Chapter 39 - Pelangi dan Papanya
Sena mengesampingkan dahulu segala hal yang berkaitan dengan kisah romansa dan hubungannya. Saat ini ia masih terus mencari cara bagaimana memberitahu Pelangi tentang ayah kandungnya. Ia sudah bertanya pada psikolog anak juga mencari berbagai informasi di segala media cara terbaik untuk berbicara pada anak tentang isu sensitif. Dari berbagai cara dan pendekatan, belum ada satu yang menurut Sena cara terbaik untuk Pelangi.
Walau sebenarnya mudah saja bagi Sena mengungkapkan. Karena Pelangi adalah anak yang gampang diajak berbicara dari hati ke hati. Namun runtutan pertanyaan seperti mengapa ayahnya tak sekali pun menemui Pelangi tentu menjadi salah satu pertanyaan yang Sena sendiri tak yakin mampu menjawabnya dengan jujur.
"Kadang kita perlu menutup kebenaran, Sen. Mbak tahu kamu pasti takut jika suatu saat nanti Pelangi mendengar celetukan tentang asal-usulnya yang membuat hatinya tersakiti. Tapi mengungkapkannya di saat usia Pelangi masih terlalu dini juga bukan hal yang tepat. Nanti saat Pelangi semakin bisa berpikir logis, katakan semua kebenaran padanya. Tapi tentu dengan cara yang membuatnya tenang dan tak berpikir macam-macam."
Pernyataan Arina kala mereka berdiskusi kembali terngiang di telinga Sena. Mungkin ada benarnya apa yang diucapkan Arina. Tak masalah jika Sena belum bisa mengungkapkan semua secara jujur tentang asal-usulnya. Pelangi hanya perlu tahu bahwa saat ini ia akhirnya akan bisa bertemu ayahnya. Bahwa ia akan sama seperti anak-anak lainnya. Memiliki seseorang yang akan ia panggil dengan sebutan ayah.
Setelah berpikir matang, akhirnya Sena pun sudah memutuskan langkah apa yang akan ia lakukan untuk memperkenalkan Pelangi pada Aditya, ayahnya. Maka malam itu selepas makan malam, Sena menghubungi Aditya untuk mempersiapkan dirinya minggu depan untuk bertemu dengan Pelangi. Meski belum bicara dengan putrinya, namun Sena yakin Pelangi akan menerima berita itu dengan bahagia. Tentu saja Sena juga mengingatkan Aditya untuk mematuhi poin penting yang diajukannya yaitu keluarga besar Aditya.
Aditya pun tak ingin membuang-buang waktu. Esok harinya juga ia dan Netta mengumpulkan kedua keluarga mereka untuk membicarakan perihal pengakuan hukum untuk Pelangi. Meski bingung dengan permintaaan Aditya dan Netta, namun kedua orang tua beserta saudara mereka tetap memenuhi undangan Aditya.
"Dalam rangka apa nih kalian mengadakan jamuan makan siang keluarga?" tanya Rania pada sang adik.
"Ada hal yang harus aku dan Netta bicarakan dengan keluarga kita."
Jawaban singkat Aditya semakin membuat Rania penasaran. Namun untuk sementara ia harus memendan rasa ingin tahunya. Hingga waktu makan siang tiba, seluruh keluarga sudah berkumpul di ruang makan. Makan siang kali ini tidak berlangsung formal karena mereka berbincang kecil selama prosesi itu berlangsung. Kebanyakan tentunya pertanyaan dari kedua orang tua tentang kondisi kehamilan Netta yang tak lama lagi akan memasuki usia kandungan tujuh bulan. Tentu saja para orang tua sudah merencanakan prosesi adat yang umumnya dikenal dengan istilah tujuh bulanan.
"Mama dan Papa silakan atur saja, Netta dan Mas Aditya akan ikut semua arahan."
