Chapter 29 - Menjemput Pelangi

Pendekatan yang dilakukan Rian terhadap Sena memang terkesan lambat. Selain karena memang kesibukan keduanya, Rian kini kembali dipusingkan oleh desakan sang mama. Beliau merasa tak bisa lagi menunggu.

Di satu sisi Rian sangat ingin mempertemukan Sena dan ibunya. Namun sisi lainnya, ia tak mungkin bertindak gegabah tanpa persetujuan Sena. Rian tak ingin membuat Sena berada dalam situasi yang sulit saat berhadapan dengan mamanya.

Ada satu hal lagi yang mengganggu pikiran Rian. Meisya. Wanita itu yang bertekad untuk tak menyerah memang tidak melancarkan aksi agresif dalam mendekati Rian. Namun Meisya yang secara berkala mengirimkan berbagai makanan padanya, membuat Rian semakin sulit untuk berhadapan dengannya. Rian tidak ingin menjadi pria yang tak punya hati. Namun ia juga tak ingin memberikan secelah kecil harapan pada Meisya.

“Kak Rian, boleh minta waktunya sebentar?” pinta Meisya saat siang itu ia berkunjung ke kantor Rian.

Rian ingin menolak. Namun ia sudah mendapat titah dari mamanya untuk bersikap baik pada Meisya.

“Ada apa, Mei?”

“Kemarin aku tanya Tante soal furnitur restoran yang kelihatan bagus. Kebetulan kantor butuh beberapa perlengkapan. Mas Rian bisa kasih rekomendasi toko di mana Mas beli semua furnitur itu? Tante bilang semuanya Mas yang urus. Jadi aku mau minta tolong, bisa?”

Rian tampak bimbang. Bukan karena ia tak ingin membantu Meisya. Tapi ia tak ingin identitas Sena diketahui oleh gadis itu. Bukan, Rian bukan ingin menyembunyikan Sena dari dunianya. Hanya saja belum saatnya bagi Sena untuk masuk ke dalam lingkungan pergaulan Rian. Saat ia sendiri pun belum memiliki posisi yang jelas dalam hati Sena.

Melihat sikap enggan Rian, Meisya menjadi sedikit curiga. Memang apa yang perlu dipertimbangkan dari permintaannya. Meisya hanya menginginkan perlengkapan yang sama seperti yang dimiliki Rian. Karena ia memang mengagumi furnitur tersebut yang Meisya tahu jika kualitasnya baik.

“Kalau Kak Rian keberatan, enggak apa-apa kok. Maaf kalau aku merepotkan Kak Rian.” Meisya kembali berucap dengan nada kecewa.

Rian tak enak hati melihat gurat kekecewaan di wajah gadis itu. Walau Rian tak ingin Meisya dan Sena bertemu. Tapi tak seharusnya ia menolak permintaan Meisya. Gadis itu terlihat bersungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan. Pada akhirnya Rian menyetujui untuk menemani Meisya mencari perlengkapan di toko Sena.

Ketika mereka tiba, Rian tak melihat keberadaan Sena. Namun rekan kerja Sena yang mengenal Rian, tampak terkejut melihat kedatangan pria itu bersama seorang wanita. Mereka berpikir jika Rian serius mendekati Sena. Tapi mengapa pria itu justru terlihat bersama wanita lain.

Meisya tampak memilih dan melihat-lihat. Ia tak memerhatikan wajah Rian yang tampak lega. Setelah mendapatkan berbagai informasi mengenai perlengkapan kantor yang diminatinya, Meisya bersiap untuk melakukan proses pemesanan.
Ketika semua proses sudah diselesaikan, Rian dan Meisya bersiap untuk pulang. Namun tak disangka di depan pintu masuk, mereka bertemu Sena yang baru kembali dari tugasnya. Sena tampak terkejut melihat Rian bersama seorang wanita.

Seketika hati Sena tak menentu. Ia memang belum memiliki perasaan mendalam terhadap Ria. Namun sikap Rian selama ini cukup mampu mendobrak pertahanan Sena untuk tak membuka hatinya. Kini kala ia melihat pria itu bersama wanita lain, entah mengapa Sena merasa berada diambang keraguan.

