Chapter 31 - Membuka Pintu

Netta merasakan kelegaan setelah melakukan pembicaraan dengan Sena. Persis seperti yang diduganya, Sena adalah sosok perempuan baik yang bisa diajak berbicara dari hati ke hati. Tak hanya mereka berusaha saling memahami posisi masing-masing. Namun keduanya juga berusaha untuk saling memaafkan. Meski dalam kasus tersebut, Netta lah korban yang sebenarnya. Namun tak masalah, wanita biasanya memiliki hati yang lembut untuk dapat saling memaafkan.

Satu hal yang menjadi fokus utama keduanya saat ini adalah Pelangi. Sena sudah berjanji akan mempertemukan Netta dengan gadis kecil itu. Netta pun sudah tak sabar untuk mengenal anak perempuan yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama mereka.

Tapi masih ada masalah yang harus Netta hadapi. Bagaimana kelanjutan hubungan pernikahan dirinya dan Aditya. Netta masih mencintai Aditya meski pria itu sudah menyakitinya. Mungkin terdengar bodoh ketika wanita sudah disakiti tapi masih menyimpan cinta pada pria yang menyakitinya. Tapi perasaan seorang wanita tak semudah itu untuk berpaling. Perempuan yang katanya makhluk yang mengedepankan rasa, mana mungkin bisa dengan mudah menyingkirkan perasaan yang telah lama mengakar dalam hatinya. Begitu juga yang dirasakan Netta.

Ia ingin mencoba untuk mempertahankan pernikahan mereka. Netta ingin membuat Aditya mengerti bahwa mereka sudah bersatu dalam ikatan suci pernikahan. Baik dan buruknya seorang Aditya, Netta bersedia menerima. Namun semua itu tergantung dari pria itu sendiri. Jika Aditya tetap tak bisa membuka hatinya untuk Netta. Maka jika perpisahan adalah jalan satu-satunya, Netta siap untuk menghadapinya.

Kembali ke rumah, Netta tak menemukan Aditya di ruang santai ataupun di kamar mereka. Wanita itu kemudian melangkah menuju ruang kerja suaminya. Tanpa mengetuk, Netta langsung memasuki ruangan tersebut. Di sana, ia melihat Aditya yang tengah tertidur di sofa yang tersedia di sana. Wajah pria itu tampak tenang tanpa guratan penghalang yang biasa terlihat saat Aditya berhadapan dengan Netta.
Netta berjalan mendekati Aditya yang terlelap. Wanita itu hanya memerhatikan wajah Aditya yang damai dalam tidurnya. Tanpa terasa setitik air mata bergulir membasahi pipinya. Entah apa yang Netta tangisi. Entah kah nasibnya atau pernikahannya. 

“Aku harus bagaimana, Mas?” ucap Netta lirih.

Ia kemudian memilih untuk tak berlama-lama menatap Aditya. Netta sudah memutuskan untuk mengungkapkan semua kebenaran tentang Pelangi. Meski tanpa persetujuan Sena, namun Netta ingin agar keluarga Aditya mengetahui bahwa mereka memiliki seorang cucu di luar sana bernama Pelangi. Entah akan ditolak atau diterima, tapi Netta akan memastikan bahwa Pelangi tak akan pernah dipisahkan dari Sena, ibu kandungnya. Walau Aditya yang turun tangan, ia tetap akan berdiri untuk Sena.

Tanpa sepengetahuan Netta setelah kepergiannya, Aditya membuka mata. Pria menegakkan tubuhnya sembari menatap ke arah pintu. Aditya memang belum tahu apa yang dilakukan istrinya. Namun pria itu tahu jika Netta menyembunyikan sesuatu darinya.

Tapi bukan berarti Aditya bisa menyalahkan sang istri. Karena pria itu pun berlaku hal yang demikian. Rumah tangga mereka yang sejak awal memang hanya dilandasi dengan kepentingan bisnis memang bukan contoh rumah tangga ideal. Pun begitu Aditya tahu jika Netta tetap berusaha menjadikan pernikahan mereka berjalan lancar. Dengan segala cinta dan pengabdiannya. Hanya saja, Aditya tetap tak mampu membiarkan hatinya dimasuki oleh sang istri.