Jawaban diplomatis Netta tentang prosesi tujuh bulanan yang diatur kedua orang tua mereka membuat para tetua merasa senang. Terutama para ibu yang sudah tak sabar menantikan kehadiran cucu mereka. Aditya hanya menatap sang istri ketika Netta memberikan jawabannya. Ia tahu mengapa Netta tak ikut memberi pendapat. Semuanya Netta lakukan demi lancarnya tujuan mereka nanti.
Setelah makan siang berakhir, orang-orang dewasa berkumpul di ruang keluarga sedangkan anak-anak dibiarkan bermain di ruang santai. Aditya tidak langsung menyampaikan tujuannya. Ia memilih menunggu hingga mereka selesai berbincang tentang keseharian dan bisnis mereka. Ketika dirasa topik pembicaraan sudah mulai beerkurang, barulah Aditya bersiap menyampaikan keinginannya.
"Papa, Mama, dan semuanya, hari ini tujuan saya dan Netta mengumpulkan kalian di sini karena ada hal penting yang harus Aditya sampaikan."
Kedua orang tua dan saudara Aditya seketika memandangnya dengan tatapan penasaran. Tidak biasanya bagi Aditya untuk bersikap begitu serius selain sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan.
"Kenapa misterius banget sih, Dit?" ledek Rania melihat keseriusan adik lelakinya.
"Pertama-tama, aku mau minta maaf sama Mama dan Papa karena sudah menyakiti putri kalian, Netta." Aditya berucap kepada kedua orang tua Netta yang membuat mereka bingung bukan kepalang.
"Apa yang akan saya sampaikan saya yakin akan memberikan kejutan disertai kemarahan kalian."
"Aditya, nggak usah berbelit-belit. Katakan saja secepatnya," Kakak lelaki Netta menyela.
"Baik. Saya harap semuanya mempersiapkan diri dengan apa yang akan saya sampaikan selanjutnya."
Aditya mengambil jeda demi mempersiapkan bom yang akan segera ia jatuhkan. Siap atau tidak, penerimaan atau penolakan, keluarga mereka harus mengetahui keberadaan pelangi.
"Saya memiliki seorang anak perempuan berumur 7 tahun."
Hening. Hanya beberapa pasang mata yang kini menatap Aditya terperangah.
"Haha, nggak lucu. Candaan kamu sama sekali nggak lucu, Aditya." Lagi, kakak lelaki Netta yang menjadi pembuka suasana.
"Saya sama sekali nggak bercanda, Mas." Aditya menjawab tegas. "Netta juga tahu tentang anak itu."
Karena nama Netta sudah dibawa, tidak ada lagi yang menganggap ucapan Aditya sebagai candaan belaka. Semua mata kini menatap pada Netta, menginginkan jawaban pasti atas apa yang diucapkan Aditya.
"Aditya! Kamu gila, ya!" Mama Aditya meneriaki sang putra. "Bagaimana bisa?"
Semua yang mendengar benar-benar tak menyangka dengan pengakuannya. Terutama keluarga dari pihak Aditya. Mereka tahu seperti apa kisah cinta yang pernah dijalani Aditya. Tapi tak pernah terpikir dalam benak mereka jika suatu saat aka nada saatnya benih yang ditanam Aditya entah dengan perempuan mana tiba-tiba muncul. Dan ketakutan itu semakin diperkuat dengan pengakuan yang secara terbuka diucapkan Aditya.
"Beraninya kamu mengkhianati Netta!"
Tanpa bisa dicegah satu pukulan melayang ke wajah Aditya dari kakak lelaki Netta yang seakan juga menjadi pertanda kemarahan kedua orang tua mereka.
"Mas ..."
Netta dengan cepat menghampiri sang suami yang terhuyung karena pukulan keras dari kakaknya.
"Jangan coba-coba bela dia, Net!" teriak kakaknya pada Netta.
