Chapter 32 - Keyakinan Yang Goyah

Malam itu juga mamanya meminta Rian pulang ke rumah. Ia tidak bisa menunggu lagi. Semakin cepat dirinya mendapatkan jawaban. Maka semakin mudah juga keputusan dibuat.

Penilaian awal yang Mama Rian dapatkan terhadap Sena cukup baik. Meski Sena hanya seorang pekerja di sebuah toko furnitur. Hal itu sama sekali tidak menjadi masalah baginya. Karena yang paling penting dari seseorang adalah karakternya. Bukan karena dirinya adalah seorang yang berada, berpendidikan tinggi atau terlahir di keluarga terhormat.

Sayangnya apa yang disaksikan mamanya ketika berada di restoran mereka, membuatnya tak dapat lagi melihat Sena dengan baik. Perempuan yang sudah memiliki anak dan keluarga, namun masih berhubungan dekat dengan pria lain bukanlah perempuan yang patut dipertimbangakan di mata Mama Rian.

“Kakak kamu sudah datang?” tanya mamanya pada Aruna yang sedang asyik nonton TV.

“Belum. Kenapa sih, Ma?”

Mamanya hanya menggeleng. Tak ingin menjawab keingintahuan Aruna. Ia kemudian beranjak menuju pintu depan. Memastikan tanda-tanda kedatangan Rian. Namun hingga hampir setengah jam menanti, Rian tidak muncul juga. Rasa cemas mamanya kian membesar.  Ia segera mengambil telepon untuk menghubungi Rian.

Beberapa saat menunggu, tidak ada jawaban juga dari Rian. Namun tak lama terdengar suara kendaraan memasuki pelataran rumah. Mobil yang dikendarai Rian terparkir rapi. Tak lama pria keluar dengan wajah lelah setelah seharian bekerja. Meski pun di akhir pekan, sebagai penanggung jawab usaha keluarga Rian tetap memiliki pekerjaan yang harus diselesaikan.

Melihat wajah lelah putranya, ada rasa kasihan yang yang dirasakan mamanya. Namun ia juga tak ingin masalah perjodohan Rian terjadi berlarut-larut. Ia ingin semua diselesaikan secara cepat agar Rian bisa mendapatkan jodoh yang cocok untuknya.

“Kamu sudah makan malam, Rian?” tanya mamanya ketika Rian menyalami.

“Sudah tadi di resto, Ma.”

Mamanya mengangguk. Kemudian mengajak Rian masuk ke rumah. Ia meminta salah seorang ART untuk menyiapkan teh dan mengantarkannya ke ruang kerja Papa Rian. Setelahnya ia menarik Rian menuju ruang kerja sang suami.

“Mama mau bicara penting apa?” tanya Rian yang masih digandeng oleh mamanya menaiki tangga.

“Nanti kalau kita sudah di ruang kerja Papa.”

Meksi bingung namun Rian menurut saja saat mamanya membawa ia ke ruang kerja. Tidak ada siapa pun di sana. Bahkan papanya yang biasanya adalah penghuni tetap ruangan tersebut juga tak terlihat. Beberapa saat setelah mereka tiba, pintu ruangan tersebut diketuk. Bibi yang bekerja membawakan nampan berisi kue dan minuman.

“Ma, apa yang mau Mama bicarakan dengan Rian?” tanya Rian langsung ketika hanya tinggal mereka berdua di dalam ruangan.

“Duduk, Rian. Mama mau bicara sangat serius kali ini.”

Rian menuruti perintah mamanya dengan duduk di sofa yang ada di sana. Ibu dan anak tersebut duduk saling berhadapan. Menghadapi mamanya yang tampak serius, entah mengapa Rian punya firasat yang tak enak.

“Rian, kamu tahu kan kalau Mama ingin sekali melihat kamu menikah?”

Rian terpaku, jika mamanya sudah membawa-bawa masalah pernikahan, jujur saja ia masih belum bisa memberikan kepastian.

