Chapter 34 - Selesaikan Satu Persatu
Sejak pertemuan terakhir dengan Sena, Rian masih dalam kondisi yang tidak baik-baik saja. Rian memilih menenggelamkan diri dalam pekerjaan. Ia sering tak menjawab panggilan dari keluarganya. Semua itu ia lakukan demi menenangkan dirinya.
Sejujurnya Rian belum dapat menerima sepenuhnya. Meski ia tak ingin memaksa Sena. Tapi hatinya masih ingin memperjuangkan setitik saja harapan bagi mereka. Andai Sena mengizinkan Rian untuk menentang keluarganya, maka bukan tak mungkin Rian akan melangkah maju mengambil resiko tersebut.
Sayangnya wanita itu begitu mencintai keluarga. Jadi mana mungkin Sena akan mengizinkan Rian melepas hal paling berharga baginya. Meski Rian berpikiran tak mengapa jika harus berkonflik sementara. Karena mereka pasti memiliki waktu untuk memperbaiki segala hubungan.
Sikap Rian yang menghindari keluarga tentu saja disadari oleh mamanya. Cemas pasti dirasakannya sebagai seorang ibu. Namun bukan berarti ia bisa luluh dan mengalah untuk pilihan yang Rian buat. Ia masih belum bisa menerima. Mungkin memang tidak akan bisa menerima.
Mama Rian merasa belum memiliki hati sebesar itu untuk dapat menerima perempuan seperti Sena menjadi pendamping putranya. Apa yang terjadi pada Sena memang tidak bisa dikatakan sepenuhnya kesalahan wanita itu. Tapi sebagai seorang perempuan harusnya Sena bisa menjaga dirinya dengan sebaik mungkin. Karena kesucian diri seorang perempuan adalah hal yang penting. Yang menandakan bahwa wanita begitu menghargai dirinya. Dan hanya akan menyerahkannya di waktu yang tepat dengan pria yang tepat pula.
Pikiran yang sangat sempit memang. Tapi seperti itulah yang Mama Rian inginkan dari calon menantunya. Ia ingin putranya mendapatkan perempuan istimewa yang bisa menjaga dirinya.
Sena memang adalah perempuan yang baik. Sebagaimana ia bertanggung jawab untuk putrinya. Tapi nilai itu saja belum cukup di mata Mama Rian. Andai Sena berstatus janda mati atau pun bercerai, mungkin ia akan mempertimbangkan hubungan mereka demi Rian. Hanya saja situasinya tidak seperti itu. Apa yang akan terjadi andai Sena dan Rian bersama. Bagaimana mereka akan menghadapi keluarga besar mereka. Tidak mungkin mereka akan diam dan menutupi kenyataan tersebut. Karena kebohongan sekecil apapun akan tetap ada masanya untuk terbuka.
Tidak tahan dengan sikap Rian yang menjauhkan diri, akhirnya sang ibu berinisiatif untuk menemui Rian di kediaman putranya. Bukan saatnya Rian merajuk dan bersikap kekanakan. Mereka harus menyelesaikan permasalahan ini dengan terbuka.
"Mama?" ujar Rian dengan nada terkejut saat mamanya menyambangi tempat tinggalnya.
Tanpa dipersilakan, sang ibu menerobos masuk. Kepala Rian langsung berdenyut melihat sikap mamanya. Sejujurnya ia belum siap untuk berkonfrontasi. Namun ia juga tahu jika dirinya tidak akan bisa terus menerus menghindar.
"Duduk!" perintah mamanya begitu Rian menyusulnya.
Sesaat belum ada satu pun yang mulai berbicara. Rian hanya menunduk seraya memandangi jemarinya yang saling menggenggam. Sedangkan mamanya menelisik keadaan putranya.
Rian terlihat kehilangan berat badannya. Wajahnya tampak lebih tirus. Hanya karena masalah percintaan, sang putra terlihat begitu menderita. Meski tampak kasihan, tapi bukan berarti mamanya tergerak untuk mengalah.
"Rian, mau sampai kapan kamu seperti ini? Perempuan bukan hanya Sena. Masalah cinta jika kamu mau berusaha mencoba, Mama yakin suatu saat kamu akan menemukannya."