"Netta bukan mau membela, tapi bisa tolong dengarkan dulu penjelasan kami?"
Karena Netta sudah angkat bicara, semua orang pun akhirnya meredam sejenak kemarahan mereka.
"Anak itu memang anak Mas Aditya. Namanya Pelangi. Dan seperti yang Mas Aditya katakan, dia sudah berumur 7 tahun. Anak itu ada sebelum Mas Aditya dan aku menikah. Mungkin dia hadir saat kami sudah melangsungkan pertunangan ..."
"Perempuan jalang mana yang menghancurkan pernikahan orang lain dengan mengandung benih lelaki yang akan segera menikah?"
"Mas! Jangan sekali-kali sebut Sena sebagai perempuan jalang!" Netta berteriak marah atas ucapan kakak lelakinya.
"Lantas apa namanya? Kalau memang dia bukan jalang dia nggak akan melahirkan anak itu!"
Satu tamparan keras dari Netta tepat menyasar ke pipi kakaknya. Dengan mata memerah menahan amarah, Netta menatap nyalang pada sang kakak yang sangat disayanginya itu.
"Jika adikmu dihina seperti itu, apa yang akan Mas lakukan?" Netta bertanya dengan suara tercekat. "Sena juga adalah adik dari kakak lelaki yang menyayanginya. Aku rasa Mas juga tahu apa yang akan dilakukan seorang kakak untuk adik perempuannya. Andai mau, Sekala sudah pasti akan datang menuntut pertanggung jawaban dari Aditya. Tapi mereka tidak melakukannya. Karena apa? Karena Sena tahu dirinya sama bersalahnya dalam hal ini. Dia nggak butuh drama untuk membuat Aditya bertanggung jawab. Andai Sena mau, andai saat itu Sena datang padaku, Mas tahu apa yang akan aku lakukan? Pasti, aku akan minta Mas Aditya untuk menikahi Sena."
Tak hanya kakak lelaki Netta, tapi semua orang begitu terkejut dengan apa yang diucapkan Netta. Karena mereka tahu bagaimana perasaan Netta terhadap Aditya. Namun ketegasan yang terdengar dari nada bicaranya membuat mereka yakin Netta benar-benar memaksudkan kebenaran ucapannya.
"Tapi Sena tidak datang menemuiku. Padahal dia tahu siapa perempuan yang akan menikah dengan Mas Aditya. Kenapa? Karena dia tahu apa yang dia dan Mas Aditya lakukan sudah cukup melukaiku. Karena Sena nggak mau ada perempuan lain yang harus terluka karena dirinya. Itu sebabnya dia memilih untuk melahirkan dan membesarkan anaknya sendiri tanpa perlu tanggung jawab dari Mas Aditya." Lagi, Netta menatap nyalang pada kakaknya. "Dan apa Mas bilang tadi? Jalang? Ingin mendapatkan pengakuan atas anaknya? Jangan berpikiran sempit dan menilai orang lain sama seperti kalian! Bukan Sena dan Pelangi yang butuh pengakuan! Mereka nggak butuh Mas Aditya. Tapi justru Mas Aditya lah yang membutuhkan Pelangi! Anak itu tumbuh dengan baik meski tanpa seorang ayah. Tapi nurani Mas Aditya nggak akan bisa tenang seumur hidupnya sebelum mengakui kesalahannya pada Pelangi!"
Ucapan Netta yang menohok menjadi tamparan bagi keluarga mereka yang berpikir bahwa sosok Sena adalah perempuan yang ingin memanfaatkan kesempatan.
Melihat istrinya yang menghadapi keluarga mereka tanpa rasa takut dan perasaan yang menggebu-gebu, membuat Aditya ikut bangkit kembali. Ia berdiri tegak menghadapi seluruh keluarga yang masih menatapnya dengan tak percaya.
