Chapter 36 - Berdamai Dengan Masa Lalu
Sepeninggal Aditya, Sena masih terus terisak sembari melantunkan protes pada Sekala. Ia masih tidak terima mengapa Sekala mengizinkan pria itu untuk mendonorkan darahnya pada Pelangi. Namun Sekala berusaha untuk menenangkan adiknya.
"Pelangi sedang berjuang. Karena itu sebagai Ibunya kamu juga harus berjuang. Berhenti terpaku pada masa lalu. Sakit hatimu, rasa dendanmu, tidak akan memberikan apapun untuk masa depan kamu dan Pelangi. Ikhlas kan, Sena. Apa yang telah Allah tentukan tidak akan pernah menjadi penderitaan bagi kamu. Apa yang sudah kamu lewati selama ini bersama Pelangi adalah sebuah ujian. Dan kali ini, ujian paling berat yang Allah berikan hanya agar kamu menjadi pribadi yang lebih baik lagi." Sekala berusaha menasihati Sena yang masih bersandar di pelukannya.
"Tapi ujian kali ini terlalu berat, Mas Kal," rintih Sena lirih.
Sekala mengangguk. "Iya, ujian kali ini memang terlalu berat. Tapi Mas yakin, Allah memberikan hal yang jauh lebih baik untuk kamu ke depannya."
Sena masih terisak dan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Masih belum menerima pernyataan yang Sekala lontarkan. Jika memang Tuhan ingin mengujinya, mengapa harus dengan Pelangi. Mengapa harus dengan kehadiran sosok Aditya. Sena tidak mengharapkan ujian seperti ini. Tidak ketika ujian tersebut benar-benar membuatnya berhadapan dengan masa depan dan masa lalu sekaligus.
"Mas Kal ..." panggil Sena lagi. "Apa yang harus Sena lakukan nanti?"
Ia benar-benar tidak bisa berpikir jernih saat ini. Dengan Pelangi yang sedang berjuang. Dengan hadirnya Aditya yang tengah mendonorkan darahnya untuk Pelangi. Juga dengan hal apa yang akan terjadi ke depannya nanti. Kepala Sena serasa buntu.
"Saat ini, berfokus untuk kesembuhan Pelangi. Hal lain, bisa kita hadapi nanti bersama."
Sena kembali menangis di pelukan Sekala. Mengingat Pelangi, ia benar-benar tidak bisa menahan dirinya. Semua kilasan kecelakaan tadi kembali mengulas di kepalanya. Ingin menyalahkan keadaan, tapi Sena tahu itu artinya ia ingin menyalahkan yang Kuasa. Dan ia tidak akan pernah bisa menentang semua ketentuan Tuhan. Pun ketika Aditya hadir di sini untuk mendonorkan darahnya bagi Pelangi.
"Semua sudah ditakdirkan ya, Mas?" gumam Sena tiba-tiba disela tangisnya.
Sekala memandang adik yang ada dipelukannya kala mendengar gumaman tak jelas Sena. Namun ia tahu apa maksud yang ingin disampaikan Sena melalui ucapannya.
"Um, semua memang Allah sudah takdirkan. Termasuk pertemuan kamu dan pria itu. Tidak akan selamanya kamu bisa menghindar atau bersembunyi. Tidak akan selamanya juga kamu bisa menutupi siapa ayah kandung Pelangi. Benar atau tidak, jalannya akan selalu sama. Rahasia tidak akan pernah selamanya bisa tertutup rapat. Pelangi berhak tahu. Dan pria itu pun berhak mengakui jika dia memang menginginkan."
Sena akan menyela akan tetapi Sekala dengan cepat meletakkan telunjuknya di bibir sang adik.
"Mas tahu kamu ingin bilang apa. Hanya saja apa yang Mas sampaikan adalah kebenarannya. Tapi kamu tidak perlu takut. Andai pria itu ingin merebut Pelangi dari kamu, kita akan berjuang mempertahankan Pelangi. Karena yang berhak mengasuh Pelangi sepenuhnya adalah kamu, ibunya."
Mendengar ucapan Sekala, kali ini akhirnya Sena merasa lega. Ia yang tadinya membayangkan akan kehilangan Pelangi, seketika menjadi lebih tenang. Karena ia tahu, tidak ada yang bisa memisahkan seorang anak dari ibunya. Seketika juga Sena mengingat keluarga Aditya. Belum tentu juga mereka akan setuju menerima Pelangi. Terlebih dengan statusnya sebagai anak di luar pernikahan yang sah.