Bukan tak pernah Aditya mencoba untuk mempertimbangkan perasaan Netta. Ia tahu tak sepantasnya mengabaikan wanita itu yang dengan sepenuh hati mencinta untuknya. Tapi hati Aditya terlalu keras untuk tergerak. Karena sejatinya ia masih menyimpan Sena di dalam relung hati terdalamnya.

Aditya yang dengan mudahnya memilih mencampakkan Sena. Namun masih menyimpan perasaan untuk wanita malang itu. Sungguh Aditya tahu dirinya benar-benar tak tahu diri. Dan kini, dengan tak tahu malunya, Aditya berharap dirinya mampu memenangkan hati Sena kembali.

Pria itu menatap layar ponselnya. Sekali saja, rasanya Aditya ingin mendengar suara Sena. Setelah menimbang-nimbang akhirnya Aditya memutuskan untuk menghubungi Sena. Kali ini dengan nomor yang tentu saja berbeda mengingat entah sudah berapa kali wanita itu memblokir panggilannya. Dengan jantung berdegup Aditya menunggu. Ia pikir panggilannya akan berakhir tanpa jawaban seperti biasa. Namun kali ini sesuatu yang luar biasa terjadi ketika ternyata panggilan Aditya terhubung.

“Assalamualaikum, halo?

Jantung Aditya serasa berhenti mendengar suara anak perempuan yang menjawabnya. Wajah Pelangi langsung terbayang dalam kepalanya. Beberapa saat Aditya hanya terpaku sampai suara kecil nan merdu itu kembali merasuki pendengarannya.

Halo? Halo?

“Ya, Halo, Pelangi?”

Di dalam kamarnya, Pelangi tampak terkejut ketika si penelpon dengan tepat menyebutkan namanya. Ada rasa lucu yang anak itu rasakan ketika menerima panggilan. Padahal ia dan sang penelpon sama sekali tak saling mengenal.

“Ini dengan Pelangi. Tapi, kenapa Om tahu, ya?” tanya anak itu penasaran.

Aditya tersenyum mendengar pertanyaan polos anak itu. Rasanya menyenangkan berbicara dengan anak itu meski mereka tak saling mengenal dekat.

Pelangi, Mama Sena di mana?” tanya Aditya kemudian.

“Mama sedang di kamar mandi, Om. Ini temannya Mama, ya?”

Teman? Sudut bibir Aditya tertarik ke atas. Pertama kali bertemu si kecil pun, Sena memperkenalkan dirinya sebagai teman. Memang apa yang Aditya harapkan? Pelangi mengakuinya sebagai ayah? Ketika bahkan kehadiran gadis kecil itu pun tak diharapkan?
Belum lagi Aditya menjawab, ia mendengar bunyi pintu dan suara Sena yang bertanya pada Pelangi apa yang sedang gadis kecil itu lakukan.

“Ada telepon dari teman Mama,” jawab Pelangi seraya menyerahkan ponselnya pada Sena.

Sena tersenyum mendengar penjelasan sang anak. Pelangi jarang memegang peralatan seperti handphone jika tidak dengan izin Sena. Namun gadis kecil itu tahu jika terdapat panggilan masuk yang mungkin saja penting maka Pelangi boleh menjawab panggilan tersebut.

“Terima kasih,” jawab Sena yang langsung mendekatkan benda persegi tersebut ke telinga tanpa melihat siapa yang menghubungi. “Halo?”

Lagi, Aditya dibuat tertegun. Setelah tadi mendengar suara Pelangi, kali ini ia mendengar suara wanita yang sangat ingin ia dengarkan. Meski tahu jika saat Sena mendengar suaranya, Aditya yakin wanita itu akan langsung memutus sambungan.