"Ma, perkara hati memang terlihat mudah jika hanya dilisankan. Tapi ketika dijalani ..."
"Tidak ada yang mustahil. Selama dunia ini masih berputar, sekecil apa pun kemungkinannya, jika Tuhan berkehendak maka kamu akan menemukan cinta yang memang ditakdirkan untuk kamu."
"Tapi bukan Sena?" Rian menyahut dengan nada terdengar sinis.
Sang mama mengeraskan rahangnya. "Ya. Memang bukan Sena!"
Rian mengeluarkan tawa miris, membuat mamanya memandang tajam pada putra kesayangannya tersebut.
"Mama tahu, Rian jatuh cinta sama Mbak Sena, bertahun lalu ketika masih remaja. Bahkan hingga saat ini rasa itu masih ada. Jika rasa yang belasan tahun saja masih tertinggal di hati Rian, apa Mama pikir semudah itu akan Rian bisa menggantinya dengan yang lain?"
"Tuhan Maha pembolak-balik hati, Rian. Mama yakin kalau kamu juga bisa."
"Tapi Rian belum tentu yakin, Ma," potong Rian cepat.
Mamanya dibuat bungkam. Ada perasaan tersentil yang dirasakannya dari ucapan sang anak. Tapi hatinya masih terus saja mengeras untuk berusaha mengerti keinginan Rian.
"Rian, Mama mohon. Kali ini saja, turuti keinginan Mama. Tolong ..."
Rian menatap perempuan yang menghadirkannya kedua dengan sendu. Kali ini netra sang mama sudah mulai memerah menahan tangis.
"Ma, bisa nggak Rian juga meminta hal yang sama. Kali ini saja, tolong ..." saat mamanya akan menggeleng, Rian kembali bicara. "Apa yang salah dengan Mbak Sena? Semua orang punya masa lalu. Tapi itu tidak menghalangi mereka untuk bisa merajut masa depan. Hal sama pun berlaku untuk Mbak Sena, Ma."
"Tapi, Rian ..."
"Ma, kesalahan Mbak Sena bukan penjara yang harus terus mengurungnya untuk menyongsong kebahagiaan. Sekali saja, tidak bisakah Mama menutup mata dan menulikan telinga untuk semua penghakiman orang lain terhadap apa yang terjadi pada Mbak Sena dan perempuan lain di luar sana yang mengalami hal sama?"
Mama Rian benar-benar dibungkam oleh ucapan putranya. Ia tahu manusia tidak akan pernah lepas dari yang namanya kesalahan. Ia juga ingin membuka diri dan mencoba memahami. Tapi entah mengapa rasanya tetap sulit ketika pilihan itu diberikan oleh sang putra.
"Rian, Mama tidak akan melarang kamu untuk berteman dengan Sena. Tapi sekali lagi Mama tegaskan kalau Mama belum mampu menjadi pribadi yang berlapang dada dan abai terhadap apa yang akan orang-orang katakan tentang kamu dan keluarga kita."
Rian pasrah. Sepertinya tidak ada harapan dirinya bisa mempengaruhi keputusan sang ibu. Mungkin memang mereka tidak ditakdirkan berjodoh. Untuk itu, Rian harus menghiklaskan rasa cintanya yang tidak akan mungkin terjalin bersama Sena. Rian ikhlas jika Tuhan memang tidak mengizinkan dirinya dan Sena bersatu. Hanya saja Rian berharap Sena dapat menemukan satu pendamping yang akan menguatkan wanita itu. Jika bukan dirinya, maka Tuhan harus memberikan seorang pria yang memiliki jalan mudah demi menggapai Sena. Terlebih seorang yang harus mampu memberikan bahagia dan cintanya tak hanya untuk Sena tapi juga Pelangi. Dan benak Rian langsung terbayangkan satu sosok yang beberapa kali ia lihat.
"Baik, Rian akan turuti keinginan Mama. Rian akan mengalah dan tidak akan lagi berusaha untuk memaksakan hubungan dengan Mbak Sena."
