Chapter 35 - Papa Pelangi

Kebahagiaan tengah menyelimuti keluarga Sena. Arina, kakak iparnya kini sedang mengandung calon buah hati mereka. Meski usia kandungannya baru memasuki bulan kedua, tapi hal itu tidak mengurangi rasa bahagia yang mereka rasakan. Sekala yang sebentar lagi akan menjadi seorang ayah juga tak bisa menutupi perasaannya. Sebagaimana dulu ia begitu menjaga Sena ketika adiknya tengah mengandung Pelangi. Begitu juga Sekala kini menjaga istri dan calon anak mereka.

Arina tidak usah ditanya lagi. Tentu saja wanita itu senang bukan main. Setelah dinyatakan hamil, ia benar-benar berusaha menjaga diri dan kandungannya. Meski awalnya ada rasa ragu kala mengetahui kehamilannya. Mengingat usianya yang tak lagi muda.Ia juga tidak menyangka jika Tuhan memberikan kepercayaan pada mereka menjadi orang tua dalam waktu begitu cepat. Namun tetap apa pun yang diberikan Yang Kuasa pada mereka patut disyukuri.

Sempat terbersit keinginan Arina untuk mengundurkan diri dari tugas mengajarnya. Apalagi Sekala pun mendukung keputusan sang istri. Biar Arina lebih banyak waktu bersantai di rumah sekaligus menemani ibu mereka. Namun mengingat si kecil Pelangi yang menjadi salah satu muridnya, Arina kembali mempertimbangkan keputusannya.

Hanya saja Sena mendukung Sekala. Ia tak masalah jika Arina tak lagi mengajar. Pelangi pun sebentar lagi akan naik ke jenjang kelas dua. Putrinya itu sudah pasti akan semakin dewasa dan bisa menjaga dirinya. Terlebih mereka masih tetap bisa meminta bantuan guru lainnya untuk memantau Pelangi.

"Tunggu sampai Mama atau Om Kal datang jemput Pelangi. Selama Mama atau Om Kal belum datang, Pelangi dilarang keluar dari lingkungan sekolah, ya," pesan Sena saat mengantarkan Pelangi ke sekolah.

"Iya, Mama."

Setelah menyelesaikan ritual salam dan mencium pipi putrinya, Sena masih berdiri di tempatnya hingga sosok Pelangi tak lagi tampak di matanya. Barulah Sena melanjutkan perjalanannya ke kantor.

Pertemuan terakhir dengan Netta, tak lagi menjadi beban pikiran Sena. Beberapa waktu ini wanita itu pun tidak menjalin komunikasi apa pun dengan Sena. Mungkin karena Netta sudah merasa menuntaskan kesalahpahaman antara mereka. Namun apa pun alasannya, Sena justru bersyukur. Bukan karena dirinya tidak menyukai sikap Netta. Hanya saja Sena merasa inilah jalan terbaik bagi mereka. Kembali pada keadaan semula di mana mereka tak harus saling bersinggungan.

"Sena, hari ini tolong bantu susun laporan penjualan bulan ini, ya," pinta Manajernya pada Sena.

Memang beberapa waktu belakangan Sena lebih banyak bekerja di balik layar. Tidak lagi terlalu ikut andil dalam proses promosi dan penjualan seperti yang lain. Semua tentu saja tak lepas dari performa Sena yang dirasa bagus oleh atasannya. Sena lebih banyak membantu Ardi dalam menyusun laporan penjualan dan peningkatan toko mereka. Bukan tidak mungkin Sena akan diangkat menjadi staff di kantor pusat mereka nantinya.

Kesibukannya dalam bekerja dan mengasuh Pelangi perlahan membuat Sena mengesampingkan segala urusan lainnya. Termasuk urusan hatinya. Entah sudah berapa lama ia tidak lagi mendengar kabar dari Rian. Pria itu seakan menghilang ditelan bumi setelah perpisahan mereka. Bukan karena Sena ingin memberi secercah harapan baginya. Namun Sena hanya ingin tahu jika Rian akan baik-baik saja setelah perbincangan mereka terakhir kali.

Di tengah kesibukannya bekerja, ponsel Sena berdering. Membuat wanita itu menghentikan sejenak kegiatannya. Ia bergegas menjawab panggilan tanpa melihat siapa yang menghubunginya.

