Chapter 25 - Memberi Kesempatan
Rian terlampau sibuk belakangan ini. Bisnis keluarga mereka memang berkembang pesat. Ditambah lagi jalinan kerja sama dengan beberapa perusahaan yang baru Rian sepakati. Membuat waktu pria itu banyak tersita dalam pekerjaan. Hingga ia tak sempat menghubungi Sena sekadar bertanya kabar.
Namun hari ini Rian sudah memutuskan ia akan menemui Sena. Tidak peduli halangan apa yang nanti akan menghadangnya. Rian sudah memantapkan tekadnya untuk menemui wanita itu. Terlebih saat hari libur begini sudah pasti Sena tak memiliki kegiatan selain di rumah. Kesempatan ini akan Rian manfaatkan sekaligus untuk mengenal gadis kecil Sena.
Tak sulit menemukan tempat tinggal Sena. Rian memiliki alamat Sena dari Ardi, Manajer tempatnya bekerja. Datang tanpa pemberitahuan mungkin akan menyebabkan banyak masalah. Namun Rian juga ingin memberi kejutan pada Sena. Agar wanita itu tahu jika Rian memiliki niat yang serius.
Rian memarkirkan kendaraannya di depan kediaman Sena. Rumah yang ditinggali Sena tampak asri. Dengan beberapa pohon dan tanaman yang menghiasi pekarangan depan. Setelah mempersiapkan diri, Rian lalu menekan tombol bel yang terdapat di sisi gerbang.
Sena yang sedang merapikan rumah, langsung berhenti dari kegiatannya saat mendengar bunyi bel. Ia bertanya-tanya siapa kiranya yang datang berkunjung di hari libur seperti ini. Ia pun bergegas ke depan rumah untuk melihat tamu yang datang. Alangkah terkejutnya Sena kala melihat Rian yang berdiri di depan gerbang rumahnya.
“Rian?”
Rian menampilkan senyum menawannya. “Halo, Mbak Sena. Maaf kalau kedatangan saya yang tiba-tiba mengganggu.”
Sena menggeleng. “Tidak mengganggu. Tapi, kenapa nggak kasih kabar dulu? Silakan masuk,” ajak Sena ramah.
“Terima kasih,” Rian menyerahkan bungkusan berisi kue yang tadi ia beli diperjalanan pada Sena.
“Kenapa repot-repot bawa bingkisan?”
Rian hanya tersenyum. Ia lalu mengikuti langkah Sena ke dalam rumah. Kediaman keluarga Sena memang tidak mewah. Namun pertama kali Rian menginjakkan kaki di sana, ia bisa merasakan kenyamanan.
“Silakan duduk, Rian. Saya buatkan minuman dulu, ya. Mau teh, kopi atau jus buah?”
“Air putih saja, Mbak.”
Sena mengangguk mengerti. Ia meninggalkan Rian seorang diri di ruang tamu. Kesempatan itu Rian gunakan untuk memerhatikan seisi rumah Sena. Ia juga melihat beberapa pigura yang tergantung di dinding. Foto-foto yang menunjukkan kebersamaan Sena dan keluarganya. Terutama dengan sang ayah yang Rian tahu sudah tiada. Rian juga bisa melihat foto keluarga Sena tanpa sang ayah namun dengan anggota keluarga yang baru. Yang tak lain adalah Pelangi.
“Mama …” suara Pelangi memanggil Sena terdengar nyaring di telinga Rian.
Ia tak melihat gadis kecil itu. Namun ia menduga bahwa anak itu sedang menyusul Sena ke dapur.
Di dapur, Pelangi memerhatikan ibunya sedang menyiapkan minuman dan makanan kecil. Penasaran, anak itu pun bertanya pada Sena untuk siapa semua itu disiapkan.
“Ada tamu di depan. Teman Mama yang punya restoran kemarin itu. Pelangi mau sapa Om Rian?” ajak Sena yang diangguki Pelangi.
Rian melihat Sena membawa nampan diiringi seorang gadis kecil di belakangnya yang tak lain adalah Pelangi. Senyum Rian tak tertahan kala melihat pemandangan tersebut. Siapapun mungkin akan ikut senang melihat kedekatan antara ibu dan anak. Terlebih Pelangi yang langsung memberikan senyuman ramahnya kala bertatapan dengan Rian.
“Halo, Om Rian?” sapa gadis kecil itu.