Setelah merasa Sena sudah cukup tenang, Sekala melepaskan pelukannya yang digantikan oleh ibu dan istrinya. Sementara Sekala mendekati sahabatnya, Wisnu yang sejak tadi hanya berdiam diri menyaksikan semua. Sebagai orang luar, Wisnu tahu tidak banyak yang ia bisa lakukan selain hanya berdoa sepenuh hati untuk keselamatan Pelangi.
"Terima kasih ya, Nu," Sekala menepuk pelan pundak Wisnu.
Pria itu menggeleng. "Itu bukan apa-apa, Kal. Andai ada hal yang lebih baik yang bisa saya lakukan untuk Pelangi."
Kali ini giliran Sekala yang menggelengkan kepala. "Tidak ada yang bisa kita lakukan jika Allah sudah berkehendak, Nu. Saya malah bersyukur ada kamu di sana. Entah apa yang akan Sena lakukan andai hanya dirinya sendiri yang menghadapi situasi tadi. Justru karena adanya kamu, Sena masih bisa berpikir jernih. Dan ada kamu yang dengan cepat mengambil tindakan jadi Pelangi bisa segera dibawa ke rumah sakit."
Wisnu mengangguk. Benar apa yang Sekala katakan. Tidak seharusnya mereka mempertanyakan apa yang sudah Tuhan gariskan. Dibalik baik buruk kejadian, tetap ada hikmah yang terkandung dari peristiwa tersebut.
Tak berapa lama kemudian, Aditya berjalan dengan sebelah tangan yang memegangi lengannya yang baru saja dilakukan proses transfusi. Semua mata memandang padanya. Meski ada dendam yang belum terselesaikan, namun Sena dan keluarganya tahu jika sekarang bukan saatnya untuk bicara perkara dendam. Karena mereka semua saat ini sedang menunggu kabar dari Pelangi.
Tidak ada yang mengajak Aditya berbicara. Pria itu hanya duduk di salah satu kursi tunggu yang berjarak beberapa meter dari Sena dan keluarganya. Meski begitu Aditya tahu jika orang-orang yang ada di sisi Sena tengah memerhatikan dirinya. Entah dalam hal baik atau buruk. Namun Aditya yakin keluarga Sena juga memberi sumpah serapah pada dirinya dalam hati mereka. Hal itu tentu tak bisa dihindari mengingat Aditya adalah sumber petaka bagi kehidupan Sena.
Namun bukan hanya pihak Sena saja yang berhak berprasangka padanya. Aditya pun memiliki haknya tersendiri untuk menolak tudingan sebagai perusak masa depan Sena. Mengingat selama mereka menjalani hubungan terlarang tersebut dahulu, Aditya sudah menegaskan pada Sena jika dirinya tidak akan bertanggung jawab andai mereka berpisah. Dan Sena, sebagai perempuan yang saat itu masih mengagungkan perasaan bersedia menerima syarat tersebut.
Hanya saja tidak ada yang peduli akan apa yang Aditya pikirkan saat ini dan mungkin nanti. Karena semua telah terjadi, tidak gunanya jika Aditya membawa permasalahan yang lalu untuk dicari mana benar dan salahnya.
Setelah menunggu hampir empat jam lamanya, pintu ruang operasi akhirnya terbuka. Dokter yang bertanggung jawab melakukan operasi akhirnya keluar disusul petugas lainnya. Gurat lelah terlihat jelas di wajah mereka. Namun bisa dilihat ada kelegaan yang terpancar dari mata sang dokter.
Sena dan yang lainnya segera menghampiri sang dokter untuk mengetahui hasil dari operasi yang berlangsung bagi mereka sangat lama tersebut. Rasa cemas dan takut belum lepas dari dalam hati mereka.
"Bagaimana kondisi putri saya, dokter?" tanya Sena langsung tanpa bisa menunggu lagi.
Sang dokter tidak merasa terganggu dengan Sena yang langsung menghampirinya. Sebagai seorang ayah yang juga memiliki anak perempuan, tentu saja ia dapat berempati dengan apa yang Sena rasakan saat ini.
