Chapter 27 - Tempat Yang Tinggi

Kesibukan membuat Rian tak memiliki banyak waktu untuk dapat bersama Sena. Namun bukan berarti pria itu berhenti menunjukkan perjuangannya. Ia sering mengirimkan makan siang atau camilan untuk Sena. Ia juga tak lupa sering mengirimi Sena pesan. Meski terlihat kekanakan. Paling tidak cara tersebut cukup ampuh. Menjalin komunikasi dengan wanita yang kita sukai tentu akan mendekatkan hubungan.

Tak hanya dengan Sena, Rian juga berusaha untuk menjalin kedekatan dengan Pelangi. Ia sudah berjanji akan mengajak anak itu bermain di taman hiburan. Karenanya Rian menyiapkan waktunya dari jauh hari. Agar tidak ada gangguan ketika ia ingin pergi bersama Sena dan Pelangi.

Minggu pagi Rian sudah tiba di kediaman Sena. Ia sudah membuat janji lebih dulu dengan Sena agar wanita itu tak memiliki kegiatan dengan orang lain. Tentu saja orang lain yang Rian maksud adalah Wisnu, rivalnya dalam mendapatkan hati Sena. Ia ingin berjuang secara adil. Tapi bukan berarti ia akan akan melewatkan setiap kesempatan yang bisa ia ciptakan.Kedatangan Rian sudah pasti disambut baik oleh Ibu Sena. Selagi menunggu ibu dan anak tersebut bersiap, ibunya menemani Rian berbincang.

“Jadi Rian ini adik kelasnya Sena di SMA?” sekali lagi ibunya bertanya.

“Benar, Bu. Saya dan Mbak Sena pernah menjadi panitia dalam acara pentas seni sekolah. Sayangnya Mbak Sena nggak ingat itu.”

Ibu Sena tertawa mendengar penuturan Rian. “Sena dulu memang begitu. Saat sekolah dulu, mana dia peduli hal begituan. Yang dipikirannya cuma main. Sampai pernah nilainya jelek karena kebanyakan main, Masnya sampai kasih ultimatum ke Sena. Kalau sampai kelulusan nilai Sena nggak memuaskan, Masnya bakal potong uang sakunya. Sejak itu dia jadi lebih giat belajar.”

Rian banyak mendengar kisah masa sekolah Sena dari ibunya. Bagaimana Sena yang dulu senang bermain mulai mengubah sikapnya untuk belajar dengan lebih serius. Sampai akhirnya Sena memasuki dunia kuliah dan bekerja. Namun tak banyak yang bisa ibunya ceritakan saat masa Sena bekerja. Karena di masa itu Sena mulai lebih tertutup. Masa itu juga Sena memulai kesalahannya.

“Bu, maaf kalau saya lancang. Tapi, Mbak Sena tidak pernah bercerita tentang Ayah kandung Pelangi?” tanya Rian dengan nada hati-hati.

Mendung seketika menghiasi wajah Ibu Sena. Seketika Rian merasa bersalah karena sudah mengungkit hal menyakitkan tersebut. Ia ingin mengubah suasana dengan mengganti topik pembicaraan. Tetapi terhenti karena Ibu Sena kembali berbicara. Yang membuat Rian kembali terkejut.

“Sena memang tidak pernah lagi mengungkit hal itu.  Tapi saat ia mengaku pada kami kalau dia sedang hamil, Sena memberi tahu pada kami siapa Ayah dari anak yang dikandungnya.”

Mengingat hal itu menimbulkan lagi rasa sedih di hati Ibu Sena. Sebenarnya ia tak harus menjelaskan apapun pada Rian. Namun ia tahu pria ini ingin mencoba menggapai hati putrinya. Sebagai ibu tentunya ia sangat ingin melihat Sena menemukan kembali kebahagiaannya. Menemukan tempat yang tepat untuk berlindung jikalau dirinya sudah tak lagi ada di dunia. Karena bagaimana pun, Sena tak mungkin akan selalu bergantung pada dirinya dan Sekala.

“Siapa orang itu, Bu?” Rian semakin dibuat penasaran.

Saat ibunya akan kembali bicara, Sena dan Pelangi tiba di ruang tamu. Keduanya sudah siap dengan pakaian rapi. Membuat Rian dan Ibu Sena terpaksa menghentikan pembicaraan mereka.

“Halo, Om Rian?” sapa Pelangi pada pria itu.

“Halo, sayang. Sudah siap seharian kita main sama Mama dan Om Rian?”