Mata Sena sejenak mengamati Meisya. Gadis itu cantik dengan pesonanya sendiri. Sepertinya ia juga berasal dari latar belakang yang sama dengan Rian. Menurut Sena, mereka adalah pasangan serasi. Akan lebib baik jika Rian bersanding dengan wanita seperti Meisya.

“Halo, Pak Rian,” sapa Sena dengan menyunggingkan senyum profesionalnya.

“Mbak Sena, darimana?” tanya Rian, nadanya terdengar canggung. Bukan karena Rian tak ingin mengenali Sena. Namun karena adanya Meisya, sikap Rian menjadi tampak canggung.

“Baru ketemu klien. Sudah selesai?” tanya Sena kemudian.

“Sudah,” Rian menjawab singkat. “Mbak Sena sudah makan siang?”

Sena melirik arlojinya. Memang waktu makan siang hampir tiba. Namun melihat keadaan mereka saat ini, Sena tak ingin membuat suasana semakin tak nyaman bagi Rian.

“Kebetulan sudah. Kalau begitu saya …”

“Mbak Sena …” Rian menarik  pergelangan tangan Sena membuat wanita itu refleks berusaha menarik tangannya. Hal itu tak lepas dari pengamatan Meisya. Tanpa perlu dikatakan, Meisya tahu jika wanita yang dicintai Rian adalah Sena.

“Maaf, Pak Rian. Tapi saya harus kembali bekerja. Permisi.”

Rian dan Meisya hanya bisa menatap kepergian Sena. Sementara berbagai kecamuk mulai bermunculan di kepala keduanya. Terlebih Meisya yang akhirnya bisa melihat perempuan yang saingan terbesarnya dalam mendapatkan hati Rian.

“Perempuan tadi, orang yang Kak Rian cintai, kan?” Meisya akhirnya memberanikan diri bertanya.

Rian mengangguk. “Iya.”

Meisya menundukkan kepalanya. Gadis itu menggigit bibir untuk menyembunyikan perasaannya.

“Kenapa Kak Rian belum mengenalkan dia pada Om dan Tante?”

Rian menatap Meisya. Ada banyak hal yang tersimpan dalam tatapan mata tersebut.

“Belum saatnya.”

Rian tak ingin memperpanjang perbincangan mereka. Meisya pun tahu batasannya hingga gadis itu memilih diam dan mengikuti langkah Rian menuju mobil pria itu terparkir.

Hari ini di pelajaran kesenian, Pelangi dan teman-teman sekelasnya diminta membuat kerajinan dari kertas. Hadiah tersebut nantinya akan diberikan pada kedua orang tua. Semua anak memberi ucapan pada kedua orang tua. Hanya Pelangi yang tampak berbeda. Karena ia hanya memberikan ucapan untuk ibunya.

Melihat apa yang dituliskan Pelangi, salah seorang teman sekelasnya bertanya pada gadis kecil itu. Mengapa Pelangi tak menyertakan ayah dalam kartu ucapannya. Mendengar pertanyaan sang teman, Pelangi tampak diam berpikir. Sampai salah satu anak menjawab dengan ucapan yang cukup lantang terdengar.

“Pelangi kan nggak punya Papa.”

Pelangi menatap Panca, teman sekelas yang mengucapkan kalimat tersebut. Beberapa teman yang mendengar pun ikut mengarahkan pandangan pada Panca. Ditatap oleh banyak mata seperti itu, tentu saja anak kecil seperti Panca merasakan perasaan tak nyaman.

“Kenapa?” tanyanya.

“Panca, jangan begitu. Enggak sopan.” Bintang, anak perempuan yang duduk di depan Pelangi mengingatkan.

Panca tampak tak terima dengan teguran dari temannya. “Kan benar. Pelangi nggak punya Papa.”

“Pelangi punya Papa. Kata Mama semua anak yang lahir di dunia itu punya orang tua. Mereka punya Papa dan Mama.” Bintang kembali berargumen.

“Tapi Papa Pelangi nggak pernah kelihatan.”

Bintang kembali ingin bicara ketika guru kesenian menegur mereka.

“Ada apa, anak-anak?”

Bintang, Panca dan beberapa anak yang mendengar perdebatan mereka hanya diam. Mereka semua menngalihkan pandangan pada Pelangi. Hingga membuat sang guru pun ikut menatap anak itu.

