Chapter 38 - Mulai Bergerak

Ada yang berbeda dengan Aditya. Selama ini Netta mengenal suaminya sebagai pria yang tidak begitu peduli pada apapun yang terjadi padanya. Namun sekembalinya Netta, dia yakin ada yang berubah pada sang suami.

Netta yang menghabiskan 3 harinya di luar kota memang tidak mengetahui kecelakaan yang menimpa Pelangi. Setelah ia dan Sena saling berbicara terbuka, memang Netta belum memiliki waktu lagi untuk mengunjungi Sena dan Pelangi. Selain karena kesibukannya membantu persiapan pernikahan sang sahabat, Netta juga masih disibukkan dengan urusan keluarga besar mereka. Terlebih dengan kondisi kehamilannya yang semakin membesar.

Bukan Aditya tak memerhatikannya sebagai seorang istri. Hanya saja perhatian Aditya pada Netta selama ini hanya didasari atas tanggung jawab seorang suami. Berbeda sekali ketika Netta baru menginjakkan kaki di rumah sekembalinya ia dari luar kota. Pria itu menanyakan banyak hal padanya. Lebih-lebih lagi tentang kondisi dirinya dan bayi mereka.

"Ada yang mau aku bicarakan setelah makan malam. Kamu punya waktu sebentar?" tanya Aditya sebelum mereka menyantap hidangan makan malam.

Meski bingung, Netta tetap mengangguk setuju. Selama menikmati hidangan, Aditya tak berucap sepatah kata pun. Membuat Netta bertanya-tanya apa gerangan yang ingin suaminya bicarakan. Sampai ketika makan malam berakhir, dan keduanya berada di ruang keluarga untuk bicara empat mata.

"Apa yang mau Mas bicarakan?" Netta tak sabar bertanya setelah memosisikan dirinya di sofa dengan nyaman.

"Beberapa waktu lalu Pelangi mengalami kecelakaan ..."

"Hah? Kapan, Mas?" potong Netta dengan keterkejutan yang tak bisa disembunyikan.

"Saat ini Pelangi sudah kembali ke rumah."

"Syukurlah ..." Netta bernapas lega. "Lalu, hal yang sebenarnya ingin Mas bicarakan itu apa?"

"Saat Pelangi mengalami kecelakaan, dia butuh donor darah. Dan sebagai orang yang punya hubungan darah dengannya, aku mendonorkan darah untuk Pelangi."

Netta menatap serius sang suami. "Itu memang kewajiban kamu, Mas."

"Kalau sekarang aku ingin mengakui Pelangi sebagai putri kandung ..."

"Mas!" pekik Netta memotong ucapan Aditya. "Teganya kamu! Apa tidak cukup dulu kamu mengabaikan Sena dan sekarang kamu mau memisahkan ibu dan anaknya?"

Aditya memijat pelipisnya yang tiba-tiba saja terasa berdenyut. Ia bingung mengapa para perempuan begitu cepat mengambil kesimpulan bahkan sebelum Aditya mengutarakan inti pembicaraan mereka.

Tentu saja Netta tidak bisa disalahkan jika wanita itu langsung berkesimpulan. Mengingat rekam jejak Aditya yang dulunya menelantarkan Sena.

"Bukan itu maksudnya, Netta. Tolong dengar dulu apa yang mau aku sampaikan hingga akhir." Aditya berusaha menenangkan istrinya.

"Kalau Mas sampai mau memisahkan ibu dan anak itu, aku nggak akan setuju."

"Bukan begitu, Netta. Aku ingin mengakui Pelangi sebagai darah dagingku tanpa memisahkan Sena dan anaknya. Pelangi akan diakui sebagai anak kandungku secara hukum. Sena sudah setuju dengan syarat hak asuh Pelangi akan sepenuhnya berada di tangan ibunya. Sena juga tidak akan membatasi komunikasi dan pertemuan kita dan Pelangi."