“Siap. Terima kasih karena Om Rian sudah ajak Pelangi main.”

Sena, Rian dan Pelangi kemudian berpamitan pada ibunya. Sang nenek hanya berpesan pada Pelangi agar anak itu bersenang-senang namun tetap tidak boleh lupa untuk selalu berada dalam jangkauan ibunya dan Rian.

Pemandangan ketiganya yang bersama memasuki mobil Rian, membuat Ibu Sena tampak berkaca-kaca. Seperti inilah harusnya yang dirasakan oleh Sena dan Pelangi. Potret keluarga yang tampak harmonis. Terutama untuk Pelangi. Ia sangat berharap cucunya dapat merasakan seperti apa keluarga yang utuh. Memiliki peran ibu dan ayah secara lengkap.

Ini pertama kalinya Rian berkendara bersama Sena dan Pelangi. Dan pengalaman pertama yang pria itu rasakan, ia merasa sangat senang. Pelangi yang aktif berbincang benar-benar membuat perjalanan tak terasa membosankan. Rasanya mereka seperti sebuah keluarga kecil yang sedang bertamasya. Rian berharap hal tersebut benar-benar menjadi nyata. Bahwa pada akhirnya mereka bisa berakhir sebagai sebuah keluarga.

Mereka tiba hampir pukul sebelas siang. Antrian di konter tiket cukup panjang karena memang banyak orang yang ingin bermain. Terlebih hari libur seperti ini, banyak orang tua yang juga mengajak anaknya bermain. Setelah cukup lama mengantri, akhirnya Rian mendapatkan tiket yang mereka butuhkan.

“Pelangi mau main apa lebih dulu?” tanya Rian padanya.

“Eum, Pelangi mau naik itu, Om.”

Pelangi menunjuk wahana komidi putar. Ini bukan pertama kalinya memang Pelangi berada di taman bermain. Komidi putar selalu menjadi salah satu wahana favorit Pelangi selain bianglala.

“Oke, kita main itu.”

Rian menggandeng tangan gadis kecil itu menuju wahana komidi putar. Sementara Sena hanya mengikuti di belakang.

“Pelangi pernah naik komidi putar. Tapi sama Om Kal,” kisah anak itu pada Rian.

“Sekarang naiknya sama Om Rian, mau?”

“Iya,” jawabnya senang. “Mama ikut juga?”

Sena menggeleng pada putrinya. “Pelangi naik sama Om Rian saja, ya. Mama jadi tukang fotonya.”

Sena menunjukkan kamera yang memang ia siapkan untuk mengabadikan saat-saat Pelangi bermain. Lagipula Sena memang kurang suka dengan wahana yang terus berputar-putar seperti itu. Ia mudah merasa pusing jika menaikinya.

Melihat wajah bahagia Pelangi saat bermain sudah cukup membuat Sena ikut menikmati kegembiraan tersebut. Ia pun tak lupa membidik setiap ekspresi yang ditunjukkan putrinya saat mencoba berbagai wahana anak yang tersedia. Hingga waktu makan siang tiba, mereka berhenti bermain sejenak untuk mengisi perutnya.

“Pelangi suka sekali main bumper car. Nanti kita boleh main lagi kan, Om?”

“Boleh. Tapi sekarang Pelangi habiskan makan siangnya dulu, ya.”

Hari ini Sena lebih banyak memerhatikan interaksi putrinya dan Rian. Setelah makan siang dan melaksanakan salat zuhur, Pelangi dan Rian kembali bermain. Hingga waktu hampir menunjukkan pukul tiga sore, Sena menghentikan mereka.

“Sudah hampir sore. Sudah dulu mainnya, ya. Besok Pelangi harus sekolah. Jadi punya waktu istirahat lebih.” Sena mengingatkan.

“Iya, Ma. Tapi sebelum pulang Pelangi boleh naik bianglala, kan?”

Sena menimbang. Memang sejak tadi wahana tersebut sama sekali belum dimainkan oleh Rian dan Pelangi.

“Boleh, kan?” pintanya sekali lagi.

“Boleh.” Sena mengalah.

Ketiganya kemudian menuju wahana bianglala. Namun yang mengejutkan Sena, Pelangi ingin mereka bertiga menaikinya bersama-sama. Tentu Sena tak bisa menolak keinginan putrinya.
Berada di dalam bianglala dengan ketinggian yang tak main-main, sering membuat anak-anak merasa takut. Tapi berbeda dengan Pelangi. Ia justru terlihat tenang berada di ketinggian. Matanya tak lepas memandang sekeliling dari puncak bianglala.

