Chapter 5 - Pelangi dan Om Kal

Hari masih terlalu pagi bagi gadis kecil seperti Pelangi. Namun di hari libur tersebut, si gadis kecil sudah tampak rapi dengan pakaian olah raganya. Pelangi sudah tak sabar untuk pergi bersama Sekala ke taman kota. Sang paman sudah berjanji padanya. Bahwa di hari liburnya, Sekala akan membawa anak itu berolah raga pagi.

Setelah menunggu lebih dari lima belas menit, Sekala tak juga muncul. Pelangi langsung bergegas menuju dapur di mana Sena sedang mempersiapkan bekal kecil untuk dibawa Pelangi.

“Mama …”

Suara bening dari gadis kecilnya langsung mengalihkan perhatian Sena dari kotak bekal yang ia siapkan.

“Ada apa, Nak?”

“Om Kal belum bangun,” adunya pada sang ibu dengan raut tak tenang.

Sena tersenyum melihat ekspresi yang terpatri di wajah putrinya.

“Coba Pelangi bangun kan.”

“Boleh?”

“Boleh dong.”

“Om Kal nggak marah?” tanyanya ragu.

Sena mendekati putrinya. Berjongkok hingga tubuhnya sejajar dengan Pelangi.

“Om Kal pernah marah tidak sama Pelangi?”

Gadis kecil itu menggeleng. “Om Kal sayang Pelangi.”

Sena mengecup pipi putrinya. “Nah coba Pelangi bangunkan Om Kal, ya.”

Pelangi mengangguk patuh. Kaki kecilnya berlari menuju kamar Sekala. Tepat berada di depan pintu, Pelangi sempat merasa bimbang. Sena yang ikut memonitor putrinya tampak menahan tawa.

“Ayo coba ketuk pintunya, terus Pelangi tarik kenop pintunya.”

Pelangi mengikuti saran sang ibu. Tangan kecilnya mengetuk beberapa kali pintu yang terlihat menjulang di depannya. Namun ketika akan menarik kenop pintu, dahi gadis itu mengernyit.

“Tidak sampai, Ma,” adunya dengan wajah memelas.

Sena tak dapat lagi menahan tawanya. “Mama bantu, ya.”

Anggukan penuh semangat disertai senyum merekah menjadi jawaban Pelangi. Sena pun membuka kenop pintu yang sulit dijangkau putrinya. Derit pintu terdengar pelan. Sejenak Pelangi masih terpaku. Sampai Sena menyentuh punggung putrinya untuk segera memasuki kamar Sekala.

“Terima kasih, Mama.”

“Sama-sama.”

Sena senang karena apapun hal kecil yang mereka ajarkan begitu baik diterapkan oleh Pelangi. Meski hanya sebatas kata tolong dan terima kasih, namun Pelangi cukup mengerti bahwa kata-kata baik itu akan membantunya dalam melakukan kegiatan.

Kamar Sekala tampak temaram dengan penerangan seadanya. Bahkan tirai yang menutupi jendela kamar pun belum disingkap sehingga cahaya matahari tidak bisa masuk ke ruangan. Setelah melaksanakan subuh berjamaah memang Sekala tak menyingkap tirai kamarnya. Mungkin karena ia berpikir hari ini adalah hari libur. Jadi Sekala memutuskan untuk memperpanjang tidurnya selepas subuh. Lupa dengan janji kecil yang dibuatnya pada Pelangi.

Melihat tubuh Sekala yang masih berbalut selimut membuat wajah Pelangi seketika cemberut. Ia pun bergegas naik ke ranjang pria itu. Sekuat tenaga menyingkap selimut yang menutupi wajah Sekala.

“Om Kal …” panggil Pelangi saat wajah Sekala sudah tak lagi tertutup selimut.

Sayang kekuatan gadis kecil itu belum mampu membangunkan Sekala yang masih terlelap. Hanya gumaman tak jelas yang didapatkan Pelangi sebagai jawaban. Rasanya gadis kecil itu ingin menjerit demi membangunkan sosok terlelap di atas ranjang ini.

“Om Kal …” sekali lagi Pelangi berusaha membangunkan.

Sena yang membuntuti putrinya ke kamar Sekala, melihat putrinya tampak berjuang untuk membangunkan Sekala. Gadis kecil itu menggoyang-goyangkan tubuh Sekala. Namun sang paman tak juga membuka matanya.

“Om Kal, ayo bangun …”

Melihat ibunya juga berada di kamar Sekala, Pelangi berpaling dan menatap wajah ibunya dengan memelas.

“Mama, Om Kal nggak mau bangun.”

“Mau Mama ajarin cara bangunin Om Kal, nggak?”

“Mau.”

“Pelangi pencet hidungnya Om Kal, nanti pasti Om Kal bangun.”