"Alhamdulillah, operasi berjalan lancar. Saat ini putri Ibu masih dalam pengaruh anastesi. Beruntung kita cepat mendapatkan donor darah sehingga apa yang kita takutkan, Insyaa Allah tidak akan terjadi," ucap sang dokter sembari memegang pergelangan tangan Sena yang ia rasakan bergetar hebat.
Mendapat jawaban melegakan dari sang dokter, membuat cengkeraman di hati Sena terlepas seketika. Ia yang sejak tadi berusaha menahan diri pun akhirnya menyerah. Ia terjatuh tak sadarkan diri. Beruntung Sekala dan Wisnu dengan sigap menangkap tubuh Sena yang terkulai tak berdaya. Segera keduanya membawa Sena ke ruangan yang disediakan oleh seorang perawat.
"Biar saya yang tunggu Sena di sini. Kamu bisa bawa Ibu dan istrimu untuk istirahat sekaligus mengurus administrasi Pelangi, Kal," Wisnu memberikan saran.
Sekala yang tidak mungkin dapat mengendalikan semuanya dengan lega hati menerima bantuan Wisnu. Ia masih harus menenangkan ibunya dan Arin yang juga sedang hamil. Kedua wanita itu juga membutuhkan Sekala untuk dapat tetap berpikir jernih di tengah keadaan kalut mereka saat ini.
...
Ketika kembali membuka mata, Sena melihat dirinya berada di ruangan serba putih. Ia mengalami disorientasi sejenak hingga perlahan ingatan itu kembali. Kejadian saat kecelakaan nahas itu menimpa putri kecilnya. Seketika Sena menangis tersedu sembari memeluk dirinya sendiri. Ia juga terus terisak memanggil nama putrinya.
Wisnu yang sejak hilangnya kesadara Sena terus berada di samping wanita itu menjaga pun seketika terhenyak. Ia segera mendekati Sena guna menenangkannya.
"Sena, hei ... kamu kenapa?" Wisnu menepuk lembut pundak Sena yang sedang terisak dengan tangan yang menutupi wajah.
Sena segera mengangkat wajahnya yang sudah bersimbah airmata. Menatap penuh keheranan pada Wisnu. Namun sejurus kemudian tangisnya kembali pecah. Tanpa sadar Sena memeluk tubuh Wisnu. Meski tahu jika itu hanya refleks yang dilakukan Sena karena perempuan itu sedang terguncang, tetapi tetap saja sedetik lalu tubuh Wisnu menegang. Ketika merasakan pakaiannya basah karena airmata Sena, barulah Wisnu kembali menyadarkan dirinya bahwa saat ini Sena sedang membutuhkan sandaran.
"Pelangi ... di mana? Bagai ... mana dia?" tanya Sena tersendat.
"Pelangi sudah dipindahkan ke ruang perawatan intensif. Dokter mengatakan masa kritisnya sudah lewat. Kita hanya perlu bersabar menunggu kesadarannya pulih." Wisnu menjawab sambil tetap menepuk-nepuk lembut punggung Sena.
Sena seketika mendongak, menatap Wisnu dengan penuh kesungguhan. "Apa benar?" tanyanya sekali lagi untuk memastikan.
Wisnu mengangguk tegas sebagai jawaban. Hela napas lega segera berembus dari bibir Sena. Tangis kembali pecah. Hanya saja kali ini bukan dalam bentuk kecemasan, melainkan lebih kepada rasa syukur karena putrinya berhasil bertahan.
"Terima kasih, Mas Wisnu ..." ujar Sena penuh rasa syukur.
"Bukan saya yang harusnya mendapatkan ucapan tersebut, Sena. Ayah kandung Pelangi lah yang lebih berhak mendapatkannya."
Tubuh Sena seketika menegang. Ingatannya kembali pada kejadian sesaat sebelum Pelangi dioperasi. Di mana dirinya dan Aditya berdebat keras perihal pendonoran darah untuk menyelamatkan Pelangi.
"Sena, pria tadi adalah ayah kandung Pelangi, kan?"