“Rumah kita kelihatan tidak ya dari atas sini?” tanya Pelangi sembari menatap keluar. Rian dan Sena tertawa bersama.

“Enggak kelihatan pastinya,” jawab Sena.

“Oh.”

Rian memerhatikan anak itu yang tampak serius memerhatikan pemandangan. Seharian menghabiskan waktu bersama Pelangi, Rian merasa selangkah lebih dekat dengan tujuannya.

“Pelangi nggak takut ada di tempat tinggi begini?” tanya Rian penasaran.

“Enggak. Sama Om Kal pernah naik bianglala. Nanti kata Om Kal, Pelangi mau diajak naik pesawat. Naik pesawat lebih tinggi lagi. Pelangi tidak takut.”

“Kenapa?” Rian semakin ingin tahu.

“Karena Pelangi itu pelangi. Om Kal bilang pelangi itu tempatnya di langit tinggi. Jadi Pelangi nggak boleh takut.”

Rian mengalihkan tatapannya pada Sena. Wanita itu hanya tersenyum kecil. Bukan hanya Rian, Sena pun tak menyangka alasan putrinya tak takut naik ke wahan tinggi seperti ini hanya karena namanya. Ia tak pernah tahu jika Sekala pernah mengatakan hal itu pada Pelangi hanya untuk membuat anak itu menjadi lebih berani.

Dalam perjalanan pulang, Pelangi tertidur karena kelelahan seharian bermain. Ia tampak tenang berada dalam pelukan Sena dengan memeluk boneka kelinci yang Rian belikan di taman bermain tadi.

“Mbak Sena pasti bangga sekali punya anak seperti Pelangi,” ujar Rian tiba-tiba.

“Pastinya,” ucap Sena lantang. “Sejak kecil saya berusaha mendidik Pelangi dengan cara terbaik yang saya bisa lakukan. Tapi, anak ini selalu berhasil melampaui harapan saya. Saya selalu dibuat takjub dengan setiap yang Pelangi lakukan. Kadang dia tahu lebih baik dari apa yang saya ajarkan. Mungkin karena Mas Kal juga menjadi guru yang baik untuknya. Banyak hal yang dia tahu justru karena Mas Kal. Kadang sebagai Ibunya, saya merasa kalah jauh sebagai orang tua dibandingkan dengan Mas Kal.”

“Sepertinya saya iri sama Mas Kal,” aku Rian jujur.

Sena tertawa. “Saya sebagai Ibunya Pelangi juga iri sama Mas Kal.”

Tiba di rumah, Sekala sudah menunggu kedatangan mereka di depan rumah. Rian yang tadinya ingin membantu Sena menggendong Pelangi yang tertidur, tak dapat melaksanakan niatnya. Karena Sekala sudah mengambil alih keponakannya dari gendongan Sena.

“Terima kasih untuk hari ini, Rian. Pelangi senang sekali hari ini.”

“Sama-sama, Mbak. Lain kali, saya masih boleh ajak Mbak Sena dan Pelangi main, kan?”

“Tentu. Hati-hati di jalan, Rian.”

Setelah berpamitan pada Sena, Rian melajukan kendaraannya meninggalkan kediaman wanita itu. Hari ini terlewati dengan baik tanpa ada kendala. Rian juga mendapatkan banyak hal baik selama menghabiskan waktu dengan Pelangi. Meski masih ada satu hal yang menggerayangi pikirannya. Tentang siapa ayah kandung Pelangi.

Tapi Rian tahu itu tidak akan menjadi masalah. Meski nanti tabir kebenaran tentang siapa Ayah Pelangi terkuak, hal itu tidak akan berpengaruh pada hubungan yang ingin ia jalin bersama Sena. Entah ketika pria itu nanti hadir di hadapan Pelangi, Rian tahu sikap apa yang akan ia ambil. Ada atau tidaknya Ayah kandung Pelangi, perasaan sayang yang ia berikan terhadap Pelangi tidak akan berubah. Karena anak sebaik Pelangi dengan mudah dapat dicintai.

Aditya tak bisa lagi menunggu. Rasa penasaran terus menggerogoti pikirannya. Apa yang Yulia sampaikan padanya benar-benar tak dapat Aditya terima. Karena itu ia tak mungkin membuang waktu lagi. Jalan satu-satunya untuk memuaskan rasa penasarannya adalah dengan menemui Sena.

