia bisa ikut makan bersama orang dewasa. Hingga ketika acara makan siang berakhir, Pelangi langsung membawa Sekala ke sofa di ruang menonton. Gadis kecil itu lantas menceritakan hari pertamanya di sekolah dengan penuh semangat. Sena yang mendengar celotehan sang anak tampak tersenyum selagi mengerjakan tugas mencuci piring.

Hingga saat Sekala harus berpamitan untuk kembali ke kantor. Meski agak enggan karena harus berpisah dengan Sekala, namun Pelangi tahu jika pamannya masih harus bekerja. Keduanya mengantarkan Sekala hingga mobil yang dikendarai Sekala tak lagi tampak dalam pandangan.

“Nanti malam Pelangi bisa cerita lagi sama Om Kal. Sekarang kita istirahat dulu, ya,” Sena memberikan pengertian pada putrinya.

“Iya, Mama.” Pelangi menurut. Nanti malam, ia akan bisa bercerita banyak hal pada Sekala.

Melihat putrinya yang begitu patuh, Sena melayangkan kecupan di pipi sang anak. Selalu dan selalu jika melihat wajah teduh putrinya, rasa syukur Sena rasanya tak pernah bisa cukup. Memperjuangkan Pelangi adalah keputusan tepat dalam hidupnya. Cibiran dan hinaan yang dilayangkan tak akan pernah berarti bagi Sena. Karena semua rasa sakit dan kesedihannya terbayar dengan sesuatu yang sangat berharga.

Bukan rahasia lagi jika setiap akhir pekan pusat perbelanjaan akan menjadi sangat ramai. Karena banyak orang memilih menghabiskan hari liburnya dengan berjalan-jalan di mal sekadar melepas penat setelah lelah menghadapi pekerjaan. Tak terkecuali dengan Sekala. Meski baginya tak hanya mal yang bisa menjadi tempat untuk menyegarkan pikiran. Namun karena keponakan tersayangnya sedang membutuhkan beberapa peralatan belajar, Sekala pun dengan senang hati menemani Pelangi dan Sena.

Kali ini mereka hanya pergi bertiga tanpa sang ibu yang memilih untuk berkumpul bersama teman-teman lamanya. Sejak dari rumah Pelangi sudah tak sabar untuk segera menuju toko buku. Ia membutuhkan beberapa peralatan menulis dan menggambar untuk keperluan sekolah. Ia juga ingin menagih janji Sekala yang ingin membelikannya buku dongeng baru. Karena memang hampir setiap malam, Sena akan membacakan dongeng sebelum tidur untuknya. Sejak Pelangi mampu diajak berkomunikasi dua arah, Sena memang senang membacakan banyak buku cerita untuknya.

“Pelangi kelihatan senang banget mau dibawa ke toko buku.”

Sekala berkomentar saat melihat sang keponakan yang melangkah dengan penuh percaya diri tanpa dipegangi olehnya dan Sena. Gadis kecil itu memimpin jalan di depan sedang Sena dan Sekala mengikuti di belakangnya. 
       
“Dia sudah nggak sabar menunggu akhir pekan datang, Mas,” balas Sena yang tak bisa menahan senyumnya. “hati-hati, Nak. Pelangi jalannya jangan terburu-buru,” Sena mengingatkan putrinya kemudian.

Sekala pun segera menghampiri Pelangi lalu memegang tangannya. Keduanya kemudian berjalan bersama memasuki toko buku yang sudah di depan mata. Pelangi lantas menarik Sekala menuju bagian peralatan sekolah. Sementara Sena mengambil tas belanja yang disediakan di depan pintu masuk.

“Pelangi butuh pensil warna, kertas gambar, cat air, kuas … eum … apa lagi, Mama?” tanya Pelangi dengan wajah yang tampak berpikir keras mengingat apa saja yang ia butuhkan.

“Kertas origami juga jangan lupa,” Sena mengingatkan.

“Oh iya, kertas origami.”

Sekala dan Sena pun membantu Pelangi memasukkan keperluan yang diinginkannya ke kantong belanja. Setelah itu mereka beranjak menuju rak buku-buku dongeng dan cerita anak.

“Mas, titip Pelangi, Sena mau cari buku resep dulu.”

Sekala hanya mengangguk menanggapi permintaan adiknya. Sena lantas menyerahkan kantong belanja pada Sekala.

“Mama mana, Om Kal?” tanya Pelangi yang tiba-tiba saja tak melihat kehadiran ibunya.

“Mama cari buku resep. Om Kal temani Pelangi lihat-lihat buku dongeng, ya.”

Selama hampir dua jam mengitari toko buku, Sekala, Sena dan Pelangi pun menyudahi petualangan mereka di sana. Sena berhasil mendapatkan lima buku resep dan dua buku kerajinan yang bisa ia gunakan untuk membantu Pelangi belajar. Sedang Pelangi sendiri mendapatkan hampir lima buku dongeng ditambah beberapa peralatan yang ia butuhkan untuk kegiatan sekolahnya.

Lepas dari toko buku mereka memilih memasuki sebuah restoran keluarga. Karena memang sudah lewat dari waktu makan siang biasanya. Keadaan restoran yang cukup ramai sempat menyulitkan mereka mendapatkan meja. Beruntung mereka tak perlu menunggu lama karena satu keluarga bersiap untuk meninggalkan restoran.

