Chapter 30 - Mengulik Masa Lalu
Ali belum dapat memastikan waktu yang tepat bagi Netta untuk dapat bertemu dengan Sena dan Pelangi. Karena tak mudah mendekati Sena tanpa persiapan. Sudah tentu wanita itu akan curiga jika tanpa tedeng aling, orang lain ingin bertemu dengannya dan putrinya. Karena itu pula, Netta mengambil langkah awal untuk mendatangi Sena sebagai pelanggan di toko tempatnya bekerja.
Ia sudah mempersiapkan skenario terburuk andai Sena tak bersedia bicara dengannya. Namun melihat dari karakter Sena yang ia dapat dari informasi yang diberikan Ali, Netta yakin Sena adalah perempuan yang akan berpikir tenang dan matang. Ia yakin Sena akan bersedia bicara dengannya tanpa harus ada drama histerikal dalam pertemuan mereka nanti.
Hingga saat ini, Netta masih belum membeberkan rahasia yang ia ketahui pada Aditya. Kehidupan rumah tangga mereka masih tetap sama. Aditya yang masih bersikap sama saja. Tidak hangat namun juga tak bersikap dingin pada Netta. Hanya saja bagi Netta, Aditya terasa semakin sulit dijangkau. Jika seperti ini terus hubungan mereka, Netta tak yakin mereka akan bisa bertahan dalam rumah tangga yang sehat.
Ali yang kali ini tetap menemani Netta untuk misinya, tampak khawatir. Sedari tadi ia bisa melihat kegusaran dan kecemasan di wajah Netta selama perjalanan menuju lokasi toko Sena bekerja. Berkali ia meminta Netta untuk kembali, menyarankan sahabatnya itu untuk memantapkan diri lebih dulu sebelum bertemu dengan Sena. Ali tak ingin Netta merasakan tekanan saat bertemu dengan wanita yang memiliki masa lalu dengan suaminya tersebut.
Namun lagi-lagi Netta menolak saran tersebut. Ia tak ingin menunda lagi. Semakin cepat ia bertemu Sena, semakin cepat pula Netta dalam mengambil langkah selanjutnya.
Tak berapa lama mereka tiba di tempat Sena bekerja. Setelah memarkirkan mobilnya, Ali membukakan pintu untuk Netta. Wanita yang perutnya semakin membesar itu bergerak perlahan keluar dari mobil. Tangan Netta mengepal dengan jantung yang mulai berdetak cepat. Antara cemas dan takut jika Sena akan mengenalinya. Entah apa yang akan wanita itu pikirkan dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
"Kamu yakin siap ketemu Sena?" suara Ali menyadarkan Netta dari kecemasannya.
"Siap."
Keduanya melangkah menuju pintu masuk. Tak banyak pengunjung yang datang hari ini. Beberapa pegawai yang tak melayani tampak hanya duduk sembari berbincang dengan rekan kerjanya. Namun melihat kedatangan Netta dan Ali, seorang wanita berseragam toko segera menghampiri menyambut mereka.
"Selamat siang, Bapak dan Ibu. Ada yang bisa dibantu?" sapa Riri pada kedua tamu yang baru tiba.
"Boleh sambil lihat-lihat dulu?" tanya Netta ramah.
Mendapat pelanggan yang seperti Netta, siapapun pasti akan dengan senang hati melayani. Seperti yang Riri rasakan saat ini. Meski tampilan Netta layaknya seorang Nyonya besar, namun cara berbicaranya yang ramah membuat Riri sebagai pekerja merasa nyaman.
Selagi melihat-lihat mata Netta mencari-cari keberadaan Sena. Sampai matanya menangkap satu sosok perempuan yang baru melewati sebuah pintu.
Sena!
Tatapan Netta langsung terpaku pada sosok yang ia cari sedari tadi. Sena tampak menyapa rekan-rekan kerjanya. Belum menyadari jika sejak kemunculannya, satu pasang mata tak lepas menatap wanita itu. Bahkan Riri yang sedari tadi mendampingi Netta dan Ali dibuat bingung dengan peralihan fokus Netta.
"Ibu?" panggil Riri beberapa kali. Namun Netta tetap tak menoleh padanya.