“Ma, Rian janji pasti akan memenuhi keinginan Mama yang satu itu. Tapi Rian butuh waktu.”

Mamanya menggeleng. Sudah dapat menebak apa yang akan dijawab sang anak.

“Tapi Mama ingin segera, Rian. Kalau kamu merasa Mama terlalu memaksa, ya, Mama memang ingin memaksa kamu menikah secepatnya. Mama ingin lihat kamu segera bersanding di pelaminan.”

Rian memijat dahinya. “Ma …”

“Apa lagi yang kamu tunggu, Rian? Kamu bilang kamu sedang mendekati seseorang. Tapi sampai saat ini, kamu belum sekali pun berkeinginan untuk mengenalkan dia sama Mama.”

Rian akan menjawab ketika mamanya kembali menyela. “Kenapa?”

Jika ditanya kenapa, tentu saja karena sampai saat ini, Rian masih belum berhasil memenangkan hati Sena. Namun mana mungkin ia mengutarakannya pada sang mama.

“Rian, Mama mau kamu jujur sama Mama. Kenapa sampai sekarang kamu masih belum mau mengajak perempuan itu ketemu Mama?”

“Ma, itu …”

“Jangan bilang kamu masih butuh waktu. Mama nggak bisa menunggu lebih lama lagi, Rian.”

Kepala Rian berdenyut semakin menjadi. Keinginan kuat mamanya yang datang tiba-tiba justru makin membuat Rian tak siap jika harus mengajak Sena bertemu dengan keluarganya.

“Kamu belum ingin membawa dia apa karena kamu belum serius? Apa karena dia ternyata bukan orang yang tepat untuk diajak ke hubungan yang serius?”

Ada rasa marah yang Rian tunjukkan ketika mendengar ucapan mamanya. Ia sama sekali tak memiliki niat mempermainkan Sena seperti itu. Bukan dirinya yang tak ingin serius tapu keadaan mereka yang sulit untuk berkelanjutan.

“Bukan seperti itu, Ma. Rian serius dengannya.”

“Lalu? Apa karena dia yang tidak serius dengan kamu?”

Rian kembali menggeleng. “Bukan begitu juga. Tapi  …”

“Tapi karena perempuan yang sedang kamu dekati masih berstatus sebagai istri orang, begitu?” 

Kali ini keterkejutan Rian tak dapat disembunyikan. Bukan karena apa yang diucapkan mamanya adalah sebuah kebenaran. Namun lebih karena Rian merasa mamanya mengenal Sena.

“Ma, jangan bilang Mama …” sebelum Rian menyelasaikan kalimatnya, mamanya sudah menjawab dengan cepat.

“Iya. Mama sudah menemui Sena. Mama sudah melihat seperti apa dia. Dan Mama rasa kalian tidak tepat untuk satu sama lain.”

Dugaan Rian mungkin benar. Tapi mendengar kebenaran langsung dari bibir mamanya justru membuat Rian seperti kehilangan kendali. Bukan ia tak ingin mamanya mengenal Sena. Tapi bukan dengan cara diam-diam seperti ini.

“Darimana Mama tahu tentang Sena?” selidik Rian.

“Darimana Mama tahu itu nggak penting, Rian. Yang paling penting Mama tahu kenapa kamu sampai sekarang belum mau mengenalkan Sena. Semua itu karena Sena sudah menikah, kan?”

Rian kembali menggeleng tak habis pikir. “Ma, bukan seperti itu.”

“Jangan menyangkal. Jujur sama Mama, Rian. Kamu tahu status Sena yang sudah berkeluarga. Atau Sena menyembunyikan status itu dari kamu?”

“Ma, bukan dua-duanya,” jawab Rian tegas membuat sang mama tampak bingung.