Meski memiliki kesimpulannya sendiri, hanya saja Wisnu ingin memastikan semuanya melalui penuturan Sena sendiri. Bukan karena ia ingin ikut campur, hanya saja Wisnu ingin agar Sena jujur pada dirinya sendiri. Meski tidak memiliki hubungan baik dengan ayah kandung Pelangi, tetapi Sena tidak bisa menampik bahwa kehadiran Pelangi di dunia ini juga ada andil dari pria tersebut.
"Benar. Dia adalah ayah kandung Pelangi."
Akhirnya pengakuan tersebut keluar juga dari bibir Sena. Kenyataan yang selama ini ia coba kubur rapat-rapat. Tapi entah mengapa kali ini ia biarkan terbuka hanya karena Wisnu yang bertanya. Sejujurnya bisa saja Sena menolak. Karena Wisnu bukan siapa-siapa baginya. Hanya saja, hati terdalam Sena merasakan kelelahan teramat sangat akan rahasia yang ia simpan selama ini tentang siapa ayah kandung Pelangi. Jika memang sudah saatnya terbuka, maka mungkin memang inilah yang jalan yang harus terjadi.
Sena pikir Wisnu akan kembali melanjutkan untuk bertanya. Nyatanya pria itu hanya mengangguk sejenak kemudian melepaskan pelukan Sena dari dirinya. Sena yang tersadar jika ia masih saja memeluk Wisnu merasa sedikit malu. Wanita itu menundukkan wajahnya sembari meminta maaf pada Wisnu atas perbuatannya yang tidak sopan.
"Kamu butuh sesuatu?" tanya Wisnu setelahnya.
"Tidak." Sena menjawa tegas. "Hanya saja, apa saya sudah bisa menemui Pelangi?"
"Bisa. Tapi kamu harus pastikan dulu kondisi kamu sudah baik-baik saja. Saya nggak mau kalau kamu kolaps lagi saat melihat Pelangi."
Sena menggangguk tegas. "Saya sudah baik-baik saja, Mas."
"Oke, kalau begitu saya akan antar kamu."
Sena yang terlalu bersemangat untuk segera menemui Pelangi tampak terhuyung ketika hendak turun dari ranjang. Beruntung Wisnu dengan sigap menangkap tubuh wanita itu hingga Sena tidak terjatuh ke lantai.
"Sen?" Wisnu mempertanyakan dengan nada tegas.
"Maaf. Saya hanya bersemangat. Tapi sungguh, saya sudah baik-baiks saja."
Sejenak Wisnu menatap wajah Sena. Ada rasa khawatir yang terpancar dari mata Wisnu. Namun ketika melihat keinginan besar Sena untuk segera bertemu dengan putrinya, ia pun akhirnya mengalah. Setelah melepas rangkulannya pada Sena dan memastikan bahwa Sena sudah bisa berdiri dengan tegak, keduanya pun akhirnya meninggalkan kamar perawatan untuk segera menemui Pelangi.
Setiba di depan ruang perawatan Pelangi, dari balik kaca pembatas lagi-lagi Sena kembali meneteskan air matanya. Melihat gadis kecilnya tertidur dengan beberapa peralatan medis yang terpasang di tubuh sungguh membuat Sena terenyuh. Andai bisa, Sena ingin berganti posisi dengan Pelanginya.
"Jangan cemas, alat penunjang tersebut akan segera dilepas begitu Pelangi sadar. Dokter mengatakan tidak ada hal fatal yang membahayakan Pelangi. Semoga besok ada keajaiban dan Pelangi segera membuka matanya." Wisnu mencoba menguatkan sambil menepuk lembut punggung Sena.
Wanita itu hanya bisa mengangguk setuju di tengah isakannya. Sekuat apapun keinginan Sena untuk menggantikan rasa sakit putrinya, yang bisa dirinya lakukan saat ini adalah terus bersikap tegar. Terus menangis dan meratap tidak akan membuat keadaannya lebih baik.
"Kamu kuat, sayang. Segera buka mata dan biarkan Mama dan semua yang sayang sama Pelangi bisa segera menyambut Pelangi dengan bahagia ya, Nak," bisik Sena lirih.
Sena menutup mata sambil memanjatkan doa untuk Pelangi. Berharap keajaiban segera terjadi agar putri kecilnya segera terbangun dan kembali berkumpul bersama mereka.
Setelah merasa puas memerhatikan Pelangi meski dari balik jendela, Wisnu membawa Sena untuk mengisi perutnya karena memang waktu makan malam sudah terlewat sejak tadi. Pria itu juga mengabarkan pada Sekala kondisi Sena yang sudah lebih tenang.