Pelangi menuruti saran ibunya. Jemarinya memencet hidung Sekala hingga membuat pria itu tampak kesulitan bernapas. Secara paksa mata Sekala akhirnya terbuka. Hal pertama yang dilihat Sekala adalah keponakan kecilnya yang melebarkan senyum secerah mentari padanya.

“Mama, Om Kalnya bangun,” cecar Pelangi gembira.

“Eum? Jam berapa ini?” tanya Sekala dengan suara serak khas baru bangun.

“Hampir setengah tujuh, Mas.”

“Om Kal, ayo bangun. Kan Janji mau aja Pelangi olah raga.”

Sekala mengucek matanya, kemudian berusaha bangkit dari posisi berbaringnya. Ia menghela napas, pertanda merasa bersalah karena melupakan janjinya pada si kecil.

“Maafin, Om Kal, ya. Pelangi tunggu Om Kal siap-siap dulu, baru kita pergi, oke?”

“Iya. Pelangi tunggu Om Kal, ya.”

Sena mengulurkan tangannya pada sang putri yang langsung disambut Pelangi. keduanya segera meninggalkan kamar Sekala agar pria itu bisa membersihkan diri. Sekala pun tak membuang waktu. Ia bergegas membersihkan diri agar tak membuat keponakan kesayangannya menunggu terlalu lama.

Saat keluar dari kamar setelah bersiap, Sekala mendapati si kecil sedang berusaha memakai sepatunya. Bersama Sena yang mengajari gadis kecil itu cara memakai kaus kaki dengan benar.

“Nanti jangan nakal, ya. Patuh sama Om Kal. Jangan sampai terpisah dari Om Kal.”

“Iya.”

“Ini bekal kecilnya. Ada roti bakar, roti isi, telur rebus dan susu. Berbagi sama Om Kal ya bekalnya.”

“Iya. Terima kasih, Mama.”

Sena senang sekali mendapatkan ucapan hangat dari putrinya. Ia pun tak dapat menahan diri dan mencium pipi menggemaskan Pelangi.

“Sudah siap?” tanya Sekala menghampiri ibu dan anak tersebut.

“Ayo, Om Kal.”

Sena mengantarkan keduanya hingga ke garasi. Sebelum keduanya berangkat, sekali lagi Sena mengingatkan putrinya untuk selalu berpegangan pada Sekala. Saat mobil keluar dari pekarangan, Pelangi melambaikan tangannya sembari mengucapkan sampai jumpa pada ibunya. Sena pun membalas lambaikan tangan putrinya.

Beberapa tetangga yang kebetulan lewat memerhatikan aksi Sena. Ada raut penasaran tergambar di wajah mereka. Karena jarangnya mereka melihat Sena keluar dari rumah. Namun dibalik raut penasaran itu terselip tatapan mencemooh. Sena sudah kebal dengan berbagai tatapan yang ditujukan padanya. Karena itu ia tak lagi ambil pusing. Setelah memastikan kepergian Sekala dan Pelangi, ia menutup kembali gerbang rumah. Membiarkan segala macam prasangka cukup tertinggal di luar kediaman mereka.

Pukul tujuh lewat, mereka tiba di taman kota. Karena kebetulan hari libur, jadi jalanan tampak lengang di pagi itu. Setelah memarkirkan mobil, Sekala membukakan pintu untuk keponakannya. Pelangi sudah tak sabar untuk dapat segera bermain dan berolah raga di sana.

“Ayo Om Kal,” pintanya tak sabar. Kaki kecilnya melompat-lompat tak sabar. Rasanya ia ingin segera berlari menuju keramaian di taman.

“Sabar, sayang.”

Sekala mencoba memberi pengertian pada gadis kecil itu. Tangan kecil Pelangi terulur meminta agar Sekala menggenggamnya. Meski sangat ingin segera bergabung dengan keramaian, ia tetap ingat pesan Sena padanya. Untuk selalu berada dalam pengawasan Sekala.

“Ayo,” ajak Sekala sembari menggenggam tangan keponakannya.

Keduanya berjalan menuju taman yang tampak ramai dengan orang-orang yang sedang berolah raga. Banyak juga keluarga yang membawa anak-anaknya. Melihat betapa ramainya taman kota saat ini, membuat mata Pelangi berbinar.

“Kita jalan keliling taman dulu, ya. Nanti Pelangi boleh main.”

“Iya.”

Semangat Pelangi begitu terlihat. Ia tak merasa lelah bahkan setelah memutari taman yang cukup luas tersebut. Meski peluh menghiasi leher dan dahinya. Tapi anak itu masih bisa tersenyum cerah kala mendapati beberapa orang menyapa mereka.

Keduanya tampak seperti ayah dan anak. Tak salah memang. Karena bagi Pelangi yang tak mengenal siapa ayahnya, Sekala adalah sosok ayah yang ia tahu.