Kali ini Netta tampak berkaca-kaca. Mungkin inilah yang ia tunggu dari Aditya, pengakuan pria itu terhadap putri kandungnya. Tidak masalah selama apa, yang paling penting adalah Aditya menyadari kesalahannya dan bersedia bertanggung jawab untuk Pelangi. Sebaik apapun Sena membesarkan Pelangi, tetap saja anak itu perlu mengetahui sosok ayah kandungnya.

"Jika memang itu rencana Mas, aku sama sekali nggak keberatan. Kapan Mas dan Sena akan melakukan pencatatan secara hukum?"

"Sena mau kita bicara dulu dengan keluarga besar mengenai keberadaan Pelangi. Sena tidak mau ada masalah nanti. Kamu tahu bagaimana karakter keluarga besar kita."

Diingatkan akan keberadaan keluarga besar mereka, membuat Netta menyadari masalah terbesar yang akan mereka hadapi perihal pengakuan Pelangi nanti. Namun melihat bagaimana Aditya tampak tak goyah dengan keputusannya, Netta pun percaya mereka bisa melewati segala drama keluarga yang mungkin terjadi.

"Apapun keputusan Mas nanti, aku akan dukung sepenuhnya. Yang paling penting jangan sampai segala permasalahan yang terjadi akan menyakiti Pelangi. Perasaan Pelangi yang paling utama yang kita jaga."

Untuk pertama kalinya Aditya menyadari betapa beruntung dirinya memiliki istri seperti Netta. Tidak hanya wanita itu mau menerima masa lalunya, bahkan Netta pun tak keberatan dengan keberadaan Pelangi. Jika Netta dengan mudahnya menerima, mengapa Aditya masih harus menahan diri menerima Netta di dalam hatinya?

Apa yang terjadi pada Pelangi banyak mengubah pandangan Aditya. Salah satunya tentang keluarga dan anak. Tanpa sadar tatapan Aditya tertuju pada perut besar istrinya. Ia yang selama ini kurang memberi perhatian pada calon anak mereka seketika merasa tertampar. Pelangi memberikannya kesadaran betapa berharga kehadiran seorang anak. Maka dari itu ia juga harus mulai peduli pada perkembangan anaknya dan Netta.

"Kapan waktu kontrol kehamilan kamu selanjutnya?" tanya Aditya selanjutnya.

Netta tentu saja merasakan kebahagiaan bertubi karena Aditya mulai memberi perhatian pada calon buah hati mereka.

"Minggu depan. Mas mau ikut?" tanya Netta tak ingin menyiakan kesempatan.

"Iya, aku ingin melihat perkembangan anak kita."

Entah sudah berapa lama Netta membayangkan Aditya yang memberikan perhatian padanya. Namun ketika hal tersebut menjadi nyata, semua terasa seperti mimpi. Aditya, pria yang ia kenal selalu acuh tak acuh kini mulai membuka hatinya. Penantian dan kesabaran Netta mulai berbuah manis. Mungkin ini juga berkat Pelangi. Gadis kecil itu seperti malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk memberikan keajaiban dalam kehidupan mereka.

...

Setelah beristirahat untuk waktu yang cukup lama, hari ini akhirnya Pelangi bisa kembali ke sekolah. Ia yang sudah merindukan teman-teman dan sekolahnya begitu tak sabar untuk segera berjumpa dengan semuanya.

Gadis kecil itu dengan senyum mereka sedang merapikan dirinya di depan cermin. Berkali-kali memastikan agar penampilannya tidak menunjukkan kesalahan sedikit pun. Gelagatnya membuat Sena mengulas senyum ketika membuka pintu kamar demi mendapati sang putri bersikap layaknya para wanita dewasa.

"Anak Mama sudah rapi dan cantik, kok," puji Sena yang membuat Pelangi tersenyum malu sembari menutup bibir dengan kedua telapak tangannya.