Mamanya cukup terkejut mendengar jawaban Rian. Bahkan ia menatap tak percaya pada putranya. Namun sayang yang ia tangkap adalah kesedihan di wajah anak kebanggaannya itu.
"Kamu yakin?" tanya mamanya dengan nada dibuat setenang mungkin.
Rian menggangguk yakin. "Tapi Rian juga ingin minta Mama mengalah akan satu hal untuk Rian."
"Apa itu?" tanya mamanya tanpa rasa curiga.
"Berhenti bersuaha menjodohkan Rian dengan Meisya dan dengan siapapun itu. Biarkan Rian sendiri yang memutuskan kapan waktunya Rian akan menikah."
"Rian, untuk yang itu ..."
"Ma, Rian sudah mengalah. Tolong Mama pun lakukan hal yang sama. Semua demi ketenangan kita bersama. Rian janji tidak akan lagi ada pembicaraan pernikahan dengan Mbak Sena. Tapi Rian juga ingin Mama membebaskan Rian untuk hal itu. Tidak lagi mendesak. Biarkan semua berjalan sesuai dengan apa yang digariskan Tuhan untuk kehidupan Rian."
Rian sudah menyerah. Ia mengalah. Bukankah dirinya pun pantas mendapatkan pengorbanan yang sama dari keluarganya?
Bukan, Rian bukan ingin saling mengadu kesedihan dengan mamanya. Hanya saja Rian ingin mamanya mengerti, bahwa menata hati tidak semudah mengucapkan kata-kata. Ada usaha dan pergolakan batin yang harus Rian hadapi. Semua itu tidak akan mudah baginya.
Mamanya merasa kebimbangan. Ia senang Rian mengalah untuknya. Tapi ia juga masih berat jika harus menyetujui persyaratan yang ia ajukan. Namun setelah menimbang, mana yang lebih baik, mamanya pun akhirnya memilih untuk menerima persyaratan Rian.
"Baik, Mama terima syarat kamu. Tapi Mama tetap berharap kamu mau mempertimbangkan lagi. Pernikahan itu bagian dari ibadah Rian. Usia manusia bukan bertambah tapi berkurang setiap harinya, Rian. Dan Mama tetap ingin melihat kamu secepatnya segera menikah."
Rian tak menjawab. Ia hanya menunduk menyembunyikan kesedihannya karena persetujuan mamanya.
Setelah pembicaraan mereka yang bagi Rian melelahkan karena cukup menguras tenaga dan pikiran, Rian meminta mamanya untuk kembali ke rumah utama. Meski mamanya meminta agar Rian ikut bersamanya karena merasa tak tenang jika meninggalkan pria itu seorang diri di kediamannya. Mungkin mamanya berpikir Rian akan bertindak nekat setelah pembicaraan mereka tadi. Namun Rian menolak ajakan mamanya tersebut.
"Ma, Rian bukan remaja yang pikirannya masih sangat labil. Rian tahu baik dan buruknya setiap tindakan. Mama nggak perlu khawatir. Rian hanya butuh istirahat dan menenangkan diri."
"Ya sudah. Tapi pastikan kalau kamu akan baik-baik saja. Atau Mama nggak akan bisa tenang, Rian."
Rian mengantarkan mamanya ke mobil jemputan yang sudah menunggu. Setelah memastikan mamanya duduk dengan nyaman dan mobil meninggalkan kediamannya, barulah Rian melangkah kembali ke rumah.
Ia menjatuhkan tubuhnya ke sofa sembari memijat dahinya yang makin terasa berdenyut. Mungkin sebentar lagi ia akan dilanda sakit kepala. Mungkin Rian memang butuh istirahat.
Namun Rian enggan beranjak menuju kamarnya dan memilih tetap bertahan di sofa. Ia meraih ponsel yang ada di atas meja. Membuka daftar panggilan untuk mencari satu nama. Setelah menemukannya ia hanya memandangi deretan nama tersebut. Ragu-ragu jarinya akhirnya menekan tombol memanggil.
Tak butuh waktu lama panggilan Rian langsung terhubung membuat Rian cukup terkejut. Apalagi kala dirinya mendengar suara merdu wanita yang ia rindukan di seberang panggilan.