“Haus?” tanya Sekala pada keponakannya.

“Iya. Tapi botol minum Pelangi ada di mobil.”

“Kita ambil sebentar ya. Nanti kita balik lagi. Pelangi boleh makan bekalnya sambil main di playground.”

Pelangi mengangguk sebagai jawaban. Melihat sang keponakan yang tampak lelah, Sekala menggendong gadis kecil itu. Saat menuju tempat parkir, mereka melewati sekumpulan para gadis yang tampak memandang takjub ke arah keduanya. Beberapa bisikan kagum yang dilontarkan para gadis itu pun sempat terdengar samar di telinga Sekala. Namun pria itu tak ambil pusing. Sejak sering bepergian bersama Pelangi, sudah sering ia mendengar bisikan dan decak kagum para wanita kala melihatnya menggendong sang keponakan. 

Setelah mengambil kotak bekal, mereka kembali ke taman di mana terdapat beberapa wahana permainan anak. Sekala membawa Pelangi duduk di meja dan kursi batu yang memang disediakan di taman sebagai tempat beristirahat. Meletakkan bekal mereka di meja batu lalu menemani Pelangi mencuci tangan di wastafel yang juga tersedia di sana.

“Doa dulu sebelum makan, ya.”

Bismillahirrahmanirrahim …”

Pelangi menikmati roti bakar yang dibuatkan Sena untuknya. Sambil makan, matanya tak lupa mengamati anak-anak yang bermain di sana. Setelah menyantap dua buah roti bakar dan segelas susu kemasan, Pelangi meminta izin untuk bermain. Tentu saja Sekala mengizinkannya dengan catatan gadis kecil itu bermain di tempat yang masih dalam jangkauan mata pamannya.

Pelangi menuju dua buah ayunan yang tak jauh dari tempat Sekala duduk. Namun karena kedua ayunan tersebut masih dimainkan oleh anak lainnya, Pelangi memilih bersabar dan menunggu. Menunggu selama hampir sepuluh menit namun kedua anak yang bermain belum juga menyudahi permainannya. Pelangi pun memilih mencari wahana permainan lain. Sayangnya hampir semua wahana bermain anak sedang digunakan. Jadilah gadis kecil itu hanya berdiri diam memandangi anak-anak lain yang bermain.

Sekala yang melihat keponakannya hanya terpaku merasakan kecewa yang sama. Namun ia juga tak mungkin menghalau anak-anak lain hanya demi Pelangi bisa bermain. Karena itu Sekala memutuskan untuk menghampiri Pelangi demi mengajaknya bermain yang lain. Akan tetapi, belum lagi Sekala mendekati Pelangi sudah ada sosok yang mendekati gadis kecil itu. Seketika Sekala menghentikan langkahnya beberapa meter dari keduanya.

“Halo, nama kamu siapa?” tanya wanita tersebut ramah pada Pelangi.

Sesaat Pelangi memerhatikan wanita di depannya dengan seksama. Ia sering diingatkan baik oleh Sena dan Sekala untuk tak mudah percaya pada orang lain. Namun saat matanya melirik ke arah Sekala berdiri, keberanian Pelangi pun perlahan tumbuh. Karena ia yakin ada Om Kal yang akan menjaganya.

“Pelangi.”

Wanita tersebut tersenyum. “Pelangi sama siapa di sini? Orang tuanya mana?”

“Ada Om Kal,” jawab Pelangi dengan mantap.

“Mana Om Kalnya?”

Pelangi menunjuk ke arah belakang wanita tersebut. Membuat perempuan itu mengikuti arah jemari Pelangi tertuju. Saat melihat seorang pria berdiri tak jauh dari mereka, wanita tersebut menyunggingkan senyum.

“Maaf, saya kira Pelangi terpisah dari keluarganya,” ucap perempuan itu lantang yang terdengar jelas oleh Sekala.

Sekala hanya membalas dengan anggukan dan senyum simpul. Saat akan mendekati keduanya, sekali lagi langkah Sekala terhenti karena seorang pria yang juga mendekati Pelangi. Mungkin lebih tepatnya mendekati wanita tersebut. Sekala duga mereka adalah pasangan suami istri dari gestur lembut sang pria yang langsung merangkul istrinya.

Ada kejut terpatri wajah Sekala. Bukan karena melihat kemesraan pasangan di depannya. Tapi lebih kepada sosok lelaki yang baru muncul tersebut. Tak mungkin Sekala melupakan wajah tersebut. Wajah pria yang Sekala yakin adalah ayah biologis dari gadis kecil yang saat ini bersama mereka.

Sekala tak akan lupa, saat ia tak sengaja melihat sosok tersebut ada di dalam ponsel Sena. Satu-satunya pria yang memiliki pose intim dalam gambar yang dilihatnya saat itu. Pria yang tak telah membuat adiknya jatuh dalam jurang dosa.