“Lalu apa? Mama jelas-jelas lihat Sena dan keluarganya di restoran kita siang tadi. Dia sudah punya anak dan suami, Rian. Kamu jangan gila!”

Kali ini Rian benar-benar tidak dapat mengelak. Meski apa yang dikatakan mamanya tidak seratus persen benar. Tapi penolakan sang mama jelas. Ia tidak akan mengizinkan Rian berhubungan dengan perempuan dengan status seperti Sena.

“Ma, Rian akan jujur sama Mama,” ujar Rian akhirnya. Ia tahu tak akan mampu menutupi kebenaran selamanya. Meski terasa berat, tapi Rian berharap mamanya mau mengerti. paling tidak sebagai sesama perempuan, mamanya bisa merasakan penderitaan yang Sena alami.

“Katakan. Mama siap mendengarkan.”

Semoga mama juga siap memahami, ujar Rian dalam hati.

“Bukan maksud Rian ingin menunda perkenalan Mama dan Mbak Sena. Tapi ada hal yang masih belum bisa Rian pastikan …”

“Status Sena?”

Rian menggeleng. “Bukan, Ma. Tapi karena Mbak Sena sendiri belum bisa diyakinkan untuk menerima Rian.”

Mama Rian tampak terperanjat mendengar penuturan putranya. Sena belum bisa menerima Rian. Lelucon macam apa itu? Bukan karena mamanya ingin menyombongkan diri. Namun putranya memiliki kualitas yang patut dipertimbangkan sebagai calon suami. Bahkan banyak teman-temannya yang berniat menjodohkan putri mereka dengan Rian. Namun memang Rian yang sulit membuka hati untuk para gadis itu.
Dan kini, Rian mengaku jika Sena masih belum yakin dengannya. Memang setinggi apa kapasitas dan kualitas yang dimiliki perempuan bernama Sena tersebut. Mama Rian jadi semakin tak yakin dengan Sena.

“Mama benar, Mbak Sena memang sudah memiliki keluarga kecilnya. Tapi dia sama sekali belum pernah menikah.”

“Tunggu, Rian,” mamanya menaikkan telapak tangan sebagai pertanda agar Rian memberinya waktu untuk mencerna apa yang baru pria itu katakan.”Maksudnya apa? Dia punya keluarga kecil tapi belum pernah menikah? Status seperti apa itu?”

Rian menghela napas. Ia tahu bagian inilah yang paling sulit dijelaskan. Namun tidak bisa juga selalu disembunyikan. Mungkin Rian terkesan lancar membeberkan kisah hidup Sena pada mamanya. Namun ia berharap dengan mengatakan kebenaran ini, Mamanya bersedia menerima Sena. Meski kecil kemungkinannya.

“Mbak Sena sudah punya anak. Anak itu adalah …”

“Hasil di luar nikah?” sambar mamanya dengan nada tak percaya.

Rian mengamati raut wajah mamanya. Dari tak percaya kemudian, hal yang paling Rian takutkan. Penolakan.

“Rian!”

“Ma, tolong. Jangan menghakimi apa yang terjadi pada Mbak Sena.”

“Mana mungkin Mama tidak menghakimi kalau kenyataannya dia punya anak di luar pernikahan?” mamanya berucap tajam. “Pikir pakai logika, Rian. Perempuan baik mana yang punya anak di luar pernikahan?”

“Ma!” tegur Rian dengan nada meninggi.
 
“Kamu bentak Mama?”

Rian menunduk sembari mengusap wajahnya dengan gusar. “Maaf, Ma. Tapi tolong, jangan berprasangka buruk terhadap Mbak Sena. Mama juga wanita, Rian yakin Mama juga bisa sedikit saja merasakan empati terhadapnya. Seburuk apapun yang terjadi dalam hidupnya, tidak lantas menjadikan Mbak Sena sebagai perempuan yang buruk juga. Ada alasan dari setiap tindakan yang dia ambil. Andai Mama mau mendengar dan memberi kesempatan, Rian yakin Mama akan mengerti.”