"Halo, dengan Senandung. Ada yang bisa saya bantu?"

Mendengar suara Sena melalui sambungan telepon, membuat sang penelpon tertegun sejenak. Tidak berbeda dari kakak lelakinya, ternyata Sena memiliki karakter suara yang lembut seperti Sekala yang ia tahu. Suara Sena kembali bergaung mengembalikan kesadaran Wisnu.

"Halo, Sena. Ini dengan Wisnu, temannya Sekala.Kamu masih ingat saya?"

Mendengar jawaban dari Wisnu membuat Sena tanpa sadar tersenyum. Mana mungkin ia bisa melupakan pria itu. Meski mereka hanya bertemu beberapa kali.

"Tentu saja, saya masih ingat. Ada yang bisa saya bantu, Pak Wisnu?" tanya Sena kemudian.

"Pak?" gumam Wisnu tanpa sadar yang langsung dibalas Sena.

"Saat ini saya sedang dalam mode bekerja. Jadi akan lebih baik jika saya menyematkan panggilan formalitas kepada semua pelanggan."

"Tapi saat ini saya sedang menghubungi kontak pribadi kamu," balas Wisnu membuat Sena yang kini tertegun. "Oke, singkirkan sejenak hal itu karena memang saya menghubungi kamu berhubungan dengan pekerjaan."

Sena mengembuskan napas lega mendengar penjelasan Wisnu. "Kalau begitu ada yang bisa dibantu, Pak?"

"Kantor saya kebetulan membutuhkan satu set furnitur untuk kursi kerja juga sofa untuk menerima tamu. Sekala bilang kamu bekerja di toko furnitur karena itu saya menghubungi kamu. Kalau boleh, kamu bisa bantu saya untuk memilih?"

"Tentu, Pak Wisnu. Kalau Pak Wisnu punya waktu bisa datang ke toko kami. Atau saya yang akan datang ke kantor Bapak dengan membawa beberapa katalognya."

"Kebetulan saya sedang banyak pekerjaan.Kalau boleh kamu yang datang menemui saya. Apa tidak merepotkan?"

Sena diam sejenak untuk mengingat pekerjaan apa yang harus ia selesaikan hari ini. Selain menyusun laporan penjualan yang diminta Manajernya, Sena tidak memiliki jadwal pekerjaan lain. Menemui Wisnu sebagai salah satu pelanggan, juga merupakan bagian dari pekerjaannya.Karena itu Sena akhirnya menyetujui permintaann Wisnu. Terlebih pria itu pun memberikan waktu pertemuan yang Sena rasa begitu fleksibel. Jadi pekerjaan kali ini, ia rasa tidak memiliki masalah.

...

Aditya tak bisa menahan diri lagi. Jika selama ini ia begitu menahan diri untuk tak menemui Pelangi, kali ini pria itu mengambil langkah besar. Tak peduli keberanian atau justru kenekatannya akan mendatangkan masalah nantinya.

Tanpa sepengetahuan siapa pun, Aditya akhirnya datang ke sekolah Pelangi. Ia menunggu selama beberapa saat hingga ketika jam sekolah usai. Dari mobilnya yang terparkir di sisi jalan berseberangan dengan sekolah gadis kecil itu. Aditya memerhatikan anak-anak yang mulai berhamburan keluar. Di antara keramaian tersebut, Aditya belum menemukan sosok Pelangi. Hingga ketika keadaan sekolah sudah hampir sepi, ia melihat kehadiran Sena di sana. Wanita itu mengendarai sepeda motornya memasuki pekarangan sekolah.

Aditya pun akhirnya memilih menunggu hingga Sena menjemput Pelangi. Ia berniat untuk membuntuti keduanya. Kalau pun nanti tindakannya diketahui oleh Sena, Aditya tak akan bersembunyi. Ia akan menghadapi Sena meski dengan kemarahan dan kebencian yang wanita itu berikan untuknya.