Sampai Ali menepuk pelan pundak Netta, barulah wanita itu tersadar. Netta menggumamkan kata maaf sembari tersenyum kecil pada Riri. Namun setelahnya, ia justru berjalan menuju ke arah Sena berada. Membuat Riri semakin bingung. Sementara Ali hanya bisa menggeleng kecil.
Bukan seperti ini harusnya. Harusnya Netta mengambil langkah perlahan. Bukan langsung mendatangi wanita itu. Ali ingin menarik Netta namun wanita itu sudah berada di hadapan Sena.
"Sena ..."
Suara Netta memanggil namanya begitu lirih. Namun bukan berarti Sena tak mendengarnya. Terlebih ketika orang yang memanggilnya berada tepat di hadapannya.
Sena terperanjat menatap sosok wanita yang kini berdiri tegak di depannya. Ia tak menyangka akhirnya bertemu muka dengan Netta. Bukan Sena tak mengenal Netta. Saat masih menjalin hubungan terlarang dengan Aditya dulu, ia tahu siapa Netta. Meski keduanya tak pernah bertemu muka. Namun Sena jelas tahu siapa wanita yang ada di depannya saat ini.
Cemas dan takut menjadi satu dalam hati Sena. Ia takut jika Netta mengetahui masa lalu dirinya dan Aditya. Dan tebakan tersebut sangat benar adanya. Cemas, jika kedatangan Netta ke sini akan menimbulkan keributan.
Tapi yang Sena tangkap dari wajah Netta, wanita itu tidak datang untuk bertengkar dengannya. Walau tak yakin tapi dari sorot matanya Netta sama sekali tidak membawa aura ancaman bagi Sena.
"A -ada yang bisa saya bantu, Bu?" ucap Sena dengan nada gagap.
Netta menyunggingkan senyum kecil. Bayangan akan si kecil Pelangi tiba-tiba melintas di benaknya. Membuat Netta tak sabar untuk segera bertemu dengan gadis kecil itu.
"Boleh saya bicara dengan kamu secara pribadi?" pinta Netta yang mengejutkan tak hanya Sena tapi juga rekan-rekan kerjanya.
"Maaf, tapi, ada masalah apa ya, Bu?"
"Bukan hal besar. Hanya ada sedikit hal yang ingin saya pastikan. Bisa?" Netta berusaha sekeras mungkin untuk menunjukkan pada Sena bahwa ia datang dengan niat baik. "Kalau memang saat ini tidak bisa, kita bisa bicara setelah jam kerja kamu selesai."
Sena ingin menolak. Sesungguhnya ia sangat tak ingin berhubungan dengan Aditya maupun orang-orang yang ada dalam lingkup kehidupan pria itu. Namun melihat betapa Netta bersikap begitu lembut padanya, ia tak sampai hati menolak.
Mereka sepakat untuk bertemu selesai Sena bekerja. Netta tentu saja merasa lega karena Sena bersedia bicara dengannya. Tak ingin mengganggu jam kerja Sena dan yang lainnya, Netta mempercepat urusannya. Setelah ia memesan beberapa barang dan melakukan pembayaran, Netta pun berpamitan pada Sena dan rekan kerjanya.
Rasa penasaran langsung menyerang rekan-rekan kerja Sena begitu Netta dan Ali sudah tak terlihat lagi. Mereka bertanya apa Sena mengenal pelanggan mereka tadi. Sena hanya menjawab sekadarnya bahwa ia hanya mengenal Netta saat dulu masih bekerja di kantor lamanya. Melihat Sena yang tampak enggan menjawab, teman-temannya pun menyerah dan tak lagi bertanya. Mereka mengerti ada batasan yang harus dijaga dari tiap orang.
...
Sesuai kesepakatan, usai bekerja Sena langsung menemui Netta di tempat yang sudah mereka tentukan. Sebuah restoran keluarga yang tak jauh dari toko menjadi pilihan bagi Netta. Ia tak ingin mempersulit Sena dengan harus pergi ke tempat yang lebih jauh lagi.
Saat ini, Sena tak perlu khawatir lagi akan putrinya jika ia tak bisa menjemput. Ia hanya perlu mengirim pesan pada Arina. Maka kakak iparnya itu akan membawa Pelangi pulang tanpa perlu menunggu lagi.