Sena …

Sena terkesiap. Tangannya bersiap akan menutup panggilan saat dilihatnya Pelangi masih memerhatikan. Sena tak ingin menunjukkan sisi buruknya pada Pelangi. Karena itu ia berusaha untuk menahan diri.

“Mama terima panggilan ke luar dulu. Pelangi naik dulu sambil baca buku dongengnya, ya?” pinta Sena seraya menunjuk kea rah ranjang.

“Iya, Mama.”

“Anak pintar,” Sena melayangkan kecupan di puncak kepala anaknya. Kemudian bergegas keluar kamar.

Jangan tutup teleponnya!” ucap Aditya dengan nada memerintah. Ia mendengar dengan jelas interaksi antara ibu dan anak tersebut. Entah mengapa ia justru ingin berada di antara mereka.

Tanpa peduli dengan permintaan bernada perintah Aditya, Sena langsung memutus panggilan. Kemudian seperti yang biasa ia lakukan, wanita itu langsung memblokir nomor Aditya.

Sena tak habis pikir mengapa Aditya masih punya muka untuk menghubunginya. Sekeras kepala apa pria itu sampai tidak ingin menyerah juga setelah semua penolakan Sena. mengapa harus saling mengusik ketika mereka sudah memiliki hidup masing-masing.

Di tengah kebingungannya, Sena teringat kembali akan pembicaraannya dengan Netta. Wanita itu sempat mengatakan jika hati Aditya sudah terikat padanya. Saat itu Sena ingin tertawa mendengar penuturan Netta. Namun ketika Sena menarik kembali semua benang kesimpulan atas sikap Aditya beberapa waktu lalu. Ia menjadi kembali bertanya-tanya.

Semua tindak tanduk Aditya kembali berkelebat dalam kepalanya. Begitu dengan kenangan ketika mereka bersama dahulu. Namun pada akhirnya semua kenangan itu kembali saat Aditya mempersilakan Sena untuk keluar dari hidupnya ketika tahu jika dirinya sedang mengandung.

Sena meletakkan telapak tangan ke dada. Mencoba meraba perasaannya. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasa. Apakah ini karena kemarahan pada Aditya. Atau ada perasaan lain yang Sena coba untuk tidak menggubrisnya.

“Sen?” suara Sekala mengejutkan Sena yang sedang berdiri sembari berpikir di depan pintu kamarnya. “kamu sedang apa?”

Sena menggeleng. “Enggak, Mas. Aku masuk dulu, ya.”

Dengan begitu Sena kembali masuk ke kamarnya. Meninggalkan Sekala yang menatap pintu kamar adiknya dengan serius. Sebagai kakak, mana mungkin Sekala tidak tahu jika Sena menyembunyikan sesuatu darinya. Namun ia tahu tidak perlu baginya mengorek lebih jauh. Karena ia tahu kapanpun Sena siap bercerita, ia akan bicara jujur pada Sekala.

Mama Rian sudah tak dapat menahan diri lagi. Ia sudah tak sabar untuk Rian segera memperkenalkan perempuan yang menjadi tambatan hatinya. Mau sampai kapan Rian terus menyembunyikan siapa perempuan tersebut. Karena itu tanpa sepengetahuan Rian, mamanya berusaha mencari tahu siapa wanita tersebut.

Tentu saja semua itu tak lepas dari kecerobohan Meisya. Ia yang sering menghabiskan waktu dengan Aruna, adik perempuan Rian tak sengaja mengatakan jika wanita yang disukai Rian adalah perempuan yang cantik. Sontak saja Aruna langsung mengorek informasi tentang siapa wanita itu. Meski hanya sekadar nama dan pekerjaan, itu saja sudah cukup bagi Aruna. Gadis itu langsung melaporkan hal tersebut pada mamanya.