"Pengakuan ini nggak akan berdampak apapun pada keluarga besar kita. Kalian tidak perlu khawatir tentang materi dan harta warisan karena Sena menekankan Pelangi tidak membutuhkan semua itu. Yang Pelangi butuhkan hanya sosok ayahnya. Anak itu hanya perlu mengenal ayahnya. Tapi sebagai seorang laki-laki dan ayah dari dua orang anak, mana mungkin aku tidak memenuhi segala kebutuhan mereka. Karena itu, baik Pelangi dan calon anak kami nanti akan mendapatkan hak yang sama. Kebutuhan baik materi dan kasih sayang yang sama. Dan semua itu hanya akan dipenuhi dengan penghasilan yang aku dapatkan tanpa perlu harta gono gini milik keluarga besar! Apa sudah jelas?"
"Adit ..."
Aditya menaikkan sebelah telapak tangannya pada sang mama yang akan kembali bicara.
"Mama dan yang lainnya nggak perlu khawatir. Kalau kalian merasa keberatan, pengakuan ini hanya akan melibatkan aku dan Netta. Pelangi tidak perlu tahu yang lainnya. Tapi aku juga berharap kalian akan menjaga jarak dari Pelangi dan Sena. Jangan pernah mengusik kehidupan mereka. Anggap kalian tidak pernah tahu dan mengenal mereka. Seperti mereka yang juga tidak mengenal kalian. Semudah itu saja."
Aditya mengakhiri pembicaraan mereka. Ia yakin keluarga besar mereka akan mengerti keputusan mereka. Meski masih merasa tidak senang, selama tidak menyinggung perihal meteri kedua belah pihak, Aditya yakin mereka tidak akan mengusik kehidupan Sena dan Pelangi.
Terkadang hati manusia memang tidak bisa diubah. Meski Aditya berharap orang tuanya sedikit saja bisa menerima Pelangi sebagai cucu kandung mereka. Namun harga diri dan nama baik keluarga terlalu dijunjung tinggi. Aditya hanya berharap mereka tidak akan menyesali keputusan mereka nantinya.
...
Derit pintu yang dibuka membangunkan Sena dari tidurnya. Kepala kecil terlihat menonjol dari celah pintu. Disertai senyuman manis menjadi pemandangan yang menyejukkan bagi Sena pagi ini. Di sana, putrinya -Pelangi-sedang menatapnya dengan tatapan secerah mentari pagi.
"Mama sudah bangun?" sapa Pelangi.
Sena beranjak dari posisi tidurnya. Melambaikan tangan pada si kecil yang langsung menghambur memeluknya.
"Sudah. Selamat pagi, Pelangi."
"Pagi, Mama. Ayo sarapan. Katanya Mama mau ajak Pelangi main seharian," tagih Pelangi pada janji Sena kemarin.
Sena melayangkan satu kecupan di pipi putrinya. "Ayo, sarapan. Setelah itu kita siap-siap. Karena hari ini waktu Mama hanya untuk Pelangi."
Ibu dan anak tersebut beranjak dari kamar Sena menuju ruang makan. Di sana sudah menunggu anggota keluarga yang lain. Setelah menyapa semuanya, Pelangi dan Sena pun segera duduk agar dapat menikmati sarapan bersama.
Sekala dan yang lainnya mengetahui agenda apa yang akan Sena jalankan bersama Pelangi. Sena telah mendiskusikannya dengan mereka. Karena itu tidak ada yang melarang Sena untuk bermain bersama Pelangi seharian ini. Hanya saja Sekala tetap belum mengizinkan Sena berkendara dengan motornya bersama Pelangi. Sekala menekankan agar mereka menggunakan taksi saja. Meski tidak efisien, namun keamanannya lebih terjamin. Dan Sena pun mematuhi perintah kakak lelakinya itu.
"Semuanya sudah disiapkan?" tanya sang nenek melihat Pelangi yang sudah rapi dan siap berangkat.
"Sudah."