Sena mendekati Pelangi, mengambil sisir untuk menata rambut putrinya.

"Hari ini rambutnya mau ditata bagaimana?"

"Dikuncir dua, boleh?"

"Boleh, dong. Tunggu sebentar ya, Princess."

Lagi, Pelangi dibuat tertawa geli mendengar panggilan ibunya. Selama ini Sena jarang memanggilnya dengan panggilan yang biasanya disukai anak-anak. Panggilan yang membuat mereka merasa spesial, namun entah mengapa tidak berlaku bagi Pelangi. Ia lebih senang ibu dan keluarga memanggil namanya atau dengan sebutan sayang. Membuatnya merasa sebagai anak paling istimewa dan dicintai.

Ketika tiba di ruang makan, Pelangi disambut sapaan hangat dari keluarga. Melihat gadis kecil itu sudah kembali bergerak ceria memberi mereka kelegaan. Entah bagaimana jadinya keluarga itu tanpa kehadiran Pelangi yang selalu memberi warna bagi kehidupan mereka.

"Mulai hari ini tugas antar jemput Pelangi akan jadi tanggung jawab, Mas. Kamu jangan lagi protes dengan bilang itu merepotkan dan menyita waktu, Mas. Toh, Mas juga sekalian antar jemput Arina. Dengan kehamilan yang sekarang, nggak mungkin lagi Mbakmu ini ke mana-mana naik motor seperti dulu."

Setelah mimpi buruk kecelakaan Pelangi, tentu Sena tidak punya alasan untuk menolak keputusan Sekala. Terlebih masih ada trauma dan ketakutan baginya untuk membawa Pelangi berkendara bersamanya seperti dulu. Bukan Sena tak ingin menghabiskan waktu dengan putrinya. Namun saat ini keamanan Pelangi yang paling utama. Mungkin nanti dengan berjalannya waktu ketika trauma ibu dan anak terlewati, mereka bisa berbincang dalam perjalanan dengan sepeda motor seperti dulu.

"Selamat kembali ke sekolah da bertemu dengan teman-teman. Belajar dengan giat dan jadi anak baik  selama di sekolah, ya. Semoga hari Pelangi menyenangkan."

Sena memberikan kecupan setelah wejangan panjang sebelum melepas Pelangi untuk berangkat ke sekolah.

"Mama juga. Semoga harinya menyenangkan di kantor. Assalamualaikum, Pelangi berangkat, ya ..."

Pelangi melambaikan tangan pada ibu dan neneknya dari dalam mobil. Setelah mengucapkan salam, Sekala pun melajukan kendaraannya meninggalkan kediaman mereka. Sena tetap berdiri di depan rumah sampai mobil yang membawa putrinya tak lagi terlihat. Ia pun harus segera bersiap untuk kembali ke kantor.

Satu hal yang Sena syukuri adalah keringanan yang diberikan pihak kantor padanya ketika ia harus mengambil cuti untuk menjaga Pelangi. Atasannya mengizinkan Sena untuk bekerja dari rumah dan tak harus datang ke kantor selama masa pemulihan Pelangi. Rekan-rekan kerjanya pun begitu koperatif. Tak ada satu pun yang merasa iri atau menganggap Sena terlalu mendapat perlakuan spesial. Mereka semua mengerti dan turut bersedih atas kecelakaan yang menimpa Pelangi. Bahkan ketika Pelangi sudah kembali ke rumah, mereka berencana mengadakan pesta kecil untuk kesembuhan gadis itu yang jelas ditolak Sena. Dan berakhir hanya dengan pesta syukuran kecil yang untuk keluarga dan teman dekat saja.

Namun baru saja Sena akan kembali ke rumah, sebuah mobil yang sudah tidak asing lagi tiba-tiba berhenti di hadapannya. Seketika Sena pun menghentikan langkahnya demi menunggu sang pemilik mobil keluar. Tak berapa lama Wisnu kini sudah berdiri di depannya.