Saat ini justru mamanya yang mengalami sakit kepala karena perkataan Rian. Ya, memang apa yang terjadi dalam hidup seseorang tak lantas menjadi tolok ukur baik dan buruknya pribadi orang tersebut. Namun tetap saja, Mama Rian tidak bisa membayangkan jika wanita baik akan terjebak dalam situasi yang saat ini Sena hadapi. Meski ia mencoba mengerti. Tapi bukan berarti ia bisa menerima. Mama Rian hanya tidak bisa mengasosiasikan keadaan yang Sena alami dengan hal yang bisa dimaklumi.

“Perempuan baik akan menjaga dirinya, Rian. Maaf kalau Mama berkata kasar tapi, Mama tidak bisa menerima Sena sebagai pilihan kamu. Mama belum sanggup, Rian. Pikirkan itu!”

Mamanya tak memberi kesempatan lagi untuk bicara. Beliau segera berlalu dari ruangan. Tinggallah Rian seorang diri dengan kepala yang tertunduk. Penolakan mamanya yang teramat jelas membuat kepercayaan diri Rian runtuh.
Apa yang diharapkannya ternyata tak menjadi kenyataan. Mamanya tak memihak. Pun tak berusaha ingin mengerti. Andaikan mamanya sedikit saja bersedia memahami, setidaknya Rian masih memiliki harapan. Namun jika sudah seperti ini yang terjadi, apa lagi yang bisa Rian usahakan. Ia harus memilih, hatinya atau keinginan orang tuanya.

Langit sudah mulai mendung. Namun Pelangi masih bermain di ruang perpustakaan. Ia masih menunggu hingga Arina selesai dengan rapat yang diadakan. Di tengah kegiatannya menyusun beragam puzzle kayu, Pelangi mengisi kesunyian ruang tersebut sembari bersenandung. Hingga suara petir yang tiba-tiba bergemuruh membuatnya ketakutan.

Gadis itu berlari menuju sudut ruangan sembari menutup telinga dengan telapak tangannya. Ia tidak benci hujan, hanya saja sebagai anak kecil ketakutannya terhadap petir tentu tidak bisa dianggap sepele. Terlebih dengan berbagai berita yang pernah ia dengar jika petir bisa membunuh manusia. Kepala mungilnya merekam apa yang pernah ia dengar dan saksikan dari televisi.

Tanpa gadis kecil itu sadari, Arina sudah berada di ruang perpustakaan karena rapat telah usai. Arina pikir dirinya akan langsung menemukan anak itu bermain di tengah ruangan. Namun yang Arina saksikan ternyata hanya kumpulan puzzle kayu yang belum terselesaikan. Matanya kemudian mencari keberadaan Pelangi yang ternyata masih berjongkok di sudut ruangan. Wanita itu tersenyum melihat keponakan sekaligus muridnya itu. Sepertinya ia tahu apa yang menyebabkan Pelangi berada di sana. Pelan-pelan ia mendekati gadis kecil itu.

“Pelangi?” panggil Arina sambil mengelus lembut kepala gadis itu.
Pelangi seketika menolehkan wajahnya. Raut lega terpancar jelas di wajahnya kala melihat Arina berada di hadapannya.

“Bu Arina …” anak itu langsung melemparkan tubuhnya ke pelukan Arina.

“Pelangi takut petir?” tanya Arina dengan tangan yang mengelus punggung anak itu berusaha menenangkannya. Pelangi mengangguk dalam pelukannya.

“Iya. Petirnya kuat sekali tadi. Ada kilatan cahaya juga.”

“Sekarang sudah nggak takut lagi?”

“Tidak. Ada Bu Arina.”

“Kita susun dulu puzzle kayunya, ya. Terus kita bisa pulang.”

“Tapi sudah mau hujan?”