Pelangi menghampiri Rian dan menyalami pria itu. Sikap yang membuat Rian terkejut namun juga terkesan. Terlebih saat anak itu dengan nada akrab memanggil namanya. Membuat Rian semakin senang.
“Halo, Pelangi. Apa kabar, Nak?”
“Baik, Om Rian.”
“Duduk sini temani Om Rian ngobrol, mau?” pinta Rian kemudian.
“Boleh. Pelangi suka ngobrol. Tapi kata Om Kal kadang-kadang Pelangi ceriwis karena suka bicara terus.”
Rian dan Sena tertawa mendengar penuturan anaknya. Ia baru tahu jika Sekala bisa mengeluarkan pernyataaan seperti itu juga tentang anaknya. Meski memang benar adanya jika Pelangi termasuk anak yang ceriwis dan senang bertanya.
“Pelangi marah nggak dikatain ceriwis sama Om Kal?” tanya Rian penasaran.
Pelangi Menggeleng. “Enggak. Om Kal cuma bercanda. Tapi, Pelangi memang ceriwis kata Ibu Arina.”
Anak itu mengeluarkan tawa nyaring yang menular pada Sena dan Rian. Ketiganya lantas berbincang yang didominasi oleh Rian dan Pelangi. Sena seperti tahu jika Rian sedang ingin mendekatkan diri dengan putrinya. Karena itu ia memberikan kesempatan pada Rian.
Setelah melalui proses berpikir yang cukup mendalam, Sena akhirnya mengambil keputusan untuk mencoba. Dalam artian ia tidak akan membatasi dirinya untuk setiap kesempatan baik yang hadir dalam hidupnya. Entah itu Rian atau Wisnu. Ia hanya akan mencoba untuk menjalani. Dan menerima pilihan terbaik mana yang akan Tuhan berikan padanya dan Pelangi.
Meski hati Sena belum condong pada pria manapun. Namun begitu melihat dari kondisi kedua pria tersebut, Sena tahu akan lebih mudah baginya menjatuhkan pilihan pada sahabat Sekala. Sena tak harus memikirkan kasak-kusuk keluarga jika memilih Wisnu. Sedangkan Rian, ia tak tahu bagaimana pandangan dan sikap keluarga pria tersebut jika mengetahui kondisi Sena yang seperti ini. Hanya saja ia tak ingin bersikap kejam pada Rian. Biarkan pria itu mencoba untuk mengetahui hasil dari perjuangannya.
“Om Rian, mau main monopoli? Pelangi suka main itu,” ajak anak itu tiba-tiba.
Rian tentu saja tak akan melewatkan kesempatan untuk lebih dekat lagi dengan anak itu. Ketiganya lantas memainkan permainan tersebut di beranda samping. Tempat biasa mereka menghabiskan waktu. Hingga tak sadar ketika waktu jam makan siang hampir tiba, Sena menghentikan permainan mereka.
“Rian, mau makan siang di sini? Sekarang rumah sedang sepi. Hanya saya dan Pelangi memang.”
Rian seakan baru tersadar. “Ibu dan Masnya Mbak Sena di mana?”
“Ibu dan Mas Kal sedang berkunjung ke rumah Adiknya Ibu. Oh iya, minggu depan Mas Kal menikah. Kalau ada waktu silakan datang, ya. Nanti saya kasih undangannya.”
Selagi Sena memasak untuk makan siang, Rian dan Pelangi melanjutkan permainan mereka. Namun kali ini keduanya bermain uno stacko. Sena dapat mendengar putrinya beberapa kali tertawa. Mungkin saat susunan stacko tersebut hancur perlahan. Sering kali memang Pelangi menertawakan siapapun yang gagal mempertahankan susunan balok tersebut berdiri tegak jika mereka memainkannya. Mendengar tawa ceria anaknya, tentu saja hati Sena pun ikut terhibur.
“Hari ini saya beruntung banget bisa merasakan masakan Mbak Sena,” seru Rian saat akan berpamitan.
“Masakan Mama enak kan, Om?” tanya Pelangi dengan nada bangga.
“Pasti. Om juga senang sekali hari ini bisa main sama Pelangi. Lain waktu kita main lagi, ya. Nanti Om Rian ajak Pelangi main ke taman hiburan. Pelangi mau?”
“Mau, Om. Nanti kita main lagi, ya?”
“Kalau gitu saya pamit, Mbak. Sampai ketemu lagi, Pelangi. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam,” Sena dan Pelangi menjawab bersama.