"Assalamualaikum, Rian?" sapa Sena di sana.
Sejenak Rian tertegun, tetapi pria itu lantas menyadarkan dirinya. "Waalaikumsalam. Apa saya mengganggu waktu Mbak Sena?"
"Tidak sama sekali. Ada apa, Rian?"
Di sana, Sena pun cukup terkejut menerima panggilan dari pria itu. Ia pikir setelah pembicaraan terakhir mereka, maka Rian tidak akan pernah lagi menghubunginya.
"Mbak, saya sudah bicara dengan Mama ..." bisa Rian dengarkan suara kesiap dari bibir Sena. Namun wanita itu belum bicara apapun. "Saya kalah, Mbak. Saya tidak berhasil meyakinkan Mama."
Ada sedikit riak sedih yang Sena rasakan untuk pria itu. Mungkin juga untuk dirinya. Karena ternyata, jalan Tuhan masih panjang untuknya. Paling tidak itulah yang Sena yakini kala Rian mengatakan jika dirinya kalah. Meski tidak berharap banyak, tapi Sena masih boleh kan berpikir jika ada sedikit harapan bagi dirinya dan pria itu. Melihat bagaimana selama ini Rian tidak menutupi keinginannya bersama Sena.
"Mama memang tidak mengizinkan kalau saya ingin bersama Mbak Sena. Tapi Mama tetap mengizinkan jika saya tetap ingin berteman baik dengan Mbak," ujar Rian selanjutnya. "Mbak masih tetap bersedia berteman dengan saya, kan? Mbak Sena masih tetap mengizinkan saya untuk tetap ada di sekitar Mbak dan Pelangi, kan?"
Tanpa Sena sadari air mata jatuh membasahi pipinya kala mendengar ucapan Rian. cepat-cepat Sena menyeka karena dirinya masih berada di lingkungan kerja. Wanita itu menghela napas panjang sebelum menjawab Rian.
"Boleh, Rian. Kapan pun kamu ingin bertemu dan bermain dengan Pelangi, saya pasti akan menerima dengan senang hati," jawabnya dengan nada bahagia. "Kamu tahu, Pelangi sangat suka punya banyak teman. Dia suka dikelilingi orang-orang yang menyayanginya."
"Terima kasih, Mbak Sena."
"Terima kasih juga kamu tetap mau menjadi teman bagi saya dan Pelangi."
Keduanya kemudian saling mengucap salam dan mengakhiri pembicaraan. Meski ada rasa sakit, tapi semua itu tidak menghalangi kelegaan yang mereka berdua rasakan. Baik Rian dan Sena mengerti jalan menuju kebahagiaan kadang tidak mudah. Seperti yang keduanya alami. Jika hanya melibatkan dua hati, tentu tidak akan sesulit ini. Tapi jika ada hati lain yang tersakiti terutama seorang ibu. Maka kebahagiaan yang mereka raih tidak akan ada artinya.
...
Aditya tak bisa menunggu lagi. Selama beberapa waktu terus berpikir akhirnya ia mantap mengambil keputusan. Terima atau tidak, ia akan menemui Sena dan Pelangi. Ada dorongan dalam hatinya untuk dapat bertemu dengan anak itu. Meski nanti Sena akan menolaknya, Aditya mungkin akan memakai cara lain. Menemui Pelangi saat anak itu di sekolah, mungkin.
Namun sebelum itu, ada satu hal yang harus ia selesaikan dengan Netta. Aditya tahu jika wanita itu sudah mengetahui keberadaan Pelangi dan masa lalunya bersama Sena. Semua itu bermula saat ia tak sengaja mendengar pembicaraan istrinya dan Ali, yang ia tahu sebagai sahabat Netta. Mereka membicarakan tentang pertemuannya dengan Pelangi dan Sena. Dari sanalah Aditya menarik kesimpulan bahwa Netta sudah mengetahui semuanya. Itu artinya tidak akan sulit bagi Aditya untuk membicarakan hal itu nantinya.