Arina memandang keluar jendela. Memang mendung sudah menggelayuti. Jika mereka memutuskan untuk pulang dengan menaiki motor, Arina takut mereka akan kehujanan di jalan.

“Kita telepon Om Kal dulu, ya?”

Arina segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi sang suami. Tanpa menunggu lama, panggilan langsung terhubung.

“Assalamualaikum, ada apa, Rin?” suara Sekala yang jernih langsung memasuki pendengaran Arina.

Waalaikumsalam. Kal, bisa nggak jemput aku sama Pelangi. Kelihatannya sudah mau hujan. Apalagi tadi barusan ada petir yang bikin Pelangi takut.”

Jika sudah menyangkut Pelangi, Sekala tidak mungkin menolak apapun. Ia langsung mengiakan dan meminta mereka menunggu. Setelah saling mengucap salam, panggilan langsung ditutup. Sekala yang memang jam kerjanya cukup fleksibel segera merapikan meja kerjanya. Membawa sisa pekerjaan yang bisa diselesaikan di rumah. setelahnya ia berpamitan pada beberapa rekan kerjanya.

Di sekolah, setelah Arina memasukkan motor ke dalam ruang penyimpanan, ia dan Pelangi menunggu kedatangan Sekala. Tak disangka hujan turun dengan deras disertai gemuruh petir. Pelangi langsung merapatkan tubuhnya pada Arina.

“Jangan takut, ya. Sebentar lagi Om Kal pasti datang,” ucap Arina berusaha menenangkan anak itu.

Benar saja, tak berapa lama Sekala tiba. Ia memberikan sebuah payung pada Arina. Kemudian mengangkat Pelangi yang langsung menjulurkan tangannya. Begitu berada dalam pelukan Sekala, ketakutan Pelangi perlahan sirna. Anak itu seolah menemukan tempat perlindungan yang aman dalam diri pamannya.

Khawatir jika Pelangi masih merasa takut, Arina memilih duduk bersama anak itu di kursi belakang. Dalam perjalanan pun, Sekala menyalakan musik pengiring untuk mengalihkan perhatian Pelangi dari ketakutannya.

Meski sedikit terdistraksi, nyatanya Pelangi tak sepenuhnya lupa dengan keadaan sekitarnya. Saat ia memerhatikan jika rute yang diambil Sekala bukanlah menuju rumah. Anak itu langsung bertanya mengapa mereka mengambil jalan berbeda.

“Kita jemput Mama sekalian.” Sekala menjawab keingintahuan anak itu.

Sayangnya ketika mereka tiba, Sena masih harus mengerjakan hal lainnya. Bahkan kemungkinan wanita itu harus pulang sedikit terlambat. Meski sedih tak bisa pulang bersama ibunya, namun Pelangi tetap dapat menerima. Ia tak ingin jadi anak yang merepotkan dengan merengek hanya karena Sena tak bisa pulang bersama mereka.

“Hati-hati di jalan. Sampai rumah langsung mandi, kerjakan PR, lalu bantu Tante Arina jagain Nenek, ya?” pesan Sena sebelum berpamitan pada putrinya.

“Mama juga. Jangan pulang kemalaman, ya?” pinta Pelangi yang langsung membuat Sena tertawa.

Insya Allah, Mama usahakan, ya.”

Sebelum pergi, Sekala sekali lagi berpesan pada adiknya jika memang saat pulang nanti masih hujan agar Sena menghubunginya. Sena hanya bisa tersenyum mendengar kekhawatiran Sekala. Namun juga ia merasakan kehangatan karena perhatian sang kakak.

Setelah mobil Sekala tak lagi tampak, Sena kembali bergabung dengan teman-temannya untuk melanjutkan pekerjaan. Bulan ini toko mereka memang mendapatkan orderan berlebih hingga mereka harus bekerja lembur untuk mengurusi segala pesanan pelanggan.