Dan sebagai imbasnya, tentu rasa penasaran Mama Rian dan Aruna akhirnya terpenuhi. Mereka sengaja menghampiri tempat Sena bekerja. Dengan alasan untuk melihat-lihat produk furnitur. Sena yang tak mengenal keduanya tentu saja menyambut baik mereka sebagai calon pelanggan.

Untungnya kedatangan mereka kali ini benar-benar hanya ingin melihat seperti apa sosok Sena. Mereka tidak memperkenalkan diri sebagai keluarga Riana tau bahkan mulai mempertanyakan seputar hubungan Rian dan Sena. Setelah merasa cukup melihat, ibu dan anak tersebut pun meninggalkan toko setelah memesan satu set sofa.

“Gimana menurut Mama soal Mbak Sena itu?” Aruna bertanya saat mereka sedang diperjalanan pulang.

“Mama akui dia memang cantik. Kakak kamu punya mata yang jeli melihat perempuan. Tapi hanya sebatas itu karena kita belum tahu seperti apa karakternya, kan.”

“Tapi, menurut Runa dia cukup baik. Ramah dan sopan juga.”

Mamanya menoleh pada Aruna yang sedang menyetir kemudian tersenyum, “tentu dia harus ramah dan sopan saat bekerja. Itu kan tanggung jawabnya. Tapi di luar pekerjaan, kita kan nggak tahu dia bagaimana.”

Aruna kemudian mengangguk, merasa setuju dengan pendapat mamanya. Namun tak bisa Aruna pungkiri, ia memberikan acungan jempol bagi Rian karena memilih perempuan yang baik dari segi penampilan dan sikap. Paling tidak itulah yang Aruna tangkap dari pertemuannya dengan Sena tadi.

“Tapi Mama masih berharap kalau Rian menikah dengan Meisya. Mama merasa mereka cocok. Apalagi sih yang Kakak kamu cari?” ujar mamanya kemudian.

Aruna tertawa. “Cinta mungkin?”

“Hah, cinta? Memang seberapa hebatnya sih cinta. Semua bisa ditumbuhkan bersama waktu. Kakakmu saja yang ngeyel berasa pujangga selalu harus tentang cinta.”

Aruna tertawa seraya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan mamanya. Ia tidak bisa menyalahkan Rian yang memilih untuk mengejar pujaan hatinya. Tapi ia juga setuju dengan apa yang dikatakan mamanya. Pernikahan tidak hanya melulu tentang cinta.

“Jadi Mama maunya Kak Rian gimana?”

“Pertama Mama mau Rian membawa perempuan itu dulu. Kalau sampai minggu depan tidak ada jawaban juga, Mama akan pakai cara paksa biar Rian nurut.”

Aruna melirik mamanya. Gadis itu bergidik mendengar keseriusan dalam nada bicara mamanya. Dalam hati ia berharap agar Rian dapat melewati cobaan ini. Jika tidak maka Rian harus siap dengan perjodohan yang diatur mamanya.

Beberapa waktu lalu Wisnu berjanji untuk membawa Pelangi melihat para hewan peliharaan miliknya. Namun karena kesibukannya dan Wisnu memiliki urusan keluar kota, ia pun belum dapat menunaikan janjinya. Maka dari itu ketika ia sudah memiliki kesempatan, Wisnu pun mengutarakan niatnya untuk membawa Pelangi ke rumahnya.

Pelangi tentu saja merasa senang. Sudah lama ia menantikan kunjungan tersebut. Ia yang sudah tak sabar bahkan menghitung hari di mana dirinya akan berkunjung ke rumah Wisnu. Gadis kecil itu melingkari setiap tanggal menuju hari H di kalender meja belajarnya.

“Hari ini boleh ke rumah Om Wisnu, kan?” tanyanya sekali lagi saat sarapan.

“Iya. Tapi nanti agak siangan ya. Pagi-pagi begini Om Wisnu pasti masih ada kesibukan. Mungkin lagi bersih-bersih rumah karena Pelangi mau datang,” jelas Sena.