Aditya memerhatikan dengan saksama interaksi antara ibu dan anak tersebut. Ada rasa iri yang tiba-tiba Aditya rasakan. Andai dirinya bersedia bertanggung jawab pada Sena. Mungkin saja saat ini akan ada dirinya diantara kehangatan keluarga kecil di depannya tersebut. Sayangnya apapun yang dipikirkan Aditya hanyalah sebuah pengandaian. Sesuatu yang tidak akan terulang dan terjadi lagi dalam hidupnya.

Setelah Sena dan Pelangi bertukar sapa, keduanya kemudian berpamitan pada guru yang bertugas mengawasi anak-anak yang baru dijemput. Melihat Sena dan Pelangi yang sudah bergerak dengan motor, Aditya pun mengikuti keduanya. Dengan menjaga jarak aman agar Sena tidak mengetahui jika dirinya sedang dibuntuti. Aditya berpikir jika Sena akan langsung membawa Pelangi pulang ke rumah. Nyatanya wanita itu membawa putrinya menuju sebuah tempat makan. Ada keraguan yang Aditya rasakan. Apakah dirinya akan ikut menyusul atau mengurungkan niatnya dilain waktu. Setelah mempertimbangkan, Aditya akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pengintaiannya.

Aditya bisa melihat dengan jelas Sena dan Pelangi menuju sebuah meja yang sudah ditempati oleh seorang pria. Pria itu tampak tersenyum menyambut kedatangan Sena dan Pelangi. Bahkan ia berdiri untuk menarikkan kursi bagi si kecil Pelangi. Melihat interaksi mereka, tentu saja Aditya merasa penasaran akan sosok pria yang tak ia kenali tersebut. Namun ia tidak bisa berbuat apapun. Selain memilih meja yang berjarak dari meja Sena.

Di meja Sena sendiri, Pelangi tampak senang bertemu kembali dengan Wisnu. Setelah sebelumnya mereka jarang berkomunikasi karena kesibukan para orang dewasa tersebut. Ketika akhirnya dapat bertemu kembali dengan sosok orang yang disukainya, tentu Pelangi tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya.

"Om Wisnu, apa kabar?" sapa Pelangi setelah Wisnu membantunya naik ke kursi.

"Alhamdulillah, baik. Pelangi bagaimana kabarnya? Sekolahnya juga bagaimana?" Wisnu pun tak kalah gembira karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan si kecil menggemaskan.

Wisnu bukan orang yang gampang dekat atau disukai oleh anak-anak. Namun berbeda dengan Pelangi, ia merasa tidak sulit untuk berinteraksi dengan anak itu. Mungkin selain dari Pelangi adalah keponakan sahabatnya, anak itu juga memiliki pesona yang mampu memikat siapa saja, termasuk orang dewasa sepeti Wisnu sekali pun.

Karena orang yang ditunggu sudah datang, maka Wisnu langsung memanggil pramusaji untuk segera memesan makanan. Namun karena saat ini belum memasuki jam makan malam, maka Sena memberi saran agar mereka menikmati hidangan ringan saja seperti makanan penutup dan minuman.

Begitu pesanan mereka terhidang, ketiganya pun bersama-sama menikmati makanan tersebut. Potret Sena, Wisnu dan Pelangi yang bak keluarga kecil bahagia, benar-benar membuat Aditya tertegun. Ingin sekali ia tiba-tiba muncul dihadapan Sena untuk mengingatkan wanita itu, bahwa dirinyalah pria yang merupakan ayah kandung Pelangi. Namun lagi, sisi dirinya yang lain mengingatkan Aditya untuk tak bertindak gegabah. Jika hanya Sena dan Wisnu saja yang akan dihadapinya, Aditya tidak masalah membuat sedikit kericuhan. Akan tetapi ada si kecil Pelangi bersama mereka.

"Pelangi, nikmati dengan tenang dulu makanannya, ya. Mama dan Om Wisnu mau bicara penting sebentar." Sena memberi pengertian pada putrinya.

"Penting? Mama dan Om Wisnu mau bicara rahasia?" balas Pelangi dengan raut ingin tahu.

Wisnu dan Sena tertawa mendengar balasan gadis kecil itu.

"Bukan rahasia, tapi bicara pentingnya tentang pekerjaan. Pelangi kan belum mengerti. Jadi tetap duduk tenang sambil makan dan jangan menyela, oke?" pinta Sena sekali lagi. Kali ini Pelangi mengerti dan menganggukkan kepalanya pertanda setuju.