Tepat pukul delapan malam, akhirnya mereka berhasil menyelesaikan pekerjaan. Teman-teman Sena mengajak wanita itu untuk makan malam bersama. Tadinya Sena akan menerima tawaran itu. Sampai ia melihat sebuah mobil yang tidak asing terparkir di depan toko mereka. Sena terpaksa melewatkan ajakan teman-temannya karena sepertinya Rian sudah menunggunya entah untuk berapa lama.

Melihat Sena dan rekan-rekan kerjanya sudah mulai keluar satu persatu, Rian pun keluar dari mobilnya. Ia menyapa teman-teman Sena yang langsung berpamitan pada wanita itu. Sementara Sena perlahan mendekati Rian.

“Sudah berapa lama menunggu?” tanya Sena dengan perasaan yang tak enak karena sudah membuat pria itu menunggu. Meski bukan kesalahan Sena karena ia sama sekali tak mengetahuinya.

“Sekitar satu jam.”

Rian yang saat ini berada di hadapannya, Sena rasa tampak berbeda. Jika biasanya pria itu selalu terasa aura ceria mengelilingi. Namun kali ini Sena bisa merasakan aura depresi dari pria itu. Entah apa yang terjadi padanya.

“Kenapa?” tanya Sena lagi.

Rian tak menjawab. Hanya memandangi Sena dibalik temaram cahaya  penerangan. Mata pria itu memancarkan perasaan yang dalam. Ingin rasanya Rian merengkuh Sena. Menumpahkan segala perasaan kalut yang sedang ia alami saat ini.

“Rian, ada apa?” Sekali lagi Sena bertanya karena ia merasa pria itu sedang tidak baik-baik saja.

“Boleh aku peluk, Mbak Sena?”

Sena terkesiap mendengar ucapan Rian yang begitu berani. Namun kemudian Sena mendengar Rian tertawa. Bukan tawa menyenangkan yang terdengar lepas dan bebas. Namun terselip kegetiran di dalamnya.

“Tidak mungkin bisa, ya?” gumam Rian dengan suara yang sangat pelan.

“Ada hal yang ingin kamu bagi dengan saya?”

“Kita cari tempat yang nyaman untuk bicara, Mbak.”

Sena menurut. Ia memilih untuk menyimpan motornya di toko kemudian ikut bersama dengan mobil Rian. Rian kembali membawa Sena ke taman di mana mereka pernah bicara. Meski sudah malam, namun tempat itu tidak terlihat sepi. Beberapa anak muda juga terlihat berkeliaran mengahabiskan waktu di sana.

“Ada hal yang mengganggu kamu?” Sena membuka pembicaraan.

Rasanya seperti de javu. Ketika mereka duduk berdua di taman dan di bangku yang sama. Sepertinya juga akan dengan perasaan yang sama.

“Mama nggak sengaja lihat Mbak dan keluarga saat makan siang di salah satu restoran keluarga kami.”

Tanpa perlu berpikir panjang, Sena langsung mengingat kegiatannya minggu lalu bersama Sekala, Pelangi dan Wisnu.

“Lalu?” tanya Sena hati-hati sembari memerhatikan perubahan di wajah Rian.

“Saya gagal meyakinkan Mama untuk dapat menerima, Mbak.”

“Rian …” Sena menghela napas pelan. Ia berusaha merangkai kata namun tak berhasil menemukan kalimat yang tepat. “Maaf.”

Pada akhirnya hanya kata itu yang terucap dari bibir Sena. Rian tahu tak sepatutnya melemparkan kesalahan pada Sena. Wanita itu pun tak memiliki kuasa atas apapun jika sudah menyangkut masalah yang Rian hadapi saat ini.

Rian menggeleng kecil. “Bukan salah, Mbak. Mungkin jalan kita yang memang begini.”

Sena mengepalkan tangannya. Dorongan dalam hatinya begitu kuat untuk sekadar memberikan tepukan penyemangat di bahu Rian. Tapi di lain sisi ia juga takut jika sentuhan yang ia berikan hanya akan menambah kesakitan di hati Rian.