Tangannya terkepal erat. Amarah pun menyusup di dadanya. Namun kala pandangan Sekala tertuju pada sang malaikat kecil, semua perasaan marahnya menguap entah ke mana. Sekala menarik napas demi menenangkan dirinya. Tak ada guna baginya memulai pertengkaran dengan pria yang bahkan tak ia kenal. Terlebih sang adik sudah tak lagi mengingat dan mempermasalahkan statusnya saat ini. Karena kini Sena sudah bahagia dengan adanya Pelangi. Cukup ia pasrahkan tangan Tuhan yang bekerja untuk menghukum pria tersebut.

“Mas, ini Pelangi. Cantik ya dia,” ucap istrinya pada Aditya. Matanya tak lepas menatap Pelangi yang tampak bingung berada di tengah-tengah mereka.

Aditya kemudian mengalihkan pandangan pada anak kecil bernama Pelangi tersebut. Entah mengapa ia merasakan perasaan tak asing kala melihat gadis kecil itu. Seperti sosok yang pernah ia kenal namun sudah lama Aditya lupakan.

“Orang tuanya mana?” tanya Aditya pada istrinya.

“Pelangi ke sini sama Omnya. Aku pikir dia terpisah sendirian di sini.” Istri Aditya menunjuk kea rah Sekala.

“Pelangi, ayo pulang,” akhirnya Sekala bisa bersuara.

“Pelangi pulang dulu ya,” ucap Pelangi pada pasangan tersebut.

Gadis kecil itu kemudian berlari menghampiri Sekala yang langsung mengulurkan tangannya. Aditya dan istrinya hanya bisa memerhatikan ketika paman dan keponakan tersebut membereskan kotak bekalnya kemudian bersiap untuk pulang.

“Pengin deh punya anak kayak Pelangi. Cantik,” ucap istri Aditya tiba-tiba.

Aditya menatap wanita yang pandangannya masih terpaku pada sosok Sekala dan Pelangi. Hampir lima tahun pernikahan, namun mereka belum dikaruniai seorang anak. Aditya tidak merasa tergesa, hanya saja sang istri yang tampak sangat ingin segera memiliki anak.

“Nanti kita usaha lagi,” ucap pria itu akhirnya.

Tanpa Aditya sadari wajah Pelangi kemballi melintas di benaknya. Wajah yang wanita yang sempat terlupa namun kembali dapat Aditya ingat dengan jelas saat ini. Aditya menepis perasaan aneh yang tiba-tiba saja muncul tersebut. Ia tidak boleh kembali mengingat kebersamaannya dengan wanita yang sempat mengisi dua tahun kebersamaan mereka. Prioritasnya saat ini adalah sang istri.

Di dalam mobilnya, Sekala sedang membantu Pelangi memasangkan sabuk pengamannya. Pertemuannya dengan ayah kandung Pelangi kembali mengisi pikirannya. Entah bagaimana perasaan pria itu andai ia tahu jika anak kecil yang bertemu dengannya hari ini adalah darah daging yang tak diinginkannya. Tiba-tiba saja Sekala merasa cemas akan keadaan Pelangi dan Sena. Ia pun tanpa sadar mengecup puncak kepala Pelangi. Membuat anak itu merasa bingung.

“Om Kal, kapan kita pulang? Pelangi sudah kangen Mama.”

“Sekarang sayang. Kita pulang untuk ketemu Mama,” jawab Sekala seraya mengelus puncak kepala Pelangi.

Sekala segera menyalakan kendaraannya. Apa yang terjadi hari ini cukup ia saja yang tahu. Sena tak perlu tahu jika putrinya bertemu dengan ayah kandungnya. Sekala tak ingin adiknya berpikir macam-macam yang membuat dirinya cemas. Apa yang terjadi nanti, biarkan mengalir sesuai ketentuan takdir. Satu hal yang pasti, Sekala akan berusaha semampunya untuk melindungi Sena dan Pelangi. Tak akan membiarkan dua orang yang disayanginya terluka kembali.

Note : halo apa kabar? Masih kuat puasanya kan buat yang menjalankan. Semoga kuat terus sampai akhir Ramadhan ya. Nih aku kasih partnya Pelangi dan Om kesayangan Pelangi juga kita semua, mwahahah. Eh PO Senandung Melody sisa tiga hari lagi. Udah pada ikutan belum? Kalau sudah makasih, kalau belum, mungkin nanti kalau ada rejeki ya.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Pss : yang mau pdf DTJC bisa chat ke wa 081264610750 nanti aku kasih harga teman. Yang belum punya judul lain juga boleh kok pesan. Siapa tahu malas atau belum sempat beli di google playbook.

Isekai, 27/04/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top