“Ada apa, Pelangi?” tanya sang guru padanya.

“Tidak ada apa-apa, Bu Guru. Tugas Pelangi sudah selesai,” jawabnya dengan nada suara yang dibuat biasa saja.

“Oh, bagus. Boleh Ibu Guru lihat?”

Pelangi menunjukkan kerajinan yang dibuatnya. Sebuah kartu ucapan yang dihiasi dengan tempelan origami berbagai bentuk. Juga ucapan terima kasih yang ia tuliskan untuk Sena. Melihat hasil karya yang dibuat muridnya, sang guru tampak bangga. Pelangi memang salah satu murid yang selalu mengerjakan tugas dengan sungguh-sungguh. Jadi tidak heran ia sering mendapat nilai terbaik di kelas.

“Bagus sekali. Pulang nanti, berikan pada Mama sebagai hadiah, ya,” puji gurunya sembari mengusap lembut puncak kepala Pelangi. “Yang lain juga jangan mau kalah sama Pelangi, ya. Harus dibuat secantik mungkin biar Mama dan Papa senang saat menerimanya.”

Bintang, Panca juga teman-teman Pelangi yang lain akhirnya kembali meneruskan tugas mereka. Tidak ada lagi perbincangan mengenai Ayah Pelangi. Hingga waktu pelajaran berakhir, semua kembali dalam suasana belajar yang kondusif.

Hanya saja tidak dengan suasana hati Pelangi. Gadis kecil itu tetap memikirkan perkataan Panca. Selama ini ia tahu jika dirinya memiliki ayah seperti anak lainnya. Pelangi pun dengan sabar menunggu hingga Sena bercerita padanya tentang siapa dan di mana sang ayah. Hanya saja, rasa penasaran gadis itu kembali bangkit ketika sosok ayah yang tak Pelangi ketahui kembali diungkit.

Hingga Sena menjemput putrinya ketika sekolah usai. Pelangi masih terus memikirkan hal tersebut. Ia yang biasanya akan menyambut dengan senyuman riang ketika melihat Sena, kini hanya memberi salam pada Sena. Tentu saja sikap tak biasa putrinya menimbulkan tanda tanya dalam hati Sena.

“Ada apa, sayang? Kenapa Pelangi nggak semangat begitu?” tanyanya seraya meletakkan telapak tangan di dahi Pelangi. Mencari tahu jikalau ternyata anak itu mengalami demam atau tidak enak badan.

“Enggak ada apa-apa, Mama. Pelangi sehat, kok,” jawabnya seraya memberikan senyuman pada Sena. Senyuman yang tampak berbeda dari biasanya.

Sena tahu ada yang dirahasiakan oleh Pelangi. Namun ia tak mungkin mencari tahu di tempat dan waktu yang tak tepat seperti saat ini. Karena itu Sena memasangkan helm kecil milik Pelangi kemudian mengajak putrinya untuk segera kembali ke rumah.

Namun bukan rumah yang dituju mereka. Sena malah membawa Pelangi ke kafe es krim kesukaan anaknya. Membuat Pelangi terlihat bingung saat mereka berada di sana. Bukannya pulang ke rumah seperti biasa.

“Kok kita ke sini, Mama?”

“Mama tiba-tiba pengin makan es krim. Pelangi mau?”

Pelangi mengangguk, namun kemudian berujar. “Tapi kan kita belum makan malam?”

“Enggak apa-apa . Nanti kita telepon ke rumah. Kasih tahu kalau kita makan malam di luar. Pelangi sama Mama.”

Bersama keduanya menikmati sajian es krim kesukaan. Hingga ketika memasuki waktu magrib, Sena membawa Pelangi mencari tempat untuk salat. Setelahnya mereka berburu kuliner untuk makan malam. Warung sate menjadi pilihan ibu dan anak tersebut.

“Sudah lama kita nggak main berdua, ya? Maaf karena Mama agak sibuk jadi nggak bisa main sama Pelangi,” ujar Sena penuh permohonan pada anaknya yang sejenak melupakan perasaannya.

Pelangi begitu terfokus pada sajian makan malamnya. Mendengar ucapan ibunya, gadis kecil itu hanya memberikan senyuman manisnya.

“Mama kan kerja cari uang untuk Pelangi.”