Setelah mendapat persetujuan dari Pelangi, Sena mengeluarkan sebuah buku katalog produk perusahaannya untuk diberikan pada Wisnu. Ia juga bertanya produk furnitur apa yang diinginkan Wisnu untuk kantornya.

"Hanya satu set sofa untuk menerima tamu, juga satu set kursi dan meja kerja." Wisnu menjelaskan dengan singkat.

"Pak Wisnu punya preferensi apa, misalnya untuk model, warna, atau bahannya?"

Dahi Wisnu mengkerut, "kita sudah tidak berada di jam kantor, Sena," pria itu mengingatkan.

"Ah, maaf, Mas."

Mendengar Sena memanggilnya dengan sebutan 'Mas', Wisnu merasa senang. Terasa begitu akrab tanpa ada jarak. Ketika Sena dengan lihai menjelaskan berbagai produk untuk dipilihnya pun, Wisnu tak lepas memerhatikan Sena. Samapai ketika Sena bertanya tetapi Wisnu tak juga menjawab, membuat perempuan itu menaikkan pandangannya untuk menatap tepat ke mata Wisnu, barulah Wisnu tersadar dari keterpakuannya.

"Menurut kamu yang paling bagus yang mana?" Wisnu justru melemparkan pertanyaan pada Sena.

"Kalau boleh jujur, sebagai seorang salesperson, tentu saya mau calon pelanggan saya memilih produk yang paling mahal. Agar bonus saya juga bertambah," jawab Sena setengah bercanda.

"Deal. Kalau begitu saya pilih produk yang paling mahal."

Sena terperanjat mendengar jawaban Wisnu. Tanpa sadar perempuan itu mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali. Pemandangan langka yang mampu membuat Wisnu melepaskan senyumnya.

"Mas Wisnu, saya hanya bercanda, kok. Jangan ditanggapi serius. Apapun pilihan pelanggan, tetap membuat saya senang karena sudah memercayakan kebutuhannya pada produk kami."

Wisnu kembali tersenyum makin membuat Sena terperanjat. "Saya tidak bercanda. Saya pilih produk yang paling mahal agar kamu dapat bonus lebih. Selain itu, produk mahal juga berarti kualitas, kan. Kecuali produk mahal yang ditawarkan kualitasnya tidak sesuai dengan harga, nah baru saya akan protes."

Sena makin dibuat terperanjat dengan jawaban Wisnu. Selain tentu saja alasan kedua yang disampaikan pria itu sangat masuk akal. Dengan pertimbangan yang diberikan Wisnu, Sena pun akhirnya sepakat dengan apa yang pria itu katakan.

"Kalau begitu deal untuk produk yang paling mahal?" tanya Sena memastikan sekali lagi.

"Deal," Wisnu mengulurkan tangannya yang langsung disambut Sena dengan tawa.

"Apanya yang Deal, Mama?" tanya Pelangi akhirnya karena sudah merasa cukup dibiarkan menikmati makanannya seorang diri.

Sena tertawa melihat ekspresi penasaran putrinya. "Urusan Mama dan Om Wisnu sudah selesai. Sekarang kita bisa makan sama-sama sambil mengobrol apa yang Pelangi mau."

Senyum dan tawa dari meja Sena kali ini benar-benar mengusik Aditya. Namun sekali lagi, Aditya tidak dapat berbuat apapun. Karena dirinya tahu, ia tidak berhak untuk memiliki atau pun melarang kebahagiaan itu ada dalam kehidupan Sena dan Pelangi.

"Nanti Pelangi harus main ke rumah Om Wisnu, ya. Om baru punya peliharaan baru," ajak Wisnu saat mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar.

Mata Pelangi langsung berbinar ceria, "benar, Om? Hewan baru apa?" tanyanya penasran.

"Dua ekor kelinci. Pelangi mau lihat fotonya?" tanya Wisnu kemudian.

"Mau ... mau ..."

Sena tampak bahagia melihat antusias yang putrinya tunjukkan. Ia pun hanya menggeleng kecil ketika Wisnu berjongkok untuk menunjukkan ponselnya pada Pelangi. Mereka tampak seperti ayah dan anak yang harmonis.