"Mas Wisnu, ada apa pagi-pagi begini sudah mampir?" tanya Sena yang bingung dengan kehadiran pria itu.

"Saya berencana mau mengantar kamu dan Pelangi. Pastinya kamu masih memiliki ketakutan membekas dari kecelakaan kemarin, kan?"

Sena tak bisa memungkiri, namun tetap saja kehadiran Wisnu membuatnya bertanya-tanya. Ia merasa tak enak hati karena selama ini sudah merepotkan pria itu. Terlebih saat Wisnu menghabiskan waktunya yang berharga demi menemani Sena selama menjaga Pelangi.

"Mulai sekarang Mas Kal yang akan antar jemput Pelangi. Tapi terima kasih karena Mas Wisnu sudah meluangkan waktunya "

"Kalau begitu biar saya antar kamu ke kantor."

"Terima kasih tapi saya nggak mau merepotkan Mas Wisnu."

"Ada hal yang juga saya ingin bicarakan dengan kamu, Sen. Bisa luangkan waktu kamu pada jam makan siang nanti?"

Sena benar-benar menolak, namun mengingat kembali betapa Wisnu banyak membantunya selama ini, akhirnya Sena mengalah. Ia pun bersedia menerima tawaran Wisnu untuk mengantarnya ke kantor.

Dalam perjalanan Wisnu menjadi orang yang aktif berbicara agar suasana tidak tampak senyap. Karena ia tahu bahwa Sena bukan orang yang aktif dalam membawa topik pembicaraan. Wanita itu hanya akan banyak bicara pada keluarga dan putrinya.

Tak terasa mereka sudah tiba di kantor Sena. Sebelum Sena turun dari mobilnya, Wisnu sekali lagi mengingatkannya bahwa siang nanti ia akan menjemputnya. Diingatkan seperti itu tentu saja membuat pikiran Sena menjadi menentu. Ia menebak-nebak hal penting apa yang akan Wisnu ingin bicarakan dengannya.

Berapa saat setelah sosok Sena tak lagi terlihat, Wisnu belum beranjak dari tempatnya. Pria itu seperti terhanyut dalam pikirannya. Beberapa waktu lalu Wisnu tak terlalu ambil pusing dengan tawaran Sekala perihal mendekati adik perempuannya. Meski hanya ungkapan sambil lalu, namun Wisnu tahu dibalik ucapannya, Sekala berharap adiknya bertemu pria yang tepat sebagai jodohnya. Saat itu Wisnu tak terlalu menganggap keinginan Sekala. Ia pun merasa tak ada salahnya saling mengenal lebih dulu. Toh, meski ia dalam proses mencari pendamping tapi Wisnu sedang tidak terburu-buru.

Namun semakin mengenal Sena, Wisnu semakin dibuat jatuh hati pada sosoknya. Tak hanya ia adalah wanita kuat namun Sena juga adalah sosok ibu yang hebat. Di mana ia mampu mendidik putrinya menjadi anak yang penurut dan pintar. Tak banyak perempuan yang ia kenal mampu bersikap seperti Sena. Selalu nerusaha menegakkan kepala demi putrinya meski banyak telunjuk diarahkan padanya. Ketangguhan Sena itulah yang membuat Wisnu semakin tertarik padanya. Menghabiskan waktu dengan Sena dan Pelangi memberikan ia gambaran keluarga yang Wisnu dambakan.

Cinta memang tak tumbuh dalam semalam. Wisnu pun tahu rasa cinta masih berkembang dalam hatinya untuk Sena dan Pelangi. Namun dibandingkan dengan cinta, kekaguman dan rasa ingin melindungi yang ia rasakan jauh lebih kuat dari rasa cinta itu sendiri. Lebih lagi saat ia bertemu sosok Aditya. Wisnu bisa memahami mengapa gadis muda seperti Sena dulu bisa jatuh hati pada pria itu. Aditya memiliki pesona yang pastinya sulit ditolak para wanita.