“Iya. Mama ikut, tidak?” tanya Pelangi kemudian. Karena sejak rencana kunjungan tersebut tercetus, tak sekali pun Sena mengatakan jika dirinya akan ikut serta atau tidak.

“Um, Pelangi sama Om Kal dan Tante Arina saja, ya.”

“Kenapa? Pelangi mau pergi sama-sama Mama.”

Sena terlihat bingung bagaimana cara menjawab keinginan putrinya. Sampai ketika tatapan tertuju pada sang ibu, Sena merasa ia punya jawaban yang akan memuaskan Pelangi.

“Mama ada sedikit kerjaan. Nenek juga kasihan kan kalau di rumah sendirian. Jadi Mama mau temani Nenek di rumah saja.”

“Tapi Nenek bilang mau pergi sama Tante Arina, kemarin.”

Sena menatap ibunya dan Arina yang kini tersenyum. “Kok bisa?”

“Kami sudah janjian sama Ibunya Mbak mau belanja kain dari minggu lalu.”

“Kan,” ucap Pelangi senang karena ucapannya benar.

Para orang dewasa yang ada di meja makan tertawa mendengar tanggapan anak itu.

“Kan? Belajar bahasa begitu darimana sih, Nak?” tanya Sena merasa geli.

“Dari teman di sekolah.”

Sena menggeleng kecil. “Lain kali kalau bahasa yang asing begitu jangan langsung diikuti, ya. Tolong ya Ibu Arina agar anak-anak didiknya lebih diperhatikan dalam berbahasa yang baik lagi,” ledek Sena pada kakak iparnya.

Melihat ibu dan tantenya yang bersenda gurau membuat Pelangi sejenak menghentikan suapannya. Ia kembali menatap Sena dengan serius.

“Mama?” panggilnya membuat Sena mau tak mau harus mengalihkan pandang pada putrinya. “Mama temani Pelangi ke rumah Om Wisnu kan?”

“Mas Kal?” Sena menatap kakak lelakinya.

Sekala mengangguk membuat Sena dapat bernapas lega. Karena bagaimana pun ia akan merasa sangat canggung jika hanya dirinya dan Pelangi yang berkunjung ke rumah Wisnu.

Pukul sepuluh pagi, Sekala, Sena dan Pelangi berpamitan pada ibunya dan Arina. Ketiganya bergerak menuju kediaman Wisnu. Seperti biasa perjalanan selalu diramaikan dengan celoteh dan senandung dari Pelangi. Selain itu ia juga bertanya pada Sekala apa yang pria itu ketahui tentang rumah dan hewan peliharaan milik Wisnu.

“Sudah sampai, Om Kal?” tanyanya ketika mobil Sekala berhenti.

“Sudah. Ayo, turun,” ajak Sekala pada Sena dan Pelangi.

Sena tampak takjub dengan rumah yang ada di depan matanya. Rumah itu terlihat cukup nyaman. Dengan pekarangan yang asri dan beberapa pepohonan rindang. Ia lebih terkejut lagi saat melihat isi di dalam rumah yang ternyata lebih besar dari dugaan Sena. Dari luar rumah Wisnu tampak biasa saja. Namun ketika mereka masuk, Sena benar-benar tak bisa berkata-kata.

Terlebih saat Wisnu yang menyambut mereka dengan pakaian santai berupa kaos dan celana panjang berbahan kain. Khas rumahan sekali. Pria itu tampak gembira menyapa Pelangi. Namun terlihat terkejut saat menyadari keberadaan Sena.

“Maaf kalau mengganggu waktu kamu, Nu,” ujar Sekala.

“Enggak mengganggu kok. Kan sudah janji sama Pelangi, ya kan?”

Pelangi mengangguk. “Om Wisnu, Pelangi boleh lihat hewan peliharaannya?”

“Boleh. Kal dan Sena, mau ikut juga?”