Senyum Sena yang tampak berseri seketika memudar tatkala dirinya melihat sekelebat bayangan sosok yang sangat tak ingin ditemuinya. Beruntung Aditya cepat menyembunyikan dirinya dari pandangan Sena, hingga wanita itu mengira jika dirinya hanya salah melihat sekilas.

"Pelangi, ayo pulang, Nak. Pamitan sama Om Wisnunya," ajak Sena saat putrinya dan Wisnu tidak lagi sibuk dengan ponsel.

"Saya antar pulang bagaimana?" Wisnu menawarkan.

"Tidak usah, Mas. Saya bawa motor," tolak Sena halus.

"Justru karena saya tahu kamu membawa sepeda motor makanya saya merasa tidak tenang. Biar motor kamu nanti minta tolong orang bengkel untuk antarkan ke rumah."

Sena tahu akan lebih aman jika dirinya menerima tawaran Wisnu untuk diantarkan dengan mobil. Hanya saja, ia benar-benar tidak ingin merepotkan Wisnu.

"Jangan berpikir kalau itu merepotkan saya, Sena. Kamu dan Pelangi adalah anggota keluarga yang penting bagi Sekala, dan sebagai sahabat saya merasa ikut bertanggung jawab untuk memastikan keamanan kalian."

Seolah dapat membawa pikiran Sena, Wisnu langsung melontarkan argumennya. Pada akhirnya Sena setuju untuk menerima tawaran Wisnu. Pria itu segera menghubungi seseorang dari bengkelnya untuk menjemput motor milik Sena. Ia juga meminta kunci kendaraan wanita itu untuk dititipkan pada resepsionis rumah makan.

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Hal itu pula lah yang menjadi awal mula kesedihan Sena. Semua terjadi begitu cepat. Sena bahkan tak bisa menyelamatkan putrinya. Mereka yang baru saja bergembira bersama Wisnu tiba-tiba dihadang duka teramat dalam.

Semua bermula dari sebuah mobil box yang bergerak begitu cepat tak terkendali. Sepertinya mobil tersebut kehilangan kendali hingga tidak dapat berhenti. Tabrakan itu terjadi secepat kedipan mata, hingga Sena maupun Wisnu tidak dapat melakukan apapun. Tubuh mungil Pelangi terhempas seketika setelah dihantam mobil yang tak terkendali tersebut. Kemudian setelahnya semua tampak kacau. Hingga jeritan dan teriakan sekitar tak lagi didengar Sena. Karena baginya hanya ada satu hal di dunia ini, Pelanginya.

Tak ada yang menduga kecelakaan nahas tersebut terjadi pada Pelangi. Dengan tubuh bergetar dan tangis yang tiada henti, Sena hanya bisa merangkul tubuh mungil putrinya yang sudah berlumuran darah. Wisnu yang sedang menyetir berusaha untuk memfokuskan diri. Meski iapun sama terlukanya menyaksikan si kecil Pelangi yang kini sedang tak berdaya. Berjuang untuk hidupnya. Secepat mungkin Wisnu berusaha menjangkau rumah sakit terdekat. Beruntung bagi mereka mengenal dengan fasih seluk beluk lingkungan sekitar hingga dalam hitungan menit, mereka tiba di rumah sakit. Dan petugas yang segera bersiaga begitu melihat Sena menggendong tubuh tak berdaya Pelangi yang bersimbah darah.

Wisnu yang meminta tolong petugas keamanan untuk memarkirkan mobilnya pun segera berlari menyusul Sena. Tanpa mereka sadari, ada seorang lagi yang juga berlari dengan penuh kepanikan berusaha menyusul keduanya. Siapa lagi jika bukan Aditya yang memang sejak awal membuntuti mereka.

Pelangi langsung dibawa ke ruang operasi untuk mendapatkan penanganan. Sementara Sena terduduk lemas di kursi tunggu, Wisnu yang akal sehatnya masih berjalan dengan baik segera menghubungi Sekala dan keluarganya. Meminta mereka untuk segera menuju rumah sakit dan menjelaskan secara singkat kecelakaan yang baru saja menimpa Pelangi.