Tak berbeda dengan Sena, Netta sudah mengirimkan pesan pada Aditya jika dirinya akan menginap di rumah orang tuanya. Seperti dugaan Netta, Aditya tak menyatakan keberatannya. Membuat Netta makin merasa kecewa akan sikap suaminya. Tak bisakah Aditya menunjukkan perhatian dan rasa membutuhkan padanya. Pria itu selalu saja bersikap biasa terkesan tak acuh atas apapun yang Netta lakukan.
"Kenapa?" tanya Ali melihat wajah Netta yang tampak sendu. Pria itu masih setia menemani Netta. Ali takut terjadi hal yang tak diinginkan selama pertemuan dengan Sena. Karena itu ia memutuskan untuk terus mengawasi Netta.
"Kenapa, Mas Aditya itu nggak pernah menunjukkan sedikit saja perhatiannya. Apa memang semua salah? Apa memang kami tidak berjodoh. Dan tidak ditakdirkan untuk bersama? Apa salah kalau aku cuma berharap sedikit saja suamiku membuka hatinya untukku?" gumam Netta mencurahkan isi hatinya.
Ali tak dapat menjawab. Ia merasa tak memiliki kuasa untuk menjawab pertanyaan Netta. Apapun yang dialami Netta, semua tak lepas dari pilihannya. Netta punya pilihan menolak perjodohan. Namun karena rasa cintanya pada Aditya, ia mengambil resiko untuk terluka.
Merasa salah sudah berkeluh kesah pada Ali, Netta meminta maaf. Ia kemudian mencoba menenangkan dirinya sebelum Sena tiba. Ia tak ingin membuat suasana pertemuan mereka tidak kondusif jika Sena melihat dirinya menangis.
Tak berapa lama, seorang Pramusaji mengetuk pintu ruangan yang mereka pesan. Sena muncul dibelakang sang Pramusaji. Walau agak ragu-ragu, Sena tetap melangkahkan kaki ke dalam ruangan setelah mengucapkan salam. Melihat Netta ditemani Ali yang tak ia kenal, dahi Sena sedikit mengernyit. Namun ia tak ingin berpikir macam-macam mengenai siapa sosok pria yang sejak tadi bersama Netta. Mungkin saja jika Ali adalah saudara lelaki Netta.
"Maaf kalau membuat Ibu menunggu lama," ucap Sena penuh permohonan. Ia berusaha bersikap setenang mungkin. Meski dalam hati, perasaannya sudah tak karuan.
"Silakan duduk, Sena. Kamu mau pesan apa?" Netta memberikan buku menu pada Sena.
Ragu-ragu Sena menerimanya. Kemudian menyebutkan pesanan pada Pramusaji yang masih menunggu. Setelah sang Pramusaji pergi, pandangan Sena alihkan kembali pada Netta yang duduk berhadapan dengannya.
Untuk sesaat kedua wanita tersebut hanya saling pandang. Seolah menyelami karakter masing-masing. Hingga Ali yang sengaja berdeham membuat keduanya kembali tersadar.
"Maaf kalau saya tiba-tiba menemui kamu," Netta membuka pembicaraan. "Kamu tahu siapa saya?"
Meski Netta tak perlu jawabannya. Karena saat tadi mereka pertama kali bertemu, raut terkejut yang Sena tunjukkan sudah memperjelas semua. Wanita itu tahu jika Netta adalah istri Aditya, mantan atasannya.
Sena menunduk, berusaha menyembunyikan matanya yang mulai memerah. Ada rasa bersalah yang menggerogoti hatinya kala berhadapan langsung dengan Netta. Ia mengingat kembali perbuatannya terdahulu bersama Aditya. Jika kembali ke masa itu, saat ini Sena benar-benar merasa dirinya benar-benar berdosa. Menyakiti hati perempuan lain dengan menjalin hubungan dengan pria yang akan segera beristri.
Pundak Sena yang bergetar menandakan jika wanita itu sedang menahan tangisnya. Netta mengerti apa yang sedang Sena rasakan. Ia pun masih merasakan sakit yang sama jika mengingat pengkhianatan keduanya. Namun bukan rasa bersalah ini yang Netta inginkan. Ia justru ingin setidaknya meringankan beban di hati Sena. Ia ingin Sena tahu jika Netta mengerti dirinya. Dan tidak sepenuhnya menyalahkan Sena.
"Sena ..." panggil Netta membuat wanita itu akhirnya menegakkan kepalanya. Netta memberikan selembar tisu padanya untuk menghapus jejak air mata yang ada di pelupuk mata Sena.