Wisnu dan Pelangi berjalan bersama diikuti Sekala dan Sena. Wisnu membawa mereka ke bagian belakang rumahnya yang menjadi tempat tinggal para hewan peliharaannya. Sebuah ruang semi outdoor di mana beberapa kandang hewan seperti ular, iguana, dan burung juga hewan-hewan mamalia lainnya berada. Tempat itu tampak bersih dan terawat. Sena bertanya-tanya bagaimana caranya pria itu membagi waktu antara mengurus usahanya juga hewan-hewan peliharaannya.

“Mama ada ular!” pekik Pelangi saat mendekati kandang hewan melata tersebut.

Dua ekor ular berwarna kekuningan dan cokelat tampak sedang bersantai di kandangnya. Wisnu mendekati anak itu yang tampak penasaran tapi juga takut mengganggu hewan-hewan tersebut.

“Pelangi mau pegang?” tanya Wisnu kemudian.

“Boleh, Om? Ularnya nggak menggigit?” tanyanya ragu-ragu.

Mendengar tawaran Wisnu untuk putrinya memegang reptil tersebut membuat Sena terkesiap. Sejujurnya ia takut akan hewan-hewan yang termasuk ke dalam golongan hewan buas tersebut. Ia hanya bisa melihat hewan-hewan tersebut melalui tayang tv atau di dalam kandangnya seperti di kebun binatang.

“Pelangi …” sang anak langsung menoleh padanya. “Dilihat saja, ya. Enggak usah dipegang.”

Wajah Pelangi tampak tak setuju. Jelas sekali anak itu penasaran untuk dapat memegang hewan tersebut. Namun perintah dari Sena pun tak mungkin ia abaikan. Sebagai ganti kini Pelangi menatap Wisnu dengan mata jernihnya. Seolah meminta bantuan untuk meyakinkan ibunya bahwa hewan tersebut tidak akan membahayakannya.

“Sen, ular-ular ini tidak berbisa. Insya Allah, aman. Selama dalam pengawasan saya.” Wisnu menjelaskan untuk mengurangi kecemasan Sena.

“Boleh, Mama? Pelangi boleh pegang, kan? Cuma pegang.”

Sena menatap putrinya dengan bimbang. Rasanya ia tak tega menolak permintaan Pelangi. Namun rasa cemas juga tak bisa sepenuhnya hilang. Ia kemudian mencoba mencari bantuan melalui Sekala. Saat dilihatnya sang kakak ternyata sudah asyik bermain dengan kawanan burung.

Sena menghela napas pelan. Merasa tak mungkin mengandalkan Sekala yang sudah memiliki kesibukannya sendiri. Akhirnya ia hanya bisa mengangguk memberi izin. Membuat Pelangi tersenyum lalu mengarahkan tatapan pada Wisnu.

“Ayo, Om Wisnu. Pelangi mau pegang ularnya.”

Wisnu dengan hati-hati mengeluarkan seekor ular dari kandanganya. Kemudian mendekatkannya pada Pelangi. Pelan-pelan Pelangi mengulurkan tangannya untuk menyentuh hewan tersebut. Saat melihat sang anak yang tampak berani memegang hewan, Sena perlahan menjauh mencari tempat aman baginya.

“Om Wisnu, ularnya punya nama, tidak?” tanya Pelangi seraya mengelus-elus hewan tersebut.

“Belum. Pelangi mau kasih nama?”

“Um, apa ya?” anak itu tampak berpikir. “Mama, nama yang bagus untuk ularnya apa?”

Sena yang sebisa mungkin menyamarkan kehadirannya dibuat terperanjat oleh pertanyaan Pelangi.

“Mama nggak tahu, Nak.”

“Oh,” gumam Pelangi kemudian berpikir lagi untuk mencari nama yang tepat untuk hewan tersebut. “Pelangi bingung, Om.”

“Ya sudah. Nanti kalau Pelangi sudah ketemu nama yang bagus, bisa kasih tahu Om Wisnu, ya.”

“Iya.  Kita lihat hewan yang lain lagi, Om. Ada kelinci juga, tidak?”