Tak pelak, tangis Ibu Sena dan Arina langsung pecah begitu mendengar apa yang dikatakan Wisnu karena Sekala memang memasang ponselnya dengan mode speaker. Mereka bergegas menuju rumah sakit di mana sepanjang perjalanan Arina dan sang ibu mertua saling berpelukan dalam tangis demi menguatkan satu sama lain. Doa pun tak henti mereka lantunkan demi keselamatan Pelangi. Sekala pun tak kalah kalutnya. Baginya Pelangi sudah seperti putrinya sendiri. Gadis kecil itu sudah berada di pelukannya sejak terlahir ke dunia. Dan ialah sosok pengganti ayah bagi Pelangi yang tak memiliki peran tersebut. Namun sebagai satu-satunya lelaki dan kepala keluarga, tentu ia harus menunjukkan sikap tenang demi Sena, Ibu dan istrinya.

"Sena!" panggilan ibunya menyadarkan Sena dari kekalutan.

Matanya yang memerah karena tangis membuat Sena langsung menumpahkan lagi air matanya ketika sang ibu sudah memeluk dirinya.

"Ibu ... Pe ... Pelangi ..." isak Sena tak tertahan.

Hati ibu mana yang tak hancur menyaksikan anaknya mengalami kecelakaan tepat di depan matanya. Sena merasa tak berdaya. Sena merasa bersalah karena dirinya tak dapat menyelamatkan Pelangi. Dalam hatinya berkali-kali ia merutuk, mengapa bukan dirinya. Mengapa harus si kecil Pelangi yang mengalami hal tersebut.

Sang ibu tahu betul bagaimana sedihnya Sena. Sama seperti yang mereka rasakan. Namun tidak ada yang dapat mereka lakukan di saat ini kecuali hanya terus memanjatkan doa demi keselamatan Pelangi. Karena itu ibunya hanya mampu memberi pelukan erat bagi Sena. Arina, Sekala dan Wisnu pun hanya bisa menyaksikan kesedihan Sena. Terlebih Wisnu yang berada di tempat kejadian. Pria itu pun sama bersalahnya karena tak mampu melindungi Pelangi. Tetapi meratap pun percuma karena semua sudah terjadi.

Di tengah kesedihan dan harapan yang bercampur jadi satu bagi keluarga Sena, seorang perawat menghampiri mereka. Membuat semua orang segera memfokuskan perhatian pada sang perawat. Berharap kabar baik yang datang menghampiri mereka.

"Pasien membutuhkan donor darah. Kami sedang mengusahakan untuk mendapatkan golongan darahnya. Hanya saja persediaan di rumah sakit saat ini sedang tidak memadai. Jika ada salah satu dari keluarga pasien yang dapat mendonorkan akan sangat membantu. Apa ada yang bisa mendonorkannya, Bapak, Ibu?" tanya sang perawat dengan agak tergesa.

Sejenak Sena dan lainnya tertegun. Tak menyangka kabar yang datang justru tidak seperti yang mereka harapkan.

Golongan darah? Seketika Sena ingat jika dirinya dan Pelangi memiliki golongan darah yang berbeda. Pelangi justru memiliki golongan darah yang sama dengan ayah kandungnya. Di saat genting seperti ini, Sena benar-benar berharap Tuhan sedang berbaik hati padanya untuk menyelamatkan nyawa kecil yang sedang berjuang di ruang operasi.

Seperti Tuhan sedang mendengar doanya, sebuah suara terdengar tiba-tiba.

"Saya bisa mendonorkan darah untuk Pelangi!" Aditya tiba-tiba menampakkan dirinya di hadapan Sena.

Ia yang sejak tadi hanya bisa menyaksikan semua dalam posisi rahasia akhirnya memiliki waktunya sendiri untuk muncul. Meski Aditya belum mengakui Pelangi sebagai anaknya, tapi sebagai seorang ayah mana mungkin Aditya berdiam diri menyaksikan darah dagingnya sedang berjuang mempertahankan nyawa.

Sena lah yang pertama kali bereaksi mendengar pernyataan Aditya. Matanya yang memerah langsung menatap nyalang pada Aditya. Mungkin rasa sakit dan kebencian yang selama ini Sena pendam karena masa lalunya dan Aditya tiba-tiba saja menyeruak kala melihat pria itu ada di hadapannya.