“Pelangi mau nasi goreng spesial, Ma,” pinta Pelangi saat tangannya sibuk membolak balik buku menu. “Minumnya susu cokelat.”

“Em, minumnya boleh diganti air putih ya. Sebagai ganti susu cokelat, Pelangi boleh pesan es krim untuk makanan penutupnya, mau?” Sena berusaha menawarkan pilihan.

“Mau.”

“Oke. Mas Kal makannya mau apa?” kali ini Sena bertanya pada Sekala.

“Soto sama es jeruk saja.”

“Oke. Kalau Sena … nasi goreng daging sapi saja deh. Tolong es krimnya diantar setelah makan saja ya, Mbak,” pinta Sena pada sang Pramusaji setelah menyebutkan pesanan mereka.

Pramusaji yang mencatat pesanan langsung undur diri. Selagi menunggu, Sena dan Sekala mengajak Pelangi berbincang. Dengan gadis kecil itu yang mendominasi pembicaraan. Pelangi memang senang bercerita banyak sejak ia mulai lancar berbicara. Selain sikap riangnya, ia juga tak segan untuk memulai pembicaraan pada orang yang sudah dikenalinya. Sosoknya yang peramah selalu berhasil menarik perhatian ibu-ibu tiap kali Sekala atau Sena membawanya bermain.

Saat makanan sudah disajikan, seketika pandangan Pelangi terpatri pada mangkuk soto milik Sekala. Ia tampak berselera melihat makanan tersebut yang masih mengepulkan uap panas. Hal itu tak lepas dari perhatian Sekala dan Sena. Keduanya pun tersenyum melihat Pelangi.

“Pelangi, mau cicip soto punya Om Kal?”

“Boleh?” balas Pelangi penuh tanya pada Sekala dan Sena.

“Kalau Om Kal yang menawarkan, Pelangi boleh terima atau tolak. Pelangi mau cicip?”

“Mau, Om Kal. Pelangi mau cicip.”

Sekala pun memberikan sesendok soto yang berisi potongan ayam pada gadis kecil itu. Pelangi menunggu beberapa saat hingga uap panas tak lagi mengepul dari sesendok soto tersebut. Selesai mencicip wajah Pelangi tampak puas.

“Sotonya enak, Om Kal. Terima kasih.”

“Sama-sama, sayang. Sekarang Pelangi habiskan nasi gorengnya, ya.”

Ketiganya pun menikmati makanan yang telah tersaji. Hingga saat waktunya pulang, Pelangi memegangi perutnya sebagai pertanda kepuasan.

“Terima kasih, jalan-jalannya, Mama. Om Kal.”

“Kalau gitu Pelangi harus makin rajin belajarnya, ya. Kan Om Kal sudah belikan semua yang Pelangi mau.” Sena mengingatkan putrinya.

“Iya.”

Baru saja Sena merasakan kegembiraan bersama Pelangi dan Sekala, tiba-tiba saja ia dihadapkan kembali pada kenyataan masa lalunya. Entah takdir apa yang membawa Sena harus berhadapan dengan Aditya dan istrinya. Langkahnya keduanya sempat terhenti saat tatapan mereka saling bertemu. Membuat istri Aditya dilanda kebingungan.

“Mas, kok berhenti?” tanyanya.

Aditya segera mengalihkan tatapan pada sang istri. Menampilkan senyuman hangatnya agar sang istri tak curiga.

“Enggak kok. Kayaknya ada yang aneh di sepatuku.”

“Kemasukan kerikil atau sesuatu gitu?” tanya sang istri kembali.

Saat suami istri tersebut saling bertukar kata, Sena masih berdiri terpaku di tempatnya. Hingga suara Pelangi yang memanggilnya, menyentak kesadaran Sena.

“Mama!”

Baik Sena dan Aditya sama-sama terkejut adanya panggilan seorang anak. Saat Aditya berusaha mencari asal suara, Sena segera mempercepat langkahnya demi menutupi sosok sang anak.

“Maaf ya, sayang. Tadi kaki Mama kesemutan makanya Mama berhenti jalan.”

Sena meraup putrinya ke dalam rengkuhan. Padahal di usianya yang sudah menginjak lima tahun, Pelangi sudah tak dibiasakan untuk digendong baik Sena maupun Sekala. Namun demi ketenangan hatinya, Sena ingin merasakan tubuh putrinya ada dalam dekapan.

Sekala yang mengetahui kalutnya perasaan sang adik pun menutupi sosok Sena dan Pelangi dengan berdiri menghalangi pandangan Aditya.

“Ayo pulang,” ajaknya pada keduanya.

Sena pun tak ingin membuang waktu. Ia tak ingin berlama-lama berdekatan dengan Aditya. Terlebih ia tak ingin Aditya mengetahui keberadaan Pelangi. Baginya Aditya bukan siapa-siapa. Meski darah pria itu mengalir dalam tubuh Pelangi. Tapi bagi Sena, Pelangi hanya miliknya.

Note : halo, maaf update-nya kelamaan. Semoga masih ada yang menunggu kisah ini ya. Ya langsung saja, drama segera di mulai 😄

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 02/06/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top