"Pakaian ganti, botol minum, minyak angin, kotak obat?"
"Sudah, Nenek ..." jawab Pelangi setengah tergelak melihat kekhawatiran neneknya. "Kan ada Mama. Pelangi kan tidak sendirian."
"Nenek cuma mau memastikan saja. Kalau-kalau ada yang ketinggalan."
"Tidak ada."
"Sini peluk Nenek dulu."
Tubuh kecil Pelangi segera didekap oleh sang nenek. Selama berpelukan pun, neneknya terus saja memberikan wejangan agar Pelangi selalu patuh dan berhati-hati selama bepergian. Ia juga tidak boleh jauh dari ibunya karena mereka akan bermain di keramaian.
Taksi yang dipesan sudah menunggu. Setelah berpamitan, Sena dan Pelangi pun segera masuk ke taksi yang siap membawa mereka ke tujuan pertama.
"Mau ke mana kita?" tanya Sena dengan suara bernada seperti dalam tontonan anak membuat Pelangi tertawa.
"Ke pantai!"
"Oke, kita ke pantai!"
Melihat kegembiraan penumpangnya, sang sopir pun ikut terbawa suasana. Sesekali ia ikut menimpali perbincangan ibu dan anak tersebut yang disambut Sena dengan senang hati. Membuat perjalanan mereka jauh dari kata sepi.
Meski hari ini adalah akhir pekan, tapi untungnya perjalanan Sena dan Pelangi tidak memiliki kendala berarti. Hanya kemacetan di beberapa titik namun tidak sampai membuat mereka terjebak berlama-lama di keramaian. Setelah berkendara beberapa waktu, akhirnya mereka tiba di tujuan.
"Selamat menikmati liburannya," ujar sang sopir sebelum Sena dan Pelangi turun dari taksi.
"Terima kasih. Semoga hari ini rezekinya lancar ya, Pak." Sena balik menyapa.
Sena dan Pelangi segera menuju pantai yang sudah ramai dengan pengunjung. Meski terik matahari mulai terasa namun tak menghalangi kebahagiaan para pengunjung. Semua tampak bergembira menikmati liburan akhir pekannya. Begitu juga Sena dan Pelangi.
Setelah meletakkan tas mereka di penyimpanan yang disediakan, Sena dan Pelangi segera berlari ke tepi pantai untuk bermain. Ibu dan anak tersebut berlarian di pasir pantai, membuat beberapa tulisan yang kemudian akan tersapu ombak kecil. Juga hal yang paling disukai Pelangi, berburu kerang. Mereka bermain hingga waktu makan siang.
"Setelah solat zuhur, kita pergi ke tempat liburan selanjutnya, ya? "
Pelangi mengangguk, "oke, Mama!"
Destinasi selanjutnya yang dimaksud Sena adalah taman hiburan. Meski cukup sering mengunjungi tempat itu, namun Pelangi seperti tidak pernah bosan. Taman hiburan selalu memiliki kenangan tersendiri untuk anak itu.
"Kita naik komidi putar dulu, boleh?" pinta Pelangi ketika mereka sudah berada di taman hiburan.
"Hari ini milik Pelangi. Jadi Pelangi boleh naik apapun selama tidak membahayakan," ungkap Sena yang membuat Pelangi berteriak girang.
Tidak semua wahana bisa Pelangi coba karena keterbatasan usia. Namun wahana untuk anak pun sudah membuatnya bahagia. Meski ia ingin sekali mencoba memacu adrenalinnya dengan beberapa wahana ekstrim yang bagi Sena saja cukup mengerikan.
"Saat nanti kamu cukup umur, Pelangi boleh naik semuanya. Tapi ..."
"Naiknya sama Om Kal, kan? Karena Mama takut," ledek Pelangi membuat Sena mencubit gemas pipi putrinya.