Walau tak ada jalan bagi Sena dan Aditya untuk bersatu. Namun memiliki Pelangi yang menjadi penghubung diantara mereka bukan tak mungkin memunculkan perasaan yang pernah ada. Membayangkan hal itu membuat Wisnu berpikir ia harus bergerak jika tak intin kehilangan kesempatan menjadi bagian dari hidup Sena dan Pelangi. Pemikiran yang membuat Wisnu bergidik sendiri. Sudah sejauh itukah ia memikirkannya?

Siang ini yang pasti Wisnu harus menyampaikan maksudnya pada Sena dengan sejelas mungkin. Tidak peduli bagaimana tanggapan Sena nanti. Ia akan berusaha membuat wanita itu paling tidak bersedia memberikan kesempatan pada mereka.

Sena sendiri saat jni sedang disibukkan kembali dengan pekerjaannya. Rekan-rekan kerja menyambut kedatangannya dengan gembira. Meski tak lama Sena pun mengakui dirinya merindukan suasana kerja yang paling tidak membuat pikirannya teralih dari kemalangan yang sempat menimpanya.

Hingga ketika waktu makan siang tiba, Sena mendapat telepon dari Wisnu, barulah ia kembali dibuat gugup. Sena bukan lagi gadis muda yang gampang dibuat tersipu . namun ketika berhadapan dengan tatapan serius pria dewasa seperti Wisnu, jantungnya dibuat berdebar tak karuan. Tak mungkin membuat Wisnu menunggu terlalu lama , Sena akhirnya menghampiri pria itu.

“Ayo, masuk,” ajak Wisnu begitu Sena tiba di samping kendaraannya.

Wisnu membawa Sena ke restoran yang berada berseberangan dengan kantor Sena demi menghemat waktu. Meski pembicaraan yang akan mereka lakukan Wisnu rasa bersifat serius dan harusnya tidak dilakukan dengan waktu yang terburu-buru. Namun Wisnu harus mengesampingkan hal itu demi Sena.

“Kamu mau makan apa?” Wisnu memberikan buku menu pada Sena yang duduk di hadapannya.

“Paket menu ayam goreng,” pilih Sena tanpa melihat menu. Ia dan beberapa rekan kerjanya sering makan siang di restoran ini hingga ia tahu beberapa menu yang sudah mereka coba.

“Mbak,” Wisnu memanggil seorang pramusaji untuk menerima pesanan mereka. “Menu paket ayam gorengnya 2, ya.”

“Baik. Bapak , Ibu mohon ditunggu pesanannya.”

Setelah sang pramusaji berlalu dari hadapan mereka, Wisnu kini memfokuskan pandangannya pada Sena yang lagi-lagi membuat Sena gugup. Perempuan itu segera menundukkan tatapan berpura-pura sibuk dengan ponselnya. Tentu saja Wisnu tahu Sena sedang menghindari tatapannya. Namun begitu Wisnu tidak merasa terganggu. Ia hanya tersenyum kecil menyadari kegugupan wanita di hadapannya tersebut.

“Kamu bisa rileks, Sena. Apa yang akan saya bicarakan jangan sampai membebani pikiran kamu.”

Belum bicara saja Sena sudah kepikiran, bagaimana jika nanti pria itu mengutarakan pikirannya?

“Mas Wisnu memang mau bicara apa?”

“Saya tidak akan berbicara panjang lebar untuk saat ini. Tapi satu hal yang saya ingin bicarakan adalah apa kamu  bersedia mencoba menjalin hubungan dengan saya?”