Mendapati sikap Netta yang seperti ini terhadapnya membuat rasa bersalah makin membesar di hati Sena. Ia mengambil tisu yang diberikan Netta lalu menyeka matanya.
"Maaf ..." ucapnya sambil terisak. "Maafkan saya ..."
Netta ingin sekali memeluk tubuh Sena yang bergetar hebat. Namun mengingat mereka yang tak saling mengenal dan tak memiliki kedekatan sebagai teman, Netta akhirnya menahan diri.
"Tidak. Jangan minta maaf. Ini sepenuhnya bukan kesalahan kamu."
Isakan Sena makin terdengar. Ia benar-benar merasa berdosa menyakiti wanita ini secara tak langsung. Mereka memang tak pernah bertemu atau bahkan saling mengenal. Tapi noda yang Sena tinggalkan jelas menjadi luka di hati wanita yang kini menjadi istri Aditya tersebut. Sena merasa malu pada dirinya sendiri.
"Saya benar-benar minta maaf, Bu Netta. Atas apa yang saya lakukan dulu."
Dengan air mata berlinang, Sena akhirnya berhasil mengucapkannya. Meski sangat terlambat, namun Sena merasakan sedikit kelegaan di hatinya karena berhasil mengucapkan permohonan maaf pada wanita yang sudah ia sakiti hatinya.
Netta bukan perempuan kejam yang akan mengedepankan amarah dalam mengatasi masalah. Ia pun tak kuasa menahan tangis melihat wanita di depannya menangis. Netta tak pernah sepenuhnya menyalahkan Sena atas apa yang terjadi. Sena dan Aditya memang bersalah, tapi itu terjadi di masa lalu. Dan Netta tahu jika apapun yang terjadi di dalam rumah tangganya saat ini sama sekali bukan kesalahan Sena. Karena itu ia tak akan pernah menghakimi Sena atas perbuatannya terdahulu.
"Bukan salah kamu. Tolong tegakkan pandangan kamu agar kita bisa bicara, Sen," pinta Netta.
Perlahan Sena berusaha menenangkan diri. Setelah beberapa saat, akhirnya kedua wanita tersebut bisa sama-sama tenang. Ali yang sejak tadi hanya menyaksikan kedua wanita itu menangis, tak tahu harus berbuat apa. Sebagai pria ia jarang menggunakan emosi dan perasaannya dalam mengahadapi masalah. Ia adalah pria yang mengedepankan logika dalam mengambil keputusannya.
Pembicaraan mereka terjeda sejenak saat Pramusaji mengantarkan hidangan yang mereka pesan. Sayang tampilan hidangan yang menggiurkan, pun aromanya tak mampu membuat ketiga orang yang berada di ruangan tersebut berselera untuk segera menyantapnya. Mereka lebih ingin menuntaskan dulu apa yang harus mereka selesaikan.
"Kamu mungkin bingung kenapa saya meminta bertemu. Tapi sungguh, saya sama sekali tidak punya maksud untuk marah atau menghakimi kamu. Saya tahu apa yang terjadi antara kamu dan Mas Aditya adalah masa lalu. Dan saya juga tahu bahwa kamu sudah lama membuang semua itu dan memilih menjalani kehidupan baru dengan anak kamu."
Saat Netta menyebutkan perihal anak, rasa terkejut tak bisa disembunyikan Sena. Perasaannya seketika was-was. Ia takut, jika Netta memiliki pemikiran untuk mengambil Pelangi darinya. Mengingat ada darah keluarga Aditya yang mengalir dalam diri Pelangi.
Kepanikan Sena dapat dirasakan Netta. Karena itu ia kembali berucap, "jangan khawatir, saya sama sekali tidak punya niat untuk merebut Pelangi dari kamu. Pelangi adalah anak kamu, milik kamu. Meski dia juga adalah putri Aditya. Tapi kamu lah yang berhak atas anak itu."
Netta adalah calon ibu. Ia mengerti betul bagaimana rasanya jika harus dipisahkan dengan anak yang sudah kita perjuangkan. Mana mungkin ia tega mengambil Pelangi dari ibu yang mempertaruhkan segalanya bahkan nyawa hanya demi menghadirkan Pelangi ke dunia.