“Kalau gitu Pelangi harus makan yang banyak biar sehat. Kalau Pelangi tumbuh sehat, Mama senang sekali. Jadi semakin semangat kerjanya.”

Seperti baru mengingat sesuatu, Pelangi tiba-tiba meraih tas sekolahnya. Ia membuka dan mengeluarkan tugas yang tadi ia kerjakan di sekolah. Menyerahkannya pada Sena.

“Apa ini?”

“Untuk Mama. Tugas kesenian tadi.”

Sena membuka kartu ucapan yang diberikan putrinya. Berbagai bentuk hiasan origami menjadikan kartu ucapan tersebut tampak semakin cantik. Senyum Sena tak dapat ditahan ketika mendapatkan hadiah dari putrinya. Namun matanya mulai berkaca-kaca kala membaca pesan yang tertulis di kartu tersebut.

‘untuk mama
terima kasih karena sudah menjadi mama terhebat untuk pelangi. terima kasih karena sudah bekerja keras untuk pelangi. terima kasih karena sudah melahirkan pelangi ke dunia. pelangi bangga punya ibu seperti mama. pelangi sayang mama. selamanya.’

Setitik air mata membasahi pipi Sena. Pelanginya, putri kecil kebanggaannya. Dengan usia sekecil itu, ia sudah mampu mengungkapkan perasaannya. Hal yang kadang orang dewasa sulit lakukan. Tapi dengan mudah dilakukan oleh anak-anak seperti Pelangi. Di mana setiap hal yang diungkapkan benar-benar penuh perasaan. Dari hati.

Sena melayangkan satu kecupan ke puncak kepala Pelangi dengan penuh rasa bangga. “Mama juga sayang, Pelangi. Selamanya.”

Setelah menikmati makan malam dengan hidangan sate, Sena dan Pelangi bersiap pulang. Di perjalanan tanpa diduga hujan turun dengan deras. Sena memilih menepikan motornya dan berteduh di depan sebuah minimarket. Tentunya wanita itu meminta izin pegawai minimarket tersebut. Tak hanya mereka yang berteduh, beberapa pengendara motor pun melakukan hal yang sama dengan mereka.

“Mama nggak bawa jas hujan?” tanya Pelangi saat keduanya sedang berteduh.

“Mama lupa. Maaf ya, Nak?” jawab Sena dengan rasa bersalah. “Pelangi mau cepat-cepat pulang ke rumah, ya?”

“Enggak. Kan ada Mama. Pelangi nggak takut.”

Sena memeluk tubuh putrinya. Berusaha memberikan kehangatan padanya. Selama menunggu, mereka berbincang seputar keseharian yang keduanya lakukan. Diselingi dengan hal-hal konyol yang baik Sena maupun Pelangi alami. Kedekatan keduanya tak luput dari perhatian sesama peneduh. Namun tak ada yang ingin berbincang dengan orang asing. Masing-masing memiliki kegiatannya sendiri.

Hampir tiga puluh menit menunggu, tidak ada tanda-tanda hujan akan reda. Tak tega melihat putrinya yang lelah, Sena segera menghubungi Sekala. Meminta Sekala untuk menjemput dirinya dan Pelangi. Dengan tak lupa berpesan agar Sekala membawakan jas hujan untuknya.

Butuh tiga puluh menit bagi Sekala tiba di lokasi. Yang membuat Sena terkejut, tak hanya sang kakak yang datang. Namun juga Wisnu yang sudah lama tak ia temui. Melihat kedatangan dua pria penyelamat tersebut, wajah Pelangi langsung berbinar.

“Om Kal,” pekik anak itu yang langsung melemparkan diri ke pelukan Sekala.

Sekala langsung menggendong keponakannya yang mungkin sudah kedinginan. Kemudian ia mulai menggerutu pada Sena.

“Kenapa nggak telepon lebih awal? Pelangi kan tidak perlu sampai kedinginan begini.”

Sena menunduk merasa malu dan bersalah karena ditegur oleh kakaknya. “Maaf, Mas. Jas hujannya mana? Mas bawa Pelangi pulang dengan mobil. Biar Sena pulang naik motor.”

Sekala menghela napas mendengar ucapan adiknya. “Kamu dan Pelangi biar pulang dengan mobil. Mas yang bawa motornya.”