Aditya pun menyusul Netta yang saat ini sedang melakukan senam ibu hamil di ruang olah raga. Saat Aditya tiba, Netta sudah selesai dengan kegiatan senamnya. Wanita itu terlihat sedang bercengkerama dengan bayi di dalam perutnya. Melihat pemandangan tersebut, Aditya merasa bersalah.
Di tengah proses kehamilannya, jarang sekali ia menemani sang istri. Jika hanya untuk mengantarkan Netta saat mengecek kandungan, itu sudah menjadi tugasnya. Namun menemani yang Aditya sebutkan adalah jarang mengajaknya berbicara atau mendengarkan Netta. Padahal pendampingan dari suami adalah hal yang paling dibutuhkan calon ibu. Padahal Aditya bertekad akan selalu ada bersama Netta. Namun nyatanya tidak satu pun niat itu terealisasi. Ia benar-benar pria tak berperasaan. Tidak cukup kah ketika dirinya mengabaikan Sena dan kini harus Netta juga.
Mendengar langkah kaki mendekat, Netta langsung menaikkan pandangan. Mendapati Aditya yang kini ikut duduk bersamanya. Netta tak menyapa Aditya dengan gembira seperti biasa. Ia hanya memandangi pria itu yang kini tatapannya terarah pada perutnya. Hubungan mereka beberapa waktu belakangan memang seakan merenggang.
"Bagaimana keadaan kamu dan bayinya hari ini?"
Tangan Aditya tiba-tiba mengusap ke perutnya membuat Netta terkesiap. Tak hanya Netta, sang bayi pun ikut bereasksi. Netta merasakan sang jabang bayi tengah bergerak meski teramat samar. Mungkin si bayi tahu jika usapan tersebut adalah milik sang ayah.
"Saat ini dia sedang bergerak karena usapan dari Papanya."
Giliran Aditya yang terperanjat karena jawaban dari Netta. "Begitu?"
Aditya masih tetap mengelus-elus perut Netta. Sang istri pun membiarkan saja. Karena baginya ini seperti keajaiban ketika Aditya bersedia mendekatkan diri pada anak mereka. Andai boleh meminta, Netta ingin waktu berhenti sejenak di saat ini. Agar ia bisa menikmati kebersamaan mereka bertiga sebagai keluarga meski hanya sejenak.
"Ada yang ingin kamu bicarakan denganku, Mas?" Netta lah yang pertama akhirnya memecah suasana.
Aditya berhenti mengelus, pria itu kemudian menarik tangannya dari perut Netta. "Iya."
"Apa itu?"
"Kamu, tahu tentang Pelagi dan Sena." Aditya mengucapkannya bukan dalam bentuk pertanyaan.
Netta sama sekali tak gentar. Ia tak berpaling atau menunduk. Melainkan tetap menatap lurus pada sang suami. Pada akhirnya mereka memang harus menghadapinya. Tidak ada yang harus Netta takutkan. Ada, mungkin, sebuah perpisahan. Tapi jauh dalam benaknya ia berharap itu tidak akan pernah terjadi.
"Ya, aku tahu semuanya masa lalu Mas dan Sena."
Tetap saja, ada rasa sakit di hatinya tiap kali Netta harus membahas hal itu. Ia memang sudah mengikhlaskan tapi bukan berarti ia bisa melupakan begitu saja pengkhianatan Aditya.
"Apa yang akan kamu lakukan dengan pernikahan kita sekarang dengan kamu yang sudah tahu kalau aku pernah mengkhianati kamu."
Netta cukup dibuat terkejut. Sikap Aditya yang sulit ditebak seperti justru membuatnya kesulitan. Ia tak mengerti apa yang Aditya inginkan. Bertahan atau berpisah dengannya.
"Mas, aku ikhlas. Aku nggak akan mengungkit apa pun tentang masa lalu kamu dan Sena. Aku juga bisa menerima seandainya Mas mau mengakui Pelangi sebagai anak kandung. Tapi satu yang kuminta, jangan berpisah."
Kali ini Aditya yang dibuat terkejut dengan pernyataan Netta. Ia tak pernah menyangka istrinya akan semudah itu menerima tanpa mau mempertanyakan alasan dibalik pengkhianatannya.