"Makan yang banyak, Sen. Kamu butuh tenaga ekstra untuk lebih kuat menjalani hari esok." Wisnu menambahkan sepotong daging ke piring Sena.
Sena tertegun seraya menatap Wisnu sejenak. Pria hanya balas tersenyum kemudian mengangguk kecil sebagai pertanda agar Sena kembali menyantap hidangannya.
"Terima kasih untuk segala bantuannya. Mas Wisnu pasti lelah. Mas bisa pulang untuk beristirahat."
Sena berucap penuh rasa terima kasih sesaat Wisnu mengantarkannya kembali ke depan ruang rawat Pelangi. Ia merasa tak enak hati telah merepotkan Wisnu dan menyita waktu pria itu karena masalahnya.
Namun bukannya menuruti permintaan Sena, Wisnu malah duduk di kursi tunggu yang tersedia di depan ruangan tersebut. Membuat Sena mengernyitkan dahi karena tidak mengerti dengan jalan pikiran Wisnu.
"Mas Wisnu?"
Wisnu menepuk-nepuk kursi di sebelahnya pertanda untuk Sena agar ikut duduk. Gesture yang tentu saja makin membuat Sena tak mengerti mengapa pria tersebut melakukannya.
"Saya sama sekali tidak merasa direpotkan. Saya melakukannya dengan sukarela dan ikhlas. Bukan hanya sekadar karena saya adalah teman baik Sekala."
Melihat Sena yang masih bertahan berdiri, tanpa ragu Wisnu menarik lembut pergelangan tangan Sena dan membawa wanita itu agar duduk di sampingnya.
"Saya akan menemani kamu di sini. Bukan Sekala yang meminta, tetapi atas keinginan saya sendiri. Saya tahu kamu bisa menemai Pelangi seorang diri di sini. Saya juga tahu kamu perempuan yang kuat. Tapi nurani saya sebagai laki-laki tidak mengizinkan saya untuk meninggalkan kamu seorang diri di sini."
"Tapi ..."
"Dengar dulu, Sena." Wisnu memotong apa yang ingin Sena ucapkan. "Tidak baik memang seorang wanita dan seorang pria yang tidak memiliki ikatan dan status apapun berduaan. Tapi kita tidak dalam kondisi negatif di mana kita berada di ruangan tertutup dan jauh dari pandangan orang lain. Kita tidak melakukan hal tak bermoral atau apapun. Kita hanya akan duduk di sini. Dengan saya yang akan menemani kamu. Meski hanya ini yang bisa saya lakukan untuk kamu."
Hening beberapa saat dengan hanya Sena dan Wisnu yang saling bertatapan satu sama lain.
"Sendiri dan dalam kesunyian bukan suasana yang baik bagi seseorang yang sedang tertimpa musibah seperti kamu saat ini. Kesendirian akan membawa pikiran kamu memikirkan hal yang tidak-tidak. Paling tidak dengan adanya saya, kamu bisa memiliki teman bicara. Atau kita bisa hanya duduk berdua dalam heningnya malam. Itu pilihan terbaik daripada saya meninggalkan kamu sendirian."
Argumen balasan dari Wisnu membuat Sena bungkam tak dapat membantah. Wanita itu akhirnya memilih mengalah dan membiarkan Wisnu menemaninya. Seperti yang Pria itu, ia hanya duduk mendampingi Sena. Pekatnya malam menjadi teman bagi mereka. Meski lelah baik Sena dan Wisnu tetap menguatkan diri untuk tetap terjaga. Beberapa kali Wisnu meminta Sena untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak, namun ditolak oleh Sena. Ia tidak ingin beranjak dari tempatnya menunggu. Tidak ingin merasa jauh dari Pelangi. Ingin agar setiap detik bisa menghabiskan waktu dengan putrinya. Sena tak ingin melewatkan apapun. Harapan akan putrinya yang segera sadar masih terus membara di hatinya. Melihat keteguhan Sena, Wisnu pun menyerah untuk mempersuasi wanita itu. Berdua mereka hanya saling diam dan duduk menunggu hingga pagi menjelang.
...
note : Eid Mubarak! Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, Semua!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top