Pelangi melambaikan tangannya. Rian pun ikut membalas. Sampai ketika kendaraan Rian sudah tak lagi terlihat, ibu dan anak tersebut bersiap masuk ke rumah.
“Mama, nanti kapan-kapan Pelangi bisa main sama Om Rian lagi, kan?”
Sena menatap putrinya. “Pelangi senang main sama Om Rian?”
“Iya. Pelangi suka.”
“Kalau sama Om Wisnu?” pancing Sena.
“Pelangi juga suka. Om Rian, Om Wisnu, Om Kal, semua baik. Pelangi suka main sama semua.”
Sena menahan tawa mendengar jawaban putrinya. Mungkin bagi Pelangi semua orang adalah teman bermain yang baik. Tapi ya sudahlah, selama putrinya bersenang-senang Sena tak masalah Pelangi dekat dengan siapapun. Tinggal menunggu saja siapa yang berhasil menarik hati putrinya. Siapapun yang mampu mengisi kekosongan sosok ayah bagi Pelangi.
…
Hari bahagia Sekala akhirnya tiba juga. Pagi tadi status Sekala telah berubah. Pria itu kini sudah menjadi seorang suami. Acara akad berlangsung khidmat dan penuh haru. Terlebih saat kedua mempelai meminta doa restu pada kedua orang tua. Sena tak dapat menahan tangisnya kala menyaksikan Sekala bersimpuh di hadapan ibu mereka. Bahkan Sekala yang di mata Sena adalah pria yang kuat pun tak kuasa menahan air matanya.
Waktu sakral tersebut berlanjut dengan pesta yang meski sederhana namun sangat berkesan. Omongan miring memang tak dapat dihindari dari beberapa kerabat baik dari pihak keluarga Sena atau Arina. Namun sebagai keluarga inti, mereka sudah bertekad untuk tak menanggapi hal tersebut. Saat ini mereka hanya ingin berbahagia di hari istimewa Sekala dan Arina.
Di antara para orang dewasa, Pelangi pun tak kalah berbahagia. Sejak pagi ia seakan tak bisa berdiam diri. Menemani Arina menunggu waktu akad hingga menyambut para tamu yang hadir. Gadis itu bergerak lincah tak mengenal lelah. Membuat orang tua Arina dan para kakaknya tak kuasa menahan rasa gemas terhadap anak itu.
Tentu saja yang tak kalah menyenangkan bagi Pelangi adalah dirinya mendapatkan beberapa teman baru. Anak dari Kakak Arina yang kini menjadi sepupunya. Anak-anak itu langsung terlihat akrab. Berjalan ke sana kemari bersama Pelangi membantu Sena dan para ibu mereka menyambut para tamu.
“Sudah capek?” tanya Sena saat akhirnya putrinya duduk di sampingnya di depan meja hidangan.
“Capek. Tapi Pelangi senang,” jawabnya dengan tawa senang.
“Duduk temani Mama di sini dulu, ya. Nanti baru main – ”
Belum Sena menyelesaikan kalimatnya, Pelangi sudah berlari menuju tamu yang baru datang. Sena terperanjat melihat keagresifan putrinya hari ini. Ia hampir menahan napas saat Pelangi hampir terjatuh. Untungnya tamu yang disambut gadis kecil itu dengan gesit menangkapnya.
“Hati-hati anak cantik,” seru Wisnu. Pelangi hanya tertawa. Jelas hari ini ia begitu bahagia.
“Ayo Pelangi antar ketemu Om Kal dan Ibu Arina.”
Tangan Pelangi menggenggam tangan Wisnu seraya menuntun pria itu menuju pelaminan. Pemandangan itu tak lepas dari mata semua orang yang mengenal siapa Pelangi. Terlebih para kerabat Sena yang mulai berbisik berspekulasi.
“Itu siapa, Sen?” Rika bertanya pada Sena. Sepupu Sena itu bertugas membantunya menjaga hidangan.
“Temannya Mas Kal.”
“Kelihatan dekat dengan Pelangi.”
Sena menatap Rika penuh arti. Kemudian mengangguk. Seketika wajah sepupunya itu tampak berseri.
“Maksudnya – ”
“Mas Kal mau coba dekatin aku sama temannya itu.”
Mata Rika membulat sempurna. “Jadi?”
“Kita lihat nanti.”