"Masa lalu kamu biar menjadi milikmu, Mas. Tapi masa depan kita, itu yang ingin aku bangun dan pertahanankan. Aku tahu sampai saat ini Mas masih belum bisa menerima cintaku di hati kamu. Tapi setidaknya, lakukan ini demi anak kita. Cukup Pelangi yang menjadi korban keegoisan kamu, Mas. Jangan sampai anak kita juga."
Kata-kata Netta benar-benar menohok hati Aditya. Walau ia tahu memang begitu kenyataannya. Ia yang sudah menelantarkan dan tak mengakui keberadaan Pelangi. Namun kini justru berbalik ingin mengenal gadis kecil itu.
"Jika kamu tahu aku berkhianat, kenapa memilih bertahan, Netta? Kamu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih bahagia tanpa pria yang seperti aku."
"Karena aku cinta sama kamu, Mas. Alasan klasik tapi cukup untukku bertahan. Dan karena aku nggak mau anakku tumbuh tanpa orang tua yang utuh."
"Kalau memang itu keputusan kamu, aku kabulkan. Lagipula kamu tahu keluarga kita tidak akan pernah setuju dengan perceraian."
Netta akhirnya dapat merasa lega. Sejak awal ia memangg tidak berniat untuk berpisah. Sesakit apa pun hatinya, ia ingin tetap mempertahankan rumah tangganya. Lebih lagi kedua keluarga pun tak akan semudah itu menyetujui perpisahan mereka seperti yang Aditya sampaikan.
Masalah satu terselesaikan, tentu mereka harus menyelesaikan masalah lainnya. Kali ini Netta ingin mengambil kesempatan dengan bertanya pada Aditya lebih lagi mengenai pandangannya tentang Pelangi. Ia ingin tahu apa Aditya sudah bersedia menerima Pelangi. Dan apa yang mendasari keputusan pria itu. Ia ingin tahu apakah Aditya sudah menyadari kesalahannya dan siap bertanggung jawab atas Pelangi. Juga memohon maaf pada Sena atas apa yang telah ia lakukan dulu.
"Mas, kenapa tiba-tiba kamu membicarakan hal ini sama aku?" kali ini Netta yang mencari tahu.
"Karena aku tahu kamu sudah mengetahui semuanya. Tidak ada gunanya lagi menutupi itu."
Ada kecewa yang Netta rasakan mendengar penuturan Aditya. Hanya karena ia sudah mengetahuinya. Bukan karena dirinya memang menyadari kesalahan yang telah ia perbuat pada Sena dan juga dirinya?
"Bukan karena menyadari kesalahan Mas dan ingin menebus semuanya?"
Aditya menatap istrinya lekat. Bagian terkecil dirinya memang menyadari itu. Namun entah mengapa Aditya masih memegang teguh egonya hingga merasa enggan untuk mengakui.
"Aku dan Sena sudah sepakat bahwa tidak akan ada pertanggung jawaban apa pun dalam hubungan kami. Dan Pelangi ..."
"Dia tetap anak kamu, Mas. Kamu akui atau tidak, dia darah daging kamu. Enggak terbersit sedikit pun di hati kamu untuk mengakuinya, Mas? Mencintai Pelangi selayaknya seorang anak?" cecar Netta tanpa peduli jika Aditya akan marah karena ucapannya dipotong.
Leher Aditya rasanya tercekat. Ia seakan kesulitan bersuara untuk mendebat ucapan Netta. Selama beberapa waktu, bukan Aditya tak pernah memikirkannya. Sering kali ia mendapat dorongan kuat untuk menemui Pelangi. Pun hingga detik ini. Hanya saja seperti ada satu penghalang yang membuat pria itu enggan mengakui.
"Apa begitu berat mengakui kesalahan, Mas? Sedikit banyak, kamu adalah penyebab hancurnya masa depan Sena. Walau saya juga nggak bisa membenarkan kebodohan Sena yang menerima saja untuk bermain api bersama pria yang jelas tidak akan mungkin bisa dimilikinya."
Lagi, Netta berhasil mendobrak pertahanan Aditya. "Mengakuinya pun tidak akan ada gunanya."