Jika melalui cara biasa tak membuahkan hasil. Maka kali ini Aditya menggunakan alasan bisnis untuk dapat bertemu dengan Sena. Itulah yang Aditya lakukan saat ini. Duduk di ruang tunggu khusus klien VIP menunggu kedatangan wanita itu.

“Selamat Siang, maaf membuat Bapak menung – gu.”

Sena begitu terkejut kala melihat Aditya lah yang menjadi klien mereka hari ini. Pria itu duduk di sofa dengan wajah tanpa ekspresi. Matanya tak lepas menatap Sena. Membuat wanita itu merasa tak nyaman. Sena ingin berlari keluar Namun saat ini, ia dan Aditya berada dalam posisi bekerja.

Profesional! Sena menekankan dalam hatinya. Ia memasang senyuman bisnis di wajahnya. Apapun hasilnya nanti, ia tak boleh bertindak gegabah. Ia harus menganggap Aditya sama seperti kliennya yang lain.

“Halo, selamat siang. Perkenalkan saya, Sena, yang akan bertanggung jawab untuk pemesanan Anda. Boleh saya tahu apa yang sedang Bapak butuhkan?” Sena berhasil menenangkan dirinya.

Aditya berdecak dalam hatinya. Mengagumi kecepatan Sena dalam beradaptasi dengan keadaan. Meski wanita itu mengenalnya, tak sekali pun Sena menunjukkan wajah terganggu atas kehadiran Aditya. Walau Sena sempat menunjukkan keterkejutannya, namun dengan cepat wanita itu menguasai diri.

“Apa kamu harus bersikap seolah kita ini orang asing, Sena?”

Sena merasa terganggu dengan kalimat yang diucapakan Aditya. Tapi di saat seperti ini ia harus benar-benar menahan dirinya.

“Maaf, tolong kerja samanya. Jika Anda sama sekali tidak bisa bersikap profesional. Saya mohon diri.”

“Berhenti, Sena!” Aditya memerintah ketika Sena akan keluar dari ruangan. “Duduk.”

Sekuat hati Sena berusaha untuk meredam amarahnya. Punya hak apa Aditya hingga bisa memerintahnya? Apa pria itu pikir Sena akan tunduk padanya? Sayang sekali jawabannya adalah tidak.

Sena memilih untuk melanjutkan langkahnya hingga Aditya menyebutkan kata kunci paling krusial dalam hidup Sena. Ketika nama putri kesayangannya mulai dibawa dalam pembicaraan, Sena jelas tak akan tinggal diam.

Pada akhirnya Sena memilih untuk menghadapi Aditya. Namun ia memilih untuk tetap berdiri sebagai bentuk pertahanan diri. Ia ingin Aditya tahu bahwa pria itu tak memiliki andil apapun dalam hidupnya. Sena bukan alat yang bisa disetir dan dijalankan sesuai yang pria itu mau.

“Berhenti basa-basi. Katakan apa yang Pak Aditya inginkan?”

“Saya senang kamu berhenti bermain sandiwara seolah tidak mengenal saya.” Aditya mengembangkan senyumannya.
“Temui saya setelah pekerjaan kamu selesai di restoran favorit kita dulu.”

Sena menatap nyalang pada Aditya. “Saya nggak punya urusan apapun lagi dengan Pak Aditya. Memangnya apa yang mau diselesaikan?”

“Bagi kamu mungkin tidak ada yang harus diselesaikan diantara kita. Tapi tidak bagi saya, Sena.” Aditya kembali bicara ketika dilihatnya Sena sudah akan membantah. “Saya sarankan kamu datang, Sena. Karena saya yakin kamu tidak ingin saya terus muncul di tempat kerja kamu ini dan mengganggu kenyamanan para pekerja lainnya. Karena kamu tahu, saya tidak akan berhenti sampai kamu bersedia menemui saya.”

Sena tak dapat lagi menahan dirinya. tangannya melayangkan tamparan yang siap bersarang di pipi Aditya. Sayangnya pria tersebut dengan gesit menahan pergelangan tangan Sena. Hingga Sena harus berusaha menarik paksa tangannya dari cengkeraman Aditya.

“Saya tunggu kamu di sana, Sena.”

Aditya lantas melepaskan cekalannya pada pergelangan Sena. Pria itu kemudian pergi tanpa mengatakan apapun lagi. Meninggalkan Sena yang masih berdiri dengan napas memburu dengan tangan yang mengepal.