Mendengar jawaban Netta, benang kecemasan perlahan mengurai di hati Sena. "Terima kasih," ucapnya dengan suara bergetar.
Sesaat Netta memerhatikan Sena. Ia mengerti mengapa Aditya bisa jatuh hati pada wanita di depannya. Sena cantik. Dengan pembawaan diri yang tenang dan bersahaja. Pria mana yang tidak akan jatuh hati pada wanita seperti Sena. Lebih lagi, mungkin Sena memiliki hal yang tak Netta miliki. Hingga ia tak juga berhasil menjerat hati suaminya.
"Kamu tahu, saya sangat penasaran dengan perempuan yang berhasil mengikat hati Mas Aditya. Hingga saat ini, tidak sedikit pun Mas Aditya bersedia membuka ruang di hatinya untuk saya, istrinya."
Sena terperanjat. Ia tak menduga Netta akan membuka permasalahan rumah tangganya pada orang asing. Dan Sena dibuat tak mengerti dengan maksud ucapan Netta yang mengatakan jika Aditya mencintai dirinya.
Tidak. Sena tahu pria itu. Pria egois seperti Aditya tak akan memberikan hatinya hanya untuk mencinta. Jika memang Aditya mencintainya, pria itu tidak akan menolak Sena. Pria itu akan bertanggung jawab untuk dirinya dan Pelangi.
"Ibu salah. Pak Aditya tidak pernah mencintai saya. Ia datang lagi ke hidup saya hanya karena merasa tertantang. Hanya untuk menuntaskan hasrat penasarannya atas kekosongan dirinya ketika saya tidak lagi ada di hidupnya. Pria egois seperti Pak Aditya tidak mungkin mencintai saya."
Nettta tahu jika Sena akan menyangkal. Namun sebagai wanita yang menghabiskan waktu hampir tujuh tahun dengan Aditya, mana mungkin ia tak tahu jika Aditya mencintai Sena. Jika bukan cinta, lantas apa yang selama ini pria itu tunggu. Tak pernah berusaha membuka hati. Tak pernah memberikan Netta kesempatan untuk memenangkan hatinya. Namun Aditya dengan mudahnya jatuh hati pada Sena.
Jika Aditya tak memiliki perasaan, mana mungkin pria itu bersedia menerima cinta Sena. Netta tahu suaminya memiliki hati. Aditya mencintai Sena. Namun ia tak cukup berani untuk menunjukkan cintanya pada Sena. Aditya tak cukup berani melangkah bersama menghadapi rintangan bernama keluarga. Netta akui, Aditya terlalu pengecut sebagai pria. Namun ia tahu, pria itu memiliki hati. Dan hati itu hanya dan selalu digenggam oleh satu nama. Sena.
"Sena, seandainya ... saya dan Aditya berpisah. Dan Aditya ingin mencoba menggapai kamu kembali. Apa yang akan kamu lakukan?"
Mata Sena membesar mendengar ucapan yang baru Netta lontarkan. Terlebih Netta menyebutkan perihal perpisahan. Kembali hati Sena dilanda rasa bersalah. Sebesar itukah luka yang ia berikan hingga Netta sampai tak bisa mempertahankan rumah tangganya dan Aditya?
"Bu Netta, sekali lagi saya mohon maaf atas tindakan saya pada Ibu di masa lalu. Tapi sungguh, tidakkah semua bisa diperbaiki? Bukankah Bu Netta mencintai Pak Aditya? Tentang Pak Aditya yang kembali mengganggu hidup saya, saya bisa pastikan bahwa saya sama sekali tidak punya niat sedikit pun untuk mengulang kesalahan yang sama."
Netta menggeleng kepalanya. Sepertinya Sena salah mengerti maksud ucapannya.
"Bukan. Bukan seperti itu, Sena. Saya sudah memaafkan kamu. Begitu pun dengan Mas Aditya. Tapi ... rasanya saya menyadari bahwa rumah tangga kami memang tidak baik-baik saja. Itu bukan kesalahan kamu. Bahkan sebelum Mas Aditya kembali menemui kamu ... rumah tangga kami mungkin memang salah sejak awal."
Sena hanya bisa terpaku mendengar ucapan Netta. Sungguh ia tak pernah memikirkan untuk mengizinkan Aditya kembali masuk ke kehidupannya. Ia sudah bahagia bersama keluarganya. Bersama putri kebanggaannya.