"Tapi kamu beberapa kali berusaha mendekati Pelangi dan Sena. Apa artinya itu, Mas?"
Netta bisa melihat Aditya makin terpojok. Dan dia tidak akan menyiakan kesempatan yang ada. Pria yang memiliki sifat dominan tersebut biasanya akan sulit dibuat tak berkutik. Jika kali ini Netta berhasil menyentuh sedikit saja titik lemah Aditya, ia hanya berharap pria itu akan mengakui kesalahannya dan memohon maaf pada Sena dan keluarganya.
"Kamu mencintai Sena, Mas. Tapi Ego dan mungkin derajat keluarga membuat kamu tidak bisa melangkah dan memilih berhenti. Memilih untuk menghancurkan satu orang daripada harus hancur bersama. Begitu, kan?"
Tepat sasaran. Untuk pertama kalinya Netta berhasil melihat bagaimana seorang Aditya bungkam. Tidak dapat menyangkal apa pun yang ia katakan.
"Dosa orang tua, kadang akan berimbas pada sang anak. Apa Mas tega anak kita nanti, juga Pelangi yang harus menanggung kesalahan kamu? Pelangi, gadis itu bahagia meski hanya dengan seorang ibu. Namun begitu dia tetap berhak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Kamu, Mas."
Netta sedang bertaruh dengan kerasnya hati Aditya. Ia hanya berharap sedikit saja mampu membujuk pria itu.
Diserang bertubi-tubi dengan kebenaran oleh sang istri, membuat Aditya hanya bisa tersenyum sinis. Bukan untuk Netta, tapi pada dirinya. Pada kekerasan hatinya yang tak ingin mengalah sedikit pun.
"Mas, jangan menunggu sampai ketika kamu nggak akan mampu lagi mengucapkan kata maaf. Selama kesempatan itu masih ada, manfaatkan. Saat waktu tidak lagi bersahabat dengan usia kita, itu akan jadi penyesalan terbesar kamu, Mas."
Aditya menunduk mendengar nasehat istrinya. "Tapi apa kamu pikir Sena ..."
"Dia akan menerima," jawab Netta yakin. "Mungkin tidak sekarang, esok atau dalam waktu dekat. Tapi aku yakin, Sena tidak akan selamanya menutup pintu maafnya. Dari pertemuan singkat kami, aku tahu dia wanita yang baik. Dan Mas mungkin yang paling tahu seperti apa hati wanita itu."
Netta meraih tangan Aditya untuk ia genggam. Ia ingin menularkan keyakinannya pada Aditya. Harusnya pria itu memang yang paling tahu seperti apa Sena. Ditolak berkali pun, jika memang Aditya datang dengan niat tulus, Netta yakin wanita itu akan luluh juga.
Perempuan lembut seperti Sena tidak akan menyimpan dendam. Terlebih Netta yakin jauh di dalam hati keduanya, baik Sena dan Aditya pasti masih memiliki perasaan satu sama lain. Meski bukan untuk saling mencinta sebagai pasangan, paling tidak Netta yakin mereka memiliki perasaan itu sebagai orang tua untuk Pelangi.
...
Note : menunggu lama? Maaf dan terima kasih karena masih tetap setia menanti kisah ini. Kali ini nggak ada Pelangi dulu, ya. Urusan orang dewasa semua, hahaha. kali ini benar-benar harus selesai mereka. Baik itu Sena-Rian atau Netta dan Aditya. Menunggu Aditya-Sena-Pelangi nih tinggal. Oh ya, kalau merasa plotnya agak kecepatan karena kok Aditya tiba-tiba udah begini aja? aku tahu, akan kutampung tanda tanya kalian. Dan akan kumasukkan dalam list revisi nanti, ya. Jadi ya terima kasih. Cuma memang dari awal Aditya ini gak jahat-jahat amat kok. Dia Cuma berengsek aja karena nggak berani bertanggung jawab, heheh. Pokoknya, dalam bulan ini harus kelar. Jadi, doain gak ada halangan dan gangguan lagi biar cerita ini kugarap habis sampai ke akarnya, ya. Selamat membaca, selamat malam dan selamat istirahat semua.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Rumah, 09/01/22
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top