Mata Sena melebar. Ternyata itu tujuan keikutsertaan Wisnu menjemput mereka. Namun membiarkan Sekala berjibaku dengan hujan bersama motornya, membuat Sena merasa tak enak hati. Ia ingin menolak namun kembali dibantah Sekala.

“Kamu pikir Mas segila apa biarin perempuan bawa motor hujan-hujanan begini?”

“Tapi, bawa motor hujan-hujan kan bahaya?”

Sekala menatap adiknya dengan raut wajah seolah ia lelah berdebat dengan Sena. Sementara Wisnu yang sejak tadi diam menyaksikan perdebatan kedua saudara itu hanya bisa mengulas senyum.

“Kamu tahu bahaya. Dan kamu mau bikin Mas-mu ini jadi laki-laki lemah dengan biarin Adik perempuannya bawa motor malam-malam begini?”

Suara Sekala yang cukup keras terdengar oleh orang-orang lainnya. Ada yang melihat dengan kagum. Ada juga yang ikut tersenyum seraya menatap ke arah Sena yang semakin serba salah.

“Sudah, berhenti mendebat. Kasihan Pelangi. Dia butuh mandi air hangat dan istirahat.”

Sekala menyerahkan Pelangi pada Wisnu yang langsung diterima pria itu dengan siaga.

“Titip Sena dan Pelangi ya, Nu,” pinta Sekala. Pria itu kemudian mengenakan jas hujan dan meminta kunci motor pada Sena.

“Hati-hati, Mas Kal.”

“Hati-hati, Kal.”

Sena dan Wisnu mengucapkan kalimat tersebut secara bersamaan. Sekala membalas hanya dengan anggukan. Kemudian pria itu segera berlalu dengan motor Sena dari hadapan mereka.

“Kita pulang?” tanya Wisnu pada Pelangi yang berada di pelukannya.

“Iya.”

Wisnu mengajak Sena yang masih mematung di tempatnya berdiri. Pria itu sudah mendudukkan Pelangi di mobil sementara menunggu Sena untuk segera masuk ke dalam mobil juga.

Di perjalanan, Pelangi sudah merasa mengantuk. Anak itu membaringkan tubuhnya di kursi kemudian mulai menutup matanya. Sena hanya bisa mendesah pelan sambil menatap putrinya dari kaca spion. Ia merasa bersalah karena perjalanan mereka berakhir seperti ini.

“Mas Wisnu kenapa bisa datang bareng Mas Kal?” tanya Sena membuka pembicaraan setelah beberapa saat mereka berada dalam keheningan.

“Eum? Oh tadi kebetulan saya ada di rumah. Saat kamu telepon tadi, sekalian Kal minta tolong.”

“Um. Maaf merepotkan ya, Mas.”

Wisnu belum menjawab. Ia menaikkan suhu pemanas mobil agar Pelangi tidak kedinginan.  Setelahnya ia baru mulai merespon ucapan Sena.

“Sama-sama. Lain kali kalau ada kejadian tidak terduga seperti ini, kamu segera hubungi Kal, ya. Kamu pasti tahu sepanik apa dia kalau sampai terjadi sesuatu pada kamu dan Pelangi.”

Sena menjawab berupa anggukan. Ia tahu kali ini dirinya sudah bertindak ceroboh. Maksud hati ingin membuat Pelangi menjadi ceria. Namun mereka justru dihadapkan pada kejadian tak terduga seperti ini. Dirinya berjanji lain kali tidak akan bertindak ceroboh yang dapat membahayakan keselamatan putrinya. Cukup kali ini menjadi pelajaran pada Sena. Bahwa ia harus memilih waktu yang tepat jika ingin menghibur putrinya.

Note : Maaaaaafffffff. Hanya itu kayaknya yang bisa aku haturkan ya. karena membuat kalian lama menunggu. Padahal niat hati bulan ini cerita Senandung Pelangi akan selesai. Tapi … huh, ini dan itu terjadi. Jadi sekali lagi maaf ya, teman-teman. Part ini seperti intermezzo dulu karena selanjutnya benar-benar Sena akan berhadapan dengan orang-orang yang muncul satu persatu di hidupnya dan Pelangi. Selamat membaca dan selamat istirahat.

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 25/09/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top