Sayangnya di tengah waktu bermain yang menggembirakan, tiba-tiba saja turun hujan. Para pengunjung yang bermain segera berhamburan mencari tempat berteduh. Tak terkecuali Sena dan Pelangi. Meski hujan sudah membasahi tubuh keduanya, namun tawa riang mereka justru masih terdengar sembari berlari mencari tempat berteduh.
"Kita basah kuyup," ujar Pelangi sambil menertawai dirinya sendiri.
"Enggak apa-apa. Kan sudah persiapan bawa pakaian ganti. Siapa sangka kalau kita basah karena kehujanan. Bukannya karena main wahana air."
"Iya. Enggak apa-apa basah. Hujan juga berkah, ya kan, Ma?" timpal Pelangi.
"Iya, Pelangi benar. Kalau gitu, kita ganti pakaian sambil menunggu hujan reda di gerai makanan ringan itu, mau?" Sena menunjuk ke arah gerai yang menjual camilan.
"Let's go!" Pelangi langsung menarik lengan Sena untuk segera berganti pakaian.
Dua gelas cokelat panas dan berbagai makanan manis sudah terhidang di meja pesanan keduanya. Sembari menikmati hidangan yang menghangatkan tubuh tersebut, Sena dan Pelangi juga berbincang-bincang kecil. Entah itu tentang hari-hari Pelangi di sekolah setelah kecelakaan, atau tentang buku-buku yang sekarang sedang digemari anak itu. Apa saja selama bisa membunuh rasa bosan kala mereka menunggu hujan reda.
Tak sengaja mata Sena tertuju pada sebuah keluarga kecil yang juga sedang berteduh di tempat yang sama dengan mereka. Sena pun memutar otak mencari cara untuk memulai pembicaraan dengan Pelangi.
"Lihat deh, adik kecilnya lucu, ya?" ucap Sena pada putrinya seraya menunjuk pada balita yang sedang digendong ayahnya.
Pelangi yang tengah menikmati kue cokelatnya seketika menoleh ke arah yang ditunjuk Sena. Gadis kecil itu kemudian mengangguk lalu kembali fokus pada makanannya yang membuat Sena hanya bisa menghela napas kecil.
"Pelangi?"
"Ya, Mama."
"Boleh kita bicara yang agak sedikit serius?"
Pelangi segera meletakkan alat makannya dan segera memusatkan perhatian pada Sena. Ia mengerti jika Sena mengajaknya berbicara yang sedikit serius layaknya orang dewasa. Itu artinya Pelangi akan diajak berpikir dan memberi pendapatnya sendiri.
Sesaat lamanya Pelangi menunggu, namun Sena belum juga bicara. Ia memiringkan kepalanya berusaha mengamati raut wajah sang mama.
"Mama mau bicara serius apa?"
Sena menghela napas, memberi perhatian penuh dengan menatap wajah putrinya.
"Selama ini kamu selalu tanya Mama, di mana Papa Pelangi, kan?"
Seakan mengerti arah pembicaraan ibunya, Pelangi sedikit terkesiap mendengar ucapan Sena. Namun gadis kecil itu tak menyela. Hanya menunggu hingga Sena menyelesaikan perkataannya.
"Pelangi masih ingin bertemu dengan Papa?" tanya Sena hati-hati sekali.
Gadis kecil itu tidak menunggu lama untuk menjawab. Anggukan antusias langsung ia berikan. Melihat jawaban putrinya, ada dua sisi yang berkecamuk dalam hatinya. Sisi pertama ia merasa lega karena ternyata Pelangi bisa dengan tenang menerima kehadiran ayah yang selama ini tak pernah ada di sampingnya.
Namun sisi satunya lagi, Sena merasa kan sedikit kecemburuan karena kesediaan Pelangi yang tanpa ragu untuk bertemu ayahnya. Padahal gadis kecil itu tumbuh bersamanya. Tapi mengapa dengan mudah ia bisa menerima kehadiran Aditya.