"Mau apa kamu? Pergi!" pekik Sena pada Aditya.

Namun Aditya tak bergeming. Ia tetap berdiri tegak dan menunjukkan tatapan tenang tepat ke netra Sena.

"Sena ..." Sekala segera menarik adiknya menjauh dari Aditya.

Di saat seperti ini walau Sekala pun menyimpan sakit hati terhadap Aditya, tetapi ia masih bisa berpikir jernih. Karena ia tahu saat ini, memang hanya Aditya lah yang mampu menjadi setitik harapan mereka bagi kehidupan Pelangi.

Aditya seperti tahu akan apa yang dipikirkan Sekala, karena itu ia kembali mengalihkan perhatiannya pada perawat yang masih menunggu.

"Saya yang akan menjadi pendonor untuk Pelangi karena saya memiliki golongan darah yang sama dengan anak itu."

Belum lagi perawat menjawab kesediaan Aditya, Sena kembali menyela dengan teriakan yang lebih keras.

"Tidak! Tidak akan pernah saya izinkan darah kotor kamu mengalir kembali di tubuh Pelangi!"

Semua yang ada di sana tertegun. Wisnu yang tadinya tampak bingung kini mulai mengerti apa yang sedang terjadi. Teka-teki siapa ayah kandung Pelangi, pria itu sepertinya sudah menemukan jawabannya. Sesaat tatapan Wisnu terpaku pada sosok Aditya. Sebelum Sena kembali memulai serangannya pada pria itu.

"Saya tidak butuh darah kamu untuk Pelangi!"

Aditya merasa frustrasi. Sebenci apapun Sena padanya, tidakkah wanita itu harusnya lebih berfokus pada keselamatan Pelangi dibandingkan dendamnya?

"Sena, bukan saatnya kita bertengkar. Nyawa Pelangi yang paling utama saat ini!" ucapan Aditya seolah membuka mata Sena.

Namun begitu Sena seperti belum bisa menerima jika Aditya lah yang akan mendonorkan darah untuk putrinya.

"Tapi bukan berarti saya akan mengizinkan kamu mendonorkan darah untuk Pelangi. Kamu bukan siapa-siapa bagi kami."

"Sena, tolong kesampingkan dulu ego dan keras kepala kamu. Pelangi membutuhkan darah secepatnya. Dan sayalah yang mampu menolongnya saat ini."

"Saya tetap tidak setuju."

"Saya, Papanya!" pekik Aditya tanpa sadar. "Saya adalah Papa kandung Pelangi! Semoga kamu belum lupa akan kenyataan itu, Sena!"

Sena menatap nyalang pada Aditya. Lagi, dirinya akan kembali mengkonfrontasi Aditya. Namun Sekala dengan cepat menarik adiknya ke pelukan. Hingga kini dia lah yang berhadapan dengan Aditya.

"Kesampingkan semua permasalahan kita. Tolong, segera lakukan transfusi darah untuk Pelangi."

Dengan persetujuan dari Sekala, Aditya segera mengikuti sang perawat untuk segera melakukan prosedur transfusi.

Entah Sena suka atau tidak, tapi apa yang dilakukan Sekala dan Aditya adalah hal yang saat ini mereka butuhkan untuk Pelangi. Selebihnya mereka hanya tinggal menunggu keajaiban Tuhan untuk mengizinkan Pelangi kembali ke pelukan mereka.

...

Note : halo semua. Maafkan karena sangat lama menghilang tanpa kabar. Semoga kalian semua tetap sehat ya. Dan terima kasih karena masih menunggu dengan sabar cerita ini di update. Semoga sebelum tahun berganti, cerita ini bisa selesai ya. Dan gak ada lagi mandek di tengah jalan. Karena selain cerita ini aku masih punya hutang deadline di proyek nulis bareng karos publisher. SEMANGAT RIA!

Ps : aku kurang pinter meramu adegan kecelakaan. Ini juga setelah coba-coba cari tahu, tetap merasa kurang banget. Jadi buat teman-teman yang tahu bagaimana kronologis dan prosedur penyelamatan, boleh tulis komen untuk koreksi ya. Terima kasih.

Rumah, 10/11/22

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top