Setelah Wisnu memasukkan ular kembali ke kandangnya, ia mengajak Pelangi melihat hewan yang lainnya. Entah itu kelinci, kucing bahkan anak anjing. Wisnu dengan sabar menemani Pelangi bermain dengan hewan-hewan peliharaannya. Sampai ketika mendekati waktu makan siang, mereka berhenti bermain-main di kandang. 

“Kita zuhur dulu terus makan di luar saja, ya?” saran Wisnu. “Kebetulan Mbok yang biasa masak hari ini nggak masuk.”

“Gimana, Sen?” Sekala bertanya pada adiknya.

“Boleh.”

Wisnu berpamitan untuk mandi terlebih dahulu. Setelahnya mereka salat berjamaah yang dipimpin Sekala. Keempatnya kemudian berkendara dengan mobil Sekala menuju salah satu restoran keluarga. Saat melihat nama restoran yang terpampang, Sena sedikit terkejut. Karena tempat tersebut merupakan salah satu cabang milik keluarga Rian.

“Mama, restorannya seperti punya Om Rian, ya?” tanya Pelangi yang juga menyadari hal tersebut.

“Om Rian?” Wisnu menyahut penuh ingin tahu setelah mendengar ucapan Pelangi.

“Iya. Om Rian, temannya Mama.”

Mendengar jawaban jujur Pelangi, Wisnu melirik ke arah Sena yang kini merasa salah tingkah. Sekala yang tahu adiknya merasa canggung langsung berdehem dan mengajak mereka untuk segera masuk.

Suasana di restoran cukup ramai ketika mereka masuk. Setelah mendapatkan meja keempatnya langsung memesan menu makan siang. Selama menunggu hidangan disajikan, Wisnu berbincang bersama Sekala yang diikuti oleh si kecil Pelangi. Entah mengapa kedua pria dewasa tersebut justru mengubah arah pembicaraan mereka demi Pelangi. Memabut Sena tak bisa menahan senyumnya.

Tak lama hidangan mereka datang. Pelangi yang sudah lapar langsung saja mengarahkan garpunya pada gurame goreng yang menggugah seleranya. Hanya saja tangan kecilnya terhenti saat ia menyadari tiga pasang mata menatap padanya.

“Eh, maaf. Pelangi lupa berdoa,” ujarnya dengan nada malu.

Ketiga orang dewasa tersebut langsung tersenyum kecil melihat ulahnya. Sena bahkan mencubit gemas pipi putrinya. pemandangan di meja mereka begitu harmonis dan manis. Paling tidak itulah yang ditangkap oleh mata Mama Rian yang secara kebetulan juga berada di restoran yang sama dengan Sena.

Awalnya ia merasa salah melihat. Namun ketika dirinya sempat mendekat, ia yakin wanita yang duduk di meja berseberangan dengannya benar adalah Sena. Perempuan yang menjadi tambatan hati Rian. Tadinya ia akan memberi kesempatan pada Rian untuk mengenalkan Sena. Namun ketika melihat apa yang ia saksikan saat ini, Mama Rian tahu keputusan apa yang akan ia ambil. Mana mungkin ia mengizinkan Rian menjalin hubungan dengan wanita yang sudah memiliki keluarga.

Namun satu yang masih menjadi tanda tanya bagi Mama Rian. Jika memang Sena sudah berkeluarga, mengapa Rian mendekatinya. Entah siapa yang salah. Entah Rian dibutakan oleh cinta. Atau Sena yang tak jujur akan statusnya.

Note : halo semua, selamat malam. maaaaaaafffff karena kelamaan breaknya. Mandeknya benar-benar parah kali ini ya. Tapi makasih semangatnya ya karena kalian gak pernah bosan dan masih tetap setia nungguin ini cerita. Enggak bisa janji muluk-muluk dulu. yang pasti, aku tetap berusaha untuk konsisten nulis. Terima kasih dan selamat membaca. Dan Selamat istirahat juga.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya.

Restricted area, 19/11/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top