Rika tertawa mendengar jawaban Sena. Namun ia tahu jika Sena sudah bicara seperti itu, artinya wanita itu bersedia. Rika turut senang dengan rencana Sekala. Sebagai sepupu yang cukup dekat dan tahu bagaimana perjuangan Sena membesarkan Pelangi, tentu ia ingin melihat sepupunya itu menemukan kebahagiaannya juga. Lebih lagi ia ingin melihat Pelangi mendapatkan orang tua yang lengkap. Selama ini mungkin itu hanya akan jadi harapan mereka. Tapi sekarang, mungkin tak akan lama lagi harapan itu bisa terwujud.
Keduanya kembali melanjutkan perbincangan namun bukan tentang Wisnu. Perbincangan keduanya harus terhenti karena Sena melihat kehadiran Rian yang tampak canggung. Mungkin karena pria itu tak mengenal siapapun di pesta ini kecuali Sena. Bergegas Sena pun menghampiri Rian. Tindakan Sena lagi-lagi mendapat tatapan penasaran dari para kerabat. Terlebih Rika yang baru saja berbincang perihal Wisnu. Namun kini ia menyaksikan Sena tampak berbincang dengan seorang tamu yang hadir. Sena bahkan menemani pria itu menuju pelaminan untuk menyapa sang pengantin.
“Mas Kal, ini Rian. Adik kelas Sena dulu,” ucap Sena memperkenalkan Rian pada kakaknya.
“Halo, Mas Kal, Mbak Arina. Selamat menempuh hidup baru. Semoga langgeng dan bahagia sampai akhir hayat,” ucap Rian menyalami Sekala dan Arina.
“Terima kasih, Rian. Selamat menikmati pesta sederhana kami.” Sekala membalas ramah sembari menilai pria di hadapannya.
Rian juga menyalami kedua orang tua Arina dan Ibu Sena. Matanya mencari-cari keberadaan Pelangi. Sampai ia melihat gadis kecil itu sedang berbincang dengan beberapa anak ditemani seorang pria. Rasa penasaran merasuki hati Rian. Namun ia tak mungkin menanyakannya terang-terangan pada Sena siapa pria yang bersama Pelangi.
“Mau mencoba hidangan dulu, Yan?” tanya Sena saat Rian tampak sedang memikirkan sesuatu.
“Boleh, Mbak.”
Tak hanya Rian yang sedang mencoba menilai, nyatanya Wisnu pun yang melihat pria itu bersama Sena turut mencoba menilai sosok Rian. Ia mendengar dari Sekala bahwa ada pria yang juga sedang mendekati Sena. Dugaannya mungkin pria yang sedang bersama Sena saat inilah pria yang dibicarakan Sekala. Meski begitu Wisnu tidak akan menyikapinya dengan gegabah. Sena berhak memilih dan mendapatkan yang terbaik. Selama ia dan pria itu masih belum mendapatkan jawaban pasti dari Sena. Siapapun memiliki kesempatan yang sama.
Wisnu mungkin belum memiliki perasaan yang dalam terhadap Sena. Namun ketika ia sudah menetapkan pilihan, maka ia akan berusaha sebaik mungkin menggapai apa yang dipilihnya. Perkara Sena memiliki perasaan yang sama dengannya atau tidak. Wisnu yakin semua akan dapat dibangun perlahan seiring waktu. Ia pria dewasa yang tak hanya mengandalkan hati tapi juga logika. Karena itu Wisnu harus tahu kapan harus maju dan berhenti tanpa harus memberatkan perasaan Sena.
“Mbak, Pelangi mana?” tanya Rian mencoba memancing pembicaraan.
“Oh, kamu nggak lihat dia, ya. Tadi lagi sama Wisnu – ah, itu dia.” Sena menunjuk ke arah Pelangi dan Wisnu duduk.
“Wisnu itu siapanya Mbak Sena?” Rian kembali bertanya. Dalam hati ia berharap bahwa Wisnu adalah salah satu kerabat Sena.
“Temannya Mas Kal.”
Rasanya Rian langsung tak berselera. Perjuangannya baru dimulai, tapi ia sudah mendapatkan rival dalam merebut hati Sena. Rian tahu jika pria tersebut bisa begitu dekat dengan Pelangi, artinya pria itu memiliki tujuan yang sama dengannya.
“Maaf kalau aku lancang, tapi dia juga sedang mendekati Mbak Sena, kan?”
Sena terkesiap. Rasanya tak mungkin menyembunyikan hal itu dari Rian. Sena pernah membaca jika intuisi sesama pria biasanya cukup akurat. Akhirnya Sena memilih untuk jujur dengan anggukan mengiakan. Hati Rian serasa mencelos.