Sena benar-benar dibuat jantungan dengan ucapan yang baru saja dilontarkan Wisnu. Selama ini Sena menganggap  Wisnu tak ubahnya seperti ia menganggap Sekala. Sosok kakak lelaki yang melindungi. Walau tak bisa Sena pungkiri Wisnu adalah pria bertanggung jawab yang pasti akan membuat wanita mudah luluh dengan karismanya. Pria yang patut dipertimbangan sebagai calon pasangan hidup. Hanya saja bagi Sena, ia sudah lama memendam keinginan tersebut. Walau ia sangat ingin membahagiakan keluarga dengan sebuah pernikahan. Namun Sena tahu hal itu bukan lagi harapan terbesarnya.

“Mas Wisnu, bukan saya mau tidak ingin bersyukur ada seseorang yang peduli pada saya. Namun Mas juga tahu kan dengan status saya, bukan tidak mungkin aka nada gunjingan yang dilemparkan pada Mas dan keluarga. Dan saya nggak mau hal itu sampai terjadi.”

“Berhubungan dengan siapapun tidak akan lepas dari setiap komentar orang lain. Bahkan apa yang terjadi dalam hidup kita juga akan menjadi bahan cerita orang lain, Sena. Hanya saja semua tergantung bagaimana kita akan menyikapinya. Apakah akan terus terpaku pada setiap komentar orang atau menjalani hidup kita sebaik mungkin tanpa perlu memikirkan ucapan mereka.”

Melihat Sena yang tampak ragu dan seolah akan kembali mengeluarkan argumen penolakan, Wisnu dengan cepat kembali berucap, “semua keputusan ada di tangan kita, Sena. Hidup kita, bahagia kita, semua kita yang menentukan. Dan saya rasa kebahagiaan saya adalah dengan bersama kamu dan Pelangi. Karena itu saya tidak akan peduli apa kata orang-orang nantinya dengan apa yang sudah saya putuskan!”

Mereka akan melanjutkan berbicara ketika pramusaji mengantarkan pesanan. Tak ingin waktu makan siang Sena terbuang percuma, Wisnu pun mempersilakan Sena untuk menikmati makan siangnya. Pembicaraan mereka bisa dilanjutkan nanti. Karena waktu yang mereka miliki masih panjang.

“Terima kasih atas makan siangnya, Mas,” pada akhirnya hanya itu yang bisa Sena ucapkan ketika Wisnu mengantarkan kembali ke kantor.

“Apa yang saya sampaikan tadi adalah sebuah keseriusan, Sena. Saya tidak akan mendesak kamu, tapi saya harap kamu bisa memikirkannya dan memberikan sedikit kesempatan untuk saya membuktikan keseriusan ucapan saya.”

Sena menatap tepat ke netra Wisnu yang kali ini tampak berbeda dari biasanya. Segala jawaban yang tadinya berputar di kepala Sena seketika buyar. Tanpa sadar wanita itu hanya menganggukkan kepala. Hingga membuat senyum Wisnu merekah.

note : maaf ya membuat kalian nunggu lagi. Ini benar-benar kejadian di luar prediksi. Lenny tiba² mati lagi. Dan aku belum bisa benarin karena kang operatornya sedang sibuk banyak kerjaan. Dan setelah dua minggu aku anggurin, sore tadi tiba² ntah kena firasat apa pokoknya aku coba² nyalain Lenny dan Alhamdulillahnya Lenny nyala setelah 2-3 kali aku nyalain mati nyalain lagi terus restart dan akhirnya dia mau hidup. Ya Allah langsung ngucap syukur berkali-kali aku 🥺 dan semoga nih minta doanya biar Lenny tetap sehat ya. Karena planningku SP itu wisudanya tengah bulan ini loh. Dan jadi ketunda lagi. Dan akhirnya nih, SP tinggal 2 part lagi nih di wp sebelum dia wisuda. Bismillah semoga dalam minggu ini selesai ya. Aku bakal kebut mulai malam ini untuk nulis 2 part terakhir. Dan ya ... Terima kasih untuk kalian semua pembaca setia Senandung Pelangi.

ps : makasih koreksi typonya ya karena kelar nulis langsung upload. Nanti aku benarin ❤️

Rumah, 28/05/24

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top