Semua itu mungkin tak lepas karena kebaikan hati Sena yang tak pernah menjelekkan sosok ayahnya pada Pelangi. Hingga tak sedikit pun tumbuh rasa marah pada hati gadis kecil itu meski tidak tumbuh dengan kasih sayang seorang ayah.
"Kenapa kamu ingin bertemu Papa?" tanya Sena mengungkapkan rasa ingin tahunya.
Apa yang dipikirkan dan dirasakan Pelangi tidak sepenuhnya bisa Sena rasakan meski ia adalah ibunya. Terkadang gadis kecil itu memiliki keinginannya sendiri. Dan saat ini Sena benar-benar ingin tahu apa yang dirasakan Pelangi pada sosok ayah yang tidak pernah ditemuinya.
"Pelangi rindu Papa."
Jawaban sederhana dan polos dari anak itu membuat pertahanan hati Sena runtuh seketika. Sesaat ia berpikir betapa ia mungkin kejam terhadap Pelangi karena merahasiakan siapa ayahnya selama ini pada gadis kecil itu. Walau semua ini dilakukan Sena karena memang ia harus melakukannya. Tidak mungkin baginya membawa Pelangi ke hadapan Aditya saat anaknya mengatakan ingin bertemu. Selain harga diri, janji yang ia ucapkan pada Aditya menjadi satu alasan dirinya tidak akan muncul di hadapan pria itu lagi.
Tapi ternyata Tuhan maha membolak-balik keadaan. Bukan Sena yang harus menjilat ludahnya. Tapi Aditya sendiri yang datang padanya untuk Pelangi.
Dan kata rindu yang diucapkan Pelangi mengandung banyak sekali makna yang tidak bisa Sena jabarkan.
"Kenapa Pelangi rindu, Papa. Pelangi kan, nggak pernah ketemu. Papa juga tidak pernah datang menemui Pelangi. Kenapa harus rindu?"
Sena tahu tak pantas menanyakan hal sensitif seperti itu pada anak kecil. Namun rasa ingin tahu benar-benar menggelitiknya.
"Memang salah kalau Pelangi rindu? Itu kan, Papa Pelangi. Mama selalu bilang, nanti Papa pasti akan datang. Jadi Pelangi harus sabar. Anak yang sabar, keinginannya pasti terkabul. Pelangi rindu Papa. Pelangi ingin sekali ketemu Papa."
"Pelangi, pernah benci nggak sama Papa karena Papa nggak pernah datang menemui Pelangi?"
"Tidak."
Sena dibuat tertegun dengan jawaban anaknya. "Kenapa?" tanyanya kemudian.
"Karena Mama, Nenek, Om Kal, Ibu guru di sekolah tidak mengajarkan untuk membenci. Kita boleh marah sama orang lain. Kesal juga boleh. Tapi tidak boleh membenci. Ibu guru bilang benci bisa membuat penyakit hati. Penyakit hati itu tidak baik."
Sena dibuat terpana oleh ucapan putri kecilnya.
"Allah juga tidak suka kalau kita saling membenci, kan?"
Sena langsung mendekap tubuh Pelangi membuat gadis kecil itu terkesiap. Cairan bening yang sejak tadi menggantung di pelupuk mata sebisa mungkin Sena tahan agar tidak keluar. Namun usahanya sia-sia karena titik bening itu tetap jatuh membasahi pipinya meski tidak mengalir deras.
"Mama?" panggil Pelangi yang masih terheran karena Sena masih memeluk erat dirinya.
"Thank you, Baby ..." lirih Sena yang samar-samar didengar Pelangi.
Pelangi tak membalas, namun gadis kecil itu hanya tersenyum seraya melingkarkan lengan kecilnya ke tubuh Sena. Meski tak mengerti untuk apa ucapan terima kasih itu, tapi Pelangi mampu merasakan kelegaan yang terlepas dari hati Sena.
...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top