Sepanjang sisa hari, Sena tak dapat berfokus pada pekerjaannya. Ia masih terus memikirkan ucapan Aditya. Menimbang apakah akan mengikuti perkataan pria itu untuk menemuinya. Atau mengabaikan saja. Tapi Sena tahu tak akan mudah mengabaikan Aditya. Terlebih dengan ancaman Aditya tadi. Sena tidak bisa membiarkan pria itu bersikap seenaknya di dalam hidupnya dan Pelangi. Sena harus mencegah hal itu terjadi dengan menemui Aditya.

Maka sore itu selepas bekerja, Sena menemui Aditya di tempat yang mereka sepakati. Ketika tiba, Aditya sudah lebih dulu berada di sana. Pria itu duduk di tempat yang mudah dilihat dari pintu masuk restoran. Tampak sedang menikmati secangkir kopi dengan elegan. Sebelum melangkah, sekali lagi Sena berdoa dalam hati agar ia bisa melewati semua ini dengan baik tanpa kehilangan kendali.

“Akhirnya kamu bersedia juga menemui saya.” Aditya mengisyaratkan untuk Sena duduk.

“Saya harap ini terakhir kalinya Pak Aditya muncul di hadapan saya.”

Aditya tak menjawab. Ia hanya memberikan sekilas senyuman pada Sena. Sangat disayangkan Aditya belum berpikir untuk enyah dari kehidupan Sena sebelum keinginannya terpenuhi.

“Mari kita hentikan basa-basi ini. Sekarang katakan apa yang Pak Aditya inginkan dari saya?”

“Pelangi, anak siapa dia?”

Sena mengembuskan napas kesal. Ia memandang Aditya dengan tatapan mencibir. “Pelangi anak saya.”

“Bukan itu yang ingin saya – ”

“Pelangi adalah anak saya!” tegas Sena memotong ucapan Aditya.

“Siapa Ayah Pelangi? Apa pria yang bernama Wisnu ada di pesta pernikahan Kakak laki-laki kamu?”

Sena mengernyit mendengar Aditya menyebutkan nama Wisnu. Darimana pria itu tahu mengenai Wisnu. Apa pria itu mulai mematai-matai kehidupannya?

“Siapapun Ayah Pelangi, itu tidak ada hubungannya dengan Bapak. Sudah cukup kehadiran Pak Aditya merusak hidup saya. Saya sama sekali tidak ingin melihat Bapak ada di sekitar saya ataupun Pelangi.”

“Jawab pertanyaan saya, Sena!”

Kali ini Aditya berdiri menghampiri Sena. Ia menarik pergelangan Sena hingga perempuan itu terpaksa berdiri karena sentakan dari pria itu. Tatapan Aditya penuh intimidasi namun Sena sama sekali tak merasa takut padanya. Ia bukan lagi Sena yang pengecut seperti dulu.

“Jawab pertanyaan saya, Sena. Siapa Ayah dari Pelangi?”

“Sudah saya katakan, itu bukan urusan Bapak!”

“Jangan menguji kesabaran saya!”

Kali ini tamparan Sena mendarat tepat di pipi Aditya. Sontak saja pertengkaran keduanya mendapat perhatian penuh dari pengunjung restoran. Mata Sena memerah menatap Aditya. Semua emosinya sudah terakumulasi hingga ia tak dapat lagi menahan diri. Sementara Aditya tampak begitu terkejut mendapat kejutan dari Sena.

“Ini, terakhir kalinya saya katakan. Pelangi anak saya. Berhenti mengusik hidup saya lagi. Ini peringatan terakhir bagi anda, saya pastikan itu! Jangan pernah muncul lagi di hadapan saya!”

Sena sama sekali tak menahan diri. Pun ia tak berniat mengecilkan suaranya kala memperingatkan Aditya. Tak peduli jika mata-mata penasaran mengarah pada mereka. Ia ingin Aditya benar-benar tahu jika Sena bukan lagi wanita yang bisa pria itu permainkan.

Sena menarik paksa pergelangannya hingga terlepas dari cekalan Aditya. Tanpa basa-basi lagi ia pergi meninggalkan Aditya yang masih terpaku seraya memegangi pipinya yang terasa nyeri. Tamparan Sena terasa cukup menyakitkan. Wanita itu sama sekali tak menahan diri. Namun emosi yang Sena tunjukkan membuat Aditya meyakini satu hal. Bahwa Pelangi adalah putri kandungnya.

Note : maaf updatenya lama ….

Ps : makasih koreksi typo dan lainnya

Restricted area, 31/08/21

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top