“Sejak awal kamu tahu semua memang sulit, kan. Karena itu …”

Saya tidak pernah ingin memupuk tinggi harapan di hati, Sena hanya mampu merapalkannya dalam hati.

Untuk beberapa saat, mereka hanya saling berdiam. Membiarkan malam yang mengisi waktu yang terlewat. Karena kadang kata-kata tak mampu mengungkapkan apa yang sebenarnya hati ingin sampaikan.

“Mbak ...”

Sena menoleh pada Rian. “Ya?”

“Seandainya, saya memilih Mbak dan meninggalkan keluarga, apa Mbak akan setuju?”

Sena tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Sungguh ia merasa tersanjung andai Rian benar-benar bersedia memilihnya. Perempuan manapun tentu akan bahagia jika seorang pria berniat memperjuangkan mereka.

Tapi Sena juga bukan perempuan egois yang hanya ingin menggapai kebahagiaannya sendiri. Bagi Sena yang hanya memiliki keuarga di saat terpuruknya, tentu tidak akan setuju dengan niat yang Rian utarakan. Walau masih dalam bentuk pengandaian. Karena keluarga adalah harga yang terlalu besar dalam pertaruhan. Paling tidak itulah yang Sena rasakan. Ketika seluruh dunia berpaling darinya, namun tidak dengan keluarga.

“Saya tidak akan pernah sanggup untuk menerima pengorbanan sebesar itu, Rian.”

Jawaban tegas Sena membuat hati Rian yang sejenak disulut keyakinan seketika goyah.

“Kenapa?” tanyanya meski harusnya ia sudah tahu jawaban apa yang akan Sena berikan.

“Karena keluarga tidak akan terganti, Rian. Karena saya sudah merasakan bagaimana ikatan darah tidak akan pernah meninggalkanmu bahkan disaat terpurukmu sekali pun. Kamu tahu apa yang saya maksud, kan?”

“Saya tahu, Mbak.”

Jeda, kembali mereka saling disibukkan dengan pikiran masing-masing. Sampai ketika hela napas berat terdengar dari bibir Rian. Pria itu berdiri, mengajak Sena untuk kembali pulang. Sena yang tahu tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan, akhirnya ikut berdiri bersama Rian.

Dalam perjalan menuju kediaman Sena, tidak satu pun dari mereka yang bersuara. Suasana di dalam mobil benar-benar sunyi dan terasa kosong. Hingga mereka tiba di depan rumah Sena, wanita itu segera mengucapkan terima kasih sebelum turun dari mobil Rian.

“Mbak Sena …” panggil Rian tiba-tiba membuat langkah Sena terhenti. “Andai ada jalan, Mbak bersedia memberi saya kesempatan?”

Sena hanya tersenyum kecil tanpa menjawab. “Selamat malam, Rian.”
Setelahnya Sena kembali melangkah. Tanpa pernah berniat untuk menoleh lagi. Meninggalkan Rian yang matanya kini menatap penuh kesedihan pada sosok perempuan yang perlahan kian menghilang dari pandangannya.

Note : maaf!!! teramat maaf karena molor lagi. Tapi, semoga puas dengan part ini, ya. pada akhirnya, kita harus mengucapkan selamat tinggal pada satu kandidat yang gugur. Terima kasih buat Rian atas cintanya selama ini untuk Sena, hahahaha. Selamat membaca, selamat malam dan selamat istirahat semua. Update selanjutnyakayaknya gak bisa janji. Tapi akan kuusahakan secepatnya, sebisanya ya.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.

Pss : selamat hari guru nasional untuk para guru semua. Terima kasih para pahlawan tanpa tanda jasa untuk segala ilmu dan didikannya untuk seluruh anak Indonesia 💙💙💙

Restricted area, 25/11/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top