“Dia tahu tentang Mbak dan Pelangi?”
Lagi, Sena mengangguk. “Dia sahabat Mas Kal. Dan Mas sudah cerita semua ke dia, mungkin …”
“Termasuk tentang aku juga?”
Kali ini Sena menggeleng. “Untuk itu saya nggak tahu, Yan.”
“Mbak dan Wisnu itu, dekat?”
“Dekat dalam artian seperti apa?”
“Seperti kita saat ini?”
“Mungkin bisa dikatakan dia lebih dekat dengan Pelangi daripada dengan saya.”
Rian mengangguk. Tentu dia mengerti. Jalan termudah bagi pria yang ingin menarik perhatian seorang ibu adalah dengan menarik perhatian anaknya. Seorang anak adalah pengikat terbaik bagi seorang ibu. Rian pun tahu itu. Namun melihat kedekatan Pelangi dan Wisnu, membuat Rian cukup merasa cemas. Itu artinya ia harus berusaha lebih keras lagi menarik hati gadis kecil itu.
“Mbak …”
“Ya?”
Sena menunggu namun Rian belum juga menjawab. Pria itu memandangnya sejenak. Kemudian menggeleng kecil dan memilih melanjutkan menyantap hidangannya.
“Saya tinggal dulu ya, Rian. Kalau ada perlu kamu bisa temui saya di sana.” Sena menunjuk ke meja hidangan.
Rian ingin menghentikan Sena, namun ia takut menciptakan keributan di pesta Sekala. Karena itu ia memilih untuk menahan tangannya yang akan menahan pergelangan Sena. Rian memilih cepat-cepat menghabiskan makanannya. Kemudian ia kembali menemui mempelai penganti untuk segera berpamitan. Rian rasanya butuh udara segar untuk membantunya menghilangkan rasa sesak yang kini ia rasakan.
Pelangi yang melihat keberadaan Rian, seketika berpamitan sejenak pada Wisnu. Ia ingin menyapa Rian. Wisnu hanya bisa memerhatikan gadis itu yang kembali melesat dengan gesit menghampiri Rian yang turun dari pelaminan.
“Om Rian?” sapanya mengejutkan Rian.
“Hei, Pelangi cantik sekali hari ini.”
“Terima kasih. Om Rian sudah mau pulang?”
Rian mengangguk. “Iya. Maaf karena Om nggak bisa lama dan main sama Pelangi. Lain waktu kita main lagi, ya.”
Pelangi mengangguk mengerti. Ia menemani Rian menghampiri Sena untuk berpamitan. Rian tak banyak bicara. Hanya berpamitan pada Sena dan Rika yang ia temui di meja hidangan. Kemudian melambai pada Pelangi untuk segera meninggalkan tempat itu.
Namun langkah Rian terhenti sejenak karena Pelangi kembali memanggilnya. Pelangi berlari menghampiri Rian sembari membawa sesuatu di tangannya.
“Ini untuk Om Rian. Terima kasih sudah datang.” Pelangi menyerahkan souvenir pernikahan berupa tanaman kaktus pada Rian. “Dirawat ya kaktusnya. Om Kal bilang kaktus itu tanaman hebat. Dia hidup di padang pasir tapi tetap kuat.”
Rian terperanjat menerima tanaman yang diberikan Pelangi. Terlebih saat mendengar ucapan gadis kecil itu. Seakan dirinya baru mendapat secercah harapan. Rian tersenyum pada Pelangi sembari membelai puncak kepala anak itu.
“Terima kasih. Om Rian akan rawat kaktusnya dengan baik.”
Pelangi pun akhirnya melambaikan tangannya sebagai bentuk perpisahan pada Rian. Dada Rian yang tadinya sesak, seketika terasa begitu ringan. Seperti beban berat yang menghimpit terangkat darinya. Pelangi menyadarkannya akan sesuatu. Bahwa sebagai seorang pria, Rian harusnya tak mudah menyerah. Pemenang dalam pertarungan hati belum ditentukan. Karena itu ia masih harus bersikap kuat untuk terus berjuang.
…
Note : maaf lamaaaaaa. Om Kal dan Bu Arina akhirnya resmi. Nanti kapan waktu aku tulis pelan-pelan lapak mereka, ya. Dua rival sudah ketemu meski belum saling sapa. Siapa kira-kira yang bertahan sampai akhir???? Selamat membaca dan selamat istirahat.
Ps : makasih koreksi typo dan lainnya
Restricted area, 10/08/21
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top