"Bu Nettta, saya ..."
Netta tersenyum kecil. "Saya tahu, pasti sulit buat kamu. Maafkan saya berucap seenaknya."
Saat Netta akan kembali bicara, dering ponsel menginterupsi mereka. Sena yang menyadari jika ponsel miliknya yang sedang berbunyi pun meminta izin untuk menjawab panggilan. Ketika mengucapkan salam, ia mendengar suara putri kecilnya dari ujung sana.
"Mama kapan pulang? Urusannya masih lama, ya?"
Sena tersenyum. Senyuman yang membuat Ali dan Netta terperanjat. Karena sejak awal bertemu, baru kali ini mereka melihat wajah lain Sena. Mereka tahu jika yang sedang menghubungi wanita itu adalah putrinya.
"Sebentar lagi, Nak. Urusan Mama belum selesai. Pelangi jadi anak baik dulu di rumah sampai Mama pulang, ya. Nanti mau dibawakan apa?"
Tak sekali pun Netta dan Ali mengusik Sena yang sedang bertelepon dengan putrinya. Sampai ketika Sena mengakhiri panggilan, senyum bahagia tak lepas dari wajahnya. Membuat Netta spontan mengelus perutnya. Ia berharap nanti dirinya pun akan memiliki hubungan ibu dan anak yang istimewa dengan calon buah hatinya. Seperti halnya Sena dan Pelangi.
"Sena ..." panggil Netta membuat Sena langsung tersadar akan keberadaan orang lain di ruangan tersebut.
"Ya?"
"Boleh saya bertemu dengan Pelangi?"
Satu permintaan dari Netta membuat Sena membeku. Banyak hal berkecamuk dalam benaknya. Meski Netta mengatakan sudah memaafkan Sena dan tak ingin mengupas masa yang telah berlalu. Tapi jika sudah berhubungan dengan Pelangi, Sena tak bisa semudah itu mengizinkan. Ia masih memiliki kecemasan kecil dalam hatinya.
Netta melihat kebingungan Sena. Ia kemudian tersadar bahwa mungkin terlalu cepat baginya untuk Sena bisa percaya jika Netta sama sekali tak memiliki maksud tertentu apapun menyangkut Pelangi.
"Maaf kalau permintaan saya membuat kamu bingung. Hanya saja, sebelum mengetahui siapa itu Pelangi, saya sudah dua kali bertemu putri kamu. Entah itu kebetulan atau memang takdir. Tapi sejak pertama kali melihat Pelangi, anak itu sudah berhasil menarik hati saya."
Sena ingat Sekala pernah mengatakan bahwa mereka pernah bertemu. Melihat senyum kecil terkembang di wajah Netta, membuat Sena tak sampai hati untuk menolak permintaannya. Kalau pun memang terjadi hal yang tak diduga, Sena memiliki Sekala yang bisa membantunya.
"Kalau kamu khawatir, kamu bisa atur pertemuannya di kediaman keluarga kamu. Bagaimana?"
Sekali lagi Sena meragu. Namun ketulusan Netta bukan sebuah kebohongan. Wanita itu benar-benar ingin bertemu dengan Pelanginya. Tanpa sengaja, tatapan Sena terarah ke perut Netta. Mungkin keinginannya bertemu Pelangi merupakan perwujudan dari yang dikatakan ngidam bagi para ibu hamil. Rasanya Sena tak tega harus menolak.
"Kalau memang Bu Netta ingin menemui Pelangi ... saya izinkan."
Jawaban dari Sena membuat wajah Netta tampak berseri. Ia sudah tak sabar menemui anak kecil yang berhasil mencuri hatinya sejak pertama kali bertemu. Entah apa yang nanti ingin ia bicarakan dengan si kecil. Namun Netta hanya ingin membangun hubungan baik dengan Pelangi sebagai darah daging Aditya. Meski ia tak yakin akan seperti apa nantinya hubungan di antara mereka semua. Ketika tabir kebenaran semakin terbuka.
...
Note : Maaf update telat. Siang tadi mau di update tapi mati listrik. Akhirnya ya, nunggu laptop di charge dulu baru deh diedit sedikit sebelum di update. Insya Allah aku usahakan besok update juga ya. Selamat membaca.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Restricted area, 01/10/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top